Beberapa kejadian yang saya alami membuat saya merenung apakah sudah begitu sulit mencari orang yang mau memahami orang lain di ibu kota ini. Tanpa bermaksud menyalahkan siapapun, saya sampai pada kesimpulan bahwa kehidupan di Jakarta bisa membuat orang kehilangan nalar. Egois, mementingkan diri sendiri, dan terkadang tidak menggunakan akal. Sesuatu yang seharusnya bukan masalah, bisa menjadi masalah, bahkan urusan sepele seperti parkir mobil.
Tinggal di rumah kos dengan parkir mobil terbatas membuat saya harus berjuang mencari parkiran sepulang dari kantor. Karena itu saya berusaha untuk tidak pulang terlalu malam agar kebagian tempat. Tiga tahun yang lalu, parkiran mobil di tempat saya tinggal tidak pernah ada masalah, karena orang-orang yang tinggal di situ memiliki garasi di rumah masing-masing. Seiring kemakmuran yang meningkat, 1 rumah tidak cukup hanya dengan 1 mobil, sehingga mulailah berlomba-lomba 1 rumah dengan 2 mobil. Sayangnya, kemampuan membeli mobil tidak diimbangi dengan kemampuan merenovasi garasi, sehingga dimulailah persaingan ketat setiap hari untuk mendapatkan tempat parkir.
Saya tinggal di perkampungan yang lebih mirip perumahan, dengan jalanan depan yang tidak terlalu lebar karena hanyalah sebuah gang. Dengan garasi yang hanya memuat 1 mobil, maka mobil-kedua mereka mulai diparkir di jalan dan menggusur tempat parkiran mobil saya. Mulailah berlaku “hukum kecepatan”, siapa lebih dahulu datang akan mendapatkan tempat parkir. Meskipun terkadang jengkel dan sebal, saya berusaha sadar bahwa jalanan depan rumah kos bukanlah milik saya, sehingga setiap orang berhak untuk memarkir mobilnya di situ. Tidak ada peraturan yang mengatakan bahwa depan rumah kos adalah hak parkir orang yang tinggal di kos tersebut. Justru saya merasa malu karena membawa mobil tetapi tidak memiliki garasi. Meskipun begitu saya tidak tahu apakah orang yang memiliki 2 mobil dan menyerobot parkiran orang juga memiliki rasa malu (sepertinya tidak). Saya hanya berlandaskan kesadaran bahwa saya tidak memilki hak apapun atas jalanan di depan kos saya, sehingga kalau ada orang parkir di situ saya tidak berhak marah, karena semua orang memiliki hak yang sama. Kalau sudah begitu, saya akan menyingkir dan mencari parkiran di tempat lain yang agak jauh dari kos. Untungnya perumahan tersebut aman, dijaga satpam, dan ditutup portal.
Kesadaran bahwa setiap orang memiliki hak yang sama menghibur hati saya untuk merelakan tempat parkir yang biasa saya pakai ditempati orang lain. Saya belajar memahami dan berharap mereka melakukan hal yang sama. Tetapi ternyata saya terlalu naif mengharapkan orang mengerti orang lain, karena sebuah kejadian yang baru saja saya alami sungguh membuat saya tidak habis pikir. Bermula dari tempat parkir yang sudah penuh di depan kos, saya memarkir mobil agak jauh, tetapi masih di ruang lingkup perumahan tersebut. Saya bermaksud parkir sebentar, karena akan pergi lagi. Saya hanya butuh waktu satu jam untuk mandi, berbenah, lalu berangkat. Ketika saya sudah selesai dan siap berangkat, saya melihat seorang pria yang kira-kira sebaya saya sedang berdiri di dekat mobil dan tampak sibuk menengok ke kanan dan kiri. Feeling saya mengatakan orang tersebut pasti akan berbicara mengenai parkiran mobil, dan ternyata benar. Anehnya, setelah saya masuk dan menyalakan mobil, baru dia mengetok kaca jendela. Spontan saya mematikan mesin dan melangkah ke luar. Dengan sedikit arogan, pria tersebut mengatakan bahwa saya jangan parkir di situ karena sudah ada yang menempati. Spontan saya mengerutkan kening mendengar perkataannya, dan menjelaskan bahwa sayapun tidak akan parkir di situ seandainya jalan di depan kos kosong. Tetapi karena di sana sudah penuh dengan parkiran mobil, saya terpaksa parkir di situ. Pria tersebut melanjutkan dengan mengatakan bahwa tidak apa-apa saya parkir di situ, tetapi kalau mobilnya datang saya harus pindah. Dengan tenang saya mengatakan bahwa jalanan tersebut adalah jalan umum, dan setiap orang memiliki hak yang sama. Saya berharap orang tersebut sadar, karena saya yakin bahwa dia seorang yang berpendidikan. Tetapi ternyata jawabannya sungguh membuat saya terkejut dan hampir terbahak-bahak ketika dia mengatakan bahwa daerah di sekitar sini adalah “teritorinya”, “hak-nya”, karena rumahnya dekat situ. Pria tersebut meneruskan bahwa dia tidak mau ribut, ingin bicara baik-baik. Wah, payah juga, kalau sudah begini tidak akan pernah nyambung. Akhirnya saya memutuskan pembicaraan dan segera pergi karena terburu waktu. Tetapi di sepanjang perjalanan, saya sungguh tidak habis pikir dengan ucapan orang tadi. Teritori? Hak? Hmmm...jatuh dari langit? Saya tidak bisa memahami cara berpikir orang tersebut dan menganggapnya begitu bodoh. Saya membayangkan diri saya yang selama ini mengalah, tidak marah, tidak protes, dan memilih tempat parkir lain seandainya di depan kos sudah penuh. Padahal kalau mau sama bodohnya dengan orang tadi, bisa saja saya marah-marah dengan orang-orang yang seenaknya parkir di situ. Bukankah itu “teritori” saya? Tetapi saya tidak melakukannya karena sadar bahwa setiap orang yang tinggal di perumahan tersebut berhak parkir dan bahwa jalanan itu bukan milik saya. Selain itu saya merasa malu, karena menurut pendapat saya, ketika orang memutuskan membeli mobil, maka dia harus sudah mempersiapkan infrastrukturnya yaitu garasi yang memadai. Pemikiran seperti itulah yang menghibur dan menyadarkan diri saya agar tidak bersikap “memalukan”.
Saya berharap orang juga berpikir sama seperti yang saya pikirkan, tetapi ternyata tidak. Kejadian tersebut menyadarkan saya bahwa setiap orang berbeda-beda, meskipun masih di luar rasio saya. Menurut saya sudah seharusnya kita saling menghargai dan memahami orang lain, memperhatikan juga kepentingan mereka dan bukan hanya memikirkan diri sendiri. Tetapi ternyata saya salah!
Hal lain yang juga mengusik saya adalah perilaku pengendara motor, mobil, metromini, bus, yang cenderung mau memang sendiri. Tidak peduli orang lain, menyerobot jalan, berhenti seenaknya, seakan jalan adalah milik mereka. Ketika berhenti di lampu merah Senen, sebuah metromini yang akan belok kanan tetapi mengambil posisi di kiri, terus menerus membunyikan klakson, dan sang kernet membentak-bentak saya untuk berjalan padahal jelas-jelas lampu menyala merah. Teman yang duduk di sebelah menjadi emosi dan balas berteriak-teriak dari dalam mobil. Wah, dalam hati saya berpikir dan teringat pepatah jawa “sing waras ngalah”, yang artinya orang yang merasa waras sebaiknya mengalah dan tidak melanjutkan pertengkaran. Meskipun kernet terus berteriak dari luar mobil dan menunjuk-nunjuk, saya tetap diam tidak bergerak karena lampu belum hijau.
Kejadian-kejadian tersebut membuat saya bepikir bahwa susah sekali mencari orang yang mau mendengarkan dan memahami orang lain. Pola kerja yang sangat sibuk, tuntutan hidup yang semakin tinggi membuat kita menjadi terburu-buru, kehilangan logika, serta lebih mengedepankan emosi yang setiap saat bisa meledak. Sejujurnya saya frustrasi dengan kondisi seperti ini. Saya merasa sudah berusaha keras memahami kepentingan orang lain, tetapi ternyata orang lain tidak melakukan hal yang sama. Saya frustrasi karena seakan-akan berjalan sendirian. Ironis, kita sedang hidup dalam dunia yang seperti ini. Saya membayangkan seandainya setiap orang saling mengerti, alangkah damainya. Tidak akan ada pertengkaran, dengki, egois, iri hati, yang ada adalah kerukunan dan suka cita.
Sebuah kalimat indah di kitab suci terngiang di benak saya, “Segala sesuatu yang kamu kehendaki agar orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga kepada mereka.” Ajaran ini mengandung arti empati, memahami orang lain, menempatkan diri kita sebagai orang lain sehingga kita akan memperlakukan orang lain seperti kita ingin diperlakukan. Kamus besar Bahasa Indonesia mengartikan empati sebagai keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasikan dirinya dalam keadaan perasaaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain. Konkretnya seperti ini: pasti kita tidak ingin dicaci maki, maka janganlah kita mencaci maki orang. Pastilah kita tidak ingin dipukul, maka janganlah memukul. Pastilah kita ingin dikasihi, dimengerti, disayang, maka marilah kita mengasihi, mengerti, dan menyayangi orang lain.
Saya percaya bahwa setiap keyakinan mengajarkan hal tersebut kepada pengikutnya, tetapi kalau keyakinan hanya dimaknai sebagai sebuah ritual tanpa spiritualitas maka ajaran itu menjadi kehilangan makna. Saya sungguh memimpikan dunia dimana orang saling mengerti dan memahami kepentingan orang lain sehingga menahan diri dari hawa nafsu menguasai dan ingin menang sendiri. Saya merenung dan berharap itu menjadi kenyataan. Saya tidak akan bisa mengubah orang-orang itu, karena yang bisa saya lakukan adalah mengubah diri saya. Yang bisa saya lakukan adalah bersyukur saya masih memiliki kesadaran dan biarlah saya tetap konsisten bersikap seperti itu. Kalaupun orang lain tidak, saya tidak perlu frustrasi, dan menganggap itu semua sebagai batu ujian untuk memurnikan diri. Semoga.....
Nulis di blog dapat SAOS “Kaos Rasa Solo”, Mau? Silahkan buka http://saos-solo.blogspot.com/
ReplyDelete