Sunday, October 23, 2011

Rumput Tetangga Lebih Hijau?

Pepatah mengatakan rumput tetangga selalu lebih hijau, artinya bahwa kita selalu melihat orang lain memiliki hal-hal yang lebih baik dari kita sehingga membuat apa yang kita miliki menjadi tidak berharga.  Apakah benar seperti itu? Bisa ya, bisa tidak. Bisa jadi rumput tetangga memang lebih hijau, atau bisa jadi hanya “tampak” lebih hjau padahal tidak sama sekali. Sesuatu yang menipu, karena cara berpikir kita sudah ditutup oleh pandangan bahwa apa yang ada pada orang lain selalu lebih dari apa yang ada pada kita. Sikap seperti itu membuat kita menjadi tidak pernah puas, merasa inferior, dan tidak menikmati apa yang ada pada diri kita, sesuatu yang kalau dibiarkan terus menerus akan berujung pada kondisi kecewa, penyangkalan diri, dan ketidakmampuan untuk bersyukur.
Kalau bicara “rumput tetangga yang lebih hijau”, teman-teman pria biasanya akan bercanda dengan mengatakan bahwa istri orang lain terlihat lebih cantik, lebih hebat, lebih pintar, tidak seperti istri sendiri yang memiliki banyak kekurangan. Saya sering tersenyum mendengar candaan mereka, karena dalam pemikiran saya, jangan-jangan istri mereka pun saat ini sedang berpikir yang sama, bahwa suami-suami orang lain itu lebih ganteng, lebih macho, lebih kaya, lebih hebat daripada suami mereka. Nah, kalau benar seperti itu, jelas tidak akan ada habisnya, karena masing-masing melihat milik orang lain. Tetapi saya masih percaya bahwa itu hanya bercandaan saja , bahwa mereka adalah suami-suami dan istri-istri yang setia, dan mau menerima apapun keadaan pasangannya. Namanya saja sudah memilih untuk bersama selamanya, saat suka dan duka, bukan saat suka dan suka. Paling tidak itulah yang saya dengar setiap kali mengikuti sakramen pemberkatan nikah di gereja, bahwa masing-masing pasangan berikrar setia dalam suka dan duka, sampai maut memisahkan mereka.
Saya mencoba memahami pepatah “rumput tetangga lebih hijau” dengan analogi yang lain. Sebagai seseorang yang sering bepergian ke luar kota dan menginap di hotel, seringkali saya dibuat bosan dengan menu sarapan pagi yang ada. Kalau saya menginap selama 1 minggu, praktis selama 7 hari saya akan dibombardir dengan menu sarapan pagi yang hampir sama setiap hari. Saat pertama biasanya saya akan sangat menikmati, tetapi memasuki hari keempat dan seterusnya, saya tidak terlalu tertarik lagi. Paling banter hanya makan roti, buah ,serta minum jus. Yang terbayang justru enaknya nasi uduk seharga tiga ribu rupiah atau jus buatan sendiri yang rasanya mantap dan menyegarkan di rumah. Padahal kalau dipikir-pikir tidak ada yang kurang dengan menu sarapan paginya, bahkan sangat komplit. Tetapi sekomplit apapun hidangan yang tersedia, ternyata saya masih menyimpan kerinduan untuk makanan sederhana yang biasa saya makan. Bukan berarti saya tidak suka sarapan di hotel karena kalau ditanya mana yang lebih enak, bagi saya semuanya enak, karena saya menikmati setiap detik sarapan pagi yang tersedia. Jadi apakah makanan di hotel seumpama rumput tetangga yang lebih hijau bagi saya? Bisa ya, bisa tidak, karena ternyata saya pun sangat menikmati sarapan nasi uduk dan segelas jus yang menjadi kebiasaan saya sehari-hari.
Lain lagi cerita teman yang menginap beberapa hari di hotel bintang 5 untuk keperluan training dan harus berdiam sampai malam karena materi training yang sangat padat. Akibatnya selama berhari-hari teman saya menyantap hidangan hotel bintang 5 yang mestinya sangat sehat dan lezat. Tetapi memasuki hari kesekian, teman saya memilih tidak makan di hotel tetapi jajan di pinggiran jalan di kaki lima dan menyantap nasi goreng. Sepertinya tidak masuk akal, sudah disediakan hidangan di hotel bintang 5, tetapi masih juga jajan di pinggir jalan. Lalu apa jawaban teman saya, “Bosan, pengen sesuatu yang lain.”  Nasi goreng pinggir jalan bisa jadi adalah “rumput tetangga lebih hijau” bagi teman saya saat itu yang kebetulan sedang menginap di hotel bintang 5. Tetapi bagi orang yang terbiasa makan di pinggir jalan, hidangan hotel bintang 5 adalah “rumput tetangga lebih hijau” bagi mereka. Ternyata “sang rumput tetangga” menjadi sangat relatif, tergantung siapa yang melihatnya. Dalam kasus teman saya, dia sangat menikmati jajanan kaki lima, padahal secara logika hidangan hotel jelas lebih mewah, sesuatu yang bisa jadi merupakan “rumput tetangga” bagi orang yang selalu makan di pinggir jalan.
Contoh-contoh tersebut menyakinkan saya bahwa “rumput tetangga” hanya tergantung pada cara pandang kita. Jadi kalau kita berpikir rumput tetangga lebih hijau, sebaiknya mulai untuk mencuci otak kita sekarang juga. Kenapa? Karena kebenarannya sangat relatif. Apapun yang kita miliki, bisa menjadi rumput tetangga bagi orang lain. Sehingga yang terpenting bukan lagi apa yang kita miliki, tetapi bagaimana kita menikmati apa yang kita miliki. Bukan mengenai apa yang ada di depan kita, tetapi apakah kita bisa dengan penuh suka cita menikmatinya dan bersyukur untuk apa yang kita miliki saat ini. Hati yang ikhlas dan dipenuhi syukur, akan mampu mengusir “rumput tetangga yang lebih hijau” karena apa yang kita miliki pun sebenarnya adalah rumput tetangga bagi orang lain. Kalau mereka melihat apa yang kita miliki lebih daripada yang mereka miliki, bagaimana kita bisa iri kepada orang lain yang menganggap kita memiliki lebih banyak dan lebih baik dari mereka? Semua hanyalah masalah sudut pandang dan suasana hati saja!
Ungkapan “rumput tetangga lebih hijau” kembali menyusup di hati saya ketika saya bergabung di grup bbm teman-teman kuliah kedokteran yang sekarang sudah menjadi “orang”, bukan berarti dulu mereka bukan orang, tetapi artinya “sudah mapan.” Ada spesialis penyakit dalam, bedah, kandungan dan kebidanan, anak, syaraf, mata, paru, kulit, radiologi, dan beberapa spesialis lainnya. Lengkap.  Bisa juga tuh kalau mau mendirikan rumah sakit, tinggal menyiapkan modalnya saja. Hehehe. Wah hebat juga, tidak menyangka teman-teman kuliah dulu sekarang sudah mantap dan sukses dengan pilihannya. Mendadak saya melihat “rumput tetangga lebih hijau” pada diri mereka. Kenapa? Karena saya melihat diri saya! Dokter yang tidak mau menjadi dokter, menyia-nyiakan 7 tahun masa pendidikan yang penuh penderitaan (hehehe), kemudian menyeberang ke dunia manajemen dengan mempelajari human resources yang sekarang ditekuni. Sepertinya saya melangkah berbalik arah dan tidak menjadi seperti teman-teman saya yang sekarang menjadi spesialis. Ego saya mengatakan bahwa bukan berarti saya tidak bisa, tetapi karena memang saya memilih untuk menjadi seperti apa saya sekarang. Tetapi kenapa saya melihat mereka adalah “rumput tetangga yang lebih hijau”? Karena saya belum mau berdamai dengan diri saya sendiri dan terjebak dalam ego yang berkepanjangan dan tidak ada manfaatnya sama sekali. Bukankah jalan yang saya tempuh saat ini adalah pilihan saya? Setiap pilihan yang diambil harus diiringi dengan tanggung jawab untuk menerima resiko yang ada. Jadi saya tidak perlu merasa bahwa rumput yang saya miliki saat ini terlalu kuning dan kering sehingga saya harus menengok rumput tetangga yang menurut pandangan saya lebih segar padahal itu bukan pilihan saya.  Berlatih untuk menikmati apa yang saya miliki. Sama seperti teman saya yang makan di kaki lima dengan rasa nikmat, mengesampingkan hidangan hotel bintang 5 yang bisa jadi adalah rumput tetangga bagi orang lain.
Jadi sebenarnya “rumput tetangga lebih hijau” adalah sah-sah saja, tetapi bukan untuk membuat kita ingin memiliki rumput tersebut, karena rumput yang kita miliki tidak kalah hijaunya. Terkadang kita tidak bisa melihat karena pikiran kita sudah disilaukan oleh “hijaunya rumput tetangga”, entah benar-benar hijau atau hanya sebuah ilusi. Karena itu bagi saya yang terpenting adalah menikmati dan mensyukuri apa yang kita miliki saat ini. Kalaupun Tuhan belum memberikan sesuatu yang lebih, tentu ada maksudnya. Jangan-jangan Tuhan sedang menyelidiki hati kita, sanggupkah kita diberi tanggung jawab yang lebih besar? Karena semakin banyak yang Tuhan berikan, semakin tinggi juga tanggung jawab yang kita kembalikan kepaaNya. Jadi? Bersyukurkah untuk “rumput” yang anda miliki saat ini, karena rumput yang ada tersebut adalah yang terbaik untuk anda. Hanya butuh sentuhan tangan yang sepenuh hati untuk menyirami dan menyiangi, agar rumput tersebut menjadi lebih hijau dan bersinar-sinar, mengalahkan rumput tetangga yang hijaunya terkadang hanya ilusi. Selamat menikmati rumput anda masing-masing dan bersyukur untuk apa yang anda miliki!

Thursday, October 20, 2011

Bromo, The Beautiful One....

Bromo, akhirnya sampai juga saya ke sana. Sebenarnya tidak ada rencana pergi ke Bromo tahun ini, karena pikiran saya sedang terpikat oleh pesona Karimunjawa, sehingga upaya untuk mencari waktu cuti diarahkan untuk mendatangi kepulauan tersebut. Tetapi benar kata pepatah, terkadang apa yang kita rencanakan justru tidak terjadi tetapi yang tidak kita rencanakan datang tiba-tiba di pelupuk mata. Karena ada kebutuhan mengajar di Surabaya, maka mendadak saya harus berangkat ke kota tersebut dari Senin sampai Jumat. Lumayan, ada waktu Sabtu Minggu yang akan saya manfaatkan untuk berkunjung ke rumah kakak dan keponakan di Surabaya. Belum terpikir sama sekali untuk pergi ke Bromo, karena saya mengira Bromo hanya dapat dicapai dari kota Malang. Dengan situasi lumpur Lapindo yang kabarnya masih membuat macet perjalanan, saya malas pergi ke sana. Tetapi setelah bertanya kesana kemari, ternyata Bromo juga bisa dicapai dari Probolinggo yang hanya 2,5 jam dari Surabaya. Wah, tanpa pikir panjang saya segera mempersiapkan segala sesuatu untuk pergi ke tempat yang konon disebut sebagai negeri di awan, sebuah tempat yang harus dikunjungi. Maka jadilah saya mempersiapkan dua agenda sekaligus sebelum ke Surabaya, yang pertama adalah keperluan training, dan yang kedua adalah peralatan yang saya butuhkan untuk mengatasi dinginnya Bromo seperti tutup kepala, sarung tangan, syal, jaket, dan sebagainya.
Ternyata keinginan travelling mampu memotivasi saya untuk lebih giat bekerja, terbukti waktu berlalu begitu cepat dari Senin sampai Jumat. Hehehe. Setelah mencari-cari alternatif keberangkatan, saya bersama dua orang teman memutuskan untuk berangkat malam hari dari Surabaya dan tidak menginap di Bromo. Dengan menyewa mobil dari Surabaya, kami berangkat jam 10 malam. Perjalanan Surabaya Bromo ditempuh dalam waktu kurang lebih 4 jam. Sekitar jam 2 pagi kami sudah sampai di kaki gunung Bromo dan mobil diparkir di perhentian terakhir sebelum berganti dengan jeep yang akan membawa kami naik. Karena masih sangat pagi, kami menghabiskan waktu untuk duduk-duduk di mobil dan mencari jeep yang bisa kami sewa. Setelah tawar menawar kami mendapatkan harga 350 ribu dengan tujuan ke penanjakan untuk melihat sunrise dan ke kawah dengan melintasi lautan pasir. Jam 4 pagi kami bergerak naik menuju penanjakan yang membutuhkan waktu sekitar 15 menit dari parkiran. Penanjakan adalah sebuah tempat yang tinggi, dan kita harus sedikit mendaki untuk mencapainya. Kalaupun tidak kuat berjalan ada banyak persewaan kuda dengan harga 100 ribu rupiah pulang pergi. Cukup mahal untuk ukuran turis domestik, sehingga saya melihat ada banyak orang yang memilih berjalan kaki dengan santai. Tetapi karena mengejar waktu dan tidak kuat berjalan kaki, saya dan teman-teman memutuskan naik kuda. Mahal juga sih, tetapi ya sudahlah, daripada tidak bisa melihat momen terbitnya matahari yang sangat kami tunggu.
Finally, here we are, di tempat tertinggi dari penanjakan dan menantikan sang mentari bangun dari tidurnya. Semburat warna merah jingga memancar dari kejauhan, memberikan nuansa terang di tengah kegelapan pagi yang terasa dingin. Sekitar jam 5 pagi, seperempat bulatan merah muncul dari balik awan, dan secara perlahan makin lama makin besar. Setengah bulatan, tiga perempat, sampai penuh satu bulatan. Saya tidak berkedip melihatnya. Hampir semua orang yang berada di situ berteriak, antara takjub, kagum,dan senang, melihat indahnya matahari yang muncul dari balik awan. Benar-benar menggeliat dari tidur, seperti mata yang masih terpejam, lalu membuka sedikit demi sedikit sebelum sampai pada kesadaran penuh. How Great Thou Art, saya berdecak kagum melihat keindahan alam yang berada di depan mata, dan menyenandungkan pujian bagi Sang Pencipta. Sungguh, saya merasa sangat kecil dan tidak berdaya. Matahari bersinar lembut, dengan tarian awan yang bergerak di sekelilingnya, memberikan sentuhan keindahan yang tiada tara. Bagi saya, ini adalah the most beautiful sunrise I’ve ever seen! Kalau biasanya saya menikmati sunrise di tepi pantai, kali ini saya dipuaskan dengan sensasi yang berbeda. Saya teringat gambar pemandangan alam ketika saya masih TK atau SD, dengan dua buah gunung berdampingan dan matahari tepat di tengah-tengahnya. Sangat generik! Dan sekarang saya menikmati suasana itu. Berdiri di pegunungan, melihat sang surya beranjak menyinari bumi, mekipun tidak menyembul diantara pegunungan. Di sisi lain, bulan masih belum tenggelam dari langit. Indah sekali! Rasa capek berjalan seakan sirna berganti decak kagum, kegembiraan, dan pujian pada Tuhan yang menciptakan alam dengan begitu luar biasa. How Great is Our God!  Setelah puas menikmati sunrise, saya dan teman-teman beranjak ke sisi lain dari penanjakan, menikmati indahnya gunung Bromo dari kejauhan, bagaikan sekumpulan gunung yang berjajar tegak dan kokoh, mengapung di atas lautan pasir dengan awan yang berarak di atasnya. Wow!
Turun dari penanjakan kami segera diantar jeep untuk menuju kawah. Perjalanan cukup singkat, hanya sekitar 15 menit. Di lautan pasir ini juga terdapat pura yang biasa digunakan untuk upacara Kasada, yaitu melempar sesaji ke pura. Karena ada batas suci, maka jeep tidak boleh masuk terlalu dalam dan harus parkir di luar dari batas yang telah ditentukan. Kawah gunung Bromo masih sekitar 2 kilometer, yang harus kami tempuh dengan berjalan kaki atau naik kuda menyeberangi lautan pasir. Disebut lautan pasir karena sejauh mata memandang yang ada hanya pasir, bercampur hembusan angin dan debu. Karena mengira jalanan datar, maka kami memutuskan untuk berjalan kaki dengan gagah berani. Sebenarnya sejak turun dari jeep sudah banyak penyewa kuda yang menawari kami dengan harga 100 ribu rupiah pulang pergi, tetapi karena ingin unjuk kekuatan fisik, saya dan teman-teman tidak bergeming sampai akhirnya kami harus pasrah dengan kondisi alam yang ada dan memutuskan untuk naik kuda. Hebatnya, meskipun sudah berkali-kali kami tolak, tetapi tetap saja ada 3 orang penyewa kuda yang terus membuntuti kami, seakan-akan tahu persis batas kekuatan orang-orang kota seperti kami yang “hasrat besar tenaga kurang.”  Saya salut dengan mereka yang pantang menyerah bernegosiasi dan menawarkan dagangannya. Mendadak saya teringat training negosiasi yang saya berikan untuk teman-teman cabang, bahwa kesuksesan negosiasi dipengaruhi oleh adanya persiapan yang cukup, riset, observasi untuk mencari data sehingga tahu persis kondisi lawan. Itulah yang dilakukan oleh para penyewa kuda itu sampai akhirnya kami menyerah karena tidak sanggup lagi berjalan. Mereka sangat mengenal calon customer, tahu persis kelemahannya, kebutuhannya, dan menggunakan itu sebagai senjata untuk memenangkan negosiasi. Saya sangat yakin mereka sudah melakukan banyak observasi terhadap para pengunjung sehingga tahu cara menghadapi beragam karakter orang, bahkan yang keras kepala seperti saya.  Dengan tersenyum saya membayangkan sebuah contoh yang bagus untuk training negosiasi berikutnya! Hahaha.
Perjalanan dengan kuda tidak otomatis mengantar kami sampai ke puncak karena untuk menuju ke kawah harus menaiki tangga yang tinggi dan tertutup pasir tebal. Kuda hanya mengantar kami sampai di dasar tangga dan perjalanan ke atas hanya bisa dicapai dengan berjalan kaki. Inginnya sih tidak perlu bersusah payah, apalagi kami sudah membayar 70 ribu rupiah per kuda pulang pergi dari penawaran awal 100 ribu rupiah. Itupun setelah kami menempuh seperempat perjalanan. Apa boleh buat, karena sudah sampai di dasar tangga dan sudah membayar cukup mahal, maka tidak ada pilihan lain kecuali naik ke atas. Perlahan-lahan saya dan teman-teman menapaki tangga satu per satu dengan hati yang bulat. Harus sampai ke puncak. Semangat! Tidak ada perjalanan ke puncak yang mudah, pasti akan mengalami rintangan dan tantangan. Ada harga yang harus dibayar. Maka dengan memotivasi diri sendiri, saya menaiki tangga yang membawa saya ke puncak kawah. Benar-benar perjalanan yang penuh metafora, karena saya selalu menganalogikannya dengan perjalanan ke puncak kesuksesan. Tidak ada yang mudah. Dan ketika saya berhenti untuk beristirahat sejenak dan mengatur nafas, saya membayangkan bahwa perjalanan kesuksesan juga memerlukan perhentian-perhentian sementara untuk mengatur nafas. Berhenti sebentar untuk berjalan lagi. Terus naik, dan bukan turun. Setelah penuh perjuangan, akhirnya sampai juga saya di puncak. Thanks God! Syukur, bahagia, dan puas bercampur menjadi satu. Saya teringat belasan tahun yang lalu ketika pertama kali mendaki gunung. Perasaan seperti inilah yang saya rasakan, syukur, bahagia, dan puas. Saya termenung, membayangkan perjalanan manusia dalam meraih kesuksesan. Penuh perjuangan, tetapi terus berjalan tanpa henti, sampai tiba di tempat tujuan. Kesuksesan, yang saya definisikan sebagai menjadi apa yang diinginkan dan mampu mengalirkan berkat untuk orang lain. Blessed to be a blessing!
Sesampainya di atas, saya dibuat kagum dengan pemandangan yang ada. Meskipun sangat berdebu, dan tiupan angin bercampur pasir mengganggu penglihatan saya, tetapi saya tidak pernah menyesal mengerahkan tenaga untuk mencapai puncak. Satu hal yang mencemaskan adalah tidak adanya pagar pengaman yang kuat yang melingkari pinggir kawah sehingga harus ekstra hati-hati. Tepi kawah Bromo benar-benar sangat tipis, hanya ada sedikit pagar pengaman, sehingga saya dan teman-teman tidak berani banyak bergerak. Kepulan asap muncul dari kawah, bercampur dengan hembusan pasir. Hal ini justru memberikan sensasi yang berbeda karena biasanya gunung identik dengan tumbuhan yang sejuk dan rindang tetapi di Bromo yang dilihat hanyalah pasir dan pasir. Satu hal lagi, sinar matahari begitu panas menyengat meskipun masih pagi.  Kondisi alam yang sangat kontradiktif: udara dingin, tetapi panas menyengat. Pantas saja orang-orang di sini berkulit sangat gelap. Hehehe. Jam 8 pagi  kami turun dari kawah, menyeberangi lautan pasir dengan berkuda, naik jeep dan kembali ke parkiran mobil untuk balik ke Surabaya. Capek, ngantuk, tetapi puas dengan apa yang kami dapatkan di sini. Mungkin itulah yang juga dirasakan oleh puluhan turis asing dan domestik yang bersama-sama dengan saya menikmati indahnya Bromo pagi ini. Bromo, melengkapi keindahan alam Indonesia yang luar biasa yang sangat menginspirasi saya untuk menikmati keindahan alam Indonesia lainnya. Pikiran saya melayang-layang membayangkan tujuan berikutnya. Karimunjawa, is it going to be my next destination? Let’s wait and see.....