Tuesday, December 28, 2010

terlambat


Nasi sudah menjadi bubur, itu istilah lain dari kata “terlambat”. Mungkin maksudnya adalah sudah tidak bisa dimakan lagi atau tidak mengenyangkan, padahal menurut saya bubur pun tetap bermanfaat, paling tidak buat orang sakit yang harus menerima diet lunak karena belum boleh makan nasi. Jangan lupa juga, orang sehatpun doyan makan bubur, contohnya saya yang sering sarapan bubur ayam yang lewat depan kos-kosan karena enak dan hangat. Bahkan berjualan bubur di Jakarta di pagi hari dijamin laris manis tanjung kimpul, saking banyaknya yang beli, benar-benar bubur memberi penghidupan bagi banyak orang.  Itu baru bubur kelas kaki lima, belum jenis bubur di level lebih tinggi yang disiapkan untuk sarapan pagi di hotel berbintang, tentu sangat nikmat untuk disantap, padahal menurut saya ya sama saja. Hehehe. Jadi sebenarnya saya agak bingung dengan arti perumpamaan itu, tetapi karena sudah membudaya dan orang pun paham dengan artinya, ya sudah, tidak ada masalah. Lagi pula ngapain iseng mempermasalahkan yang sudah jelas, kok seperti kurang kerjaan. Mirip dengan berita-berita kemarin yang hangat mengulas keistimewaan Jogja. Saya heran, sudah jalan baik kok dipermasalahkan, padahal masih banyak masalah lain yang lebih penting yang belum tertangani dengan baik. Ya itulah, kalau pemerintahnya tidak fokus, lama-lama bikin saya yang rakyat biasa ini geleng-geleng kepala.  Aneh bin ajaib, maunya apa saya sendiri tidak paham. Tapi sudahlah, lupakan saja hal-hal yang seperti itu, karena tidak ada hubungannya dengan catatan saya hari ini. Yang jelas kalau kita bicara mengenai kata “terlambat” tentu persepsinya bermacam-macam. Bagi sepasang suami istri yang baru menikah, perkataan istri “mas, aku terlambat”, pasti akan memunculkan gairah suka cita yang luar biasa, tetapi kalau itu terjadi pada muda-mudi yang baru pacaran, wah, pasti serasa bencana yang turun dari langit. “Terlambat” dalam konteks kalimat saya tersebut tentu bukan arti sesungguhnya. Kata “terlambat” paling sering dihubungkan dengan waktu, entah kedatangan atau keberangkatan, misalnya datang terlambat atau pulang terlambat. Contoh, saya diundang rapat jam 10 pagi, tetapi saya baru muncul jam 11.00, maka dikatakan bahwa saya datang terlambat.  Kereta berangkat jam 7 pagi tetapi ternyata baru siap jam 7.30, maka dikatakan bahwa kereta terlambat berangkat. Konon kabarnya kalau masalah waktu orang Indonesia tidak disiplin, sampai-sampai dibilang jam karet. Istilah slang-nya “molor”. Wah, kayak karet celana saja, kalau sudah molor pasti di pinggangnya jadi lebih lebar dan panjang. Undangan jam 7, datang jam 8 dan seterusnya. Saya ingat sekali kalau dulu jadi panitia Natal di gereja maka undangannya dibuat mundur setengah atau 1 jam. Tapi ini perayaan Natal, bukan kebaktian. Misalnya perayaan Natal dimulai jam 7 malam, maka undangan ke jemaat dibuat jam 6 sore, tetapi undangan ke Pembicara tetap jam 7 malam. Tujuannya kalau pembicara datang tepat waktu tetapi jemaatnya molor, maka panitia tidak akan menanggung malu karena pembicara harus menunggu. Masak pendeta menunggu, kalau jemaat menunggu itu sudah wajar. Hahaha. Maka kalau ada jemaat yang datang tepat waktu sesuai undangan, pasti wajahnya jadi manyun karena menunggu terlalu lama. Hebatnya selama ini jarang sekali yang datang tepat waktu, biasanya mulai berdatangan setengah jam kemudian, istilahnya tahu sama tahu. Itu kalau perayaan natal, kalau kebaktian Natal tentu berbeda, karena kebaktian sudah ada jam-jamnya. Kebaktian jam 8 pagi, pasti mulai jam 8 pagi, makanya sebelum jam 8 gedung gereja pasti sudah penuh. Saya paling tidak suka datang terlambat di kebaktian gereja, rasanya kok tidak sopan sama Tuhan, sudah seminggu sekali, masih juga terlambat. Makanya paling tidak suka juga kalau ada yang datang terlambat, lalu tengak tengok mencari kursi padahal ibadah sudah dimulai. Tetapi karena katanya lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, ya mau tidak mau saya menerima juga dengan suka cita. Mungkin ada sesuatu yang menyebabkan orang tersebut datang terlambat. Positif saja. Kalau urusan tepat waktu, datang di  kebaktian gereja masih kalah dibandingkan dengan mau naik pesawat. Kalau ibadah ke gereja, saya bisa datang 10 menit sebelumnya, tetapi kalau naik pesawat, saya bisa datang di bandara 1 setengah jam sebelum boarding. Intinya kalau naik pesawat tidak boleh datang terlambat, tapi kalau ibadah di gereja bolehlah sekali-kali terlambat. Kalau terlambat datang check in kan tiket kita hangus, rugi sekian ratus ribu rupiah atau malahan juta, tetapi kalau terlambat ke gereja , paling juga ketinggalan 1 atau 2 buah lagu dan salam berkat, tidak rugi-rugi amat. Hehehe, kalau sudah begini segala cara diupayakan agar alasan yang dikemukakan bisa rasional dan masuk akal. Saya juga tidak suka kalau ada yang datang terlambat ke kantor, karena saya tidak pernah datang terlambat. Selama 6 tahun bekerja, rasanya saya jarang sekali terlambat, mungkin kalau pas saya sakit diare atau panas, maka datangnya lebih siang, tetapi itupun jarang. Kantor saya yang dulu masuk jam 8.30, tetapi jam 8 saya pasti sudah datang, selain karena tidak mau macet di jalan, datang setengah jam lebih awal sangat bermanfaat untuk mempersiapkan diri sebelum bekerja. Bagi saya, bekerja pun butuh persiapan fisik dan mental, jadi kalau datang lebih awal, fisik dan mental saya jauh lebih siap daripada datang mepet atau malahan terlambat. Saya berpendapat bahwa saya digaji dari jam 8.30 sampai 17.30 berarti jam 8.30 adalah saat saya mulai kerja, bukan saat saya datang. Demikian juga pulangnya, jam 17.30 adalah detik terakhir kita bekerja, bukannya jam 17.30 sudah siap menenteng tas untuk pulang. Mungkin terkesan ekstrim, tetapi itu paradigma saya tentang jam kerja, kalau tidak setuju ya tidak apa-apa, sah-sah saja, namanya juga bebas berpendapat. Nah, akhir-akhir ini orang Indonesia juga suka sekali  “khilaf” dengan kata terlambat. Sudah terjadi baru sadar. Sudah banjir baru bingung mau ngapain, sudah terjadi penganiayaan TKI baru bingung mengantisipasi. Wah, kok sukanya terlambat. Mungkin karena terlalu sering bertindak terlambat, maka menghadapi kemenangan demi kemenangan timnas dari penyisihan sampai semifinal piala AFF 2010, petinggi-petinggi negeri kapok terlambat.  Maka mulailah ramai-ramai mendompleng timnas yang belum juara itu agar dilihat orang. Buru-buru mengundang makan, memberi bonus, menghibahkan tanah, mengajak doa bersama, agar masyarakat melihat peran mereka. Padahal masyarakat sekarang tentu tidak bodoh, justru heran dengan segala macam kegiatan tidak perlu yang mengganggu konsentrasi timnas. Bahkan sang pelatih pun tidak punya wewenang untuk menolak semua undangan karena justru petinggi bola-nya yang bertingkah. Begitu timnas kalah di final putaran pertama, mulailah ada instruksi agar timnas jangan ganggu, biarkan konsentrasi, jangan ada kegiatan yang tidak perlu. Waduh, menyedihkan sekali. Lah, selama ini  pada kemana? Kenapa tidak dari kemarin-kemarin? Mungkin takut atau sungkan kali ya..... Coba semua orang sadar sebelumnya dan mengerti apa yang perlu dipersiapkan untuk menjadi juara, tentu tidak akan ada gangguan seperti itu. Timnas bisa fokus latihan dan pertandingan, bukan fokus pada hal-hal yang tidak perlu. Memang itu bukan semata-mata penyebab kekalahan timnas, tapi harus diakui bahwa itu menyita waktu, tenaga, dan konsentrasi. Katanya kalau mau sukses harus fokus, kok malah dibuat tidak fokus. Yang memalukan justru ini dilakukan oleh orang-orang yang katanya bertanggung jawab terhadap kemajuan sepakbola di negeri ini (yang tidak pernah maju-maju) dan petinggi-petinggi yang harusnya memberi contoh. Memang serba salah, karena orang tetap tidak mau salah dan disalahkan. Tetapi ya sudah, sekali lagi semua sudah terlambat dan timnas memang sudah kalah di putaran pertama, tetapi dengan menjunjung tinggi pepatah “tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki diri” maka saya percaya peluang timnas untuk juara masih ada meskipun sangat kecil. Sejujurnya saya bersyukur timnas kalah, meskipun tidak berharap kalah begitu telak. Bukan berarti saya tidak nasionalis, karena saya adalah pendukung timnas. Alasannya simpel, biar orang-orang itu sadar, lebih baik terlambat sadar daripada tidak sama sekali. Bayangkan seandainya timnas menang di putaran pertama, wah alangkah ngerinya manuver politisasi berikutnya, ngeri dan memuakkan. Apalagi bagi orang-orang yang kemarin terlalu bernafsu mendompleng timnas. Ya sudahlah, saya cuma ingin bicara itu saja, berharap mereka sadar dan menjadi petinggi yang pemimpin, bukan petinggi yang lebih suka memikirkan kepentingan sendiri. Saya juga berharap saya sendiri tidak menjadi orang-orang yang terlambat bereaksi tetapi juga tidak terlalu cepat. Itu semua hanya masalah waktu, dan tentu saja kita bisa mengaturnya kecuali hal-hal di luar kuasa kita. Jadi bagi saya yang tidak suka dengan kata “terlambat”  maka bila suatu ketika saya datang terlambat ke kantor karena hal-hal di luar kuasa saya, misalnya di tengah jalan terjebak macet karena ada kecelakaan, saya tidak akan merasa bersalah karena sebenarnya saya sudah mengatur waktu sedemikian rupa. Kejadian kecelakaan tentu di luar kemampuan saya, apalagi di jalanan Jakarta yang begitu ganas di pagi hari. Dengan pemahaman seperti itu saya juga belajar untuk mengerti orang lain yang datang terlambat karena mungkin mengalami kasus yang sama. Tetapi kalau orang yang sama begitu terus setiap hari, alamak....anda tahu sendiri kualitas orang tadi seperti apa. Di sisi lain, saya tetap menyukai kata “terlambat” dalam konteks berbeda seperti “lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali”,  yang membuat saya terpacu untuk belajar mengejar ketinggalan selagi ada waktu.  Memang sih, paling bagus ya tidak terlambat, tapi kalaupun sudah terlambat, tidak apa-apa karena kita punya kemauan untuk memulai. Seperti saya yang terlambat berlatih menulis, tetapi itu lebih baik daripada tidak sama sekali. Yah, kalau urusan belajar, saya setuju dengan istilah “tidak ada kata terlambat”. Mudah-mudahan kali ini anda setuju dengan saya!  

No comments:

Post a Comment