Sunday, February 20, 2011

Film Asing vs Pajak

Tiada rotan akar pun jadi. Peribahasa ini sering dipakai untuk menggambarkan bahwa segala sesuatu bisa dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan kita. Sebagai contoh seandainya listrik mati, lilin akan menjadi pilihan karena dapat mensubstitusi keberadaan listrik walau sebentar. Tetapi kalau pepatah ini diterapkan menjadi: “Tiada film asing di bioskop Indonesia,..........” saya tidak bisa membayangkan kelanjutan kalimat tersebut yang mestinya adalah “film Indonesia pun jadi”. Bukan karena antipati terhadap film Indonesia, tetapi karena secara kualitas menurut saya film Indonesia belum mampu bersaing. Ada beberapa film Indonesia yang menurut saya bagus seperti “Denias, King, Nagabonar Jadi 2, Laskar Pelangi, dan Sang Pemimpi.” Selebihnya adalah film bertema horor dengan judul “aneh-aneh” seperti “Hantu Jamu Gendong, Tali Pocong Perawan, Jenglot Pantai Selatan, Pocong Ngesot, dan yang lainnya yang bagi saya sangat tidak menarik!  Memang tidak semua film asing bagus karena ada juga yang seadanya, tetapi paling tidak kita memiliki banyak pilihan.

Pro dan kontra atas rencana pemerintah menaikkan tarif pajak film impor masih terus bergulir. Konon katanya tarif pajak masuk film impor sangat murah, sedangkan pajak film nasional justru lebih mahal. Kalau melihat dari sisi ini, mungkin kebijakan pemerintah untuk menaikkan bea impor film asing ada benarnya. Tapi terkadang berpikir juga, kenapa bukan pajak film nasional yang diturunkan sehingga akan meringankan dan membantu pekerja perfilman. Kenaikan pajak impor mengakibatkan distributor film Amerika memboikot untuk tidak mengedarkan filmnya di Indonesia sehingga tidak akan ada lagi film Hollywood yang tayang di Indonesia. Kalau kebijakan ini tetap dijalankan oleh pemerintah, maka berarti kita harus mengucapkan selamat tinggal untuk film-film Hollywood, dan mencoba untuk melakukan pepatah “Tiada rotan akar pun jadi”, mengisi bioskop dengan film Indonesia dan berharap penonton datang berduyun-duyun menyaksikannya. Apakah ini akan terjadi? Saya sangat pesimis dengan hal ini!

Konon, bea masuk film asing di Thailand lebih tinggi daripada di negara kita. Pertanyaannya, kenapa distributor Amerika mau mengikuti peraturan di Thailand tetapi keberatan ketika Indonesia menerapkan hal yang sama? Jangan-jangan meskipun bea impor kita lebih murah, tetapi “pungutan liar” yang ada jauh lebih besar daripada bea impornya, sehingga ketika ditotal justru lebih mahal daripada bea impor resmi di Thailand! Ini hanya mencoba berlogika, karena rasanya tidak masuk akal. Dengan jumlah penduduk Indonesia yang sangat besar dibanding Thailand, 200 juta dibanding 68 juta, Indonesia tetap merupakan pasar yang menjanjikan bagi pihak asing, kecuali jumlah penonton film di Indonesia jauh lebih rendah dibanding Thailand, sesuatu yang kelihatannya tidak mungkin.

Beberapa komentar dari pengamat mengatakan bahwa ini adalah kesempatan film Indonesia untuk bangkit. Menurut saya itu adalah komentar yang berlebihan. Kebangkitan film Indonesia tidak tergantung dari film-film Hollywood. Bagus tidaknya film Indonesia sangat tergantung dari pekerja film di negeri ini. Tidak adanya film Hollywood yang masuk, lalu berharap film Indonesia meningkat kualitasnya adalah sesuatu yang sangat naif. Sama seperti seorang anak kecil yang nilai pelajarannya jelek karena jarang belajar lalu menyalahkan temannya yang pintar, dan berharap temannya tadi keluar dari sekolah, maka nilai pelajarannya akan terdongkrak. Tidak ada hubungannya! Itu semua tergantung dari usaha si anak tadi untuk terus menerus belajar agar nilainya bisa membaik. Justru dengan melihat temannya yang pintar, anak tersebut bisa belajar darinya. Saya yakin, masyarakat  sudah bisa memilih dan membedakan mana film yang bagus dan yang tidak. Film nasional yang bagus pasti akan menjadi pilihan untuk ditonton.

Saya termasuk yang sangat kecewa dengan tidak masuknya film asing ke Indonesia (seandainya  benar-benar terjadi). Sebagai penggemar film, saya menganggap film sebagai referensi, produk budaya,  dan memperkaya wawasan. Film-film bagus yang saya tonton minggu-minggu terakhir ini seperti Shaolin, The Fighter, banyak memuat nilai moral dan memotret perjuangan anak manusia yang memikat. Sama bagusnya dengan film nasional semacam Sang Pemimpi atau Laskar Pelangi. Tapi seberapa banyak film nasional yang seperti itu? Kalau memang akhirnya kebijakan tersebut dijalankan, maka salah satu pilihan untuk memuaskan keinginan menonton film adalah membeli DVD bajakan! Saya mencoba berandai-andai sebagai distributor film Amerika yang sedang bernegosiasi dengan pemerintah Indonesia mengenai kenaikan pajak impor tersebut. Pilihannya adalah, saya tidak setuju dan menghentikan peredaran film di Indonesia, atau saya setuju kenaikan pajak impor, tetapi pemerintah Indonesia harus menjamin tidak adanya pembajakan atas karya film-film Hollywood di sini yang bertebaran di mana-mana dalam bentuk sekeping DVD seharga Rp 7.000!  Mana yang dipilih? (Ah, ini berandai-andai saja, karena yang namanya negosiasi pasti saling mempertukarkan konsesi. Jangan-jangan orang Amerika juga kesal karena banyaknya DVD bajakan di Indonesia. Saya sendiri bukanlah orang yang suka membeli DVD, karena bagi saya menonton film di layar lebar terasa lebih nikmat!).

Kebijakan film bukanlah kebijakan publik yang memiliki dampak luas seperti BBM atau bahan pokok yang langsung berdampak pada masyarakat luas. Film jelas lebih terbatas, sehingga kebijakan ini tidak akan sampai menggoncang pemerintah. Tetapi saya yakin, ada jutaan orang seperti saya yang sangat menyesalkan kalau hal ini terjadi. Dampak sosial ekonomi akan lebih dirasakan bagi pengelola bioskop, dalam hal ini 21 cineplex dan blitz megaplex, karena bisa dipastikan animo masyarakat menonton bioskop akan sangat jauh berkurang. Kita menyadari bahwa film yang diputar selama ini sebagian besar adalah film-film asing. Kalau itu terjadi pengusaha bioskop bisa bangkrut yang akan berimbas pada munculnya pengangguran baru. Tetapi sekali lagi, dampak yang muncul tidak akan sebesar misalnya kalau rokok dilarang beredar dan pabrik rokok ditutup. Meskipun kita semua sadar bahaya merokok, tetapi untuk menutup dan melarang rokok beredar, pemerintah akan berpikir ribuan kali, karena dampaknya terlalu besar. Tetapi kalau jaringan bioskop, menurut saya posisi tawarnya tidak sekuat itu.

Saya bukanlah seorang yang ahli dalam hal perfilman, tetapi semestinya pemerintah memikirkan kembali keputusannya. Saya mengandaikan seperti ini,  pajak impor dinaikkan di tarif yang wajar (perbandingan dengan negara-negara tetangga), pajak film nasional diturunkan (untuk meningkatkan gairah perfilman nasional), film asing tetap diputar di Indonesia sebagai benchmark bagi film-film kita, pengusaha bisokop dan karyawan sama-sama hepi. Penonton juga hepi, tetapi sedikit was-was karena harga tiket masuk pasti akan dinaikkan. Bagaimanapun juga, yang menanggung semua itu tetaplah rakyat biasa seperti saya. Kalau itu terjadi saya akan lebih selektif lagi menonton film yang benar-benar bagus. Untuk film yang biasa saja, pilihannya adalah tidak menonton ataupun berpaling ke DVD bajakan yang murah meriah hore! Nah, dalam kondisi seperti ini, bisnis DVD bajakan akan memberikan prospek yang sangat bagus. Hehehe... (ups, maaf, yang terakhir ini hanya pemikiran liar!)

Saya melihat bahwa pemerintah berusaha menaikkan pendapatan dalam rangka mengejar target pemasukan negara. Setelah menetapkan pajak masuk atas oleh-oleh yang dibawa dari luar negeri, pemerintah melanjutkan dengan menaikkan pajak impor film asing. Saya berusaha menghargai usaha ini, tetapi sekali lagi saya yakin bahwa ujung-ujungnya rakyat juga yang akan menanggungnya. Saya berpikir, apakah pemerintah kekurangan pemasukan? Semestinya tidak, kalau pemasukan yang ada benar-benar dikelola dengan baik dan tidak ada kebocoran disana-sini. Daripada meningkatkan pajak individu yang kecil-kecil, kenapa tidak mendata lagi perusahaan-perusahaan besar pengemplang pajak yang memunculkan orang-orang seperti Gayus. Itu baru yang ketahuan, tetapi seperti fenomena gunung es, yang tidak kelihatan biasanya jauh lebih besar. Saya yakin, kalau itu diberesi, pemasukan pemerintah akan meningkat, dan rakyat dengan senang hati membayar pajak karena percaya dengan pengelola yang jujur dan bertanggung jawab.

 Satu lagi yang saya harapkan, pemerintah benar-benar menggunakan kenaikan pajak tersebut untuk membangun negeri ini. Sekali lagi, kenaikan pajak tersebut jatuh-jatuhnya akan dibebankan kepada rakyat. Dan alangkah menyakitkannya kalau rakyat yang sudah menanggung pajak yang tinggi untuk bisa menonton film harus gigit jari karena pajaknya bocor disana-sini. Harapan saya:  film asing diputar kembali, film nasional semakin berkualitas, dan pajak dikelola dengan penuh tanggung jawab untuk dikembalikan kepada rakyat. Semoga!

Sunday, February 13, 2011

The Fighter movie - resensi

Keluarga dan orang terdekat memberikan pengaruh sangat besar bagi kehidupan sesorang, sukses ataupun gagal. Pesan itulah yang ingin disampaikan oleh The Fighter, film yang mengisahkan perjalanan petinju Micky Ward menjadi juara dunia kelas menengah WBU. Dibintangi Mark Wahlberg dan Christian Bale yang berperan sebagai Micky dan Dicky Ward, The Fighter bukan hanya sebuah film olahraga, tetapi justru lekat dengan film drama yang memotret konflik keluarga yang ditampilkan dengan baik oleh sutradara David O Russell.

Dicky Ward adalah mantan petinju kebanggaan kota Lowell, Massachusetts, Amerika, yang pernah mengkanvaskan petinju terkenal Sugar Ray Leonard, tetapi kemudian justru jatuh ke dalam jeratan narkoba yang menghancurkan kehidupannya. Dicky tidak ubahnya seorang pecundang yang hidup dengan kebanggaan masa lalu. Micky Ward, sang adik, mengikuti jejak sang kakak sebagai petinju. Sayangnya karir Micky tidak mulus dan sering hanya menjadi petinju yang digunakan sebagai batu loncatan petinju lain untuk mencapai prestasi yang lebih tinggi. Dalam meniti karir, Micky dilatih oleh Dicky, dan dimanajeri oleh Ibunya sendiri, Alice Ward (diperankan oleh Melissa Leo). Manajemen keluarga ini ternyata tidak membawa hasil seperti yang diharapkan, karena terkadang Micky harus bertanding dengan lawan yang tidak sepadan sekedar untuk mendapatkan uang. Sampai akhirnya Micky bertemu dengan Charlene (diperankan Amy Adams) seorang gadis bartender yang dulunya seorang atlet lompat tinggi dan mendapatkan beasiswa untuk kuliah tetapi putus di tengah jalan yang kemudian menjadi kekasihnya. Charlene memberikan pemahaman baru bagi Micky bahwa dia harus berubah untuk bisa berhasil, dan itu dimulai dengan mencari manajemen baru. Hal ini menimbulkan kemarahan sang Ibu, tetapi tekad Micky sudah bulat. Di bawah manajemen baru, Micky memulai lagi karir bertinjunya di usia yang sudah tidak muda. Semangat yang menyala dan dukungan Charlene membuat Micky berhasil meraih kemenangan demi kemenangan yang membawanya semakin dekat ke puncak tangga juara. Sebaliknya Dicky justru makin terpuruk bahkan harus mendekam di penjara.

Babak berikutnya adalah potret kebanggaan masa lalu, harapan, dan impian. Charlene, adalah potret masa lalu yang gagal, dan dia tidak ingin kegagalan itu berulang pada Micky. Itulah sebabnya Charlene berusaha keras melepaskan Micky dari keluarganya dan mendukung penuh sang kekasih meniti ulang karirnya. Dicky, hidup dalam bayang-bayang kejayaan masa lalunya yang pernah dianggap sebagai petinju yang sangat berbakat. Sayangnya Dicky tidak mampu memanfaatkan kesempatan itu dan hancur oleh narkoba. Saat di penjara, Dicky mendapatkan kembali kesadarannya dan mau berubah. Kesempatan emas yang pernah diraih di masa lalu tetapi kemudian disia-siakan membuat Dicky meletakkan harapan itu pada sang adik. Tetapi ternyata itu tidak mudah, karena Charlene tidak percaya pada Dicky dan Ibunya, sehingga menolak keinginan mereka untuk menjadi pelatih dan manajer Micky. Setelah melalui konflik, akhirnya masing-masing menyingkirkan egonya dan bekerja bersama untuk sebuah harapan, yaitu juara dunia.  

Meskipun berlatar belakang olahraga, tetapi The Fighter memberikan lebih dari sekedar film olahraga.  Film yang mendapatkan beberapa penghargaan Golden Globe dan beberapa nominasi Oscar ini  menampilkan konflik keluarga, kejayaan masa lalu – yang sering tidak berarti apa-apa, perjuangan keluar dari kejatuhan hidup untuk menggapai sesuatu yang lebih baik menjadi intinya. Salah satu dialog yang menyentak antara Dicky dan Charlene ketika mereka saling menghina dengan melontarkan pertanyaan apa yang telah mereka capai dalam hidup mereka selama ini yang ternyata adalah kegagalan. Kesadaran adanya harapan akan keberhasilan membuat mereka bekerja sama untuk menghantarkan kemenangan tersebut, sekaligus mengobati kekecewaan mereka terhadap masa lalu masing-masing.

Akhirnya from nothing to be something, from zero to hero, keberhasilan adalah kombinasi dari kerja keras, pantang menyerah, kesempatan, dan dukungan penuh dari keluarga. Kisah perjuangan Micky mencapai sukses dalam film ini mengingatkan saya pada tulisan Malcolm Gladwell di bukunya Outliers. Sangat tepat, jelas, dan terasa benang merahnya. Film yang menarik dan memberi banyak insight, sekaligus menikmati akting Christian Bale yang memikat. Konon Bale rela menurunkan berat badannya belasan kilogram untuk perannya sebagai Dicky Ward. Jangan berharap melihat sosok Batman pada dirinya, karena anda akan menikmati sesuatu yang sangat berbeda.  Enjoy watching!




Tuesday, February 8, 2011

Outliers - sebuah resensi

Judul Buku           : Outliers, Rahasia di Balik Sukses
Pengarang           : Malcolm Gladwell
Penerbit               : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan               : Keempat, Februari 2010
Halaman             : 323 hal

Sukses adalah tujuan setiap orang. Dalam buku Outliers, Malcolm Gladwell mengungkapkan rahasia sukses dari kerangka “out of the box” melalui kisah penuh logika, yang mungkin tidak pernah terpikirkan selama ini sehingga kita menggunakan cara yang salah dalam menilai kesuksesan. Outlier adalah orang-orang yang melakukan hal-hal di luar kebiasaan. Malcolm membahas dan memperkenalkan berbagai jenis outlier, orang genius, raja  bisnis, musisi rock, pembuat program perangkat lunak, dan olahragawan.

Buku ini terdiri dari 2 bagian, bagian satu adalah “kesempatan” dan bagian kedua adalah “warisan budaya”. Dalam bagian satu, Malcolm mengupas kehebatan pemain-pemain hoki Kanada yang muncul dalam turnamen liga mereka. Selain itu ada kisah mengenai orang-orang yang berjaya di bisnis komputer seperti Bill Joy, pendiri Sun Microsystem, dan Bill Gates dari Microsoft. Di bidang musik, The Beatles adalah fenomena yang dimunculkan dalam buku ini. Semua contoh yang disebutkan memiliki benang merah dalam mencapai kesuksesan. Tidak diragukan lagi bahwa orang-orang tersebut memiliki bakat dan kecerdasan, tetapi ternyata yang membedakan dengan orang-orang lain adalah adanya “kesempatan” yang “secara kebetulan” mereka miliki. Kesempatan tersebut datang dari lingkungan bahkan dari peraturan yang ada. Kesempatan membuat mereka memiliki latihan yang cukup untuk menjadi sukses. Buku ini menuliskan “kaidah 10.000 jam”, bahwa diperlukan latihan minimal 10.000 jam untuk memperoleh keahlian yang dibutuhkan demi menjadi seorang ahli kelas dunia. Contoh orang-orang sukses yang disebutkan adalah orang-orang berbakat yang berlatih “sangat jauh lebih keras” dibanding orang lain  (Coba bayangkan, seandainya anda ingin menjadi pemain gitar yang handal dan anda hanya berlatih 2 jam setiap hari, berarti anda membutuhkan waktu 14 tahun untuk menjadi seorang ahli!  Anda tinggal menghitung 365 hari x 2 jam x 14 tahun = 10.220 jam! Bandingkan dengan The Beatles yang di awal-awal perjuangannya tampil di depan publik Hamburg setiap hari selama minimal 8 jam dengan melayani beragam permintaan lagu. Latihan yang sangat keras ini membuat mereka menjadi grup musik dunia yang melegenda).  Hal yang menarik adalah, 10.000 jam adalah jumlah yang sangat banyak dan tidak mungkin meraihnya sendirian. Dibutuhkan kesempatan istimewa, dan orang-orang yang mendorong dan mendukung kita.

Masih di bagian satu, Malcolm mencontohkan beberapa orang jenius yang sebenarnya terlahir sebagai outlier tetapi tidak berhasil dalam hidupnya. Membaca kisah ini terasa menyesakkan, karena kita dibawa untuk menyelami kegagalan orang-orang jenius yang menurut pemikiran kita “pasti meraih sukses.” Tetapi ternyata yang dibutuhkan hanyalah “cukup pintar”, seperti pemain basket yang disyaratkan “cukup tinggi”, tidak harus sangat tinggi, karena fakta berikutnya sebagai pendukung keberhasilan adalah dukungan dari orang-orang, yang pertama dan terutama adalah keluarga, dan bukannya berjalan sendirian. Malcolm menulis bahwa kesuksesan ditentukan oleh “kecerdasan praktis” yang meliputi hal-hal seperti “mengetahui apa yang harus dikatakan pada orang tertentu, mengetahui kapan mengatakannya, dan tahu bagaimana mengatakannya untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Kecerdasan praktis bukanlah keahlian bawaan, tetapi keahlian sosial yang harus dipelajari, muncul dari suatu tempat, dan tempat dimana kita mendapatkan sikap dan keahlian itu adalah dari keluarga kita.” Itulah yang tidak dimiliki oleh orang-orang jenius dalm buku ini yang sebenarnya terlahir sebagai outlier. Bagi saya, bab dengan judul “Permasalahan dengan orang genius bagian 1 dan 2” adalah bab paling menyentuh.

Bagian satu “kesempatan” memuat beberapa contoh lagi mengenai kesuksesan orang-orang yang diraih karena mereka mendapatkan kesempatan, lahir pada saat yang tepat, dan memiliki keluarga yang sangat mendukung. Anda dapat membaca kisah sukses pengacara-pengacara keturunan Yahudi di kota New York pada tahun 1970-an dan dikejutkan oleh penjelasan Malcolm yang sangat relevan tentang keberhasilan mereka.

Bagian kedua dari buku ini diberi judul “warisan budaya”. Bagian ini memaparkan bahwa warisan budaya memiliki andil dalam kesuksesan kita. Sebuah petikan dari buku ini: “Warisan budaya memiliki kekuatan yang hebat. Mereka memiliki akar yang dalam dan hidup yang panjang. Mereka bertahan dari generasi ke generasi selanjutnya, terus tertanam bahkan saat kondisi ekonomi, sosial, dan demografi yang menyelimuti mereka telah hilang dan mereka memainkan peranan penting untuk mengarahkan sikap dan perilakunya sehingga kita tidak bisa memahami dunia kita tanpa mereka.” Melalui cerita kuno pertentangan keluarga yang terjadi di kota Harlan, Amerika di tahun 1800-an, digabung dengan penelitian dua orang psikolog di University of Michigan di tahun 1990-an, Malcolm membuat benang merah antara warisan budaya yang mengakar dan peranannya dalam kesuksesan seseorang.

Bagian warisan budaya juga mengisahkan cerita tragis mengenai jatuhnya pesawat Korean Air di tahun 1997 yang menewaskan 228 orang, diikuti oleh kecelakaan pesawat-pesawat  Korean Air yang lain. Serupa dengan itu diceritakan jatuhnya pesawat Avianca milik penerbangan Kolombia di tahun 1990. Analisis dari kecelakaan-kecelakaan tersebut menempatkan bahwa “budaya jarak kekuasaan” yang dianut oleh pilot, co-pilot, dan officer di dalam kokpit pesawat ternyata sangat berpengaruh. Jarak kekuasaan berhubungan dengan sikap seseorang dalam menghadapi hierarki atasan, khususnya seberapa besar sebuah budaya menghargai nilai dan menghormati pihak yang berwenang. Negara yang memiliki jarak kekuasaan yang rendah, dalam arti hampir tidak ada batas antara yang lebih senior dengan junior memunculkan sikap asertif dari junior sehingga mereka berani mengemukakan pendapat dan hal ini tidak terjadi di negara dengan jarak kekuasaan tinggi. Kisah jatuhnya pesawt Korean Air dan Avianca Kolombia menjelaskan dengan detail bagaimana seorang junior flight officer tidak berani menyatakan pendapatnya kepada pilot senior meskipun mengetahui bahaya di depan mata. Membaca detik-detik percakapan mereka sebelum pesawat jatuh terasa sangat memilukan.
Masalah yang dihadapi Korean Air adalah mereka terjebak dalam peran yang dipaksakan oleh warisan budaya negara mereka.Revolusi budaya yang dilakukan oleh Korean Air di tahun 2000-an yang mengharuskan pemakaian bahasa Inggris antar sesama Korean di kokpit pesawat mampu merubah maskapai tersebut. Penggunaan bahasa Inggris merupakan kunci untuk transformasi karena mereka dibebaskan dari hirerarki Korea yang sangat tajam. Transformasi membuat para junior berani mengambil inisiatif dan tidak menunggu orang lain untuk mengarahkan tugas mereka.

Kisah lain mengenai warisan budaya dapat anda baca tentang kehebatan bangsa Asia di bidang matematika yang dihubungkan dengan cara bertani padi orang-orang Jepang dan Cina Selatan. Dalam sejarah, pertanian di Barat lebih berorientasi “mekanik”, menggunakan peralatan canggih untuk meningkatkan hasil panennya. Sementara pertanian di Timur berorientasi pada “keahlian” karena para petani di Jepang dan Cina tidak memiliki uang untuk membeli peralatan. Dalam pertanian yang berbasiskan keahlian, hasil panen akan lebih besar jika anda bersedia mencabut rumput lebih rajin, lebih ahli memberi pupuk, lebih lama mengawasi tingkat air, dan lebih optimal memanfaatkan setiap inchi lahan. Kenyataan ini membuat petani Asia bekerja lebih keras dan menularkan budaya belajar sangat tekun untuk siswa-siswa Asia dan cara ini bekerja sempurna di bidang matematika!

Kesempatan, waktu yang tepat, dukungan keluarga dan orang sekitar, akar budaya yang mewariskan keuletan, kegigihan dan kesediaan bekerja keras serta kerelaan bertransformasi dari budaya yang tidak mendukung, menjadi bahan utama cerita sukses para outlier. Malcolm Gladwell, memotret rahasia sukses yang sering tidak terungkapkan. Dikemas melalui kisah-kisah yang sangat menggugah dan penuh logika, “Outliers” menjadi sebuah buku yang layak dibaca. Enjoy reading!


Monday, February 7, 2011

Shaolin-Harga yang Harus Dibayar


Penyesalan selalu datang terlambat, tetapi penyesalan yang diikuti dengan pertobatan akan membawa kita kepada jiwa yang penuh kedamaian. Pesan inilah yang ingin disampaikan oleh film Shaolin yang disutradarai Benny Chan dan dibintangi oleh Andi Lau, Jackie Chan, dan Nicolas Tse.


Hou Jie (Andi Lau) adalah seorang panglima perang yang kejam dan tidak mengenal ampun. Dibantu saudaranya, Cao Ma (Nicolas Tse), Hou Jie berhasil menaklukkan daerah-daerah sekitarnya dan membunuh pemimpinnya. Prinsip Hou Jie adalah ‘Selama berada di atas tampuk kekuasaan, jangan lemah. Bunuh musuh, baru bisa tidur nyenyak.”

Suatu ketika Hou Jie mengejar musuh yang bersembunyi dan meminta perlindungan di kuil Shaolin. Meskipun sudah meminta ampun, Hou Jie tetap membunuh musuh tersebut di depan mata para bhiksu. Bukan itu saja, Hou Jie merusak papan nama Shaolin dan melecehkan biara tersebut dengan sikap yang sangat arogan.

Tetapi kemudian terjadilah peristiwa pengkhianatan Cao Ma yang menyebabkan Hou Jie, istri, dan anaknya melarikan diri dan sampai di kuil Shaolin. Dalam penyergapan tersebut putri Hou Jie yang masih kecil terluka parah dan tidak dapat diselamatkan. Kematian putri tunggalnya dan kemarahan istrinya yang kemudian pergi begitu saja meninggalkannya membuat batin Hou Jie sangat menderita. Di tengah kesedihan yang mendalam, Hou Jie tinggal di dapur kuil Shaolin dan berteman dengan koki Wu Dao (Jackie Chan). Kegundahan hati dan pencarian akan makna hidup membuat Hou Jie memutuskan untuk menjadi bhiksu di kuil Shaolin.

Sementara itu kekejaman Cao Ma semakin menjadi-jadi, bahkan mengorbankan rakyat untuk bekerja paksa membangun rel kereta api. Pembangunan rel tersebut adalah hasil kesepakatannya dengan tentara Inggris yang memberikan senjata meriam sebagai gantinya. Selama kerja paksa tentara Inggris juga mengambil benda-benda berharga yang didapatkan dalam pembangunan rel kereta api dan membunuh para pekerja. Peristiwa ini diketahui oleh Hou Jie yang kemudian bersama-sama dengan bhiksu Shaolin berjuang membebaskan para pekerja. Bebasnya para pekerja membuat Cao Ma marah dan menyerbu biara. Sebelum penyerbuan terjadi, Hou Jie dan bhiksu Shaolin mengungsikan rakyat yang tinggal di sekitar biara dengan dipimpin oleh Wu Dao.

Pertempuran dahsyat terjadi di biara antara Cao Ma dan tentaranya melawan Hou Jie dan para bhiksu. Di saat mereka bertempur, ternyata tentara Inggris sudah bersiap dari kejauhan dan kemudian menembakkan meriam ke biara tersebut bertubi-tubi. Serangan meriam menewaskan Hou Jie dan meluluh lantakkan biara Shaolin. Dari kejauhan rakyat yang mengungsi dipimpin oleh Wu Dao hanya bisa menangis melihat keruntuhan biara tersebut. Sebuah kalimat diucapkan Wu Dao untuk menenangkan para Shaolin muda yang ikut bersamanya “Kuil Shaolin memang hancur, tetapi jiwa Shaolin akan tetap hidup di hati kita selamanya.”

Cerita tentang orang jahat yang mengalami kejadian tragis dalam hidupnya dan kemudian bertobat sudah sangat biasa, demikian juga kisah film ini.  Justru yang membuatnya indah adalah kehebatan akting Andi Lau, transformasi dari seorang panglima kejam, menjadi seorang  yang sangat tidak berdaya dan putus asa, lalu menjadi bhiksu yang “harus” tampak bijaksana. Pergolakan batinnya muncul dengan sangat baik dan membuat film ini menjadi hidup. Meskipun bukan penggemar Andi Lau, saya harus mengakui bahwa karakter yang dimainkannya muncul sangat kuat. Peranan Jackie Chan dalam film ini memang kecil, tetapi tidak bisa dilewatkan begitu saja. Penampilannya menjadi bumbu penyedap yang membuat film ini menjadi segar, bukan hanya sebuah potret yang buram. Dengan aktingnya yang kocak, Jackie memberi sentuhan berbeda sehingga Shaolin menjadi lebih enak dilihat. Alur yang dibuat sutradara Benny Chan mengalir dan tidak membosankan. Seperti layaknya film kungfu, adegan perkelahian menjadi tontotan yang mengasyikkan, meskipun terkesan “kejam” karena banyaknya adegan pertumpahan darah. Kehidupan di biara Shaolin memang tidak ditonjolkan secara utuh, karena lebih memusatkan pada pencarian jati diri Hou Jie. Meskipun begitu adegan lucu khas Shaolin tetap muncul yang membuat “rasa Shaolin” terasa kental. Pengorbanan pahlawan ala bhiksu Shaolin yang mengharu biru juga menghiasi film ini dan mengajak kita untuk menyadari bahwa selalu ada harga yang harus dibayar. Tewasnya suhu Shaolin dan para bhiksu terbaik melawan keangkaramurkaan Cao Ma seakan menegaskan bahwa perang melawan kejahatan membutuhkan perjuangan sampai titik darah penghabisan. Menjaga integritas diri adalah kewajiban yang tidak bisa ditawar. 

Di sisi lain, film ini menyajikan fakta bahwa kekuasaan yang disalahgunakan akan menyengsarakan rakyat dan menghancurkan sendi-sendi kehidupan, yang berujung pada keruntuhan diri sendiri. Kekuasaan adalah tidak kekal, seperti Hou Jie yang harus merelakan tahtanya dan kehilangan keluarganya, itupun terjadi pada Cao Ma, yang kemudian hancur oleh kerakusannya sendiri. Bedanya, Hou Jie masih menemukan kembali jiwanya yang hilang dan diberi kesempatan untuk menyadari kesalahannya.

Kehancuran biara Shaolin seakan berbicara bahwa kebenaran tidak akan menang melawan kejahatan, tetapi penutup film yang menggambarkan rakyat pengungsi yang selamat, dan ucapan Wu Dao yang mengatakan dengan tegas bahwa jiwa Shaolin akan selalu hidup di hati mereka, adalah pernyataan jujur bahwa bagaimanapun juga kebenaran tetap menang dan tidak bisa direnggut oleh apapun walaupun ada harganya mahal dan membutuhkan perjalanan yang panjang. Sementara itu kekuasaan sering membuat orang lupa diri dan terus menerus mengejar nafsu untuk memenuhi hasratnya. Kekuasaan yang didapat dengan cara tidak benar hanya akan membawa orang yang berkuasa tersebut menjadi paranoid, takut akan bayangan kehancuran diri sehingga membabi buta berusaha melanggengkan kekuasaannya. Orang yang menggenggam kekuasaan seakan itu adalah satu-satunya kebahagiaan hidupnya hanya akan mendapatkan kehilangan yang lebih banyak. Di tangan orang-orang yang tidak tepat, kekuasaan yang seharusnya digunakan untuk menolong dan memperbaiki kehidupan orang-orang yang berada di bawahnya hanya akan menjadi alat perusak.

Meskipun film ini tidak seindah dan sekolosal Red Cliff dalam penggarapannya, tetapi tetap menarik untuk ditonton. Siap-siap saja untuk menikmati perpaduan akting Andi Lau dan Jackie Chan, dengan balutan segar tingkah polah para bhiksu Shaolin. Kalimat-kalimat inspiratif yang menyejukkan dan pencarian jiwa yang hilang menjadi inti film ini. Jangan terlalu berharap banyak pada keindahan kungfu yang menari-nari, karena film ini mengutamakan alur yang ringkas dan tidak bertele-tele. Kalau anda menyukai film-film China yang berlatar belakang tempo dulu dan mengemas kungfu sebagai pemanisnya, film ini bisa menjadi pilihan. Selamat menikmati!

Tuesday, February 1, 2011

Marketer vs Trainer

Marketer vs Trainer. Judul ini mungkin mengusik anda untuk meneliti lebih jauh perbedaannya. Sebenarnya saya hanya ingin bercerita mengenai dua dunia berbeda yang sedang saya nikmati akhir-akhir ini. Selama enam tahun saya berada di posisi sales dan marketing yang mengharuskan saya untuk “waspada” setiap saat apalagi di akhir bulan. Maklum, yang namanya target adalah untuk dicapai, bukan untuk dilihatin saja, hehehe. Seperti biasa target diberikan untuk satu tahun budget  yang kemudian dipecah per bulan untuk memudahkan perhitungan. Konon menurut motivator, target harus dianggap sebagai tantangan dan bukan beban agar kaki tidak berat melangkah. Ketika saya di posisi sales dan marketing, maka yang dilihat setiap pagi adalah pergerakan sales, baik produk maupun sales cabang. Tugas selanjutnya adalah menelepon cabang, meminta estimasi sales, berdiskusi dan menanyakan support apa yang bisa diberikan dari kantor pusat. Selain itu saya akan mencecar cabang dengan pertanyaan produk fokus yang belum terjual, alasannya kenapa, dan siapa calon konsumen potensial yang akan diprospek untuk produk tersebut. Selanjutnya saya akan minta daftar outlet dan konsumen yang diestimasikan memberikan hasil pencapaian target. Perjalanan berikutnya adalah evaluasi stock produk baik di cabang maupun pabrik, monitoring pengajuan diskon, sponsorship, dan segala macam hal dinamis yang membuat adrenalin naik turun. Bukan hanya di belakang meja, tetapi juga di luar kantor, sekaligus menghilangkan kepenatan dan rutinitas yang ada. Mendekati akhir bulan situasi semakin menekan dan saya harus memutar otak strategi apa lagi yang akan dikerjakan untuk menambah penjualan. Ya, itu adalah masa-masa 6 tahun kemarin.....

Dunia sales dan marketing memiliki pergerakan unik yang membuat kita semakin kreatif mencari solusi meskipun kegagalan sering menghadang. Sangat menantang tetapi juga menekan, sehingga wajar kalau insentif menanti mereka yang sukses mencapai target. Enam tahun di sales dan marketing membuat saya memahami pekerjaan dan tuntutan dunia tersebut meskipun juga menawarkan kegembiraan dan keleluasaan yang tidak akan dialami oleh orang-orang yang berada di belakang meja. Pergerakan yang lebih fleksibel, cenderung praktis, tidak mau terlalu rumit, easy going, fokus pada pencapaian target adalah ciri khas orang-orang sales dan marketing. Jangan heran kalau orang sales akan memanfaatkan dana seoptimal mungkin agar sales tercapai. Sebenarnya itu sah-sah saja, asal masih on the track  dan hasilnya jelas terlihat. Tetapi yang sering terjadi adalah adannya gesekan antara sales dan finance. Atas nama target,orang sales akan berjuang sekuat tenaga agar dana yang ada dapat dipakai sebagai senjata meraih konsumen, entah bagaimana caranya. Di sisi lain finance berkewajiban menjaga budget agar tidak melebihi takaran dan kebobolan. Akibatnya sales marketing dan finance sering diibaratkan seperti anjing dan kucing karena seolah-olah susah sekali mencari titik temu. Padahal sebenarnya keduanya bisa berjalan beriringan, karena sales dan marketer yang baik adalah orang-orang yang selalu melihat rambu-rambu budget dan berpikiran profit oriented, bukan hanya sales oriented.  Terkadang harus diakui bahwa meskipun masih berada dalam rambu-rambu, orang sales akan berjalan terus dengan cara-cara yang “cenderung kreatif” menurut pandangan finance. Tetapi bukankah gesekan itu hanya membutuhkan komunikasi dari kedua pihak dan masing-masing mengerti bisnis prosesnya? Gesekan yang ada justru harus dianggap sebagai sebuah dinamika dan bukan hambatan sehingga keduanya akan merasakan kepuasan dalam pekerjaannya. Bukankah demikian? Ah, itu adalah pengalaman enam tahun kemarin yang penuh warna, meskipun ada luka dan kecewa, tetapi juga kegembiraan dan kegairahan!

Saat ini saya kembali ke dunia training  yang sempat saya cicipi sebentar sebelum berpindah ke sales dan marketing. Dunia training menawarkan sesuatu yang berbeda, yang menuntut saya untuk selalu berpikir kreatif, baik dalam konsep maupun penyajian sehingga terkadang berjalan lambat karena waktu dihabiskan untuk duduk tenang dan membaca buku, mendengarkan musik, menonton film, dan segala hal yang diperlukan untuk memperkaya wawasan. Oh ya, satu hal yang tidak boleh dilupakan, berjalan-jalan dan wisata adalah menu wajib karena dari situlah pikiran saya jadi lebih segar dan mendapatkan “pencerahan”. Menjadi trainer membawa saya kembali ke belakang meja, memutar otak menyusun modul, berpikir, menyusun materi, benar-benar seperti anak kuliahan. Tidak ada lagi dunia dinamis yang penuh dengan adrenalin karena target terlihat di depan mata. Yang ada adalah perlombaan dengan diri sendiri untuk merampungkan modul pengajaran secepat mungkin agar bisa segera disajikan. Dunia sunyi senyap, karena kita tenggelam dalam fantasi dan imajinasi untuk membuat sebuah presentasi yang indah, menarik, dan bermanfaat. Ketika modul selesai dan siap dipresentasikan, barulah dimulai dunia panggung yang menggairahkan dan sang trainer bersiap-siap menyajikannya, seperti seorang koki yang bersiap menghidangkan makanan lezat untuk disantap. Ketika pelatihan usai, gong dibunyikan, dan dimulailah lagi dunia sunyi senyap itu, merangkai dan mempersiapkan modul pelatihan yang baru.

Marketer vs Trainer, dua peran yang saling melengkapi, dan saya menikmati keduanya. Dunia yang pertama adalah dunia gemerlap, penuh dengan lonjakan dan tantangan.  Dunia kedua lebih diam, mengajak saya mengendapkan informasi-informasi yang masuk dan merenung membuat konsep.  Meskipun begitu kedua dunia tersebut menawarkan keasyikannya sendiri-sendiri. Mana yang lebih baik? Tidak ada, karena tergantung hasrat dan minat yang ada. Meskipun harus diakui bahwa pemimpin-pemimpin perusahaan banyak lahir dari dunia marketing, yang seakan-akan memberikan stempel bahwa marketing adalah divisi paling penting karena menghasilkan uang. Sedangkan training? Ah, itu hanyalah supporting marketing dan menghabiskan banyak biaya, sehingga training adalah kegiatan yang paling sering dipangkas kalau perusahaan ingin menghemat pengeluaran. Padahal sebenarnya pelatihan sumber daya manusia adalah hal paling krusial dalam perusahaan karena manusia adalah faktor terpenting untuk mencapai keberhasilan. Hanya dengan pengembangan orang dan pengelolaan yang tepat,  akan tercipta manusia-manusia tangguh.  Saya sudah pernah menikmati keduanya dan saya sungguh percaya bahwa keduanya saling melengkapi. Pemimpin sales dan marketing yang bijaksana akan sangat memahami pentingnya training bagi team mereka, karena sebenarnya merekalah trainer-trainer bagi anak buahnya. Sedangkan bagi trainer, mencicipi dunia sales dan marketing adalah pengalaman yang memperkaya dan memberikan atmosfer berbeda yang membuatnya memiliki empati dan sudut pandang tersendiri pada orang-orang sales. Trainer juga seorang marketer, karena mereka harus bisa menjajakan bahan pengajarannya agar laku dijual. Trainer yang baik adalah marketer yang baik dan sebaliknya. Marketer vs Trainer, dunia berbeda yang sama-sama menarik dan saling membutuhkan satu sama lain yang membuat saya tidak beranjak untuk terus menikmatinya!