Tuesday, January 25, 2011

tentang motivasi

Semilir angin dingin sehabis hujan menerpa muka saya yang sedang berjalan ringan bersama keponakan di depan Surabaya Plaza Hotel. Ini adalah malam kedua saya di kota Pahlawan dan saya sengaja menghabiskannya bersama keluarga. Paling tidak ini adalah cara saya meninggalkan rutinitas kerja yang menuntut saya mempersiapkan presentasi dan googling bahan-bahan dari internet untuk melengkapinya. Jalan-jalan dan berburu kuliner adalah cara paling nikmat untuk  membebaskan pikiran dan mencari ide-ide baru. Sebagai seseorang yang tertarik dengan hal-hal inspirasional dan motivational, sensitivitas saya bergerak cepat ketika keponakan mengajukan pertanyaan menggelitik seperti ini,” Tante, apakah anak pertama itu jadi percobaan? Buktinya aku disuruh bapak ibu untuk sekolah S1, tapi adikku dibebaskan, terserah dia. Berarti aku dibuat percobaan dong?”. Saya terdiam sesaat memikirkan jawabannya sebelum berbicara, “Bukan percobaan, tetapi anak pertama itu diharapkan menjadi contoh bagi adik-adiknya. Makanya kamu harus kuliah. Masak anak sekarang nggak kuliah.” “Tapi tante, itu kan namanya coba-coba.” “Enggak lah, itu karena bapak ibu tahu kamu mampu dan percaya padamu, sedangkan adikmu belum tentu. Bisa jadi selama ini nilai SMU-nya tidak bagus, sehingga mereka mempertimbangkan untuk memberi kebebasan.” Jawab saya panjang lebar. Kadang-kadang bingung juga mencari bahasa yang tepat untuk pemuda yang beranjak dewasa. Keponakan saya terdiam, lalu berkata, “Iya sih, bisa jadi..”  Sejenak perbincangan kami terhenti karena kami melaju di jalanan Surabaya dengan motornya yang cepat. Keponakan saya melanjutkan lagi pertanyaaanya sambil kami berkendara,”Tante, aku tuh pengen seperti Bapak, Bude, Tante, yang rajin belajar sampai malam-malam. Kok bisa sih semangat seperti itu. Aku kok nggak ada motivasi, padahal pengen juga. Jadinya malas... Gimana caranya biar termotivasi.” Saya terdiam lagi menyusun kata-kata. Memotivasi orang adalah hal biasa yang sering saya lakukan, tetapi memotivasi keponakan yang berusia di awal 20-an rasanya perlu memeras otak mencari bahasa yang tepat. Saya mulai dengan kalimat seperti ini, “ Motivasi berasal dari dalam hati, jadi diri kita sendiri yang menentukan apakah akan termotivasi atau tidak.” Sampai di sini saya berhenti sejenak menunggu responnya dan melanjutkan, “Motivasi tidak akan muncul kalau kita tidak memiliki tujuan. Yang terpenting adalah tujuan. Tanpa ada tujuan, tidak akan ada motivasi. Contohnya Tante Rum, termotivasi mengerjakan tesis karena ingin cepat selesai kuliah. Makanya tante Rum mengerjakannya dengan penuh semangat. Bapak kamu pasti juga punya tujuan yang jelas. Jadi hal pertama yang harus kamu miliki adalah “tujuan yang jelas”. Tanpa itu jangan harap kamu termotivasi. Jadi tetapkan dulu tujuan kamu. Kalau sudah ada, motivasi akan muncul sendiri.” jelas saya panjang lebar. Kali ini keponakan saya tampak bersemangat dan berkata,”Wah, benar juga Tante, mungkin karena aku nggak ada tujuannya..” “Oke, kalau begitu sekarang dimulai dengan menetapkan apa tujuan kamu,” jawab saya. Obrolan kami terhenti karena lama-lama tidak nyaman juga berbincang di jalan raya, apalagi kalau pas lampu merah dan kami harus berhenti. Mungkin karena menggunakan helm kami berbicara setengah berteriak dan membuat pengendara motor lain menoleh ke arah kami.

Percakapan saya dengan keponakan malam itu ternyata menginspirasi dan mengingatkan saya lagi mengenai prinsip dasar motivasi yaitu adanya tujuan yang jelas. Tanpa ada tujuan jelas, mau dimotivasi seperti apapun orang tidak akan bergerak, karena memang tidak ada tujuan yang akan dicapai. Jadi sebenarnya inti dari motivasi adalah membantu orang menemukan tujuan hidupnya dan apa yang ingin dicapai. Motivasi bukanlah teriakan-teriakan pembangkit semangat, meloncat, berlari, dan sebagainya. Bagi saya semua itu hanya sampingan dan alat yang digunakan. Orang bisa berteriak-teriak memompa semangat, tetapi kalau dia tidak punya tujuan, maka itu akan berhenti di situ saja tanpa aksi yang pasti.

Tujuan sering disebut dengan “goal” atau “dream”. Film Sang Pemimpi memberi saya pencerahan dalam hal ini. Impian yang dimiliki seorang pemuda bernama Ikal dan yang diberi energi tiada henti  membawanya ke tingkat lebih tinggi yang akhirnya merubah hidupnya. Impian, tujuan yang jelas, adalah bara yang terus menerus membakar hati seseorang untuk tabah berjuang. Tujuan yang jelas harus dilengkapi dengan keyakinan akan tujuan tersebut. Apabila kita tidak memiliki keyakinan diri yang cukup, maka kitapun tidak akan sampai ke tujuan karena selalu bimbang dan ragu. Saya pernah mengalami masa ketika saya merasa tidak yakin akan tujuan saya menjadi trainer. Akibatnya langkah saya ke sana menjadi lambat dan tidak ada greget karena saya tidak cukup percaya diri bahwa tujuan saya akan berhasil. Hanya satu hal yang diperlukan dalam kondisi seperti itu, mereview ulang tujuan tersebut, merenungkannya, dan mencari jawaban paling jujur dalam hati kita apa yang kita impikan dalam hidup ini. Jawaban saya terhenti pada keinginan untuk menginspirasi orang lain menemukan tujuan hidupnya melalui pengajaran maupun tulisan yang saya buat. Impian ini saya pupuk dan saya semai lagi agar tidak menjadi padam sampai akhirnya saya benar-bernar pindah kerja dan menjadi seorang trainer.

Saya kembali merenung malam ini. Pertanyaan sang keponakan ternyata berdampak dan menginspirasi saya menuliskan catatan ini. Tiga minggu di tempat baru telah menyita waktu saya siang dan malam untuk menyelesaikan modul pelatihan yang nantinya akan menjadi pegangan bagi pelatihan negosiasi di tempat kami. Saya termotivasi memberikan yang terbaik, dan berharap itu menjadi karya saya yang pertama di tempat baru, sehingga saya mencurahkan seluruh waktu dan tenaga untuk menyelesaikannya. Akibatnya produktivitas saya dalam menulis menjadi turun karena waktu yang ada saya gunakan untuk menyelesaikan tugas kantor. Pertanyaan menggelitik dari keponakan telah menyentil saya untuk menulis lagi dan mengingat ulang pesan seorang Penulis “jangan malas.” Ah, sebenarnya bukan karena malas, tetapi karena saya ingin memberikan yang terbaik untuk modul tersebut sehingga saya seperti enggan beralih ke kegiatan lain. Tetapi ternyata hal itu mengusik hati saya agar segera menggerakkan tangan menulis cerita-cerita baru. Yup,saya akan terus menulis karena ternyata itu adalah panggilan hati yang tidak bisa dibendung. Saya teringat pertanyaan sang keponakan, “Saya pengen seperti Bapak, Bude, Tante yang rajin belajar. Tapi kok tidak termotivasi ya....” dan kemudian jawaban saya ““Motivasi tidak akan muncul kalau kita tidak memiliki tujuan. Yang terpenting adalah tujuan.” Ah, saya bersyukur, jawaban yang saya berikan mengingatkan saya lagi akan tujuan yang ingin saya capai dalam hidup ini. Memang benar, ketika kita memotivasi seseorang, sebenarnya kita juga sedang memotivasi diri sendiri. Sekarang, saya sangat termotivasi dan tergerak oleh tujuan saya, bagaimana dengan anda?

Saturday, January 8, 2011

sejenak aku menoleh... (catatan di minggu pertama awal tahun)

Tahun 2011 sudah berjalan satu minggu. Setahun lalu di waktu yang sama, saya sedang berjuang menyelesaikan tesis untuk mengejar wisuda pertama di tahun 2010. Masa itu ternyata sangat cepat berlalu, padahal serasa masih di pelupuk mata. Sungguh, waktu berjalan secepat kilat tanpa saya sanggup menahannya (dan memang tidak mungkin ditahan, karena semuanya akan berlalu). Tahun 2010 menyisakan hal-hal menarik yang membuat saya tidak putus mengucap syukur, mulai dari hal besar seperti selesai kuliah S2, promosi, jalan-jalan ke luar negeri, sampai kepastian bekerja di tempat baru yang datang bagaikan mimpi, maupun hal-hal biasa yang sering terlupakan seperti tidur nyenyak setiap malam dan bangun pagi dengan segar keesokan harinya. Semuanya menuntun saya untuk selalu mengingat penyertaan Tuhan. Semua peristiwa itu sudah berlalu, dan saat ini saya menapaki tahun baru yang sudah berjalan 1 minggu. Sebuah lagu yang dinyanyikan di kebaktian awal tahun kemarin menggambarkan dengan jelas proses perjalanan tersebut. Saya lupa syairnya secara penuh,  tetapi kira-kira seperti ini:

“Sejenak aku menoleh, pada jalan yang telah kutempuh.
Kasih Tuhan kuperoleh membuatku tertegun.
Jalan itu penuh liku, kadang-kadang tanpa terang.
Tapi Tuhan membimbingku hingga aku tercengang
Kasih Tuhan membimbingku dan hatikupun tenang...”

Ya, kalau saat ini saya menoleh ke belakang, sungguh saya tertegun. Apa yang telah saya lewati dan terima di 2010 begitu mencengangkan. Tahun itu pula saya mulai mengasah lagi talenta saya dan menyadari betapa Tuhan memberi banyak bekal yang bisa saya olah untuk menjadi berkat. Sekecil apapun talenta itu, tetapi kalau terus dilatih pasti akan berbuah. Seperti pisau tumpul yang terus diasah dan akhirnya tajam juga. Filosofi pisau tumpul mengingatkan saya kepada almarhum Bapak yang selalu memberi wejangan ketika saya belajar di bangku sekolah dasar, “punggung pisau kalau terus-menerus diasah lama-lama akan tajam juga.” Itu sangat benar! Proses mengasahnya memang tidak mudah dan membutuhkan waktu, kesabaran, kekonsistenan secara terus menerus, tetapi tidak ada yang tidak membuahkan hasil! Seperti yang saya alami saat ini ketika masuk ke pekerjaan baru yang sesungguhnya tidak benar-benar baru. Trainer adalah pekerjaan saya 7 tahun lalu ketika saya mulai masuk ke industri farmasi yang kemudian saya tinggalkan karena ingin mencicipi marketing. Ternyata tahun 2011 “menakdirkan” saya untuk kembali masuk ke dunia yang sudah saya tinggalkan. Mengajar adalah kesukaan saya, berbicara di depan umum sudah seperti menghirup oksigen bagi saya. Tetapi ternyata itu tidak cukup ketika saya kembali ke dunia itu. Saya harus mulai dari awal dan bekerja keras mengejar ketertinggalan, apalagi materi yang saya bawakan juga sangat berbeda. Kalau 7 tahun lalu saya lebih banyak menerapkan ilmu kedokteran karena saya mengajar pengetahuan obat-obatan, maka sekarang saya bergeser ke materi-materi soft skill seperti leadership, service excellent, winning attitude, dan sejenisnya. Belajar lagi dari awal, dengan bermodalkan insight yang saya miliki dan memaksa diri untuk membaca banyak buku. Tetapi itu adalah pilihan yang saya imani setelah saya menyelesaikan kuliah manajemen. Ternyata tidak mudah untuk memulainya lagi apalagi saya belum terbiasa menyusun modul yang terstruktur untuk materi soft skill karena sudah terkikis oleh pemikiran sales dan marketing selama bertahun-tahun. Jadilah seminggu pertama di tempat yang baru sebagai ajang perjuangan dan adaptasi. Suasana kerja yang kondusif sebenarnya membantu proses tersebut, tetapi saya merasa “belum menjadi diri sendiri”. Sebagai orang baru saya merasa harus menjaga image yang justru membuat saya tertekan karena ekspektasi terlalu tinggi yang saya letakkan di diri saya sendiri! Yup, saya membuat sesuatu yang ringan menjadi sangat berat karena saya belum melakukannya dengan “diri saya sendiri, that’s the way I am!” Saya terjebak dengan ketakutan bahwa saya tidak bisa memenuhi ekspektasi yang saya buat dengan standar yang saya tetapkan. Ketakutan itulah yang menggerus karakter saya sehingga saya justru berjalan lambat dan tidak “lepas”. Saya teringat dengan kekalahan kesebelasan Indonesia melawan Malaysia pada kejuaraan Piala AFF 2010 di Kuala Lumpur kemarin. Harapan yang digantungkan terlalu tinggi dan ketakutan untuk kalah justru membuat mental pemain tertekan dan hancur. Itulah yang saya rasakan! Takut salah, takut tidak mampu memenuhi harapan, membuat pikiran saya terkungkung dan tidak kreatif. Tetapi sebuah kalimat yang penuh dorongan di blog saya semalam mampu membangkitkan kembali gairah dan semangat saya. Seorang penulis, Martha Pratana  yang pernah saya temui di Festival Penulis dan Pembaca Kristiani secara mengagetkan memberikan komentar yang sungguh membuat saya bahagia. Komentarnya singkat seperti ini: “Halo Rum....hehehe...saya menemukanmu!! Ayo terus menulis. Ternyata kamu bisa kok menulis sesuatu yang menarik!”  Hati saya serasa tersiram air dingin yang segar dan menyejukkan. Rasa percaya diri saya tiba-tiba melambung mencapai langit, dan semangat untuk berkarya kembali tumbuh subur. Saya yang sempat tertekan karena kecemasan dan ketakutan yang saya buat sendiri, mendadak lega dengan sebuah kalimat sederhana yang saya baca tepat pada waktunya. Rasanya senang sekali, seorang penulis yang sudah menulis banyak buku memberikan komentar seperti itu (Bu Martha, terima kasih banyak komentarnya. Very supporting me! Hehehe). Kejadian seminggu ini menyadarkan saya bahwa kemampuan saja tidak cukup. Kecemasan dan ketakutan justru merenggut semua kemampuan saya sehingga saya menjadi rata-rata dan tidak mampu mengeluarkan segenap potensi yang ada. Persis seperti kesebelasan Indonesia yang dibantai Malaysia dengan 3-0 tanpa balas. Saya berusaha keras untuk menjaga semangat dengan berdoa, tetapi saya terus memegang kecemasan dan ketakutan itu, sehingga doa saya seakan tak terjawab. Saya lupa, bahwa Tuhan yang saya percaya saat ini sama dengan Tuhan yang telah membawa saya di tahun 2010 dengan selamat. Saya lupa, bahwa ketakutan dan kecemasan justru membuat Tuhan tidak bisa berkarya dalam diri saya. Saya lupa, bahwa ketika saya berdoa tetapi saya terus menggenggam erat pikiran-pikiran saya yang mencengkeram, saya tidak akan bisa melepaskan diri dari kegentaran dan ketakutan. Saya lupa, bahwa Tuhan menginginkan saya menggantungkan harapan hanya kepadaNya, bukan pada kemampuan saya sendiri. Saya lupa dengan lagu yang saya nyanyikan di kebaktian awal tahun bahwa Dia yang menolong saya “menyeberang” tahun 2010 tentu tidak akan meninggalkan saya. Saya lupa, bahwa Tuhan bisa bekerja melalui berbagai macam cara, termasuk menggerakkan Bu Martha menulis di blog saya. Saya lupa, bahwa Tuhan yang menempatkan saya di tempat yang baru, juga akan memperlengkapi saya dengan kemampuan untuk menyelesaikan rencana yang sudah dirancangNya dalam hidup saya. Saya mengandalkan kekuatan sendiri, dan ketika saya menjadi gentar karena tuntutan yang saya buat, saya kehilangan kepercayaan diri. Seminggu ini adalah pelajaran berharga di awal tahun, yang menyadarkan saya bahwa apa yang saya miliki tidak ada artinya apabila saya terjebak dalam pengakuan dan kesombongan atas “kemampuan diri” yang justru membawa saya kepada jiwa yang tidak sehat. Sebuah suntikan semangat yang sederhana telah diberikan Tuhan kepada saya malam ini, membuat saya menyadari bahwa Tuhanlah sumber segala yang saya miliki. Keraguan, kecemasan, ketakutan, tidak akan pernah memperbaiki keadaan, karena semua itu justru membuat saya tidak berkembang. Rileks, santai, dengan mata tertuju kepada Yesus, membuat hati saya tenang. Satu minggu penuh makna yang saya mulai dengan langkah berat tetapi justru tidak menghasilkan banyak buah.  Tuhan menyapa saya dengan ringan. Menyadarkan saya untuk sejenak menoleh ke belakang dan melihat pertolonganNya sepanjang tahun yang tidak pernah berhenti. Satu minggu tidak sebanding dengan 366 hari pemeliharaan yang sudah Tuhan berikan di tahun lalu. Jadi untuk apa lagi hati saya dipenuhi kegentaran? Saatnya memandang ke depan dengan iman karena percaya pemeliharaan Tuhan tidak akan pudar. Sekarang tergantung bagaimana saya meresponnya. Selamat berjalan di tahun 2011 yang menjanjikan. Ingatlah untuk sejenak menoleh ke belakang, dan mengecap pemeliharaan Tuhan yang tidak pernah berakhir. Selamat berjuang, God love you and bless you!

Jakarta, 7 Januari 2011, midnight.