Tuesday, October 30, 2012

Empati


Beberapa waktu lalu saya memberikan pelatihan kepemipinan kepada supervisor dan calon manajer di sebuah perusahaan peternakan ayam. Agar lebih memahami proses bisnis dan tantangan yang dihadapi, maka saya berselancar di internet untuk mendapatkan gambaran dan pemahaman mengenai bisnis ayam dan seluk beluknya. Maklum, selama ini sebagian besar outlet yang saya tangani adalah rumah sakit, sehingga peternakan ayam (poultry) masih terasa asing dan buram. Saya hanya mengenal hasil akhirnya saja, fast food,  pecel ayam, sate, nugget, dan olahan lainnya. Hal lain yang saya ingat tentang ayam adalah colok dubur, karena ketika kecil seringkali diminta ayah mengecek apakah seekor ayam betina sudah siap bertelur atau belum dengan memasukkan jari kelingking saya di duburnya. Sebuah ketrampilan yang sewaktu co-ass menjadi sangat penting  ketika saya harus memeriksa seseorang dengan hemorrhoid (ambeien) atau pembesaran kelenjar prostat. Setidaknya saya sudah berlatih mencolok dubur ayam. Hehehe. Padahal menurut teman yang dokter hewan, tindakan saya tersebut bisa dikategorikan pelecehan atau penganiayaan pada ayam dan dilarang di luar negeri. Wah, saya baru tahu, kalau ternyata ayam pun harus dijaga kebebasan dan kenyamanannya, bahkan ketika mereka dipelihara untuk disembelih.
Fakta yang saya dapatkan dari hasil browsing ternyata mengagetkan, bahwa konsumsi daging ayam dan telur per kapita orang Indonesia sangat rendah.  Saya sendiri sebenarnya sudah sangat bosan dan “neg” makan daging ayam dan telur karena hampir setiap hari menyantapnya tetapi ternyata banyak orang yang tidak bisa menikmatinya. Padahal dibanding daging sapi  dan kambing, ayam relatif lebih murah dan mudah didapat. Meskipun demikian tingkat konsumsi orang Indonesia masih sangat kecil, jauh tertinggal dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia. Rata-rata orang Indonesia mengkonsumsi 1 ekor ayam setiap 4 bulan , sedangkan Malaysia 3 ekor ayam, telur 1 butir per minggu, sedangkan Malaysia 1 butir per hari. Perbedaaan yang sangat jauh, yang artinya bahwa bagi sebagian besar rakyat Indonesia belum mampu menyantap telur dan ayam sebagai asupan protein sehari-hari.
Kondisi ini tentu sangat berbeda dengan kenyataan lain bahwa Indonesia merupakan negara pemakai Blackberry terbesar di Asia Pasifik bahkan dunia. RIM, sebagai produsen Blackberry menjadikan Indonesia sebagai pasar terbesar, bahkan sebuah televise Kanada menyebut Indonesia sebagai “Blackberry Nation”. Hal ini tidak mengherankan, karena hampir semua orang memegang Blackberry, bahkan pertanyaan yang sering terdengar sekarang adalah berapa nomor PIN, bukan nomor handphone. Saya juga mengamati bahwa sebagian besar orang yang saya temui di jalan memegang handphone, apapun mereknya, tidak selalu Blackberry, mungkin karena saat ini banyak handphone buatan China yang harganya sangat terjangkau. Gerai penjual handphone laris manis seperti kacang goreng, penuh sesak, seperti ketika saya mencari baterai handphone di pusat perbelanjaan ITC.  Ramai transaksi.  Pertanyaannya, kenapa untuk urusan pemakaian handphone dan gadget Indonesia bisa terdepan, tetapi urusan gizi makanan kita jauh tertinggal? Padahal protein hewani sangat penting untuk masa pertumbuhan , selain juga membantu proses penyembuhan luka, regenerasi sel, mengatur kerja hormon dan enzim dalam tubuh, serta membentuk jaringan.  Jangan-jangan kita lebih mementingkan “penampakan” luar dibanding makanan yang kita santap. Ataukah alasan yang lebih rasional adalah bahwa apa yang terlihat di jalan-jalan memang tidak mencerminkan keseluruhan masyarakat Indonesia yang ratusan juta jumlahnya.
Kenyataan lain yang “menyesakkan” adalah fakta bahwa selalu terjadi antrian panjang setiap ada launching gadget terbaru, misalnya handphone atau tablet. Buktinya ketika Samsung Galaxy Note launching kemarin, saya termasuk orang yang ikut antri dengan sabar selama 4 jam, hanya untuk mendapatkan sebuah gadget yang pertama kali dimiliki oleh 1250 orang di Indonesia meskipun dibandrol dengan harga yang tidak murah. Tidak ada perasaaan menyesal atau capek lalu keluar dari antrian, karena memang berniat membelinya. Kalau ditanya apa motif saya sampai rela antri sekian jam, saya tidak bisa memberikan jawaban pasti, apakah karena gengsi atau sebab yang lain. Satu hal yang pasti, antrian terus berlanjut sampai malam dan saya yakin target penjualan produsen untuk launching perdana tercapai. Fakta di depan mata, bahwa orang kita sangat sensitif dengan berbagai hal yang berhubungan dengan gadget terbaru.
Antrian membeli galaxy note jelas tidak bisa disamakan dengan antrian penerima bantuan langsung tunai, zakat fitrah, ataupun daging kurban yang sempat saya saksikan di televisi. Orang-orang yang antri membeli gadget tersebut belum tentu tidak memiliki produk yang lain, karena saya sempat melihat beberapa diantaranya bermain-main dengan Ipad sambil berdiri. Bisa jadi mereka reseller atau memang orang-orang yang terobsesi untuk memiliki gadget canggih setiap saat, menentengnya di jalan-jalan atau mall, sebuah gaya hidup yang semakin jamak terlihat. Memang tidak semuanya demikian, seperti seorang teman yang lebih banyak menggunakan tabletnya untuk membaca e-book, mengunduh artikel-artikel bermanfaat atau menulis catatan di ruang tunggu pesawat.

Fenomena pemakaian gadget, antrian launching dan kenyataan bahwa tingkat konsumsi daging ayam dan telur per kapita orang Indonesia sangat rendah jelas sebuah kontradiksi. Ternyata di balik gemerlapnya mall yang selalu ramai, baik hari biasa terlebih akhir pekan, masih banyak orang-orang di luar sana yang menganggap daging ayam dan telur sebagai sebuah kemewahan. Seporsi pecel ayam seharga 11 ribu rupiah dan sepiring nasi berlauk telur seharga 8 ribu rupiah ternyata masih sangat mahal.  Saya tertegun ketika menyadari bahwa masih banyak orang yang tidak bisa menyantapnya, dan lebih tertegun lagi bahwa saya bersedia antri demi sebuah gadget seharga ratusan kali pecel ayam.  Kontras,  dan saya menjalaninya seringkali tanpa empati. Pelatihan di peternakan ayam yang saya lakukan ternyata memberikan wacana lain, pemahaman baru bahwa ternyata saya sangat diberkati dengan apa yang saya miliki. Apakah pembelajaran saja cukup? Semestinya tidak, karena berarti saya harus mengembalikannya menjadi sebuah kontribusi bagi orang lain dengan penuh empati.  Dua hari di peternakan, memberikan pelajaran sepanjang hidup….

Thursday, October 18, 2012

It's about Succes

             Seorang peserta pelatihan medical representative bertanya kepada saya di dalam sesi motivasi, “Apa yang dimaksud dengan sukses? Apakah kalau seseorang sudah sangat kaya, memiliki rumah dan mobil mewah, istri cantik, anak-anak yang sehat dan lucu, berarti dia sudah sukses?” Saya terdiam sejenak sebelum membuka kalimat jawaban, bahwa definisi sukses sangat beragam dan tergantung dari deskripsi kita masing-masing. Pandangan sukses konvensional mendefinisikannya sebagai bentuk pencapaian prestasi pribadi dengan tolok ukur yang berupa  materi, pangkat, dan jabatan. Itulah hal yang paling mudah dan kasat mata. Rene Suhardono dalam bukunya #Ultimate U mengatakan bahwa uang, ketenaran, dan kekuasaan adalah bentuk kesuksesan yang mudah dan menyenangkan. Namun apakah bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan paling mendasar seperti “Siapakah saya? Apa makna keberadaan saya? Apa yang akan terjadi pada saya setelah seluruh waktu berlalu?” Berdasarkan pemahaman itu pula saya belajar memaknai sukses bukan mengenai “apa yang saya miliki”, tetapi “menjadi apa saya”. Bukan “apa yang saya dapatkan, tetapi apa yang bisa saya berikan atau kontribusikan kepada orang lain, karena nantinya orang mengingat saya dari apa yang saya berikan, bukan dari apa yang saya terima.”
            Berbicara mengenai sukses memang tidak akan ada habisnya, karena setiap orang memiliki pandangan sendiri-sendiri. Bahkan kalau ditanya apakah saya sudah sukses, saya akan menjawab ”Ya” dan ”Belum”. Ya, karena saat ini saya merasa sudah berada pada kondisi dimana saya sudah bisa mencukupi apa yang menjadi kebutuhan saya. Belum, karena masih ada hal-hal yang belum tercapai, impian-impian yang ingin saya wujudkan dan semakin mengkristal di dalam diri. Semua alasan yang saya sampaikan adalah tentang pencapaian pribadi. Kalau merujuk kepada makna sukses yang lebih dalam, yaitu kontribusi yang kita berikan untuk sesama, saya merasa masih sangat jauh dari itu karena selama ini hidup saya sebagian besar terpusat pada diri sendiri dan bukan orang lain. Pertanyaan peserta tadi sebenarnya menggugah dan menggoncangkan kesadaran saya bahwa selama ini saya masih berkubang dalam egosentrisme, sibuk dengan urusan sendiri.  

            Stephen R Covey dalam bukunya The 7 Habits of Highly Effective People memotret salah satu kebiasaan orang efektif yaitu “merujuk pada tujuan akhir.” Kita diajak untuk membayangkan seperti apa penilaian orang-orang di sekitar kita terhadap kita setelah kita tiada. Karakter apa yang kita ingin mereka lihat dari dalam diri kita? Apa kontribusi, prestasi yang kita ingin agar mereka ingat? Perbedaan apa yang kita buat di dalam kehidupan orang-orang yang mengenal kita? Merujuk pada tujuan akhir mengajak kita untuk memulai hari ini dengan bayangan, gambaran atau paradigma akhir kehidupan sebagai kerangka acuan atau kriteria yang menjadi dasar untuk menguji segala sesuatu. Kita diajak memulai dengan pengertian yang jelas tentang tujuan kita, yang berarti mengetahui kemana kita akan pergi, dimana posisi kita sekarang, sehingga kita tahu bahwa langkah-langkah yang kita ambil selalu berada pada arah yang benar. Saya mencoba memejamkan mata dan membawa pikiran saya ke sana. Seandainya itu adalah pemakaman saya, apa yang akan disampaikan oleh orang-orang yang berpidato mengenai saya? Keluarga, rekan kerja di kantor, teman-teman gereja, dan kenalan lainnya? Apakah sosok positif ataukah sebaliknya? Hal ini membuat saya gelisah dan merenung bahwa sudah saatnya saya merubah diri dengan pemahaman yang radikal mengenai sukses.
            Sukses tidak bisa dilepaskan dengan tujuan hidup yang akan kita capai. Buku The Purpose Driven Life karangan Rick Warren menegaskan bahwa mengetahui tujuan kemana kita akan pergi merupakan hal yang esensial. Buku ini merupakan salah satu buku yang sangat menarik hati saya sehingga penuh dengan coretan-coretan untuk memudahkan saya mengingat hal-hal penting. Meskipun sudah membacanya enam tahun lalu, ternyata saya perlu untuk selalu membuka ulang, meyakinkan diri saya sendiri dengan apa yang saya jalani. Pertanyaan peserta tadi memicu saya untuk belajar kembali dan merenungkan apa sebenarnya sukses itu. Saya sampai pada pemahaman bahwa sukses memiliki makna yang jauh lebih tinggi daripada kepemilikan segala hal yang ada di dunia. Sukses juga berkaitan dengan tujuan hidup. Saya tidak bisa mendefinisikan sukses “versi saya”, kecuali kalau saya sudah mengenal apa yang menjadi tujuan hidup saya, bukan sekedar mau menjadi apa. Rick Warren secara tegas menyampaikan bahwa kesalahan kita selama ini adalah memulai dengan titik awal yang keliru, yaitu diri sendiri, sehingga pertanyaan yang muncul adalah “ingin menjadi apa saya, apa yang harus kulakukan dengan hidup saya, apa sasaran-sasaran saya, ambisi-ambisi, impian-impian untuk masa depan saya? Kita menjadi terjebak ke dalam egosentrisme dan tidak melihat dalam kerangka lebih besar tentang tujuan penciptaan kita di dunia ini.
Sukses, ternyata sangat customize dengan diri kita masing-masing. Seorang medical representatives yang bekerja keras dan cerdas, memiliki pencapaian sales yang bagus dan pulang membawa bonus setiap bulannya akan menyenangkan hati keluarganya. Perilaku yang baik, bertanggung jawab, mengasihi, menolong, sekecil apapun akan membawa dampak bagi orang lain. Itulah sukses, menjadi yang terbaik dari diri kita, dan menjalani hari-hari yang semakin membawa kita kepada tujuan hidup. Tujuan hidup tidak akan pernah lepas dari proses bertanya kepada Sang Pencipta, untuk apa kita berada di dunia ini. Selamat mengayuh dayung ke sana, dan berlayar menuju kesuksesan Anda...

Wednesday, October 17, 2012

Kebahagiaan Sejati

Kebahagiaan yang sejati adalah tanpa sebab, demikian menurut Anthony de Mello, seorang Pastor Jesuit keturunan India dalam bukunya Awareness. Anda tidak dapat membuat saya bahagia, karena Anda bukanlah kebahagiaan saya. Kebahagiaan merupakan diri kita yang alami. Kita tidak perlu melakukan apapun untuk memperoleh kebahagiaan karena itu sudah ada di dalam diri kita. Tetapi mengapa kita tidak mengalami kebahagiaan? Karena untuk mengalaminya kita harus melepaskan ilusi kita. Selama ini di dalam hidup, kita mengidentifikasikan diri dengan segala macam label yang kita lekatkan. Secara ekstrim Anthony menyampaikan bahwa kehidupan kita seperti boneka yang bergerak karena benang yang mengendalikannya disentakkan. Kita membiarkan kejadian dan orang-orang di sekeliling kita menentukan bagaimana perasaan kita, padahal tidak ada yang mampu menyakiti atau melukai diri kita, tidak ada!

Saya terpesona dengan tulisan Anthony de Mello akhir-akhir ini. Padahal sebenarnya buku-buku yang saya baca adalah buku lama yang sudah saya beli bertahun-tahun yang lalu. Tetapi kenginan untuk menyegarkan otak dengan butir-butir pencerahan membuat saya membongkar lemari buku untuk membacanya ulang. Apa yang disampaikan Anthony seringkali bertentangan dengan pendapat umum dan menyentak otak saya untuk merestart program yang sudah tertanam lama. Konsep tentang kebahagiaan menjadi sangat sederhana, tetapi butuh keberanian untuk “bangun” dari tidur dan menjadi sadar. Seringkali saya merasa hidup begitu sulit dan penuh beban, tetapi dengan sangat dalam Anthony mengatakan bahwa hidup itu sederhana dan mudah, penuh dengan kegembiraan. Hidup terasa sulit ketika kita dikuasai oleh ilusi, ambisi, keserakahan, dan kebutuhan yang mencekam. Pernyataan ini tentu sulit diterima begitu saja. Jelas-jelas hidup itu penuh tekanan, rintangan, dan hambatan, bagaimana mungkin dikatakan bahwa hidup itu sederhana dan mudah?


Saya tidak mencoba untuk mendebat, karena saya sedang mengosongkan gelas saya dan mengisinya ulang dengan air yang baru. Mencerna, mengunyah, dan memahaminya pelan-pelan, seperti seorang bayi yang belajar menikmati beragam makanan. Meskipun kontradiktif dengan pandangan yang selama ini terekam di otak saya, tetapi saya mengakui kebenarannya dan mendapat sesuatu yang sangat bernilai. Saya pernah melontarkan pertanyaan mengenai “Apakah Anda bahagia?” kepada beberapa orang teman yang kemudian meresponnya segera. Ada yang berbahagia karena memiliki pekerjaan baik dan uang cukup, berbahagia karena keluarga, berbahagia karena memiliki suami atau istri yang baik, berbahagia karena bekerja sesuai passion, berbahagia karena memiliki komunitas dan teman-teman yang mendukung. Saya rasa semua alasan mengenai kebahagiaan itu benar dan masuk akal. Setiap orang akan mengejar kebahagiaan, karena itulah esensi utama dalam hidup kita. Apa jadinya hidup tanpa kebahagiaan, tidak ada artinya! Tetapi secara tegas Anthony de Mello mengatakan bahwa kebahagiaan itu tidak perlu dikejar karena sudah ada di dalam diri kita. Label yang kita lekatkan di dalam diri sendiri lah yang justru menghambat kebahagiaan itu. Label bahwa saya tidak bahagia karena saya hanyalah bawahan, label bahwa saya tidak bahagia karena pekerjaan saya tidak menyenangkan, label bahwa saya tidak bahagia karena saya tidak mendapat apa yang saya inginkan, label bahwa saya tidak bahagia karena saya tidak terkenal, label bahwa saya tidak bahagia karena saya tidak memiliki orang yang saya cintai. Semua label itu adalah kelekatan yang harus dilepaskan, baru kita merasakan kebahagiaan.

Saya mencoba mengoreksi diri saya sendiri dengan menanyakan “Apakah saya bahagia?” dan ternyata sangat sulit menjawabnya. Sederet alasan melintas di benak saya, mulai dari ketidakpuasan kerja karena merasa belum mendapatkan apa yang diinginkan, kekecewaan karena merasa “stuck” dan tidak ada lompatan kemajuan di usia saya yang sekarang, sampai kegundahan karena impian yang belum tercapai. Dulu saya berpikir bahwa kebahagiaan terletak pada pekerjaan, sehingga kalau saya sudah mendapatkan pekerjaan yang saya inginkan, maka saya akan berbahagia. Saya meletakkkan kebahagiaan pada orang, sehingga ketika saya mencintai dan dicintai maka saya berbahagia. Saya juga meletakkan kebahagiaan pada benda, sehingga kalau saya bisa membeli rumah, mobil, gadget terbaru, maka saya bahagia. Tetapi ternyata itu semua ilusi. Saya mendefinisikan kebahagiaan sebagai sesuatu yang akan saya dapatkan setelah saya memiliki semua pencapaian yang saya inginkan dalam hidup saya. Saya menjadi seperti boneka yang membiarkan situasi, kejadian, atau orang menentukan “kebahagiaan” saya. Saya seperti tidak hidup secara utuh karena saya terjebak dengan ketakutan dan kecemasan yang menghantui. Itu semua mencuri kebahagiaan yang semestinya sudah ada di dalam diri dan tinggal saya alami, sehingga ketika ada orang bertanya kepada saya “Apakah saya bahagia?”, saya dapat menjawab, “Mengapa tidak?”. Tidak perlu ada istilah “pencarian kebahagiaan”, “pursuit of happiness,” dan sejenisnya karena kebahagiaan tidak perlu dicari atau dikejar!

Saya membuka buku kehidupan untuk mencari perbandingan, dan di situ dikatakan “Yang berbahagia adalah yang mendengarkan Firman Allah dan melakukannya di dalam kehidupan sehari-hari.” Kalau saya rangkaikan, kebahagiaan itu sudah ada di dalam diri kita, tetapi kita tidak akan mengalaminya ketika kita terikat oleh label. Kebahagiaan juga tidak muncul kalau kita menutup mata dan telinga dari buku kehidupan dan berjalan dengan ilusi, ambisi, dan keinginan diri. Kebahagiaan sejati adalah tanpa sebab, karena tidak ada seorangpun atau apapun di dunia ini yang bisa menjadi penyebab mengapa Anda berbahagia atau tidak. Kebahagiaan ada di tangan kita sendiri, ketika kita mau menyangkal diri dan melakukan Firman Allah, bukan ketika kita “menjadi orang hebat” versi dunia, kaya, terkenal, memiliki segalanya, karena itu adalah semu. Umpan baliknya adalah, ketika kebahagiaan kita alami, maka apa pun yang kita kerjakan akan kita lakukan dengan kebahagiaan juga. Dan kalau itu terjadi, Anda tentu sudah menebak hasilnya. Sesuatu yang dikerjakan dengan kebahagiaan, suka cita, kegembiraan, tentu akan bedampak positif baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Dan di saat itulah kebahagiaan kita semakin lengkap, ketika kita memilikinya dan orang lain juga merasakan pancaran yang keluar dari diri kita, sehingga mereka pun akan tertarik dan melakukan hal yang sama.

Selamat membuka pintu kebahagiaan Anda masing-masing (yang sudah ada dan terpendam). Kuncinya sederhana, melepaskan label diri dan menjalankan Firman Allah. Itulah kebahagiaan sejati, tanpa ternoda atau terintimidasi oleh apapun juga. Saya sedang dalam proses menyelami, jatuh bangun, dan berharap mendapatkannya segera, semoga Anda juga!