Saturday, July 21, 2012

Selamat tinggal Selong...


Selamat tinggal Selong. Saya membisikkan kalimat tersebut ketika mobil yang saya naiki bergerak meningggalkan Lombok Timur  menuju Mataram,  satu minggu yang lalu.  Perasaan haru menyeruak setelah selama 2 hari penuh saya memberikan pelatihan di RS Namira, satu-satunya RS swasta di kota kecil itu.  Baru kali ini saya merasa salah kostum ketika memberikan pelatihan, bukan karena saya tidak memakai jas, tetapi justru karena saya memakainya! Saya kaget dengan penampilan sebagian peserta yang “apa adanya”, menggunakan sandal jepit, bahkan ada yang tidak menggunakan alas kaki sama sekali. Sebagai orang yang lahir di “kota” dan terbiasa rapi untuk acara-acara resmi, saya sempat bengong ketika melihat mereka, tetapi sekejap kemudian terbahak-bahak dalam hati. Wah, pengalaman unik yang tidak saya dapatkan di tempat lain. Begitu juga pesertanya sangat beragam, dari anak muda sampai usia lanjut, dari dokter sampai cleaning service, yang membuat saya memutar otak untuk berbicara dengan bahasa sederhana dan mudah dimengerti. Meskipun dari wajah-wajah mereka saya melihat ada orang-orang yang belum mampu memahami apa yang saya sampaikan, tetapi saya berharap ada 1 atau 2 hal sederhana yang bisa mereka dapatkan. Pantaslah kalau sehari sebelum pelatihan, pemilik RS meminta saya untuk memberikan hal-hal yang ringkas dan tidak terlalu banyak karena tidak akan masuk ke peserta. Ternyata benar adanya….

Saya bersyukur bisa datang ke kota ini, berkenalan dengan suami istri pemilik RS yang rendah hati. Lima tahun yang lalu mereka datang ke Selong, membuka klinik sampai akhirnya menjadi rumah sakit. Sang istri adalah dokter spesialis penyakit dalam yang memang ditempatkan di kota kecil ini karena menjalani wajib kerja spesialis. Tetapi sekarang mereka justru jatuh cinta dengan Selong dan bertekad membantu membangun kota ini melalui rumah sakit yang mereka dirikan. Karyawan-karyawannya hampir semua orang Selong, meskipun untuk tenaga profesional seperti dokter, perawat, bidan, beberapa masih impor dari luar daerah. Tetapi pos pos lain seperti dapur, cleaning service, keamanan, diambilkan dari Selong. Bahkan yang menarik, ketua RT setempat di sekitar RS dikaryakan juga sebagai petugas keamanan. Selain pemberdayaan, sebenarnya juga bertujuan untuk menjaga rumah sakit dari gangguan luar.

Kejadian yang membekas, selain balada alas kaki, adalah kebiasaan mereka membuang sampah seenaknya meskipun ada tempat sampah. Saya mengalaminya, ketika beberapa peserta membuang begitu saja bungkus permen di lantai saat mengikuti pelatihan.  Memang pemilik RS sudah pernah bercerita sebelumnya bahwa kebiasaan membuang sampah  masih sangat buruk tetapi saya tidak menyangka kalau mereka “tega” membuang bungkus permen di lantai yang bersih dan mengkilat.  Akhirnya saya mengajak mereka untuk membersihkan, dan membuangnya di tempat sampah.  Bagi saya, ini justru merupakan pembelajaran yang sangat baik, karena peserta langsung mendapatkan pengalaman dari hal nyata yang tampak di depan mata. Selain kebesihan, kedisiplinan juga menjadi masalah, terutama jam kedatangan. Bahkan menurut informasi, rapat-rapat di kantor pemerintah juga terbiasa untuk molor 1 jam atau lebih. Pelatihan yang seharusnya mulai jam 8, mundur menjadi jam 9.  Syukurlah di hari ke-2, peserta sudah datang tepat waktu.

                Saya menutup malam terakhir di Selong dengan makan bersama di warung kelor yang sangat terkenal di kota itu. Sayur khasnya adalah sayur kelor, seperti sayur bayam, tetapi daunnya lebih kecil dan bulat-bulat. Rasanya pun hampir sama. Tetapi yang lebih menggugah selera adalah makanan hasil laut seperti ikan, cumi, dan udang. Besar, enak dan segar! Benar-benar fresh, karena kota ini sangat dekat dengan pelabuhan dan lautnya pun masih perawan. Sangat berbeda dengan seafood di Jakarta, apalagi kalau melihat pelabuhan Muara Karang yang airnya hitam pekat. Sungguh makan malam yang nikmat, dengan perbincangan yang mengalir di antara kami, membahas Selong dan keunikannya. Keingintahuan saya tentang “alas kaki” akhirnya terbayar lunas ketika pemilik menceritakan bahwa masyarakat di kota ini belum terbiasa berpakaian “pada tempatnya”, Bahkan ketika diundang ke pesta pernikahan pun ada yang datang dengan sandal jepit. Perlu waktu untuk mengedukasi karena Selong cenderung tertutup, tidak seperti Mataram yang penduduknya sudah beraneka ragam. Padahal kota ini kaya, tanahnya subur, hasil lautnya melimpah, tetapi sumber daya manusia-nya masih rendah.

Pelatihan 2 hari di Selong sudah selesai. Mobil yang saya tumpangi melaju ke Mataram. Hamparan sawah, bukit, dan perkebunan tembakau yang biasa saya lihat di pagi hari mulai ditinggalkan. Jarak tempuh Selong-Mataram membutuhkan waktu sekitar 2 jam. Kalau di Jakarta, waktu tempuh 2 jam ke suatu tempat terasa biasa karena terjebak macet di mana-mana. Tetapi di Lombok, waktu tempuh 2 jam terasa panjang.  Saya menikmati malam di perjalanan dengan banyak kenangan tentang kota ini.  Meskipun hanya 2 hari, saya berharap memberikan manfaat kepada mereka untuk membuka wawasan tentang pentingnya hal-hal sederhana seperti kebersihan, kedisiplinan, baik dalam pekerjaan maupun dalam kehidupan sehari-hari dan mau berubah untuk melakukannya. Mulai dari diri sendiri, dan terus menerus dilakukan sehingga menjadi sebuah kebiasaan. Waktu terus merambat, saya berharap segera sampai di Mataram dan beristirahat. Selamat tinggal Selong, entah kapan bisa ke sana lagi….

               

               

Tuesday, July 3, 2012

(Personal) Branding


“Wah, Jokowi!” Teriak seorang teman kantor ketika saya mengenakan baju kotak-kotak di hari Jumat. Saat berjalan ke divisi lain pun, komentar “Jokowi” tidak pernah lepas dari telinga saya, yang membuat saya tersenyum lebar dan menjawab sekenanya “Pastinya…” Itu yang kasat mata. Di dunia maya pun saya mengalami hal yang sama. Ketika merubah propic BB dengan foto diri berbaju kotak-kotak, kontan beberapa teman bbm dan mengatakan “Jokowi…” . Hmmm…branding yang luar biasa, pikir saya.  Baju kotak-kotak mestinya sudah sangat lazim bahkan sejak puluhan tahun yang lalu. Setidaknya motif ini merupakan favorit saya ketika di bangku SMU sampai kuliah. Tidak ada yang istimewa. Tapi sekarang orang mengidentikkan motif tersebut dengan pasangan Jokowi-Ahok. Kenapa? Jawabnya adalah branding yang hebat sehingga masuk ke alam bawah sadar. Buktinya ketika ada yang memakai baju kotak-kotak, spontan orang berucap  “Jokowi…”.  Ada juga pasangan cagub lain yang menggunakan batik sebagai branding dengan mengatakan “coblos batiknya”, tetapi saya yakin pengaruhnya jauh di bawah branding “kotak-kotak-nya”  Jokowi-Ahok. Branding yang kuat akan menancap di benak orang dan susah dihapuskan. Mirip Jogja dengan Malioboro-nya, Bali dengan pantai kuta-nya, atau Belitung dengan laskar pelangi-nya.

Branding terbentuk dari paparan yang terus menerus, pesan yang mudah dibaca, dan differensiasi dengan pesaing. Contoh mudahnya Pilkada Jakarta.  Calon pejabat, apalagi di kota dengan penduduk asli  Betawi, identik dengan baju koko, sarung, peci, atau baju resmi lainnya. Tetapi Jokowi - Ahok mendobrak dengan motif kotak-kotak yang casual, trendy, dan terkesan modern. Brandingnya menjadi begitu kuat karena berbeda dari pola pikir calon yang lain, setidaknya untuk urusan baju. Saya merenung, kalau baju saja bisa menjadi branding yang kuat, apalagi  karakter manusia yang muncul dari dalam ke luar, pasti semakin dahsyat. Saya mereka-reka, seperti apakah branding diri saya, atau “personal branding” yang dilihat orang lain dan membuat mereka menyimpan saya di alam bawah sadarnya.  Kesempatan itu akhirnya tiba ketika saya berbincang dengan rekan sekerja yang memiliki banyak intensitas pertemuan dengan saya di kantor. Apa branding saya di otaknya?  Saya orang yang bersemangat, detail, tegas, drive for result-nya tinggi, suka bersaing dalam artian tidak mau kalah dengan orang lain dalam hal prestasi. Saya tertawa mendengarnya.  Apakah cukup itu? Oh, ternyata tidak. Teman saya menambahkan beberapa kata lagi yang bernuansa positif. Hmmm…good, tetapi  itu hanyalah yang tampak di muka….
Ketika bicara tentang personal branding, kita berharap orang mengenal yang baik dari kita. Tetapi apakah kita sebaik “branding” yang kita ciptakan? Belum tentu, kalau ternyata ada hal-hal di dalam diri kita yang disembunyikan karena kita malu ketahuan orang, atau bersifat negatif. Proses mengenal diri sendiri dan membuka cakrawala terhadap orang lain dapat dipelajari melalui alat yang disebut Johari Window (Jendela Johari), diciptakan oleh Joseph Luft dan Hary Ingham tahun 1955. Johari Window membagi menjadi 4 kuadran, Open, Blind, Hidden, dan Unknown. Open, merujuk pada perilaku diri yang kita tahu dan orang lain tahu. Blind merujuk pada perilaku diri yang kita tidak tahu, orang lain tahu. Hidden merujuk pada perilaku diri yang kita tahu, tetapi orang lain tidak tahu. Unknown merujuk pada perilaku diri yang kita dan orang lain tidak tahu. Kalau bicara branding, tentu kita akan bicara pada kuadran Open dan Blind, yang terlihat oleh orang lain. Hidden, yang biasanya berupa perilaku yang negatif atau memalukan akan kita sembunyikan, karena bisa mengganggu “branding’ yang sedang diciptakan. Sedangkan unknown biasanya tersimpan rapat di alam bawah sadar dan kita tidak mengetahuinya.

Bicara mengenai branding yang saya miliki, saya sadar betul bahwa itu adalah area “open” yang dilihat banyak orang. Mereka tentu tidak bisa menilik sampai ke area hidden yang saya tutup rapat, karena akan menghancurkan image atau branding yang saya bangun selama ini. Padahal area hidden saya menyimpan begitu banyak hal yang hanya diketahui sangat sedikit orang. Pernahkah membayangkan bahwa saya orang yang tidak sabaran dan kalau sangat kecewa atau marah besar  cenderung merusak barang?  Saya ingat betul bahwa saya pernah begitu marah dan bingung sampai membanting jam tangan yang akhirnya pecah dan rusak. Atau juga handphone yang pernah saya lempar ke tembok, tetapi syukurlah masih bisa bertahan hidup.  Pernah juga saking marahnya saya hampir merobek uang yang untungnya segera diselamatkan oleh teman saya.  Begitu buruknya.. Saya menyadari itu, tetapi dorongan amarah yang terkadang muncul sering membuat saya ingin melampiaskannya.  Saya sangat ingin merubah sifat yang tidak baik itu meskipun bukan hal yang menyenangkan. Sebagai manusia saya ingin yang mudah dan instan, tidak perlu susah payah. Tetapi mana ada, hidup harus diperjuangkan! Saya sadar sepenuhnya tidak mungkin saya mampu menjiwai hidup dengan baik dan tulus kalau saya masih berperilaku seperti itu. Saya memaksa diri untuk mengendalikannya dan syukurlah dorongan untuk merusak barang berhasil saya tepis dengan susah payah. Saya berpikir, sayang duitnya kalau harus beli barang lagi. Kok tidak ada rasa bersyukur, teganya menghancurkan apa yang dimiliki. Mudah-mudahan saya bisa konsisten menjaga pikiran saya. Hal lain yang mendorong adalah saya ingin dikenal dengan branding yang tulus dan apa adanya. Saya harus banyak berbenah dan jujur terhadap diri sendiri.  Bukan hal yang mudah, tetapi di akhir cerita nanti, saya pasti memetik buahnya bahkan membagikan buah itu ke orang lain yang membutuhkan.  Semoga…. Selamat menciptakan personal branding Anda juga, have a blessing life…!