Wednesday, April 27, 2011

Semangat "KAIZEN"

           Saya berandai-andai dengan apa yang sedang saya kerjakan. Apakah saya bangga dengan pekerjaan saya? Apakah saya bangga dengan diri saya? Apakah saudara, keponakan, sahabat, bangga dengan diri saya? Terinspirasi dengan kalimat dari buku Life Success Triangle karya Eloy Zalukhu, “bukan tentang bagaimana kamu memulai, tetapi bagaimana kamu mengakhirinya”, saya merenungkan kembali makna kehidupan saya di dunia ini. Apakah saya sudah menjadi orang yang berarti bagi orang lain, ataukah saya terlalu sibuk dengan urusan saya sendiri, prestasi, pencapaian, dan segala tetek bengek yang berpusat pada “aku”?  Apakah selama lebih dari 30 tahun ini saya terjebak untuk terus menerus memikirkan diri sendiri sehingga sulit berbagi dengan orang lain? Apakah saya disilaukan dengan tuntutan diri akan prestasi dan cenderung selalu kecewa dengan apa yang saya miliki?
Saya menoleh ke belakang dan melakukan flashback terhadap buku kehidupan yang telah saya lalui. Seperti seorang pelari yang sedang berusaha menyelesaikan garis finish, saya menjalani lintasan yang sudah disediakan. Semua yang sudah saya lewati adalah masa lalu yang tidak mungkin diputar lagi. Saya sudah memulai lintasan tersebut dengan segala peristiwa yang tertulis di dalamnya, tetapi itu semua menjadi tidak penting ketika saya sadar bahwa suatu ketika saya harus mengakhirinya. Dan ketika saya mengakhirinya, apakah Sang Pencipta menemukan saya sedang melakukan yang terbaik yang bisa saya lakukan dan bekerja dengan seluruh potensi yang sudah Dia berikan? Ataukah Dia menemukan saya dalam kondisi terburuk dan menyia-nyiakan seluruh potensi yang sudah Dia anugerahkan?
Hari ini saya sudah mengisi buku kehidupan saya dengan segala aktivitas yang saya lakukan. Pertanyaannya, apakah semua itu membentuk saya menjadi pribadi yang lebih baik? Apakah ada semangat untuk selalu bertambah baik hari demi hari? Ataukah hari ini pun berlalu begitu saja dan hanya menyisakan kepenatan? Dalam pekerjaan kita mengenal istilah Jepang “kaizen” yang berarti “perbaikan yang berkesinambungan”. Perubahannya memang tidak dramatis, melainkan sedikit dan bertahap, tetapi dalam jangka waktu panjang akan memberikan perubahan besar. Di tempat kerja saya sekarang, semangat kaizen tersebut diadopsi menjadi istilah CONIM, continual improvement, alias perbaikan yang terus menerus. Tujuannya agar kita semakin efektif dalam bekerja dan selalu ada perbaikan yang berkelanjutan. Dengan demikian kita tidak stagnan dan terjebak dalam rutinitas yang itu-itu saja, padahal masih ada ruang perbaikan yang dapat memberikan hasil yang lebih optimal. Bayangkan, dalam pekerjaan saja kita sangat detail dan selalu berusaha melakukan perbaikan berkesinambungan, apakah kita akan melakukan hal yang sama untuk pertumbuhan diri kita?
Pertumbuhan diri yang saya maksud tentu bukan dari anak kecil menjadi remaja dan dewasa, tetapi merujuk pada pengembangan pribadi. Apa yang sudah kita lakukan terhadap diri kita? Kalau di pekerjaan, saya harus membuat minimal 2 CONIM dalam satu tahun, untuk pengembangan diri sendiri apa yang akan saya lakukan? Seperti semangat “kaizen”, sebenarnya perbaikan tersebut tidak harus selalu dramatis. Iseng-iseng saya mencoba menuliskan hal-hal apa yang telah saya lakukan untuk mengembangkan diri saya, sejalan dengan resolusi awal tahun yang sudah saya canangkan. Pertama yang terlintas adalah membaca buku. Berapa banyak buku yang telah saya baca dalam 4 bulan ini? Dengan asumsi 1 bulan 2 buah buku baru, termasuk membuat resensinya, maka seharusnya saya sudah membaca 8 buku dan membuat 8 resensi. Tetapi kenyataannya saya baru membaca 4 buku dan 1 resensi. Sangat jauh dari keinginan dan harapan. Masih ada tumpukan buku baru yang saya beli karena “gelap mata”, dan menunggu untuk saya baca.  Kedua, berlatih menulis dengan target 1 minggu 1 tulisan. Berarti dalam 1 bulan seharusnya tercipta 4 tulisan. Kenyataannya dalam 1 bulan saya baru menulis 2 tulisan, bahkan di April ini saya harus memaksa diri untuk menulis agar mencapai 2 tulisan, karena kalau tidak maka bulan ini hanya akan ada 1 tulisan. Wah, semakin jauh dari target yang sudah dicanangkan di awal tahun. Ketiga, berlatih gitar, ini adalah bagian dari pengembangan diri, dan saya sudah berkomitmen untuk berlatih minimal 30 menit setiap hari. Kenyataannya? Bolong-bolong! Kadang berlatih, tetapi lebih banyak tidaknya. Waduh, semakin parah. Keempat, berolahraga 3x seminggu, ini juga belum tercapai, baru 1x seminggu, kalau rajin hanya 2x seminggu. Kelima, membaca Alkitab sampai habis dalam jangka waktu setahun dengan mengacu pada buku renungan harian yang akan saya lakukan sebelum tidur. Wah, ini juga sama, ternyata saya lebih banyak ketiduran daripada terjaga. Keenam, ketujuh, dan seterusnya, masih ada beberapa rencana pengembangan yang akan saya lakukan, tetapi ternyata menguap seiring berjalannya waktu. Sebenarnya saya ingat, tetapi tidak memiliki semangat cukup untuk memaksa diri melakukannya dan kemudian menjadi sebuah kebiasaan.
Beberapa waktu lalu saya berbincang-bincang dengan teman satu team di bagian training, seorang admin yang bertugas mengurusi segala hal yang berhubungan dengan training, menyusun jadwal, dan mendukung kelancaran pekerjaan kami. Background pendidikannya adalah teknik elektro, dan sebelumnya bekerja di kontraktor. Meskipun saat ini masih seorang admin, tetapi dari perbincangan tersebut saya bisa mengenal lebih jauh pandangan dan harapannya. Saya baru tahu bahwa dia juga pemain band, dan memiliki jadwal manggung di cafe. Yang lebih mengejutkan, dia memiliki keinginan maju yang besar dengan mengikuti training-training pengembangan diri di bidang teknikal dengan biaya sendiri untuk mendukung hobinya mengikuti lomba perakitan robot dan sejenisnya. Saya percaya, bahwa dia sedang merajut mimpi-mimpinya untuk menjadi orang besar dan tidak berhenti sebagai admin saja!
Berkaca pada diri sendiri, saya memiliki banyak program pengembangan diri yang sudah direncanakan tetapi tidak konsisten dalam pelaksanaan. Rasa malas, capek, masih ada hari esok, sibuk, tidak ada waktu, dan beragam alasan lain menjejali pikiran saya. Uniknya,dengan serta merta saya mencari pembenaran-pembenaran atas alasan tersebut sehingga menjadi rasional dan masuk akal. Lalu akal saya yang memang saya buat untuk menerima beragam alasan itu dengan segera mengamini dan meyakini kebenarannya. Akibatnya sampai hari ini saya masih berada di titik yang itu-itu juga.  Padahal semestinya, saya bisa melakukannya dengan teratur setiap hari tanpa perlu terbebani untuk sebuah perubahan yang radikal. Sehingga kalau malam ini saya merenungkan apa yang telah saya lakukan seharian, saya tidak akan berakhir dengan kecapekan, tetapi dengan ucapan syukur bahwa saya sudah melakukan perubahan-perubahan kecil yang membawa arti dalam hidup saya. Kalaupun hari ini lembaran buku saya sudah penuh dengan tulisan dan saya belum puas dengan apa yang saya lakukan, saya masih memiliki lembaran putih untuk ditulisi keesokan harinya. Alat tulis sudah tersedia pada saya, terserah bagaimana saya akan mengisinya. Apakah akan dibuat sama seperti hari yang sudah lewat, atau ada “kaizen” yang akan saya lakukan untuk perbaikan yang terus berkesinambungan?
Merenungkan kembali kalimat “bukan tentang bagaimana kamu memulai, tetapi bagaimana kamu mengakhirinya”, menggetarkan hati saya untuk mereka ulang apa yang harus saya lakukan untuk menyelesaikan lintasan lari yang saya jalani. Saya tidak bisa memastikan apakah nantinya saya akan menjalani lari maraton, jarak menengah, atau justru jarak pendek. Itu semua di luar kekuasaan dan wewenang saya. Yang saya tahu, saya harus menyelesaikan pertandingan dengan baik. Tidak masalah bagaimana saya memulainya, karena itu semua sudah menjadi bagian dari buku kehidupan saya, yang terpenting, bagaimana saya akan mengakhirinya. Apakah saya tetap konsisten untuk berada di lintasan yang sudah disediakan, atau justru melenceng ke luar jalur? Apakah saya akan ditemukan tetap setia di akhir perjalanan, ataukah menyeberang? Apakah saya menggunakan segenap potensi yang ada dan terus menerus berubah menjadi lebih baik dan semakin baik? Ataukah saya sudah puas dengan yang ada saat ini dan tidak ada gairah untuk memperbaikinya?
Saya percaya bahwa setiap manusia bisa dikembangkan menjadi semakin baik setiap hari. Tentu saja pengembangan itu bukanlah hasil yang turun dari langit, tetapi membutuhkan kemauan dan keteguhan hati. Terkadang pujian dari orang lain untuk apa yang sudah kita lakukan tidak lagi menjadi penting, karena bukan itu esensinya. Menurut saya justru titik pandangnya adalah apakah tindakan kita berdampak bagi perbaikan diri sendiri dan orang lain. Seringkali saya terlalu sibuk membuat “pencitraan” positif atas tindakan saya, sehingga lupa untuk menggali intisarinya, sibuk mencari pujian dan pengakuan dari orang lain, tetapi lupa yang utama. Kalau dalam pekerjaan kita bisa melakukan “kaizen”, sebenarnya terhadap diri sendiri tidak ada alasan untuk tidak melakukannya. Yang dibutuhkan hanya kemauan dan kesadaran diri, juga pemahaman bahwa kita sedang berada dalam sebuah lintasan yang akan kita akhiri suatu saat. Harapannya ketika kita masuk ke garis finish, Dia Sang Pencipta akan menyambut kita dengan suka cita, dan menyebut kita “hamba yang baik”. Tidak perlu pemikiran rumit untuk melakukannya, karena “kaizen” memang tidak rumit. Yang diperlukan hanyalah perbaikan kecil yang terus menerus. Perbaikan kecil atas diri kita yang tanpa kita sadari mungkin akan berdampak besar bagi orang lain. Bagaimana menurut anda?






Tuesday, April 12, 2011

tentang kegagalan


Ini cerita tentang kegagalan dari sebuah kejadian yang sangat sederhana dan sebenarnya memalukan untuk diceritakan. Tetapi atas nama cinta, saya berusaha untuk tetap menuliskannya. Dua minggu yang lalu saya menghadapi ujian gitar untuk naik ke level 3. Sejujurnya saya sangat tidak siap dan tidak berlatih sama sekali menghadapi ujian ini karena harus ke luar kota. Bahkan 1 hari sebelum ujian saya juga tidak berlatih karena pulang sangat larut dari Tasikmalaya. Sebenarnya saya sudah merasa tidak enak dan ingin mengajukan agar ujian diundur, tetapi karena terlanjur mendaftar ujian untuk hari itu saya tetap datang dengan bermodal dengkul. Saya cuma belajar sebentar di pagi hari dan berangkat tanpa senjata apa-apa ke medan perang. Istilahnya bonek, “bondo nekat” meskipun tidak nekat juga karena sejujurnya saya sangat gugup dan tertekan. Dalam hati saya berpikir, “gila, kursus gitar kan saya sendiri yang milih, kenapa jadi stres begini?” Dan terjadilah apa yang saya takutkan! Karena panik dan merasa tanpa persiapan, saya benar-benar tidak bisa bermain dengan baik. Beberapa instruksi dari penguji saya mainkan dengan salah. Sungguh, rasanya saya ingin berlari keluar dan segera menyudahi ujian tersebut. Malu sekali pada guru dan saya sendiri. Waktu 1 jam menjadi terasa lama, dan saya semakin tidak bisa berpikir dengan baik. Saya bisa melihat kekecewaan pada wajah guru saya tetapi saya tahu bahwa saya lebih kecewa lagi! Saya sadar bahwa saya tidak layak untuk naik tingkat dan tidak sepantasnya lulus, sehingga ketika ujian selesai dengan pasrah saya minta ujian ulangan di lain hari. Mirip “remediasi” untuk anak-anak sekolah yang nilai ulangannya jelek.
Selesai ujian saya berada pada atmosfer yang sangat buruk yang bahkan membuat saya berpikir untuk berhenti kursus karena malu, termasuk berhenti bermain gitar karena merasa tidak bisa. Saya merasa tidak berbakat, tidak ada gunanya lagi berlatih, dan semua hanya sia-sia. Konsep diri dan pemikiran negatif merasuki saya dan membuat saya berpikir ulang mengenai potensi dan kemampuan yang saya miliki. Saya berada pada titik terendah yang menggoyahkan kepercayaan diri saya. Dan yang mengejutkan, itu semua diawali hanya karena saya tidak bisa melalui ujian dengan baik! Meskipun berusaha menerima kenyataan bahwa semua terjadi karena saya tidak berlatih sama sekali, saya sangat sulit menerimanya. Hal ini tentu mengherankan, apalagi bagi orang-orang yang selama ini menganggap saya sangat optimis dan penuh semangat. Bagaimana mungkin “hanya” sebuah ujian gitar (yang bisa dianggap sangat tidak penting) bisa membuat saya begitu kecewa. Tetapi begitulah kenyataannya, dan saya membutuhkan beberapa hari untuk bangkit sebelum akhirnya dengan kesadaran penuh berangkat kursus lagi. Saya berusaha keras menempatkan kegagalan tersebut  pada proporsinyha, yaitu karena saya memang tidak berlatih, bukannya karena saya tidak bisa. Justru karena saya ingin bisa, saya mengambil kursus tersebut. Enteng, ringan, sederhana, tetapi menjadi rumit bagi saya. Mungkin karena saya terbiasa dengan keberhasilan saat ujian dari sekolah dasar sampai pasca sarjana, saya menjadi sulit menerima kegagalan ujian. Padahal itu semua disebabkan karena kesalahan saya sendiri. Saya terbiasa menerima kenyataan bahwa kadang-kadang dengan belajar sistem kebut semalam saya masih bisa mendapat nilai lumayan. Ya, tetapi saya sadar bahwa medannya sungguh berbeda. Ujian sekolah adalah knowledge, bukan skill. Skill perlu latihan, bahkan “harus” latihan. Bayangkan seseorang yang belajar berenang, secara knowledge dia tahu cara berenang, tetapi tanpa menceburkan diri ke kolam renang, menggerakkan kaki dan tangan, saya jamin sampai kapanpun tidak akan pernah bisa. Itu bedanya knowledge dan skill. Saya jadi teringat dengan istilah KSA – Knowledge-Skill-Attitude, yang sering digambarkan sebagai modal keberhasilan seseorang. Kalau tadi saya sudah menyinggung mengenai K dan S, maka huruf terakhir yaitu A, memiliki peran yang tidak kalah pentingnya bagi keberhasilan. Bahkan dikatakan keberhasilan seseorang sebagian besar ditentukan oleh attitudenya. Bisa jadi ini benar, karena seperti yang terjadi pada saya, bagaimana saya bisa mahir bermain gitar kalau gagal ujian seperti itu saja saya sudah berputus asa. Apalagi hal itu disebabkan karena saya tidak berlatih dan tidak mempersiapkan diri. Haram hukumnya!
Memandang kegagalan pada proporsinya, itu yang saya lakukan. Mengevaluasi kegagalan tersebut, memperbaiki proses dan terus berlatih dengan penuh kesadaran bahwa saya pasti akan menjadi lebih baik. Sesuatu yang sangat ringan bisa menjadi sangat berat ketika saya melihatnya dari sudut pandang yang salah.
Saya teringat buku yang pernah saya baca bertahun-tahun silam dari Richard Carlson,  Don’t Sweat the Small Stuff, jangan meributkan hal-hal kecil. Saya ingat judul bukunya, paham apa yang dimaksud, tetapi sangat lemah dalam pelaksanaan. Kalau meminjam bahasa manajemen, “lemah di eksekusi”. Istilahnya NARO, No Action Read Only, banyak membaca, sedikit mempraktekkan. Wah, kalau begini bisa bahaya, seperti cerita di Alkitab tentang seseorang yang membangun rumahnya di atas pasir. Begitu banjir datang, rumah tersebut langsung roboh karena pondasinya tidak kuat. Saya berpikir, boro-boro banjir, ini hanya gerimis, rumahnya sudah roboh.  Itu terjadi karena saya tidak mempraktekkan apa yang saya baca dan saya percaya. Kalau bahasa teologisnya: percaya, tetapi tidak melakukan. Beriman tetapi tanpa perbuatan, sehingga hasilnya  adalah mati, berakhir dengan kesia-siaan.
Mungkin saya terlalu jauh mengambil kesimpulan, tetapi saya hanya ingin berbagi setelah hari Minggu kemarin tanpa sengaja saya melihat kejuaraan ice skating di Mall Taman Anggrek. Sebenarnya  saya ingin melihat IT Fair yang berakhir hari itu, tetapi ternyata ada tontonan yang lebih menarik. Kejuaraan tersebut diikuti oleh beberapa negara: Indonesia, Malaysia, Filipina, Australia, Kanada, Swiss, USA, Inggris, dan Jepang. Saya tidak tahu persis dalam rangka apa, tetapi peserta lomba adalah anak kecil dan remaja. Mungkin saja kompetisi dari sekolah internasional, tetapi yang pasti, saya percaya bahwa mereka yang ikut lomba tentu sudah mempersiapkan diri dengan sangat baik. Terbukti dengan penampilan mereka yang indah, dan gerakan-gerakan yang menyatu dengan musiknya. Meskipun berjalan di atas es dan menggunakan sepatu khusus mereka seperti berjalan di atas tanah. Seandainya saya yang bermain ice skating, pasti berjalan tertatih-tatih dan terus berpegangan pada dinding karena takut tergelincir.
Saya memiliki keyakinan semua peserta sudah memberikan yang terbaik sebagai hasil latihan yang tidak kenal lelah. Tetapi inilah yang saya lihat, beberapa peserta tidak mulus menyelesaikan gerakan tariannya karena terjatuh. Tampak jelas kekecewaaan di wajah mereka, meskipun mereka tetap menyelesaikan gerakan sampai akhir. Bahkan saya yang menonton merasa terlibat secara emosional dan bersedih ketika mereka jatuh. Saya ikut berempati, menyadari bahwa mereka pasti sudah berlatih dengan sangat keras untuk ikut kejuaraan, tetapi ternyata masih juga mengalami kegagalan. Saya teringat dengan “insiden” ujian gitar, yang terjadi karena memang saya tidak berlatih tetapi menimbulkan kekecewaan mendalam pada diri saya. Bandingkan dengan peserta tersebut yang pasti sudah berlatih keras, tetapi masih juga mengalami kegagalan. Betapa dia jauh lebih kecewa! Berlatih keras saja bisa gagal, apalagi tidak berlatih! Jadi kalau saya gagal lalu mulai berpikir negatif bahwa memang saya tidak bisa, alangkah malunya. Apakah tidak ada hal yang lebih besar untuk dipikirkan daripada meributkan hal-hal kecil yang memang terjadi sebagai konsekuensi dari apa yang saya lakukan sebelumnya?
Kejuaraan ice skating tersebut memberikan pencerahan dan penyegaran bagi saya, terutama cara memandang sebuah kegagalan. Daripada meratap yang tiada guna, kenapa tidak mengevaluasi diri dan segera memperbaiki? Terkadang langkah kita bukan dihentikan oleh hal-hal besar, tetapi justru hal kecil yang sepertinya sepele tetapi disikapi dengan cara yang salah. Saya bersyukur bisa melihat terjatuhnya para pemain ice skating, dan bagaimana mereka segera bangkit menyelesaikan gerakan seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Kegagalan ternyata hal yang sangat alamiah, karena itu perlu direspon juga secara alamiah. Bukankah memang harus ada kegagalan, sebelum kita mengenal kesuksesan? Bukankah harus ada malam, sehingga kita bisa menyebut siang? Bukankah harus ada gelap, sebelum kita menyebut terang?  Sesederhana itu....