Sunday, November 18, 2012

Matang Pohon


Mangga harum manis “matang pohon” = Rp 23.900, mangga harum manis “super” = Rp 14.500, mangga harum manis “harga special” = Rp 8.900. Beraneka jenis mangga tersedia di sebuah toko buah tempat saya membeli buah dan sayur. Sebenarnya saya lebih suka berbelanja di pasar tradisional, tetapi akhir-akhir ini saya beralih ke toko buah karena mencari sayuran organic. Meskipun begitu, kebutuhan buah sehari-hari yang berkulit seperti pisang, melon, alpukat, jeruk, tetap tersuplai dari pasar, sedangkan buah yang bisa langsung dimakan dengan kulitnya seperti apel, pir, saya beli di toko. Alasannya sederhana, di toko lebih fresh dan ‘terkadang’ lebih murah.


 Pandangan saya berhenti di jajaran mangga karena ada beragam jenis yang ditawarkan. Harum manis, manalagi, gedong gincu, dan indramayu. Saya terdiam sesaat di depan mangga matang pohon dan memegang-megang buahnya. Sangat menarik, dan ingin mencoba kenikmatannya. Bukankah matang pohon identik dengan buah yang manis? Harganya hampir 3 kali lipat dibanding yang biasa, tetapi sangat menggoda. Meskipun demikian, saya agak ragu dengan tampilannya karena banyak yang masih keras, berwarna hijau, dan tidak menunjukkan tanda-tanda kematangan. Intinya tidak seperti mangga harum manis “harga special” yang tampak menguning dan harum. Ada sebersit ketidakpercayaan dan was-was untuk membeli karena takut tidak enak. Sudah mahal, asam, rugi banget!  Walaupun di papan penunjuk tertulis “matang pohon”, yang menjelaskan bahwa mangga tersebut sudah matang, saya tetap memanggil petugas toko untuk memastikan apakah mangga tersebut sudah matang atau belum sekaligus minta dipilihkan yang manis. Dengan tersenyum petugas toko mengatakan bahwa semua mangga yang tersedia tersebut sudah matang dan manis, jadi meskipun penampakannya hijau dan keras, sebenarnya itu sudah matang. Saya cukup diyakinkan dengan penjelasan tersebut dan membeli beberapa buah mangga sebagai pemuas keingintahuan saya.


Buah matang pohon tentu jaminan mutu. Dengan harga sepuluh ribu rupiah 1 biji, saya membayangkan alangkah lezatnya. Bandingkan dengan harga sepiring nasi, sayur, tempe, dan telur mata sapi di warung tegal yang berada di kisaran harga yang sama tetapi sudah mengenyangkan. Cukup menyesakkan, tetapi karena penasaran saya tetap membelinya. Biasanya dengan sepuluh ribu rupiah saya mendapatkan 1 kg mangga, tetapi sekarang 1 biji saja. Lalu apa bedanya? Ketika saya menikmati mangga tersebut, yang ada hanyalah rasa manis, enak, dengan sedikit gas, tanpa sedikitpun rasa asam. Nikmat dan segar. Bahkan kalau diminta untuk membeli lagi saya tidak keberatan karena sangat memuaskan.


Matang pohon jelas berbeda dengan buah yang diperam. Kenapa menjadi mahal, kemungkinan karena proses perawatannya membutuhkan tenaga dan waktu yang lebih lama. Sedangkan buah yang diperam tidak perlu menunggu matang karena akan dikarbit untuk mempercepat proses pematangan. Itulah mengapa, terkadang ada mangga yang berwarna kekuningan, harum, tetapi memiliki rasa yang tidak semanis tampakan luarnya. Itu semua karena buah tersebut “dibuat” matang, dan bukan matang alami. Kalau matang pohon, rasakan bedanya.


Hal sederhana ini membuat saya merenung, bahwa buah pun memiliki perbedaaan antara “matang pohon” dengan “matang dikarbit”. Penampakan luarnya bisa sama, tetapi rasanya berbeda. Seperti manusia yang seringkali ingin mempercepat proses dan mendapatkan hasilnya, tetapi ternyata hukum alam mengatakan bahwa proses harus dilalui sempurna untuk mendapatkan hasil yang sempurna. Alam tidak pernah “jump to result”, setidaknya itu yang bisa dipelajari dari buah-buahan. Proses yang benar akan menciptakan hasil sempurna, kualitas prima, dengan harga maksimal. Tetapi yang terjadi biasanya manusia ingin cepat, hanya melihat hasilnya saja. Seperti ketika saya makan di sbuah rumah makan seafood dan menyaksikan ramainya orang makan di sana. Wah, enak benar jadi pengusaha, kalau hasilnya seperti ini pasti  kaya raya. Penilaian yang sangat superficial karena saya tidak melihat apa yang terjadi sebelumnya, proses yang harus dilalui, jatuh bangun, sampai menjadi seperti sekarang.  Contoh yang lain, melihat seorang rekan yang menjadi pembicara motivasi, dengan harga fantastis hanya untuk berbicara selama 2 jam, seringkali membuat saya cemburu dan berpikir “gitu aja saya juga bisa”, tanpa menyadari proses yang sudah dilalui, bahwa selama lebih dari 10 tahun membangun karir, diawali dengan berpuluh kali ditolak perusahaan-perusahaan ketika menjajakan materinya, sampai tidak dibayar pun mau yang penting punya kesempatan berbicara, itulah yang sudah dilalui untuk menjadi seperti sekarang. Itu semua adalah proses pematangan, sehingga wajar kalau sekarang memetik hasilnya.


 Saya percaya kehidupan kita mengikuti hukum alam. Tidak ada hasil yang “tiba-tiba”, semua melalui proses. Kalau prosesnya dipercepat  alias dikarbit, hasilnya pun kurang manis, kualitas tidak terjamin. Seperti ratusan mangga karbitan yang ada di dalam box, seringkali kita menemukan sebagian diantaranya masih asam meskipun dari luar tampak matang. Karena itu jangan heran harganya jauh lebih murah dibandingkan dengan mangga “matang pohon”.  Kesuksesan, kepemimpinan, kedewasaan karakter, semua melalui proses. Istilah instan cukup menjadi milik kopi, mie, bubur, dan sejenisnya. Bahkan gadget paling canggih pun hanya berfungsi mempermudah hidup kita, bukan menggantikan proses yang harus dilalui. Karena itu jangan pernah berharap naik pangkat kalau kita tidak menjalankan proses pematangan dengan benar. Intinya mengerjakan segala sesuatu di atas standar yang telah ditetapkan, kalau itu sudah dilakukan tinggal menunggu waktu saja. Hukum alam tidak pernah meleset. Contoh lain kalau saat ini Anda seorang pemimpin dan ingin menjadi pemimpin hebat yang disegani, jangan mundur ketika dihadapkan dengan berbagai proses pematangan melalui peristiwa-peristiwa yang harus Anda hadapi dan selesaikan.


Sekali lagi tidak ada “karbitan” yang semanis “matang pohon”. Setiap pencapaian di dalam hidup ini terbentuk melalui proses pematangan hari demi hari. John C Maxwell mengatkan “sukses dibangun setiap hari”, jadi tidak ada yang “tiba-tiba”. Proses ini pasti menyita waktu, tenaga, dan emos, tetapi percayalah ada buah yang manis di akhir nanti. Bahasa bekennya “semua indah pada waktunya”. Waktunya adalah ketika proses sudah dilalui dengan sebaik-baiknya, yang terbaik dari diri kita, sehingga membentuk karakter dan mempersiapkan kita naik ke tangga berikutnya. Jangan pernah mau menjadi “karbitan”, ikuti hukum alam.  Alam sudah menyediakan banyak pembelajaran, dari peristiwa sehari-hari. Selamat menjalani proses dengan suka cita dan menjadi orang yang “matang pohon”.

Monday, November 12, 2012

Nasi Goreng Kereta (dan perubahan)


Nasi goreng kereta! Itu istilah saya untuk sajian nasi goreng yang dijajakan di restorasi kereta api. Saya sangat merindukannya setelah bertahun-tahun absen naik kereta sampai akhirnya saya harus ke Tegal. Sejak membeli tiket di Gambir, hati saya sudah dipenuhi gambaran tentang nasi goreng  dan dengan seru membicarakannya dengan teman-teman kantor. Geli juga menyadari bahwa mereka memiliki kenangan yang sama, terutama teman-teman perantauan dari daerah Semarang-Solo-Jogja. Nasi goreng, telur mata sapi, irisan tomat dan mentimun, serta kerupuk kecil terbungkus plastik sebanyak 2 buah. Menggelikan, karena jumlah kerupuknya pun kami masih ingat!

Gambir am coming! Senang rasanya menjejakkan kaki ke stasiun ini lagi, dan menyadari bahwa Gambir sangat berubah. Bersih, tertata rapi, begitu juga toiletnya, jauh berbeda dengan beberapa tahun yang lalu. Ketika masuk peron, saya disambut dengan petugas yang meminta kartu tanda pengenal untuk dicocokkan dengan tiket yang saya bawa. Stempel “sesuai identitas” akan segera diberikan kalau nama yang tertera di tiket sama dengan kartu pengenal. Sayangnya saya tidak menemukan kejadian seandainya ada tiket yang tidak sesuai dengan kartu pengenal, apakah tidak boleh masuk atau tetap diizinkan. Mungkin hal ini dilakukan oleh kereta api untuk menurunkan insiden “calo” yang sering membeli tiket tanpa mencantumkan nama. Perubahan lain adalah tidak diizinkannya pengantar untuk masuk peron, sehingga hanya sampai di depan saja, dan  membuat peron menjadi lebih longgar, banyak tempat duduk. Setelah masuk ke peron saya kembali dibuat kagum dengan perubahan yang ada, yaitu tersedianya dua buah charger box dengan beberapa panel kontak, sehingga sangat memudahkan pengguna handphone yang baterainya mati. Ada juga fasilitas internet gratis, dengan kecepatan yang sangat baik dan sebuah pesawat telepon yang disediakan untuk percakapan gratis 3 menit dengan syarat nomor yang dihubungi adalah provider sponsor. Iseng-iseng saya mencoba mengetes apakah berfungsi dengan baik, dan ternyata memang bisa digunakan.

Akhirnya kereta yang saya tunggu tiba juga. Ketika masuk gerbong saya kembali dibuat kagum dengan inovasi yang dilakukan kereta api. Di setiap tempat duduk ada 2 buah panel kontak yang terletak di dinding kereta, sehingga penumpang tidak takut kehabisan baterai. Bagi saya ini inovasi yang sangat mengerti konsumen, karena dengan lama waktu perjalanan yang panjang, konsumen direpotkan apabila kehabisan baterai di tengah jalan. Hal ini juga sangat membantu bagi penumpang yang menggunakan laptop atau gadget lainnya tanpa takut kehabisan baterai. Sebenarnya saya sudah menyiapkan power bank untuk cadangan karena mempertimbangkan bahwa perjalanan selama 5 jam akan membuat baterai handphone saya habis, sementara mungkin saja ada hal-hal penting yang harus saya komunikasikan. Adanya panel kontak tersebut membuat saya merasa nyaman dan aman. Sungguh, kereta api sangat mengerti pelanggan.

Saya duduk tenang menikmati perjalanan sambil menunggu makan siang, tetapi alangkah kecewanya ketika petugas restorasi mengatakan bahwa nasi gorengnya sudah habis. Terpaksa saya menunda keinginan tersebut sampai keesokan harinya ketika saya harus kembali ke Jakarta. Bahkan saya berjanji untuk segera ke restorasi begitu masuk gerbong karena tidak mau kehabisan lagi. Hahaha! Setelah memendam keinginan akhirnya rasa penasaran saya terobati keesokan harinya dengan sepiring nasi goreng di depan mata. Ada sedikit perubahan karena tidak ada tomat , tetapi ada penambahan daging ayam. Krupuk kecilnya masih sama. Saya tersenyum geli, update status sebentar, dan mulai menikmati 1 sendok pertama. Mengunyah, dan merasakan kelezatannya sampai titik terakhir. Enak, tetapi saya merasa tidak seenak dulu. Dulu ketika kereta menjadi pilihan, saya sangat menikmati nasi goreng dan menganggap rasanya sungguh enak. Tetapi sekarang terasa biasa saja. Lalu apanya yang berubah?  Nasi gorengnya, saya atau dua-duanya?

Nasi goreng, Gambir, dan kereta api mengingatkan saya bahwa perubahan selalu terjadi, baik pekerjaan, keluarga, teman, atau apapun yang ada di sekitar kita. Seringkali kita resisten terhadap perubahan dan tidak mau mengikutinya. Seperti stastiun Gambir yang telah berubah menjadi lebih cerah, nasi goreng kereta pun bisa berubah.  Dulu saya menganggapnya enak, tetapi mungkin sekarang lidah saya sudah terbiasa merasakan yang lebih enak, sehingga menjadi biasa saja. Seringkali kita begitu stagnan dan menolak perubahan padahal perubahan datang kapan saja. Seorang teman yang baru saja kehilangan anak buahnya karena diberhentikan mau tidak mau harus mengambil alih pekerjaan sampai ada penggantinya. Berat karena menambah pekerjaan, tetapi sebagai seorang pemimpin, itu adalah resiko yang harus ditanggung, dengan tuntutan target yang tidak berubah. Yang bisa dirubah adalah sikap kita, menjalani tanpa meratapi.

Nasi goreng kereta, meskipun sederhana mengingatkan saya akan satu hal, perubahan terus terjadi, bahkan ketika kita mungkin tidak mengharapkannya. Lalu apa yang harus kita lakukan? Resisten, atau menganggap itu sebagai tantangan yang harus dijalani? Pilihannya ada di tangan kita masing-masing. Tidak ada yang salah dengan perubahan, karena mengikuti atau tidak, hidup akan terus berputar.  Seperti ketika saya menikmati nasi goreng kereta, rasa yang saya lukis di otak berbeda dengan kenyataan yang ada, sehingga walau kerinduan terobati tetapi sensasi yang dibawa tidak seperti yang dibayangkan. Meskipun demikian saya tetap puas dan menyadari bahwa itu adalah bagian dari perubahan. Entah nasi gorengnya yang berubah, saya yang berubah, atau dua-duanya, semuanya mungkin dan sah-sah saja. Perubahan adalah sesuatu yang natural dan terjadi setiap hari tanpa henti, tinggal bagaimana kita menjalani  dan berteman dengan perubahan tersebut. Selamat menikmati perubahan, enjoy saja!

Monday, November 5, 2012

Kebanggaan = Efek Samping


Saya bangga bukan main ketika mendengar kabar bahwa Sadu, keponakan saya yang kuliah di Teknik Sipil melaju ke final Lomba Karya Tulis Ilmiah tentang grand design bersama 2 orang temannya. Wah, hebat nian! Mungkin kebanggaan seperti inilah yang dirasakan oleh banyak orang tua terhadap anaknya, sehingga tak jemu-jemu bercerita tentang keberhasilan putra putrinya. Terkadang saya melihat profil picture mereka dihiasi oleh gambar anaknya yang menjadi juara, entah prestasi akademis atau lainnya. Kebanggaan saya juga dipicu karena semasa mahasiswa saya belum pernah ikut lomba semacam itu. Saya bahagia dengan kabar tersebut dan memberikan masukan kepada orang tuanya agar Sadu mencari beasiswa ke luar negeri untuk kelanjutan belajarnya. Saya merasa pendapat saya sangat baik, tetapi jawaban orang tuanya sungguh menarik, yaitu “terserah anaknya”.  Kata “terserah anaknya” terasa sangat provokatif ketika banyak orang tua merasa paling mengerti  yang terbaik untuk anaknya. Seperti kita yang terkadang merasa paling tahu tentang hidup orang lain, dan tidak menyadari bahwa hidup mereka adalah milik mereka, bukan milik kita. Persis seperti orang tua yang sibuk mengkursuskan anaknya dengan beragam aktivitas seperti piano, balet, gitar, dan lain sebagainya, hanya karena dahulu mereka tidak mendapatkan kesempatan untuk kursus seperti itu dan sekarang mendorong anaknya melakukan hal-hal yang tidak bisa mereka lakukan, yang belum tentu sesuai dengan minat dan bakatnya.
Beberapa waktu lalu seorang teman bercerita penuh semangat mengenai anaknya yang ditunjuk untuk mewakili sekolah dalam lomba menggambar dengan menggunakan komputer. Saya merasakan kebanggaannya yang meluap-luap, padahal hanya lewat blackberry messenger. Teman saya bercerita dengan antusias bahwa ternyata bakat seninya menurun pada anak, sedangkan keahlian bermain computer menurun dari suaminya. Saking bahagianya dia mengatakan bahwa sungguh menyenangkan menyadari sang buah hati mewarisi bakat tersebut. Sejurus kemudian profil picturenya berganti-ganti, antara foto anaknya yang sedang menggambar dengan hasil gambarnya. Saya geli mendengar cerita dia, karena beberapa waktu sebelumnya, teman saya mengomel panjang lebar mengenai kelakuan para Ibu di sekolah yang sibuk mengikutkan putra putrinya ke lomba ini dan itu padahal sang anak tampak cuek-cuek saja.

Saya menarik benang merah bahwa sebuah prestasi atau perbuatan baik yang ditorehkan selalu membawa kebanggaan bagi orang-orang terdekat. Meskipun tidak menjadi pelaku, tetapi keberhasilan yang dicapai membawa kebahagiaan tersendiri. Hal ini pula yang saya amati pada acara final I2C (Idea to Customer) Award untuk teman-teman marketing dan BasO (Basic Operation) Competition untuk team sales di kantor tempat saya bekerja. Para finalis yang maju, 7 dari I2C dan 7 dari BasO, terseleksi dari puluhan peserta yang ada. Saya melihat begitu besar antusiasme supporter dalam memberikan semangat kepada finalis yang maju sehingga terbangun atmosfer yang sangat positif bahwa mereka memiliki kebanggaan terhadap rekannya yang bertanding.  Bahkan ketika hasil kompetisi tidak seperti yang diharapkan, para supporter tidak putus-putusnya memberi dukungan. Maju ke final dan menyisihkan puluhan peserta adalah prestasi besar, sehingga sangat pantas untuk dihargai, meskipun belum menjadi pemenang.
Kebanggaan, itulah yang tampak pada kisah yang saya sampaikan. Saya bertanya kepada diri sendiri, apakah saya sudah memberikan kebanggaan kepada orang-orang terdekat selama ini, ataukah justru kekecewaan? Apakah kebanggaan mereka begitu penting artinya, jauh melebihi kebanggaan saya terhadap diri sendiri? Apakah saya “terjebak” dengan usaha memberi kebanggaan sehingga kebanggaan orang lain terhadap saya menjadi satu-satunya tujuan hidup? Saya mencoba merenungkan pertanyaan tersebut karena terusik hasil percakapan dengan seorang teman baru-baru ini. Ketika berbicara mengenai kebanggaan, teman saya mengatakan bahwa dia berkewajiban membuat orang tuanya bangga terhadap dirinya melalui dua hal yaitu jabatan dan uang. Teman saya meyakini bahwa kedua faktor tersebut sangat menentukan, terbukti setiap orang tuanya bercerita tentang keberhasilan anak-anak orang lain selalu diukur dari kedua hal itu. Inilah yang membuat dia masih bertahan dengan pekerjaannya sekarang walau merasa tertekan. Meskipun kurang sependapat, saya mencoba memahami bahwa setiap orang memiliki sudut pandang yang berbeda. Pertanyaannya, apakah kebanggaan orang tua terhadap kita adalah satu-satunya tujuan yang kita kejar dalam hidup ini? Kenapa tidak berpikir sebaliknya bahwa ketika kita menjadi yang terbaik dalam “kehidupan versi kita”, maka kebanggaan itu akan menyusul? Menjalani hidup dengan bertujuan memberikan kepuasan dan kebanggaan orang lain merupakan harga yang terlalu mahal untuk dibayar, karena kita berusaha hidup dengan “ukuran” orang lain.

Saya sampai pada kesimpulan bahwa sebenarnya kebanggaan bukanlah tujuan tetapi efek samping. Seperti Sadu yang masuk final Lomba Karya Tulis Ilmiah, saya percaya tujuan awalnya bukan untuk kebanggaan orang tua, tetapi ekspresi diri untuk berkarya, atau anak teman saya yang pasti sama sekali tidak paham apa itu kebanggaan orang tua selain menggambar dan menggambar, demikian juga para finalis kompetisi I2C dan BasO yang awalnya hanya ingin melakukan yang terbaik di dalam pekerjaannya. Menyadari hal tersebut, saya belajar menghargai diri dengan apa yang saya lakukan sekecil apapun, dan tidak berusaha membuat orang lain bangga dengan apa yang saya lakukan. Kebanggaan terlahir dari sebuah prestasi yang dicapai karena kerja keras dan keinginan memberi yang terbaik. Saya percaya dengan spirit seperti itu, maka kebanggaan orang lain terhadap kita akan muncul dengan sendirinya. Kita tidak disibukkan dengan keinginan membanggakan orang lain karena yang terpenting bukanlah pendapat mereka tentang kita tetapi apa yang kita lakukan di dalam kehidupan kita. Persis seperti kata kakak saya yang mengatakan “terserah anaknya”, karena yang paling tahu tentang potensi, minat dan kemauannya adalah dia sendiri.  Kebanggaan adalah efek samping, bukan tujuan. Karya terbaik, itulah tujuan kita, dan ketika kita mencapainya, kebanggaan orang lain terhadap kita tinggal menunggu waktu saja.