Thursday, December 27, 2012

Catatan Akhir Tahun (1)


                                                                                    We become what we repeatedly do – Sean Covey

Merubah kebiasaan memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, apalagi kebiasaan yang sudah melekat selama puluhan tahun. Itulah yang saya rasakan ketika memulai kebiasaan baru merubah pola makan. Sudah 1½ bulan ini saya membiasakan diri menyantap “rerumputan”- istilah saya untuk selada, tomat, mentimun, dan paprika sebagai pengganti makan malam, diperkaya aneka buah seperti apel, kiwi, jeruk, mangga, strawberry, pisang, melon, tergantung ketersediaan. Sebenarnya pola makan tidak berubah secara radikal, karena sarapan pagi masih ditemani dengan 3 gelas jus, dan makan siang juga seperti biasa. Diantara sarapan pagi ke makan siang dan jeda sore hari, saya masih menikmati kue-kue atau makanan lainnya. Tetapi ternyata efeknya cukup besar karena berat badan saya turun 3 kilogram selama 1½ bulan ini. Tentu saja dikombinasikan dengan olahraga rutin seperti jogging dan angkat barbel. Sebenarnya tujuan utama bukanlah menurunkan berat badan, tetapi meningkatkan kebugaran dan stamina karena saya merasa sangat capek setelah mengajar 3 hari berturut-turut. Selain itu saya terkejut ketika hasil medical check up terakhir menunjukkan angka kolesterol saya melebihi normal. Hal ini memotivasi saya untuk berubah. Kalaupun kemudian dampaknya adalah penurunan berat badan, saya tentu sangat bersuka cita karena berarti baju-baju lama yang sudah tidak muat bisa saya pakai lagi.
Jangka waktu 1½ bulan sebenarnya sudah cukup membuat sebuah perilaku menjadi kebiasaan yang melekat, tetapi ternyata itu tidak berlaku ketika saya pulang ke Solo. Entah karena nuansa rumah, liburan natal, ada keluarga, banyak makanan, atau memang kemauan kurang kuat, pola makan saya kembali ke selera asal: makan malam menu lengkap dan ngemil kue-kue tinggi kalori. Kesadaran saya sudah mengingatkan untuk kembali ke menu sehat, tetapi pemikiran “mumpung libur”, meluluhlantakkan semuanya. Sungguh benar kalimat bijak seperti ini: Roh memang penurut, tetapi daging lemah. Dalam hati bertekad kuat, tetapi kenyataannya menyerah kalah. Pola makan sehat yang sudah menjadi kebiasaan baru menguap begitu saja. Tetapi bukankah makan nasi sudah menjadi kebiasaan saya selama berpuluh tahun? Sehingga sangat masuk akal kalau kebiasaan baru akhirnya takluk. Bahkan secara bercanda saya mengatakan bahwa “belum makan kalau belum ketemu nasi”. Mie, roti, kentang, masuk kategori makanan ringan dan bukan pengganti nasi. Padahal selama 1 ½ bulan kemarin lambung saya mulai terbiasa tidak selalu menerima nasi karena sempat beberapa hari tidak makan nasi dan diganti sumber karbohidrat lainnya. Porsi makan juga lebih sedikit karena terasa kenyang. Lalu mengapa bisa terkikis dengan begitu mudah? Saya mencoba mereka-reka hal sederhana ini ke dalam beberapa hal. Yang pertama adalah ingatan tentang masa lalu. Selama lebih dari 35 tahun saya terbiasa makan nasi sebanyak 3 kali, pagi siang dan malam. Bahkan sewaktu kecil karena ayah ibu tidak mampu menyediakan 4 sehat lima sempurna, terkadang menu yang tersedia adalah nasi dicampur dengan garam, parutan kelapa, dan krupuk. Bagi saya waktu itu rasanya sangat “maknyus”, dan sudah cukup membuat saya kekenyangan. Saat ini, suasana rumah yang nyaman, seperti membawa saya ke zaman dulu. Ingatan masa silam seringkali menjebak kita untuk kembali kepada kebiasaan lama. Tentu saja saya tidak bermaksud untuk mati-matian mengatur pola makan sehat secara kaku karena sebenanrya saya sangat fleksibel. Saya hanya ingin menunjukkan bahwa terkadang ingatan masa lalu menjadi “pembenaran” bagi kita untuk tidak melangkah maju. Tahun 2012 hampir berakhir dan sesaat lagi kita memasuki tahun baru. Apapun yang terjadi di tahun ini sudah menjadi masa lalu di tahun depan. Kejadian-kejadian yang tidak membahagiakan, peristiwa menyakitkan, mungkin saja mewarnai tahun ini dan membuat kita menyebutnya sebagai tahun yang keras dan sulit, tetapi sekali lagi ketika melangkah di tahun baru, itu semua sudah menjadi masa lalu yang tidak akan pernah kita izinkan menyerobot masa depan.
Yang kedua adalah lingkungan. Ketika merubah pola makan, saya berada di lingkungan yang memiliki kebiasaan sama yaitu teman-teman kantor yang juga menerapkan hal tersebut. Membawa bekal berupa 1 kotak “rerumputan” bukanlah hal yang aneh karena yang lain melakukannya juga sehingga atmosfernya pun terasa. Salah satu teman kantor bahkan cukup ekstrim karena pernah 1 bulan penuh tidak makan nasi dan diganti dengan sayuran, buah-buahan, serta protein. Lingkungan memiliki pengaruh kuat terhadap kebiasaan yang kita bangun. Hal ini yang tidak saya dapatkan ketika pulang ke Solo. Hembusan anginnya adalah makan segala macam, dan interaksinya begitu kuat karena berada di dalam satu rumah. Hal ini mengakibatkan saya pun terimbas dan berpikir “ah, sekali-kali makan bebas dan tidak terikat waktu”. Sekali lagi saya tidak sedang menjalani pengaturan makan yang ketat, atau merasa sangat bersalah melanggarnya, karena bagi saya ini adalah hal sederhana. Saya hanya sedang berusaha melihat sebuah peristiwa dari perspektif yang lain. Lingkungan mempengaruhi diri kita. Kalimat bijak mengatakan “pergaulan buruk merusak kebiasaan baik”, memang terbukti. Bukan berarti pulang ke rumah adalah lingkungan yang buruk. Saya hanya sedang berusaha menarik benang merahnya, bahwa lingkungan memiliki pengaruh sehingga kita diajar untuk lebih bijak dan cerdas membawa diri.
Yang ketiga adalah setia pada tujuan. Seandainya saya memiliki ingatan masa lalu yang kuat, lingkungan yang tidak mendukung, tetapi kalau saya tetap memegang tujuan saya merubah pola makan, untuk kebugaran stamina dan menurunkan kolesterol, tentu saya akan tetap melangkah di jalur itu dengan konsisten. Ketika saya memberikan sedikit kelonggaran pada diri saya, ternyata berujung pada kelonggaran yang semakin besar. Konsistensi memang membutuhkan usaha dan tekad yang kuat. Ketika mengikuti kebaktian Natal di Solo, saya bertemu banyak teman-teman lama, termasuk para orang tua yang sekarang sudah menjadi kakek nenek dan terlihat renta. Dahulu ketika saya masih  pemuda-remaja, kami mengadakan persekutuan doa keluarga setiap Sabtu sore dan di situ kami dijadwal untuk memberikan renungan singkat semampu kami. Setelah selesai, para orang tua yang akan melengkapi dan memperkaya renungan yang kami bawakan. Persekutuan doa tersebut mendidik kami para pemuda remaja untuk berani mengupas firman Tuhan dan berbicara di depan umum. Tidak ada yang salah, karena nanti akan ditambahkan oleh para tetua yang ada di situ. Yang menakjubkan adalah persekutuan tersebut masih berjalan sampai sekarang, padahal sudah berumur 20 tahun lebih. Pembawa renungan pun masih digilir seperti dulu, dan kali ini giliran pemuda remaja zaman dulu menjadi tua tua-nya. Kesetiaan pada tujuan membawa kita kepada konsistensi.
Sebentar lagi kita akan memasuki tahun baru yang penuh harapan. Memupuk kebiasaan baru yang baik, yang membawa kita pada impian yang ingin kita capai memerlukan niat yang kuat.  Ingatan masa lalu, lingkungan, kesetiaan pada tujuan, adalah poin-poin yang perlu diperhatikan. Mungkin bukan sesuatu yang besar dan baru, tetapi seringkali hal-hal kecil kita lewatkan. Berawal dari hal yang sederhana, pola makan, saya mendapatkan banyak pembelajaran untuk melangkah lebih berani di tahun depan. Selamat meninggalkan tahun 2012, dan memasuki tahun 2013!

Wednesday, December 26, 2012

Dari Film 5 cm




There is only one thing that makes a dream impossible to achieve: the fear of failure
 – Paulo Coelho, The Alchemist

Mendaki tidak pernah mudah tetapi bisa, meraih impian tidak pernah mudah tetapi bisa, kalimat itu terlintas di benak saya setelah selesai menonton film 5 cm. Meskipun tidak memberikan dampak emosi sebesar Laskar Pelangi atau Sang Pemimpi, tetapi ada beberapa hal menarik yang layak untuk diingat. Yang pertama, persahabatan adalah hal berharga yang kita miliki. Kesuksesan diraih karena ada bantuan dan dorongan dari orang-orang sekitar kita. Impian yang digambarkan sebagai puncak Mahameru dalam film ini bisa ditaklukkan karena mereka berjuang dengan dukungan orang lain yang saling melengkapi dan menularkan harapan. Persahabatan juga diartikan sebagai jejaring atau networking, yang saat ini memegang peranan sangat besar untuk kesuksesan seseorang. Saya bekerja di perusahaan yang sekarang juga karena jejaring. Bermula dari menitipkan curiculum vitae (CV) saya ke seorang teman yang memiliki beberapa milis tentang ke-HRD-an sampai kemudian CV saya tersangkut di perusahaan yang sekarang. Mungkin saja CV saya sudah dilihat belasan perusahaan sampai akhirnya menemukan pelabuhan yang cocok. Saat wawancara pun posisi yang ditawarkan tidak seperti yang saya harapkan, tetapi ternyata itu menjadi gerbang ke penawaran lain yang kemudian saya terima, tanpa menggunakan surat lamaran ataupun cara-cara yang standar untuk mendapatkan pekerjaan. Saya percaya banyak orang yang juga sangat terbantu dengan jejaring yang mereka miliki.
Yang kedua adalah persiapan. Mendaki puncak Mahameru bukan hal mudah dan membutuhkan persiapan matang, baik perbekalan, fisik, maupun mental. Peralatan yang dibawa juga harus memadai sehingga membantu proses pendakian. Meraih impian membutuhkan persiapan, baik dalam hal ketrampilan, pengetahuan, dan terutama mental yang akan membawa kita ke sana. Tidak ada orang yang sukses tanpa persiapan. Saya teringat belasan tahun silam ketika ikut mendaki Gunung Merbabu untuk menyembuhkan hati yang patah. Itu adalah pendakian pertama saya. Perbekalan yang harus dibawa saya persiapkan dengan baik bahkan saya berlatih fisik dengan melakukan jogging secara rutin. Sampai sekarang saya masih ingat dengan jelas kata-kata teman saya waktu itu, bahwa kalau capek sebaiknya berhenti tetapi tetap dengan posisi berdiri dan jangan menekuk lutut atau jongkok karena akan membuat badan kita semakin berat ketika memulai pendakian lagi. Saya juga teringat bahwa kami harus mengatur makan dan minum sehingga cukup untuk sampai di puncak lalu turun lagi. Meskipun ketika turun gunung dan air sudah menipis, saya tidak ragu-ragu untuk mengisi botol mineral dengan air sungai dan meminumnya sampai tandas. Tidak terlintas sedikit pun bahwa saya akan sakit perut karena air tidak dimasak dan sebagainya. Hal-hal seperti itu adalah bagian dari persiapan mental, bahwa ketika mendaki gunung segala sesuatu bisa terjadi bahkan ketika yang kita persiapkan tidak cukup, kita harus tetap survive. Meraih impian pun juga harus bisa survive dengan segala kondisi yang ada di tengah perjalanan yang kita lalui.
Keberhasilan pendakian juga disebabkan adanya seorang pemimpin atau pemandu jalan yang sudah pernah mencapai puncak, bahkan berkali-kali,  sehingga sangat paham dengan rintangan dan liku liku perjalanan serta bagaimana mengatasinya. Ini adalah hal ketiga yang perlu dicatat, bahwa untuk meraih impian orang membutuhkan pemandu, pembimbing, atau mentor. Seorang mentor tahu persis apa yang harus dilakukan karena mereka sudah mencapai puncak pendakian. Mentor akan mengarahkan, memberi dorongan, pacuan, yang menuntun kita mengambil arah yang benar. Meskipun demikian, keberhasilan tetap sepenuhnya ada di tangan kita, karena seperti sebuah pendakian gunung, pemandu bisa menuntun kita, tetapi kitalah yang mengerakkan kaki, tangan, dan hati untuk mencapai puncak. Ketika mendaki Merbabu, saya benar-benar memperhatikan kata-kata yang keluar dari pemimpin kelompok, apa yang boleh dan yang tidak boleh, sampai akhirnya saya mencapai puncak. Sebuah pengalaman jiwa yang luar biasa, menaklukkan gunung setinggi 3.145 meter di atas permukaan laut dan menyaksikan matahari terbit secara dekat. Sayang sekali, ketika saya membongkar lemari untuk mencari foto-foto lama tersebut saya tidak menemukannya lagi. Sensasi yang ditimbulkan dari film 5 cm membuat saya kembali mengenang masa-masa belasan tahun silam. Seorang mentor juga menularkan keyakinan, sama seperti pemandu pendakian menularkan keyakinan kepada kelompoknya bahwa mereka akan sampai ke puncak, karena mereka pernah sampai ke sana! Tanpa keyakinan, kita tidak akan pernah mencapai impian.
Yang keempat adalah pengorbanan. Mendaki gunung tidak pernah mudah, tetapi ketika kita sampai ke puncak ada keindahan yang luar biasa. Perjalanan yang terjal, sulit, menguras energi bahkan terkadang air mata, tetapi tetaplah melangkah sampai menuju titik akhir. Seringkali kita harus beristirahat lebih lama karena terlalu capek, tetapi itu tidak akan menghentikan langkah kita. Istirahat adalah saat memulihkan tenaga untuk kemudian berjalan lagi. Semakin ke atas kemiringan semakin terasa, sehingga kita tidak bisa berdiri tegak tetapi setengah merayap untuk bisa terus naik. Ketika berjalan di jalan biasa kita hanya menggunakan kaki, tetapi ketika mendaki kita akan mengunakan semua daya dan alat yang kita miliki, bukan hanya kaki tetapi juga tangan. Ini menunjukkan bahwa mewujudkan mimpi membutuhkan totalitas dari apapun yang kita miliki. Di film 5 cm, menuju puncak ditandai dengan adanya abu vulkanik dan batu-batu yang jatuh dari atas, sehingga pendaki harus waspada. Meraih impian membutuhkan pengorbanan, kerja keras, dan ketegaran hati, seperti yang disampaikan dalam film tersebut, “yang kita butuhkan untuk mencapai puncak adalah kaki yang akan berjalan lebih jauh dari biasanya, tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya, mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya, leher yang akan lebih sering melihat ke atas, lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari baja, dan hati yang akan bekerja lebih keras dari biasanya, serta mulut yang akan selalu berdoa.”
Yang kelima, berkumpul dengan orang-orang yang memiliki goal yang sama. Saat mendaki gunung kita akan bertemu dengan kelompok pendaki gunung yang lain dan seringkali terjadi interaksi di situ. Di film 5 cm digambarkan bagaimana mereka meminta air kepada kelompok pendaki yang lain dan mendapatkan informasi-informasi yang berguna menuju puncak gunung. Secara logika, ketika kita melihat pendaki gunung lain yang juga sedang berjuang mencapai puncak tanpa mengenal lelah, kita juga akan terpacu menuju ke sana karena tertular semangat yang ditunjukkan. Untuk meraih mimpi kita perlu bergabung dengan orang-orang yang memiliki impian yang sama, karena di situlah sumber kita untuk belajar sehingga akan mempercepat proses pencapaian tujuan yang diharapkan. Terjadi proses transfer pengetahuan, ketrampilan, dan energi, sehingga potensi kita bisa keluar secara optimal.
Yang keenam adalah berdoa. Mendaki gunung berarti mematahkan ego akan kebesaran diri kita. Ketika mendaki Gunung Merbabu, saya merasakan betapa saya hanya sebuah titik di alam ini. Pepohonan yang lebat, jalan yang terjal, gunung yang kokoh, kekuatan alam yang dahsyat menyadarkan saya bahwa tidak mungkin saya bisa mencapai puncak dengan kekuatan sendiri. Tanpa perkenan Tuhan, saya tidak akan sampai ke tempat yang saya tuju. Meraih impian hanya bisa dicapai dengan pertolongan Tuhan. Saya memiliki keyakinan, bahwa ketika impian itu ditaruh di hati saya, Tuhan juga sudah menyiapkan tiket untuk ke sana, sisanya adalah kerja keras saya. Setiap impian yang terukir di hati manusia adalah doa yang tiada putus kepada Sang Pencipta.
Persahabatan-jejaring, persiapan, pemandu/mentor, pengorbanan, berkumpul dengan orang-orang yang memiliki impian yang sama dan berdoa, adalah hal-hal yang saya catat dari film 5 cm. Memang tidak bisa dibandingkan dengan Laskar Pelangi atau Sang Pemimpi karena latar belakangnya berbeda. Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi adalah potret nyata perjuangan anak manusia, sedangkan 5 cm adalah fiksi tentang persahabatan. Meskipun demikian banyak hal bisa dipetik dari film tersebut yang membuat saya terpacu untuk mewujudkan mimpi yang dimiliki. Mendaki gunung memang tidak mudah, tetapi bukan berarti tidak bisa. Apapun impian Anda saat ini, selamat menuju ke sana!

Saturday, December 15, 2012

Time flies


Life is like riding a bicycle. To keep your balance you must keep moving
- Albert Enstein

Saya membuka mata di pagi hari dan berucap, selamat datang Desember. Tahun 2012 berjalan sangat cepat, bahkan sebentar lagi Natal tiba. Tahun berganti, waktu berlalu, hari demi hari yang dulu terasa jauh dan lama, sekarang terlewati. Waktu 24 jam sehari bisa berdetak lambat atau cepat, tergantung peristiwa yang dialami. Kebahagiaan dan kegembiraan menjadi alat percepatannya, sedangkan kesedihan dan kepedihan menjadi alat yang menahan waktu untuk tidak beranjak dari kita berpijak. Waktu yang mestinya matematis seringkali menjadi sangat dipengaruhi persepsi sehingga tidak bisa dihitung secara logika. Contoh nyata, ketika kita sangat mencintai pekerjaan dan asyik menikmatinya, jam kantor menjadi tidak berarti karena mendadak sudah larut malam. Atau ketika kita sedang berkumpul dengan orang-orang terkasih, waktu seakan berlari sehingga kebersamaan itu cepat selesai. Tetapi saat mengalami suatu kejadian yang tidak enak atau melakukan pekerjaan yang tidak kita sukai, waktu merambat begitu lambat. Apapun yang terjadi, satu hal yang tidak berubah adalah waktu selalu berjalan maju.

Saya menikmati hari-hari, mengamati keponakan yang sudah besar, bahkan 4 dari 10 keponakan sudah menikah. Serunya lagi saya sudah menyandang gelar 'nenek' karena menimang 2 orang cucu yang merupakan anak-anak mereka. Secara refleks saya bercermin dan menyadari bahwa ternyata saya memang sudah tidak remaja lagi, paling tidak beberapa teman kantor secara bercanda memanggil 'Oma' karena saya pernah memasang gambar profil menggendong cucu. Ingatan saya kembali ke masa dua puluh lima tahun silam ketika saya masih bermain main dengan mereka dan memboncengkannya di jok sepeda motor. Salah seorang keponakan di Solo yang dulu seringkali saya jemput ketika di Taman Kanak Kanak, dan saya bimbing belajar dimalam hari sekarang sudah mahasiswa Teknik Sipil tingkat akhir. Ah, menyenangkan juga mengingat semuanya, tetapi itu semua sudah lewat. Terkadang saya tidak menyadari berharganya waktu sampai saya memahami bahwa hari-hari yang saya tinggalkan menyimpan banyak cerita.

Waktu tidak bisa diputar ulang. Apa yang sudah terjadi hanya bisa diingat, dikenang, disyukuri, atau bahkan diratapi. Tetapi apakah gunanya semua itu, karena kita belajar dari waktu yang terus bergerak maju tanpa ada yang mampu menahan. Kalaupun dalam hidup kita ada banyak kejadian yang tidak sesuai harapan, saatnya terus berjalan tanpa ragu seperti waktu. Waktu adalah contoh tentang konsistensi, setiap detik berdetak, seirama dengan putaran alam. Apa yang dialami, keberhasilan-kegagalan, kebahagiaan-kesedihan adalah dua sisi mata uang yang silih berganti, sama seperti siang dan malam yang mewarnai dunia mengikuti hukum alam. Waktu berlalu, peristiwa berlalu. Jadi semestinya tidak perlu berhenti di suatu masa hanya karena kita terlalu berbahagia sehingga tidak mau melepaskannya, atau terlalu sedih sehingga berkubang di dalamnya. Semua memiliki porsinya sendiri, seperti siang dan malam yang saling melengkapi.

Waktu terus berjalan apapun yang terjadi, demikian juga hidup kita. Peristiwa datang dan pergi, ada yang menjadi kenangan, ada yang menghilang. Orang juga datang dan pergi berulang kali. Saya sedang mencoba menikmati setahun terakhir dengan belajar dari waktu. Mau kemana kita? Roda kehidupan berputar, tidak pernah ada waktu dan tanggal yang sama sepanjang zaman. Pertanyaannya, apakah kita akan melaluinya sia-sia, atau kita akan membuatnya menjadi waktu-waktu indah setiap hari apapun yang terjadi? Jawabannya ada di hati kita masing-masing. Saya lagi belajar dan berharap bisa lulus, menghitung hari demi hari yang saya lewati, mempersiapkan Natal dan Tahun Baru yang tinggal hitungan hari. Pilihan ada di tangan kita. Selamat menjalani hari-hari dengan bijaksana!

Saturday, December 8, 2012

Menembus Batas



                                   The sky is not my limit...I am - T.F. Hodge

Saya mengamati gambar profil teman yang menunjukkan 3 buah anak panah meluncur ke tembok. Satu anak panah berhasil menembusnya sedangkan dua lainnya berhenti tepat di dinding. Statusnya bertuliskan “menembus batas”, sama dengan judul presentasi motivasi yang sedang saya persiapkan untuk acara National Sales Conference akhir tahun ini. Teman tersebut adalah rekan kerja semasa saya menjadi penyiar di sebuah radio di Salatiga. Dua belas tahun sudah berlalu, dan saya kagum dengan pencapaiannya saat ini. Kecintaannya pada radio membuat dia meninggalkan gelar akademisnya di bidang Hukum dan menekuni kepenyiaran. Keputusan yang mungkin dirasa cukup riskan mengingat dia adalah seorang pria yang nantinya menjadi kepala rumah tangga.  Bukankah lebih aman berada di “jalur yang benar”? Tidak bermaksud memandang sebelah mata terhadap dunia radio, tetapi menjadi penyiar di kota kecil tentu memberikan pemasukan yang berbeda dibandingkan penyiar terkenal di Jakarta. Teman saya kemudian memutuskan keluar dari Salatiga, berpindah ke beberapa kota, lalu mendarat di Jakarta dengan posisi yang baik. Saya melihatnya sebagai hasil sebuah proses panjang dari seseorang yang menjalani passion dengan sepenuh hati.

Cerita lain berasal dari Kediri, sesama teman penyiar yang menjadi mentor saya ketika saya pertama kali siaran. Dua belas tahun semenjak kami berpisah, sekarang saya mengenalnya sebagai pemilik usaha di bidang branding dan pelaksanaan event. Bahkan baru-baru ini teman tersebut mengikuti shooting rekaman komedi situasi dengan Indro Warkop di Jakarta yang akan tayang di sebuah stasiun televisi. Hebat! Pencapaian yang berasal dari ketekunan dan kesetiaan pada proses. Saya masih mengingat dengan jelas, masa-masa disaat kami siaran, lucu dan menyenangkan. Alangkah membahagiakan bisa bertemu mereka kembali saat ini dalam posisi yang sudah sangat berbeda.

Menembus batas berarti melakukan terobosan. Saya memaknai batas sebagai garis yang memisahkan bidang, misalnya batas kepulauan, negara, atau daerah. Batas juga bisa diartikan sebagai sebuah kondisi yang tidak bisa ditembus atau dilanggar. Contoh, batas usia mengambil pendidikan dokter spesialis adalah 40 tahun, sehingga di atas usia tersebut tidak akan diterima karena tidak memenuhi syarat. Dalam kehidupan sehari-hari kata batas seringkali dipakai secara abstrak, misalnya “batas kesabaran”. Kata batas dalam konteks ini tidak bisa dilihat secara jasmaniah, tetapi dapat dirasakan. Lalu bagaimana kita menerjemahkan menembus batas sebagai hal yang positif?  Kata “batas” disini merujuk pada sebuah kondisi dimana kita tidak bisa maju lagi sehingga harus berhenti dan menyerah, sebuah titik dimana kita tidak mungkin lagi berjalan. Inilah yang terjadi pada banyak orang dan tentu saja saya sendiri, yang seringkali melihat batas-batas tersebut menjadi “batasan atau keterbatasan” dan member pemakluman kenapa kita tidak bisa. Batasan bisa berupa keterbatasan fisik, materi, lingkungan, pola pikir yang menghambat kita berjalan menuju keberhasilan. Berita bagusnya adalah ada banyak contoh di sekitar kita yang menunjukkan bahwa ada orang-orang dengan keterbatasan fisik tetapi mampu berjalan di atas keterbatasan itu. Contoh nyata adalah Patricia Saerang, wanita kelahiran Manado yang lahir tanpa tangan yang sempurna, tetapi mampu melukis dengan kaki dan menjadi anggota AMFPA (Association of Mouth and Foot Printing Artists atau asosiasi para pelukis cacat yang melukis dengan kaki atau mulut) yang berpusat di Swiss. Patricia mengatakan, bahwa Tuhan tidak memberikan tangan dan kaki yang normal, tetapi menganugerahinya pikiran yang tajam dan kemauan yang kuat untuk bertahan hidup dan menjadi manusia yang produktif (Paulus Winarto, 2009).

Batasan materi mengingatkan saya pada film Laskar Pelangi, cerita sepuluh orang sahabat yang berjuang merubah nasib. Kemiskinan dan keterbatasan fasilitas sekolah tidak menghalangi mereka untuk berprestasi dan menjadi juara. Lingkungan juga sering dijadikan dalih sebagai batasan kita untuk maju. Orang yang dilahirkan dalam lingkungan yang kurang mendukung, merasa tidak memiliki hak untuk berhasil.  Selain ketiga hal tadi, satu batasan lagi yang paling penting adalah keterbatasan pola pikir yang terkungkung oleh pembatas-pembatas yang dibuat sendiri. Keterbatasan ini menjadikan kelimpahan fisik, materi, dan lingkungan menjadi tidak ada artinya karena semua hal yang terjadi akan dilihat sebagai sesuatu yang negatif. Contoh di dalam lingkup pekerjaan kantor, seringkali kita menyalahkan lingkungan dan orang lain sebagai penyebab buruknya kinerja kita. Atasan yang tidak mau mengerti, bawahan yang kurang tanggap, rekan kerja yang seenaknya sendiri, prosedur yang berbelit-belit, menjadi pembenaran kita untuk gagal. Atau seringkali kita dibatasi oleh ketakutan, ketidakpercayaan diri, keengganan mencoba, dan ketidakmauan untuk berubah. Pola pikir tersebut akan mempengaruhi seluruh sendi nafas dan menyeret kita untuk mempercayai bahwa kita tidak mungkin menjadi orang yang berhasil karena memiliki begitu banyak keterbatasan. Seperti seseorang yang berada di balik jeruji penjara dan mendapat kesempatan untuk mengintip dunia luar. Apakah dia hanya melihat jeruji yang melingkupinya, atau dia melihat indahnya langit di luar sana dan termotivasi untuk berubah dan berbuat baik sehingga memiliki kesempatan lebih besar untuk direhabilitasi.

Ketika membuat slide presentasi satu demi satu, saya bertanya kepada diri saya sendiri, apakah saya orang yang berhenti dalam batasan-batasan, atau saya berani bergerak dan berpikir di luar kotak. Seringkali saya takut, tidak percaya diri, minder, dan tidak yakin dengan kemampuan yang saya miliki. Saya selalu membanding-bandingkan diri saya dengan orang lain dan merasa begitu kecil, tak berarti. Pola pikir ini membawa saya pada dinding tembok yang tidak akan pernah runtuh karena saya tidak berani menerobosnya. Yang diperlukan adalah keberanian untuk berjalan menembusnya, berhasil atau gagal itu lain cerita. Seringkali yang terjadi saya merasa tidak bisa dan melangkah mundur, sehingga dinding tembok pun tidak bergeming.

Apa yang harus dilakukan untuk mampu menembus batas seperti yang dilakukan oleh teman saya? Tentu saja mengikis pola pikir yang membatasi dan menggantinya dengan can do attitude. Perilaku yang membangkitkan semangat di dalam diri bahwa “saya bisa”. Jangan sampai belum mulai melangkah sudah merasa tidak mampu. Perilaku ini tentu tidak muncul begitu saja karena berasal dari kemauan untuk berubah, dari yang selalu berpikir “tidak bisa” menjadi  “bisa” , dari yang selalu berpikir “saya kecil” menjadi “saya berharga”, dari yang berpikir “saya tidak percaya diri” menjadi “saya percaya diri”, karena jika kita tidak percaya kepada diri sendiri, bagaimana kita berharap orang lain akan percaya kepada kita.

Menembus batas, adalah saat dimana kita menerobos segala batasan dan keterbatasan, seperti anak panah menerobos tembok dan terus bergerak maju. Kuncinya adalah kemauan berubah, can do attitude, percaya diri, dipadu dengan konsistensi yang tidak pernah berakhir. Mengikuti proses yang harus dijalani dengan tekun, dan memiliki pengharapan bahwa suatu hari nanti proses itu akan memberikan hasil yang menyenangkan. Kegagalan adalah bagian dari sebuah perjalanan. Selamat menembus batas, dan bergerak tanpa henti.