Tuesday, March 22, 2011

Sempurna?

Mengejar kesempurnaan ternyata bisa berakhir tragis. Itulah yang ingin disampaikan oleh film Black Swan yang memotret dengan sangat bagus sisi psikologis manusia yang terobsesi dengan kesempurnaan, sampai harus mengorbankan hidupnya hanya demi kata “sempurna”. Black Swan menceritakan kisah seorang penari balet, Nina, yang penuh obsesi untuk mengejar peran prestisius dalam opera “Swan Lake”, dimana dia harus berperan sebagai White Swan dan Black Swan, dua karakter yang sangat berbeda. White Swan menggambarkan sosok lembut dan tidak berdaya, sedangkan Black Swan merupakan potret ambisi dan kejahatan. Keinginan mengejar kesempurnaan peran dan ketakutan berlebihan terhadap ketatnya persaingan dengan penari lain ternyata berujung depresi dan tindakan mencelakai diri sendiri. Peran yang seharusnya dibawakan dengan penuh kebahagiaan, berubah menjadi beban maha besar yang sangat menekan dan menghancurkan jati diri. Ketidakmatangan jiwa dan obsesi berlebihan hanya akan melahirkan kesia-siaan, diakhiri dengan dua pilihan: gila atau pergi selamanya.
Merujuk pada buku Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa karya W.F Maramis, pribadi yang terobsesi pada kesempurnaan digolongkan dalam gangguan kepribadian anankastik atau obsesif-kompulsif. Ciri utama kepribadian tersebut adalah perfeksionisme, keteraturan, kaku, pemalu, dan pengawasan diri yang tinggi. Ia sangat prihatin dengan konformitas, menganut norma-norma etik dan moral yang tinggi, serta patuh secara berlebihan. Menurut psikolog klinis yang juga dosen Universitas Airlangga, Dra Hamidah, MSi seperti terdapat pada tabloid Kontras, Juni 2010, gangguan kepribadian obsesif kompulsif muncul karena pola asuh yang otoriter, penuh dengan larangan, kritik, dan celaan atau bersifat memaksa. Pola asuh demikian menyebabkan seseorang berkembang dalam situasi yang tidak menyenangkan.
Black Swan memotret kepribadian tersebut dengan sangat baik, menjadikannya sebuah film yang sarat dengan ketegangan psikologis dan mengajak penonton terlibat secara emosi mengikuti aliran batin pemeran utamanya yang diperankan dengan luar biasa oleh Natalie Portman. Tidak mengherankan kalau tahun ini dia mendapatkan Piala Oscar untuk perannya sebagai Nina di film tersebut. Bagi saya, Natalie bermain sungguh total, dan benar-benar menghidupkan peran seorang ambisius yang terobsesi dengan kesempurnaan. Nina mencerminkan seorang obsesif kompulsif yang kaku, pemalu, anti sosial, tetapi menyimpan ambisi yang siap meledak ketika terancam. Dibesarkan oleh seorang Ibu yang juga obsesif dan protektif, Nina tumbuh dengan kepribadian yang tidak matang dan tidak siap dengan persaingan. Film ini penuh dengan adegan yang terkadang membingungkan apakah kejadiannya sungguh nyata atau hanya permainan pikiran sang pemeran utama yang sedang mengalami halusinasi karena kecemasannya. Film yang perlu ditonton dengan “cukup” serius, karena tidak berisi rentetan adegan yang terus berkesinambungan secara teratur.
Menonton Black Swan serasa dihadapkan dengan sebuah cermin yang membuat saya harus berkaca dan menjenguk batin yang paling dalam. Serasa menguliti diri sendiri betapa selama ini saya melakukan hal yang sama dalam konteks yang berbeda, seakan tidak menyadari bahwa kita hidup di dunia yang memang tidak sempurna. Membayangkan keruwetan Jakarta yang semakin sesak, lalu mengomel panjang lebar, melihat jalan-jalan yang semakin sempit karena penuh dengan pedagang kaki lima, dan kembali mengomel. Berkendara di jalanan, bersaing dengan pengendara motor yang suka seenaknya, melawan kenekatan metromini dan kopaja, benar-benar menantang keberanian, dan membuat saya mengomel terus menerus. Setiap menit, jam, hari, kondisi tidak semakin baik tetapi semakin parah. Hal ini membuat saya kecewa terhadap orang-orang yang saya anggap tidak mau mengerti orang lain, mementingkan diri sendiri, membuat saya frustrasi dan merasa hidup di sebuah kota yang sangat buruk.
Ketika saya membayangkan sebuah kota yang damai, teratur, tidak macet, penduduknya saling menghargai dan menghormati kepentingan orang lain, tidak ingin menang sendiri, membawa saya pada sebuah obsesi kesempurnaan kota dan hidup bertetangga yang ternyata masih jauh dari yang saya harapkan. Dan ketika harapan tersebut tidak terpenuhi, saya menjadi terluka. Terobsesi pada suatu hal yang berada di luar kemampuan dan wewenang, membuat saya sering terjebak dalam kemarahan. Benar juga, kondisi Jakarta dan kemacetannya menimbulkan tekanan yang begitu besar bagi penghuninya.
Seorang teman menasihati saya bahwa tidak ada gunanya bersikap naif dengan kondisi yang ada. Ketika jalan-jalan kampung menjadi semakin sempit oleh warung tenda yang terus bermunculan (bahkan untuk masuk ke garasi rumah sendiri menjadi penuh perjuangan), ketika saya merasa “mereka” hanya mementingkan diri sendiri dan tidak peduli pada orang lain, dan ketika saya mulai kecewa, kendali terhadap diri seringkali hilang dan saya menjadi orang yang sungguh obsesif, tanpa ada solusi yang nyata. Teman saya dengan bijak mengatakan, bahwa yang bisa kita lakukan adalah bersabar, dan bagaimana bisa menjadi terang di tengah masyarakat seperti itu. Menyadari bahwa sebagian besar masyarakat kita masih belum dewasa, uneducated, sudah sewajarnya kita yang educated bersikap lebih bijaksana. Apalagi kalau kita hidup di daerah perkampungan yang bukan perumahan high class, rasa “tepo seliro”atau saling menghargai satu sama lain ternyata menjadi menu utama. Yang menyakitkan adalah terkadang tetangga-tetangga justru seenaknya sendiri dan tidak tahu tata krama.
Teman saya mencontohkan kondisi rumahnya yang berada di tengah kampung, dan kebetulan dia tinggal sendiri. Sering sekali tanpa izin, tetangga menaruh motor di garasinya, atau bermain catur di halaman rumahnya tanpa rasa sungkan. Di dalam hati sebenarnya dia sangat jengkel, tetapi karena menyadari dia tinggal sendiri, hidup di kampung, dan membutuhkan tetangga-tetangga tersebut, maka dia menyikapinya dengan santai dan enjoy saja. Yang penting mereka tidak mengganggu dan ikut menjaga rumahnya. Sejujurnya saya kagum dan tidak habis pikir dengan sikapnya yang santai tersebut, karena bagi saya orang-orang itu sungguh tidak mengerti sopan santun. Tetapi setelah mempertimbangkan alasannya, dan menyadari apa yang saya alami dengan segala pikiran “kesempurnaan” yang melekat pada diri saya, saya mengerti bahwa sikap itulah yang paling ideal untuk hidup di kota ini.
 Saya teringat pepatah Jawa, “sing waras ngalah”, artinya yang merasa sehat (waras-tidak gila) sebaiknya mengalah. Dalam kondisi tertentu saya harus mengakui pepatah tersebut ada benarnya, yang penting tidak merugikan kita, karena ternyata hidup dengan dipenuhi perasaan obsesif dan mengejar kesempurnaan hanya membuat saya kelelahan dan kehabisan energi.
Saya memiliki pengalaman dengan orang yang mengejar kesempurnaan, hanya karena terobsesi ingin bersaing dan melebihi saya, sehingga berujung pada iri hati dan kekecewaan. Dalam hati saya bertanya-tanya, ngapain juga ingin menyaingi saya, kenapa tidak mencari role model yang jauh lebih hebat yang banyak terdapat di luar sana? Pertemanan menjadi retak, karena dibangun di atas dasar persaingan yang tidak sehat dan saya tidak mau berurusan lagi dengannya karena merasa tidak ada energi positif yang bisa dipetik dari pertemanan tersebut.
Belajar dari Black Swan, kondisi Jakarta, dan pengalaman pertemanan yang retak, mengajarkan saya bahwa kepribadian obsesif kompulsif hanya akan membawa saya pada kehancuran karakter. Kita berada di dunia yang tidak sempurna, teman-teman yang tidak sempurna, pasangan yang tidak sempurna, pekerjaan yang tidak sempurna, hidup yang tidak sempurna, karena memang kesempurnaan hanya milik Dia, yang menciptakan dunia yang mula-mula sempurna, tetapi menjadi tidak sempurna karena perbuatan ciptaannya. Mengejar kesempurnaan tanpa mengingat sang Pencipta, hanya akan berakhir sia-sia dan membuat jiwa terasa hampa. Apakah anda dan saya tetap menginginkannya?


Friday, March 18, 2011

Gelar

Setahun yang lalu di bulan yang sama saya menyelesaikan studi S2. Rasanya waktu berlalu begitu cepat. Maka ketika seorang teman kuliah menelepon saya untuk menanyakan tesis, saya sedikit terhenyak karena ternyata masih banyak teman seangkatan yang belum selesai sampai saat ini. Saya tahu bukan karena mereka tidak mampu, tetapi karena kesibukan yang sangat menyita waktu. Saya teringat saat perkuliahan, mereka adalah orang-orang cerdas yang selalu mampu membuat diskusi menjadi menarik dan penuh wawasan. Jadi sebenarnya tanpa selesai-pun, bagi saya mereka sudah layak menyandang gelar MBA. Masalahnya karena sekolah adalah sebuah jenjang akademik dengan berbagai peraturan, dan untuk mencapai gelar tertentu harus melewati serangkaian ujian, maka bagaimanapun juga setiap orang yang sudah berkomitmen mengambil jenjang pendidikan tersebut harus melewatinya.
Pendidikan adalah aktivitas yang terus berkelanjutan, baik formal maupun informal. Pendidikan formal merujuk kepada jenjang pendidikan dari SD sampai Universitas, yang bertingkat lagi  menjadi S1, S2, dan S3. Informal merujuk kepada kursus, pelatihan, training, dan sebagainya. Untuk pekerjaan yang berkaitan dengan keilmuan, seperti guru, dosen, jenjang pendidikan formal menjadi syarat utama. Seorang dosen yang mengajar S1, tidak cukup lagi hanya bergelar S1 tetapi harus S2. Dosen yang mengajar S2, minimal harus berpendidikan S3, begitu seterusnya. Hal ini dimaksudkan agar lulusan yang ada menjadi lebih berkualitas, karena diajar oleh pengajar yang “berkualitas”, terbukti dari gelar yang mereka miliki.
Kenyataan tersebut membuat saya bertanya, apakah benar gelar menunjukkan kualitas seseorang? Semestinya begitu. Ketika mengambil kuliah Magister Manajemen, saya bertujuan agar kualifikasi saya meningkat, paling tidak kalau suatu ketika saya merasa sudah saatnya untuk pindah kerja. Maka dengan gelar MBA di belakang, dan masih menempelnya gelar dokter (dr) di depan nama saya, saya merasa akan lebih menjual. Kalau bahasa marketingnya, ada nilai tambah (added value) yang saya miliki, sehingga saya memiliki keunggulan kompetitif dibanding orang lain. Yah, anggap saja seperti ayam goreng Kolonel Sanders, yang harganya bisa 2x lipat dari ayam goreng kaki lima. Sama-sama ayam goreng, tapi valuenya berbeda.
Tambahan gelar tentu menimbulkan rasa bangga bagi pemiliknya, tetapi sesungguhnya gelar tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan, maksudnya ada dampak positif  ke masyarakat dengan kita menyandang gelar tersebut. Harus diakui bahwa masyarakat kita sangat menjunjung tinggi gelar. Orang dengan jenjang lebih tinggi akan sangat dihargai dan dihormati, dianggap terpandang, dan memiliki kemampuan lebih yang tidak dimiliki orang lain. Pertanyaannya adalah, apakah selalu begitu? Idealnya iya, karena bagaimanapun, gelar tersebut diraih bukan tanpa usaha yang mudah tetapi penuh perjuangan. Sehingga sudah seharusnya orang yang memiliki tempelan gelar memiliki cara berpikir dan bersikap yang lebih bijaksana dan lebih mampu menjawab tantangan zaman.
Saya sering berpikir, bahwa orang akan memiliki respek berbeda ketika mereka mengetahui gelar yang kita miliki. Saya mengalaminya beberapa waktu yang lalu ketika akan mengadakan pelatihan di sebuah Rumah Sakit di Bekasi. Seperti biasa satu hari sebelum pelatihan, saya mengadakan survey ke rumah sakit tersebut untuk mengkonfirmasi Traning Need Analysis yang sudah diberikan, apakah memang itu yang dibutuhkan atau mungkin ada tambahan. Karena hanya memperkenalkan nama tanpa embel-embel lain, tuan rumah yang sudah senior (baca: tua), menerima saya dengan biasa-biasa saja. Bukan berarti saya ingin disambut bak pahlawan, tapi kita akan merasa apakah seseorang menaruh penghargaan kepada kita atau tidak. Dalam perbincangan formal sehari-hari, sudah wajar kalau orang yang lebih tua akan memanggil nama kepada kita atau panggilan sopan dengan menambahkan embel-embel mas atau mbak. Demikian pula tuan rumah tersebut memanggil saya dengan panggilan “Mbak”. Tetapi semua berubah ketika keesokan harinya, saat pelatihan  saya memperkenalkan diri melalui curriculum vitae. Tuan rumah yang kemarin memanggil saya “Mbak”, mendadak berubah sikap dan memanggil saya “Ibu Dokter” dengan penuh rasa hormat.  Dalam hati saya tersenyum, ternyata benar, orang Indonesia masih sangat dipengaruhi oleh hal-hal luar, termasuk gelar yang disandang, sehingga semua itu mempengaruhi penilaian mereka terhadap seseorang. Seandainya saya tidak menyebutkan curriculum vitae, mungkin sikap beliau tidak berubah.
Pada kenyataannya saya sedang berusaha untuk tidak terikat pada gelar-gelar itu, tetapi bagaimana saya memunculkan kualitas yang dapat dilihat orang tanpa mereka perlu tahu embel-embel saya, karena sejujurnya itulah yang terpenting, kemampuan diri yang sesuai dengan gelarnya, dan bukan gelar itu sendiri. Jadi tidak ada gunanya membanggakan diri. Bukankah begitu?
Kalau pujangga Shakespeare bertanya apalah artinya sebuah nama, saya sedang bertanya-tanya apalah artinya sebuah atau lebih gelar di depan atau belakang nama kita kalau itu tidak diimbangi dengan tindakan nyata. Bukan panjangnya gelar yang diperlukan, tetapi apakah gelar tersebut membuat orang yang memakainya lebih bermanfaat bagi masyarakat atau tidak. Banyak orang dengan embel-embel gelar panjang, ternyata melakukan hal-hal yang tidak pantas untuk dilakukan, tetapi orang yang tanpa gelar melakukan banyak hal bagi masyarakat di sekitarnya. Gelar merujuk kepada IQ, sedangkan kualitas seseorang tidak hanya ditentukan oleh IQ. Justru dalam kehidupan bermasyarakat, emotional quotient atau kecerdasan emosional memegang peranan sangat penting.
Saya teringat cerita Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intelligence. Dikisahkan bahwa diadakan eksperimen terhadap anak-aanak TK di kampus Stanford University. Dalam eksperimen tersebut, masing-masing anak-anak TK berumur empat tahun diberikan 1 kantong marshmallow (sejenis manisan kenyal bertekstur lembut). Peneliti kemudian menjelaskan bahwa dia akan pergi sebentar meninggalkan anak-anak itu. Kalau anak-anak tersebut mampu menahan diri untuk tidak makan marshmallow sampai peneliti datang kembali, mereka akan mendapat tambahan 1 kantong, sehingga totalnya mendapat 2 kantong. Tetapi  kalau mereka tidak tahan dan ingin segera memakannya tanpa menunggu peneliti datang, mereka hanya akan mendapat 1 kantong. Anak-anak yang ingin mendapat 2 kantong berusaha keras mengalihkan perhatiannya dari masrshmallow, ada yang meletakkan kepala di lengannyanya, menutup mata, menari, menyanyi, dan sebagainya. Tujuannya agar tidak tergoda untuk makan marshmallow sampai peneliti datang kembali sekitar 20 menit kemudian. Waktu yang cukup lama bagi seorang anak TK dengan iming-iming manisan enak di depannya. Evaluasi dilanjutkan sampai anak-anak tersebut lulus SMU dan melanjutkan ke universitas. Dari hasil penelitian didapatkan fakta bahwa anak-anak yang berusaha keras menahan diri tidak makan marshmallow sampai peneliti datang, tumbuh menjadi orang-orang yang lebih tangguh dalam kehidupannya, dan mampu menunda pemuasan demi mengejar tujuan. Tetapi anak-anak TK yang tidak sabaran dan segera memakan marshmallow begitu peneliti keluar ruangan, tumbuh menjadi orang-orang yang memiliki gambaran psikologis lebih merepotkan, cenderung menjauhi hubungan sosial, keras kepala, peragu, mudah kecewa, menganggap diri tidak berharga, dan tidak mampu menunda pemuasan untuk suatu tujuan tertentu. Dari situ diambil kesimpulan, bahwa kecerdasan emosional sangat berperan dalam kehidupan seseorang.
Jadi saya berkesimpulan, gelar saja tidak cukup, karena apalah artinya orang pandai tetapi memiliki kecerdasan emosional yang rendah. Kalau begitu apakah berarti gelar tidak berguna? Tidak juga, karena bagaimanapun orang akan berusaha meraih jenjang pendidikan yang lebih tinggi untuk meningkatkan kualitasnya. Selain itu lowongan pekerjaan juga mensyaratkan pelamarnya untuk memenuhi kualifikasi yang terkait dengan tingkat pendidikan tertentu. Pertanyaannya, sesuaikah gelar yang kita miliki dengan kemampuan yang ada? Seharusnya sesuai, harapannya seperti itu. Karena itulah saya paling malas mencantumkan gelar “dokter” di depan nama saya, karena merasa bahwa saat ini saya sudah tidak memiliki kualifikasi tersebut, baik keilmuan maupun secara praktek. Tetapi untuk kepentingan marketing, saya mengalah dengan tetap mencantumkannya di depan nama saya, yang terbukti memang manjur! Paling tidak untuk orang-orang yang sangat terpengaruh dengan gelar. Tetapi apakah itu membuat saya bangga? Sama sekali tidak. Trus bagaimana? Yah, sekali lagi hidup kita tidak tergantung gelar yang kita punya. Saya setuju kalau pendidikan sangat diperlukan dan merupakan salah satu syarat untuk mencapai kesuksesan hidup. Tetapi kenyataan menunjukkan banyak orang meraih sukses tanpa memiliki gelar. Andrie Wongso-motivator, Purdi E Chandra-pendiri Primagama, Andy F. Noya-host Kick Andy, Emha Ainun Najib-agamawan/budayawan, adalah sedikit dari orang-orang yang sukses tanpa gelar. Saya percaya, salah satu modal mereka adalah kecerdasan emosional seperti yang disebutkan Goleman, yang mencakup pengendalian diri, semangat, ketekunan, dan kemampuan memotivasi diri.
Jadi sekarang, kalau kita tenggelam oleh kebanggaan akan gelar yang kita punya, saatnya merenung, apakah kita sudah berdampak ke orang lain dengan gelar tersebut? Jangan-jangan dengan atau tanpa gelar pun, perbuatan kita tidak berdampak apa-apa bagi kebaikan orang lain. Wah, kalau begitu, itu pertanda lampu kuning untuk segera mawas diri. Mudah-mudahan hal ini tidak terjadi pada saya dan anda, yang termasuk orang-orang yang lebih mementingkan kualitas dan makna dibalik gelar dibanding gelar itu sendiri. Semoga!



Saturday, March 12, 2011

Empati

             Beberapa kejadian yang saya alami membuat saya merenung apakah sudah begitu sulit mencari orang yang mau memahami orang lain di ibu kota ini. Tanpa bermaksud menyalahkan siapapun, saya sampai pada kesimpulan bahwa kehidupan di Jakarta bisa membuat orang kehilangan nalar. Egois, mementingkan diri sendiri, dan terkadang tidak menggunakan akal. Sesuatu yang seharusnya bukan masalah, bisa menjadi masalah, bahkan urusan sepele seperti parkir mobil.
                Tinggal di rumah kos dengan parkir mobil terbatas membuat saya harus berjuang mencari parkiran sepulang dari kantor. Karena itu saya berusaha untuk tidak pulang terlalu malam agar kebagian tempat. Tiga tahun yang lalu, parkiran mobil di tempat saya tinggal tidak pernah ada masalah, karena orang-orang yang tinggal di situ memiliki garasi di rumah masing-masing. Seiring kemakmuran yang meningkat, 1 rumah tidak cukup hanya dengan 1 mobil, sehingga mulailah berlomba-lomba 1 rumah dengan 2 mobil. Sayangnya, kemampuan membeli mobil tidak diimbangi dengan kemampuan merenovasi garasi, sehingga dimulailah persaingan ketat setiap hari untuk mendapatkan tempat parkir.
                Saya tinggal di perkampungan yang lebih mirip perumahan, dengan jalanan depan yang tidak terlalu lebar karena hanyalah sebuah gang. Dengan garasi yang hanya memuat 1 mobil, maka mobil-kedua mereka mulai diparkir di jalan dan menggusur tempat parkiran mobil saya. Mulailah berlaku “hukum kecepatan”, siapa lebih dahulu datang akan mendapatkan tempat parkir. Meskipun terkadang jengkel dan sebal, saya berusaha sadar bahwa jalanan depan rumah kos bukanlah milik saya, sehingga setiap orang berhak untuk memarkir mobilnya di situ. Tidak ada peraturan yang mengatakan bahwa depan rumah kos adalah hak parkir orang yang tinggal di kos tersebut. Justru saya merasa malu karena membawa mobil tetapi tidak memiliki garasi. Meskipun begitu saya tidak tahu apakah orang yang memiliki 2 mobil dan menyerobot parkiran orang juga memiliki rasa malu (sepertinya tidak). Saya hanya berlandaskan kesadaran bahwa saya tidak memilki hak apapun atas jalanan di depan kos saya, sehingga kalau ada orang parkir di situ saya tidak berhak marah, karena semua orang memiliki hak yang sama. Kalau sudah begitu, saya akan menyingkir dan mencari parkiran di tempat lain yang agak jauh dari kos. Untungnya perumahan tersebut aman, dijaga satpam, dan ditutup portal.
                Kesadaran bahwa setiap orang memiliki hak yang sama menghibur hati saya untuk merelakan tempat parkir yang biasa saya pakai ditempati orang lain. Saya belajar memahami dan berharap mereka melakukan hal yang sama. Tetapi ternyata saya terlalu naif mengharapkan orang mengerti orang lain, karena sebuah kejadian yang baru saja saya alami sungguh membuat saya tidak habis pikir. Bermula dari tempat parkir yang sudah penuh di depan kos, saya memarkir mobil agak jauh, tetapi masih di ruang lingkup perumahan tersebut. Saya bermaksud parkir sebentar, karena akan pergi lagi. Saya hanya butuh waktu satu jam untuk mandi, berbenah, lalu berangkat. Ketika saya sudah selesai dan siap berangkat, saya melihat seorang pria yang kira-kira sebaya saya sedang berdiri di dekat mobil dan tampak sibuk menengok ke kanan dan kiri. Feeling saya mengatakan orang tersebut pasti akan berbicara mengenai parkiran mobil, dan ternyata benar. Anehnya, setelah saya masuk dan menyalakan mobil, baru dia mengetok kaca jendela. Spontan saya mematikan mesin dan melangkah ke luar. Dengan sedikit arogan, pria tersebut mengatakan bahwa saya jangan parkir di situ karena sudah ada yang menempati. Spontan saya mengerutkan kening mendengar perkataannya, dan menjelaskan bahwa sayapun tidak akan parkir di situ seandainya jalan di depan kos kosong. Tetapi karena di sana sudah penuh dengan parkiran mobil, saya terpaksa parkir di situ. Pria tersebut melanjutkan dengan mengatakan bahwa tidak apa-apa saya parkir di situ, tetapi kalau mobilnya datang saya harus pindah. Dengan tenang saya mengatakan bahwa jalanan tersebut adalah jalan umum, dan setiap orang memiliki hak yang sama. Saya berharap orang tersebut sadar, karena saya yakin bahwa dia seorang yang berpendidikan. Tetapi ternyata jawabannya sungguh membuat saya terkejut dan hampir terbahak-bahak ketika dia mengatakan bahwa daerah di sekitar sini adalah “teritorinya”, “hak-nya”, karena rumahnya dekat situ. Pria tersebut meneruskan bahwa dia tidak mau ribut, ingin bicara baik-baik. Wah, payah juga, kalau sudah begini tidak akan pernah nyambung. Akhirnya saya memutuskan pembicaraan dan segera pergi karena terburu waktu. Tetapi di sepanjang perjalanan, saya sungguh tidak habis pikir dengan ucapan orang tadi. Teritori? Hak? Hmmm...jatuh dari langit? Saya tidak bisa memahami cara berpikir orang tersebut dan menganggapnya begitu bodoh. Saya membayangkan diri saya yang selama ini mengalah, tidak marah, tidak protes, dan memilih tempat parkir lain seandainya di depan kos sudah penuh. Padahal kalau mau sama bodohnya dengan orang tadi,  bisa saja saya marah-marah dengan orang-orang yang seenaknya parkir di situ. Bukankah itu “teritori” saya? Tetapi saya tidak melakukannya karena sadar bahwa setiap orang yang tinggal di perumahan tersebut  berhak parkir dan bahwa jalanan itu bukan milik saya. Selain itu saya merasa malu, karena menurut pendapat saya, ketika orang memutuskan membeli mobil, maka dia harus sudah mempersiapkan infrastrukturnya yaitu garasi  yang memadai. Pemikiran seperti itulah yang menghibur dan menyadarkan diri saya agar tidak bersikap “memalukan”.
                Saya berharap orang juga berpikir sama seperti yang saya pikirkan, tetapi ternyata tidak. Kejadian tersebut menyadarkan saya bahwa setiap orang berbeda-beda, meskipun masih di luar rasio saya. Menurut saya sudah seharusnya kita saling menghargai dan memahami orang lain, memperhatikan juga kepentingan mereka dan bukan hanya memikirkan diri sendiri. Tetapi ternyata saya salah!
                Hal lain yang juga mengusik saya adalah perilaku pengendara motor, mobil, metromini, bus, yang cenderung mau memang sendiri. Tidak peduli orang lain, menyerobot jalan, berhenti seenaknya, seakan jalan adalah milik mereka. Ketika berhenti di lampu merah Senen, sebuah metromini yang akan belok kanan tetapi mengambil posisi di kiri, terus menerus membunyikan klakson, dan sang kernet membentak-bentak saya untuk berjalan padahal jelas-jelas lampu menyala merah. Teman yang duduk di sebelah menjadi emosi dan balas berteriak-teriak dari dalam mobil. Wah, dalam hati saya berpikir dan teringat pepatah jawa “sing waras ngalah”, yang artinya orang yang merasa waras sebaiknya mengalah dan tidak melanjutkan pertengkaran. Meskipun kernet terus berteriak dari luar mobil dan menunjuk-nunjuk, saya tetap diam tidak bergerak karena lampu belum hijau.
                Kejadian-kejadian tersebut membuat saya bepikir bahwa susah sekali mencari orang yang mau mendengarkan dan memahami orang lain. Pola kerja yang sangat sibuk, tuntutan hidup yang semakin tinggi membuat kita menjadi terburu-buru, kehilangan logika, serta lebih mengedepankan emosi yang setiap saat bisa meledak. Sejujurnya saya frustrasi dengan kondisi seperti ini. Saya merasa sudah berusaha keras memahami kepentingan orang lain, tetapi ternyata orang lain tidak melakukan hal yang sama. Saya frustrasi karena seakan-akan berjalan sendirian. Ironis, kita sedang hidup dalam dunia yang seperti ini. Saya membayangkan seandainya setiap orang saling mengerti, alangkah damainya. Tidak akan ada pertengkaran, dengki, egois, iri hati, yang ada adalah kerukunan dan suka cita.
                Sebuah kalimat indah di kitab suci terngiang di benak saya, “Segala sesuatu yang kamu kehendaki agar orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga kepada mereka.” Ajaran ini mengandung arti empati, memahami orang lain, menempatkan diri kita sebagai orang lain sehingga kita akan memperlakukan orang lain seperti kita ingin diperlakukan. Kamus besar Bahasa Indonesia mengartikan empati sebagai keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasikan dirinya dalam keadaan perasaaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain. Konkretnya seperti ini:  pasti kita tidak ingin dicaci maki, maka janganlah kita mencaci maki orang. Pastilah kita tidak ingin dipukul, maka janganlah memukul. Pastilah kita ingin dikasihi, dimengerti, disayang, maka marilah kita mengasihi, mengerti, dan menyayangi orang lain.
                Saya percaya bahwa setiap keyakinan mengajarkan hal tersebut kepada pengikutnya, tetapi kalau keyakinan hanya dimaknai sebagai sebuah ritual tanpa spiritualitas maka ajaran itu menjadi kehilangan makna. Saya sungguh memimpikan dunia dimana orang saling mengerti dan memahami kepentingan orang lain sehingga menahan diri dari hawa nafsu menguasai dan ingin menang sendiri. Saya merenung dan berharap itu menjadi kenyataan. Saya tidak akan bisa mengubah orang-orang itu, karena yang bisa saya lakukan adalah mengubah diri saya. Yang bisa saya lakukan adalah bersyukur saya masih memiliki kesadaran dan biarlah saya tetap konsisten bersikap seperti itu. Kalaupun orang lain tidak, saya tidak perlu frustrasi, dan menganggap itu semua sebagai batu ujian untuk memurnikan diri. Semoga.....