Thursday, March 7, 2013

What's Your Dream?

Kalau ada yang bertanya kenapa dulu saya mengambil kuliah kedokteran padahal saya tidak menyukainya, saya menjawab "karena keren". Saat itu saya kelas 3 SMA, dan harus melanjutkan kuliah, sedangkan saya tidak memiliki bayangan sama sekali akan menjadi apa nantinya. Saya hanya melihat bahwa menjadi dokter dengan jas putih itu "keren", dihormati, dibanggakan, sehingga saya memutuskan mengambil jurusan kedokteran umum. Tidak ada paksaan dari orang tua atau intervensi siapapun, apalagi saya masuk melalui jalur PMDK atau tanpa test. Ketika sudah mulai kuliah dan menyadari bahwa saya tidak menyukainya, saya pun tidak mau beranjak karena "gengsi". Masak seorang Rum Martani tidak mampu kuliah kedokteran? Mau ditaruh dimana muka saya. Maka saya pun melanjutkan kuliah dan menyelesaikannya dengan cum laude, bahkan menjadi beberapa orang pertama di angkatan saya yang diambil sumpah dokter-nya. Kejadian ini berlanjut ketika saya memutuskan untuk mengambil tugas sebagai Dokter PTT padahal saya tidak suka. Semua mengalir begitu saja, karena saya tidak tahu kemana arah yang saya tuju. Maka tidak heran ketika kuliah dan bekerja sebagai Dokter PTT saya juga nyambi sebagai penyiar, sesuatu yang saya suka. Saya teringat dulu ketika masih duduk di bangku Sekolah Dasar, saya sering sekali menggunakan "jangka" -alat tulis yang digunakan untuk membuat lingkaran- sebagai mic , dengan satu kakinya saya tancapkan di meja, dan kaki lainnya saya gunakan sebagai corong. Kemudian saya berpura-pura siaran dan berkhayal menjadi penyiar terkenal. Kalau saya pikirkan sekarang, sebenarnya sejak kecil sudah kelihatan saya ingin menjadi apa, yaitu orang yang berbicara di depan umum. Entah penyiar, MC, atau apapun itu. Tetapi anehnya saya tidak tertarik untuk menjadi seorang guru atau dosen, mungkin karena saya merasa profesi tersebut kaku dan tidak bebas. Sempat mendaftar menjadi dosen di Fakultas Kedokteran almamater tetapi tidak lolos seleksi.

Tidak adanya tujuan yang jelas saat itu membuat saya berputar-putar dengan beragam profesi meskipun saya tidak pernah menyesalinya. Justru saya menganggap itu adalah pelajaran yang sangat berharga dan ingin saya bagikan kepada anak-anak muda sekarang. Seandainya saya focus dan mengerjakan apa yang saya sukai, maka 14 tahun sejak saya lulus kuliah, saya sudah menjadi seseorang yang sangat handal di apapun profesi yang saya tempuh. Sekali lagi semua bermula dari ketidaktahuan saya mengenai apa yang ingin saya capai, yang sekarang saya bahasakan sebagai "impian". Hal inilah yang membuat saya begitu terpanggil untuk berbagi dengan anak-anak muda agar mereka mengenal impiannya sejak dini dan mengejar impian tersebut dengan segenap cinta dan hasrat. Baru setelah mengenal impiannya, langkah berikutnya adalah mengetahui bagaimana caranya mengejar impian tersebut dengan menemukan lingkungan dan orang-orang yang terhubung dengan apa yang diimpikan atau membangun jejaring.

Mark McCormack dalam bukunya "What They Don't Teach You at Harvard Business School" mengisahkan mengenai penelitian yang dilakukan di Harvard antara tahun 1979 dan 1989. Di tahun 1979, para siswa lulusan program MBA (Master of Business Administration) diberi pertanyaan "Apakah Anda memiliki tujuan yang jelas dan tertulis untuk masa depan Anda dan menyiapkan rencana untuk mencapainya?". Fakta yang didapatkan sungguh mengejutkan karena hanya 3% dari lulusan tersebut yang memiliki tujuan dan rencana tertulis. Tigabelas persen lainnya memiliki tujuan tetapi tidak tertulis, dan 84% lainnya tidak memiliki tujuan yang spesifik, selain lulus kuliah dan menikmati musim panas. Sepuluh tahun kemudian, di tahun 1989, penelitian dilanjutkan dengan mewawancarai lulusan yang sama dan mendapatkan kenyataan bahwa 13% mahasiswa yang memiliki tujuan tetapi tidak menuliskannya memiliki pendapatan rata-rata 2x lebih banyak dibandingkan 84% mahasiswa yang tidak memiliki tujuan sama sekali. Yang lebih mengejutkan, mereka menemukan bahwa 3% lulusan yang memiliki tujuan dan rencana jelas serta tertulis memiliki pendapatan rata-rata 10x lebih banyak! Perbedaan yang sangat besar dan hanya disebabkan pada kejelasan tujuan yang mereka tetapkan untuk diri sendiri ketika mereka lulus. Ketika membaca ini saya tertegun dan menyadari betapa saya sudah tertinggal jauh dengan teman-teman saya yang fokus. Empat belas tahun bukanlah waktu yang pendek, dan ketika kita melakukan sebuah profesi secara terus menerus maka kita akan menjadi sangat ahli di bidang tersebut. Peribahasa mengatakan "repetition is the mother of mastery", pengulangan adalah sumber dari penguasaan. Hal inilah yang mendorong saya ingin berbagi dengan anak-anak muda, pentingnya memiliki tujuan atau impian yang jelas, agar mereka mampu mengeluarkan seluruh potensinya dan mencapai kebermaknaan hidup, karena hanya dengan mencintai apa yang dikerjakan atau mengerjakan apa yang dicintai, orang mampu mencapai prestasi tertingginya sehingga memberikan kontribusi yang maksimal untuk orang-orang di sekitarnya.

Di dalam buku "Think, Act, Love, Lose Weight" karangan Shane Jeremy James disebutkan ada tiga alasan mengapa orang tidak memiliki tujuan yang jelas. Yang pertama adalah orang menganggap bahwa menetapkan tujuan itu tidak penting. Mereka tidak percaya itu ada manfaatnya dan tidak punya waktu untuk duduk diam menuliskannya. Alasan kedua adalah karena orang tidak tahu caranya menetapkan tujuan. Tujuan tidak sama dengan harapan atau impian. Tujuan adalah harapan atau impian yang begitu nyata tertulis dan jelas. Alasan berikutnya mengapa orang tidak memiliki tujuan yang jelas adalah karena mereka takut gagal. Sebagian orang menyabotase dirinya dengan tidak menetapkan tujuan dimana dia merasa ada kemungkinan gagal di bidang tersebut. Kita perlu merubah pola berpikir kita bahwa kita tidak gagal, tetapi hanya karena kita tidak memiliki strategi yang tepat. Takut adalah sesuatu yang alami. Setiap kali kita memulai hal yang baru seperti program baru, karir baru, hubungan baru, perasaan takut pasti ada. Masalahnya adalah kebanyakan orang membiarkan rasa takut itu menghentikan mereka dari mengambil tindakan nyata untuk mewujudkan impiannya.

 Saya memutar ulang 14 tahun yang telah lewat, menikmati setiap momen yang pernah saya lalui, karena saya tahu saya tidak akan pernah bisa merubahnya. Bagian itu sudah menjadi masa lalu yang cukup untuk dilihat saja tanpa perlu disesali, karena setiap perjalanan yang telah saya lewati memberikan warna tersendiri bagi saya sekarang ini. Semuanya indah, dan "memorable". Yang terpenting adalah masa sekarang, saat ketika saya mulai menetapkan impian, menuliskannya menjadi tujuan yang jelas dan spesifik, mempersiapkan rencana untuk mencapainya, dan menggerakan seluruh pikiran dan energi ke sana. Sungguh berbahagia seandainya saat ini Anda sudah memiliki impian yang jelas dan bergerak menuju sasaran. Tetapi seandainya belum, saatnya untuk memikirkan ulang apa impian yang ingin Anda capai. Tetapi kalau pun saat ini Anda sudah bekerja di suatu tempat dan merasa tidak ada impian lagi, saatnya untuk mencintai apa yang Anda kerjakan dan memberikan seluruh hati Anda padanya. Ciptakan impian-impian baru tentang apa yang ingin Anda lakukan untuk orang-orang sekitar sehingga kita akan selalu digerakkan oleh antusiasme. Selamat berkarya dan memberikan seluruh hati Anda padanya! 

Wednesday, March 6, 2013

My Life's Journey (2003-2013)

Berhenti sebagai karyawan dan memutuskan menjadi freelance trainer adalah salah satu keputusan terbesar yang pernah saya ambil. Sepuluh tahun yang lalu, 1 Maret 2003 saya datang ke Jakarta untuk bekerja di Industri Farmasi setelah menyelesaikan tugas sebagai Dokter PTT di Puskesmas Sidorejo Lor Salatiga. Saya teringat dengan jelas sebuah momen dimana saya duduk termenung di tempat praktek sore, dan bertanya-tanya saya akan menjadi apa. Masa depan terlihat gelap dan belum ada bayangan. Saya tidak mau menjadi Dokter, tetapi juga belum tahu mau kemana. Saya hanya tahu bahwa saya suka mengajar dan berbicara di depan umum, tetapi menjadi dosen pun bukan pilihan yang tepat. Bagaimana mungkin saya menjadi Dosen Fakultas Kedokteran kalau saya tidak mencintai profesi Dokter? Akhirnya saya memutuskan berangkat ke Jakarta setelah diterima sebagai Medical Trainer di sebuah Perusahaan Farmasi. Proses menuju ke sana juga terasa dramatis. Saya teringat ketika harus interview di Jakarta sementara saya tidak punya saudara, seorang teman, yang juga mendorong saya untuk berkarir di Jakarta, menawarkan untuk tinggal di rumahnya di Kelapa Gading, bahkan saya diberi mobil plus sopir yang siap mengantar saya ke tempat interview. Tidak berhenti sampai di situ, teman saya pun mengantar saya untuk mencari tempat tinggal sampai saya mendapatkan kos di daerah Cempaka Putih, dekat dengan kantor saya yang pertama. (big thanks to dr Carla Permanasari, never forget your kindness to me). Kepindahan saya dari Salatiga ke Jakarta juga terasa mengesankan, diiringi lambaian tangan teman-teman kos yang sudah seperti saudara sendiri. Dari sinilah perjalanan dimulai, my life's journey…..

Bekerja sebagai Medical Trainer di Interbat adalah pengalaman pertama saya sebagai "karyawan perusahaan" setelah sebelumnya menjadi "Dokter Puskesmas". Di perusahaan ini pula untuk pertama kalinya saya merasakan naik pesawat terbang, menginap di hotel dan kesempatan bepergian ke seluruh Indonesia sampai Papua. Mendatangi tempat-tempat baru, bertemu kenalan-kenalan baru, merasakan bekerja dari jam 8 pagi sampai jam 5 sore. Segalanya menyenangkan, apalagi bagi saya yang baru pertama kali bekerja di Jakarta. Sebagai seorang medical trainer, saya mengajarkan basic medical knowledge dan product knowledge kepada team sales, juga presentasi ke para dokter di rumah sakit untuk memperkenalkan produk yang kami miliki. Setahun di Interbat saya mulai resah dan merasa sudah saatnya diakhiri, karena saya mulai memiliki impian untuk menjadi pembicara. Pembicara seperti apa, gambarannya juga belum jelas, entah marketing, motivasi, atau yang lainnya. Kalau saya tetap bertahan sebagai seorang medical trainer, mengajar hal-hal yang berkaitan dengan medis, maka tidak akan mungkin saya bisa menjadi seorang pembicara seperti yang saya inginkan. Apalagi saya bukanlah seorang yang scientific dan kurang tertarik dengan hal-hal medis. Aneh memang, lulusan Dokter yang tidak mau menjadi Dokter. Setelah menimbang-nimbang, saya memutuskan keluar untuk mencoba hal yang baru, marketing. Pemikiran saya waktu itu, marketing akan membawa saya ke tujuan yang ingin saya capai, Pembicara. Bukankah marketing ilmu yang universal dan laku untuk dijual?

Perusahaan kedua tempat saya bekerja, tahun 2005, adalah Tempo Scan Pacific, menjadi Product Executive dan memegang belasan produk. Enam bulan di marketing, saya ditawari atasan untuk pindah ke bagian sales sebagai Sales Supervisor. Keinginan untuk mencoba hal baru dan menambah pengalaman membuat saya menerima tawaran tersebut dan bertahan selama 5 tahun sebelum akhirnya saya kembali ke product karena merasa tidak cocok lagi. Keinginan menjadi Pembicara tidak pernah pudar, sehingga saya memutuskan untuk sekolah lagi mengambil magister manajemen sebagai bekal saya nanti waktu mengajar. Setelah menyelesaikan kuliah, saya kembali harus mengambil keputusan besar, tetap meneruskan di marketing atau banting stir ke pekerjaan yang lain, seperti yang saya inginkan. Dan saya memilih yang kedua.

Tahun 2011, Kalbe Farma menjadi tempat pemberhentian saya berikutnya, melakukan turn around dengan bergabung di HRD. What a kind of career! Berpindah-pindah dan tak jelas. Memulai sesuatu hal baru lagi dengan menjadi trainer di bidang soft skill, baik untuk kepentingan internal (mengembangkan karyawan) maupun eksternal (mengajar di outlet rekanan bisnis perusahaan). Bertemu dengan banyak outlet, merasakan kegairahan mengajar dan kegembiraan berbagi, membuat saya kembali berpikir ulang, apakah tetap menetap di sebuah perusahaan menjadi pilihan yang tepat, ketika saya merasa banyak hal tidak sejalan dengan tujuan pribadi saya. Dua bulan menimbang-nimbang, mengingat kembali 10 tahun yang lalu ketika saya duduk sendirian di tempat praktek, keinginan menjadi seorang pembicara yang waktu itu belum jelas bentuknya, tetapi sekarang semakin jelas. Kecemasan, was-was, takut, merupakan bagian dari pergumulan yang saya alami. Berdiskusi dengan rekan-rekan yang sudah lebih dulu mengambil jalur itu juga saya lakukan untuk bisa berpikir jernih dan mengambil keputusan yang tepat. Ketika gambaran itu semakin mengkristal saya merasa saatnya untuk bertindak. Pilihannya adalah sekarang atau tidak sama sekali, karena waktunya tidak lama lagi. Saya memilih sekarang, karena saya tidak ingin suatu hari nanti saya ingat bahwa saya "pernah" punya mimpi. Saya tidak ingin suatu hari nanti saya menangisi mimpi itu. Lebih baik saya menangis hari ini karena jatuh bangun daripada menangisinya di kemudian hari.

1 Maret 2013, mengawali hari menjadi orang bebas yang memperjuangkan mimpinya untuk menjadi kenyataan. Mempersiapkan diri untuk memahami bahwa tantangan dan kesulitan akan menjadi makanan sehari-hari. Tetapi bukankah secara alami kesulitan itu sudah mengiringi kita bahkan sejak kita dilahirkan? Bayangkan seorang Ibu yang harus mengejan sekuat tenaga untuk melahirkan bayi nya, penuh dengan kesakitan dan kesulitan. Tetapi hasil akhirnya adalah keberhasilan dan kebahagiaan. Sejak bayi sampai balita kita mengalami kesulitan, mulai dari belajar tengkurap, merangkak, berdiri, berjalan, berlari, dan betapa hebatnya kita yang selalu bisa mengatasinya. Jadi ketika saya memutuskan menjadi freelance trainer dan keluar dari perusahaan, yang berarti harus bersiap tidak menerima uang bulanan, di saat itulah saya memutar kembali seluruh perjalanan hidup saya dan mengamini bahwa kesulitan selalu ada, tetapi saya mampu mengatasi dan melewatinya. Ini pun akan menjadi cerita seperti itu. Saatnya melangkah dengan penuh keyakinan, bahwa selalu ada jalan ketika ada kemauan dan bahwa kita harus terus bergerak maju. Mendiang Marthin Luther King Jr mengatakan:

If you can't fly, then run
If you can't run, then walk
If you can't walk, then crawl
but whatever you do,
you have to keep moving forward

Selamat menjalani hari-hari yang luar biasa, Tuhan memberkati.

Life Begins at Forty?

Life begins at 40! Kemarin saya memasuki usia 40 dan mencoba membuktikan kebenaran pernyataan itu. Benarkah hidup dimulai di usia tersebut? Apa yang membuatnya terasa istimewa sehingga begitu diagungkan, bahkan menjadi inspirasi sebuah karya? Di tahun 1980, almarhum John Lennon menciptakan sebuah lagu yang berjudul Life Begins at 40, ketika yang bersangkutan memasuki usia tersebut. Jauh sebelumnya, Walter B. Pitkin, seorang penulis Amerika mengarang sebuah buku yang berjudul Life Begins at Forty di tahun 1932. Sebegitu dahsyat kah usia 40 sehingga menjadi fenomenal? Saya menilik diri sendiri dan bertanya-tanya adakah hal istimewa yang saya rasakan? Jawabannya: ada, tangan penyertaan Tuhanlah yang membawa saya ke usia 40. Empat puluh tahun menjalani hari demi hari bukanlah waktu yang pendek, dan ngeri rasanya kalau saya harus berjalan sendiri. Hal istimewa lainnya adalah pindah ke rumah sendiri dan melangkah keluar dari rutinitas bekerja di perusahaan untuk mewujudkan sebuah impian menjadi kenyataan. Kegalauan apakah saya bisa bertahan hidup ketika memutuskan untuk mandiri terkadang mengganggu pikiran, tetapi fakta bahwa burung pun dipelihara oleh Pencipta membuat saya yakin akan keputusan tersebut. Semua terjadi di usia saya yang ke-40. Kalau begitu benarkah life begins at forty? Tidakkah sebenarnya usia itu hanya masalah pikiran, state of mind, seperti penggalan lirik lagu John Lennon:

They say life begins at forty,
Age is just a state of mind,
If all that's true,
You know that I've been dead for thirty nine.

Kalau hidup dimulai di usia 40, apakah itu berarti selama 39 tahun
ini saya mati alias ada tapi tidak ada? Bukankah hidup itu berarti berkarya? Saya sedang bertanya-tanya tentang apa yang sudah saya lakukan selama ini untuk orang lain dalam 40 tahun kehidupan saya. Jangan-jangan saya terlalu sibuk dengan urusan saya sendiri dan egois menjalani hidup. Bukankah justru itu pertanyaan yang mendasar, bahwa kehidupan diukur dari apa yang sudah kita lakukan untuk orang lain, kontribusi yang kita berikan, dan bukan apa yang kita lakukan untuk diri sendiri? Apakah selama 40 tahun saya seperti bangsa Israel yang dihukum Tuhan, berputar-putar di padang gurun karena tegar tengkuk sebelum akhirnya masuk ke Tanah Perjanjian? Saya merenungkan semua itu, mengingat yang telah lewat dan menyadari betapa perjalanan saya seperti sebuah roller coaster, naik turun, cepat lambat, memicu ketegangan tetapi juga rasa rileks yang luar biasa setelah semuanya teratasi. Menengok ke belakang dan membuka ulang buku kehidupan membuat saya menyadari betapa Tuhan sangat menyayangi saya, lebih dari siapapun orang-orang terdekat selama ini. Tidak pernah sekalipun meninggalkan dan melupakan saya, apapun hal buruk yang saya lakukan. Tidak pernah sekalipun memaksakan kehendakNya, membiarkan saya melakukan hal-hal bodoh sesuai kehendak bebas yang saya miliki, tetapi kemudian membawa saya kembali kepadaNya dengan peristiwa-peristiwa menyakitkan yang saya alami. Dalam suka dan terutama duka Dia selalu ada, seperti jejak langkah di pantai yang hanya berisi jejak langkahNya karena saya digendong di kehangatan kasihNya. Tidak ada hal yang bisa menjadi alasan saya untuk tidak bersyukur dengan apa yang sudah saya alami menuju usia 40. God is good all the time, bahkan ketika kita tidak menjadi a good man. Ucapan selamat ulang tahun dan doa yang diberikan dari keluarga dan teman menggandakan berkat yang saya terima. Saya berbahagia menyadari bahwa ada orang-orang di sekitar saya yang mengingat dan menyimpan saya di dalam hatinya.

Tertantang dengan istilah life begins at forty, saya berselancar di internet mencoba menemukan jawabannya. Salah satu tulisan yang saya baca mengatakan bahwa pada usia 40, biasanya pria dan wanita sudah mencapai kemapanan dan memenuhi impian mereka, meskipun banyak juga yang merasa belum melakukan apa-apa atau mencapai prestasi untuk dirinya ataupun keluarganya. Usia 40 juga saat dimana seseorang ingin berbuat sesuatu yang berarti dalam hidup, berbuat sesuatu yang berbeda, mencapai hal-hal yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan, sehingga semangat hidup yang luar biasa muncul kembali. Secara fisik usia 40 ditandai dengan mulai menurunnya fungsi organ-organ tubuh, sehingga harus lebih berhati-hati dalam menjalani pola makan dan gaya hidup. Dikatakan juga bahwa pada usia tersebut, orang mulai merasa canggung karena secara umur tidak muda lagi tetapi juga belum masuk usia tua. Di usia 40 orang juga dituntut untuk bisa menjadi panutan dan teladan bagi sekeliling mereka. Intinya dianggap sudah matang, dan mampu memberikan pencerahan bagi diri sendiri maupun orang lain. Tetapi benarkah life begins at forty? Sekali lagi bagi saya itu hanyalah state of mind yang menyentuh sisi emosional. Kalau yang dimaksud kehidupan adalah ketika kita bisa memberikan arti bagi diri sendiri dan orang lain, rasanya tidak perlu menunggu sampai usia 40. Kalau patokannya matang dalam karir, saat ini banyak anak-anak muda yang sudah berprestasi di bawah usia tersebut. Jadi sebenarnya nikmati saja berapapun usia kita saat ini, tidak perlu menunggu usia 40 untuk memulai kehidupan yang berarti. Tetapi kalau saat ini kita sudah 40 atau lewat 40 dan belum memberikan kontribusi, mulailah untuk menata diri sehingga tidak hanya sekedar "hidup" tetapi ada "kehidupan" yang berkualitas.

Saya duduk dan memaksa diri menulis apa yang saya rasakan semalam. Terasa berbeda karena usia saya tidak lagi dimulai dengan angka 3 tetapi 4, saya sudah tinggal di rumah sendiri, dan memulai langkah baru untuk mencapai impian yang terus terngiang di benak saya, trainer dan writer. Hari ini saya kembali menjalani waktu yang terus berputar. Semestinya saya tidak lagi sama, tetapi semakin berkualitas seiring dengan pertambahan usia. Kalau sampai saat ini saya masih diberi kesempatan untuk hidup, itu artinya saya harus berbenah dan menjadikan hidup saya bermanfaat. Lebih sehat, sabar, dan tidak emosional. Berlaku bijak dan bajik menjalani hidup ini. Di sisi lainnya, tidak perlu menunggu sampai usia 40 untuk memulai sebuah kehidupan yang berkualitas kalau kita bisa melakukannya saat ini juga. Selamat menjalani hidup dengan penuh syukur dan menjadikan diri kita sebagai karya nyata!