Saturday, December 8, 2012

Menembus Batas



                                   The sky is not my limit...I am - T.F. Hodge

Saya mengamati gambar profil teman yang menunjukkan 3 buah anak panah meluncur ke tembok. Satu anak panah berhasil menembusnya sedangkan dua lainnya berhenti tepat di dinding. Statusnya bertuliskan “menembus batas”, sama dengan judul presentasi motivasi yang sedang saya persiapkan untuk acara National Sales Conference akhir tahun ini. Teman tersebut adalah rekan kerja semasa saya menjadi penyiar di sebuah radio di Salatiga. Dua belas tahun sudah berlalu, dan saya kagum dengan pencapaiannya saat ini. Kecintaannya pada radio membuat dia meninggalkan gelar akademisnya di bidang Hukum dan menekuni kepenyiaran. Keputusan yang mungkin dirasa cukup riskan mengingat dia adalah seorang pria yang nantinya menjadi kepala rumah tangga.  Bukankah lebih aman berada di “jalur yang benar”? Tidak bermaksud memandang sebelah mata terhadap dunia radio, tetapi menjadi penyiar di kota kecil tentu memberikan pemasukan yang berbeda dibandingkan penyiar terkenal di Jakarta. Teman saya kemudian memutuskan keluar dari Salatiga, berpindah ke beberapa kota, lalu mendarat di Jakarta dengan posisi yang baik. Saya melihatnya sebagai hasil sebuah proses panjang dari seseorang yang menjalani passion dengan sepenuh hati.

Cerita lain berasal dari Kediri, sesama teman penyiar yang menjadi mentor saya ketika saya pertama kali siaran. Dua belas tahun semenjak kami berpisah, sekarang saya mengenalnya sebagai pemilik usaha di bidang branding dan pelaksanaan event. Bahkan baru-baru ini teman tersebut mengikuti shooting rekaman komedi situasi dengan Indro Warkop di Jakarta yang akan tayang di sebuah stasiun televisi. Hebat! Pencapaian yang berasal dari ketekunan dan kesetiaan pada proses. Saya masih mengingat dengan jelas, masa-masa disaat kami siaran, lucu dan menyenangkan. Alangkah membahagiakan bisa bertemu mereka kembali saat ini dalam posisi yang sudah sangat berbeda.

Menembus batas berarti melakukan terobosan. Saya memaknai batas sebagai garis yang memisahkan bidang, misalnya batas kepulauan, negara, atau daerah. Batas juga bisa diartikan sebagai sebuah kondisi yang tidak bisa ditembus atau dilanggar. Contoh, batas usia mengambil pendidikan dokter spesialis adalah 40 tahun, sehingga di atas usia tersebut tidak akan diterima karena tidak memenuhi syarat. Dalam kehidupan sehari-hari kata batas seringkali dipakai secara abstrak, misalnya “batas kesabaran”. Kata batas dalam konteks ini tidak bisa dilihat secara jasmaniah, tetapi dapat dirasakan. Lalu bagaimana kita menerjemahkan menembus batas sebagai hal yang positif?  Kata “batas” disini merujuk pada sebuah kondisi dimana kita tidak bisa maju lagi sehingga harus berhenti dan menyerah, sebuah titik dimana kita tidak mungkin lagi berjalan. Inilah yang terjadi pada banyak orang dan tentu saja saya sendiri, yang seringkali melihat batas-batas tersebut menjadi “batasan atau keterbatasan” dan member pemakluman kenapa kita tidak bisa. Batasan bisa berupa keterbatasan fisik, materi, lingkungan, pola pikir yang menghambat kita berjalan menuju keberhasilan. Berita bagusnya adalah ada banyak contoh di sekitar kita yang menunjukkan bahwa ada orang-orang dengan keterbatasan fisik tetapi mampu berjalan di atas keterbatasan itu. Contoh nyata adalah Patricia Saerang, wanita kelahiran Manado yang lahir tanpa tangan yang sempurna, tetapi mampu melukis dengan kaki dan menjadi anggota AMFPA (Association of Mouth and Foot Printing Artists atau asosiasi para pelukis cacat yang melukis dengan kaki atau mulut) yang berpusat di Swiss. Patricia mengatakan, bahwa Tuhan tidak memberikan tangan dan kaki yang normal, tetapi menganugerahinya pikiran yang tajam dan kemauan yang kuat untuk bertahan hidup dan menjadi manusia yang produktif (Paulus Winarto, 2009).

Batasan materi mengingatkan saya pada film Laskar Pelangi, cerita sepuluh orang sahabat yang berjuang merubah nasib. Kemiskinan dan keterbatasan fasilitas sekolah tidak menghalangi mereka untuk berprestasi dan menjadi juara. Lingkungan juga sering dijadikan dalih sebagai batasan kita untuk maju. Orang yang dilahirkan dalam lingkungan yang kurang mendukung, merasa tidak memiliki hak untuk berhasil.  Selain ketiga hal tadi, satu batasan lagi yang paling penting adalah keterbatasan pola pikir yang terkungkung oleh pembatas-pembatas yang dibuat sendiri. Keterbatasan ini menjadikan kelimpahan fisik, materi, dan lingkungan menjadi tidak ada artinya karena semua hal yang terjadi akan dilihat sebagai sesuatu yang negatif. Contoh di dalam lingkup pekerjaan kantor, seringkali kita menyalahkan lingkungan dan orang lain sebagai penyebab buruknya kinerja kita. Atasan yang tidak mau mengerti, bawahan yang kurang tanggap, rekan kerja yang seenaknya sendiri, prosedur yang berbelit-belit, menjadi pembenaran kita untuk gagal. Atau seringkali kita dibatasi oleh ketakutan, ketidakpercayaan diri, keengganan mencoba, dan ketidakmauan untuk berubah. Pola pikir tersebut akan mempengaruhi seluruh sendi nafas dan menyeret kita untuk mempercayai bahwa kita tidak mungkin menjadi orang yang berhasil karena memiliki begitu banyak keterbatasan. Seperti seseorang yang berada di balik jeruji penjara dan mendapat kesempatan untuk mengintip dunia luar. Apakah dia hanya melihat jeruji yang melingkupinya, atau dia melihat indahnya langit di luar sana dan termotivasi untuk berubah dan berbuat baik sehingga memiliki kesempatan lebih besar untuk direhabilitasi.

Ketika membuat slide presentasi satu demi satu, saya bertanya kepada diri saya sendiri, apakah saya orang yang berhenti dalam batasan-batasan, atau saya berani bergerak dan berpikir di luar kotak. Seringkali saya takut, tidak percaya diri, minder, dan tidak yakin dengan kemampuan yang saya miliki. Saya selalu membanding-bandingkan diri saya dengan orang lain dan merasa begitu kecil, tak berarti. Pola pikir ini membawa saya pada dinding tembok yang tidak akan pernah runtuh karena saya tidak berani menerobosnya. Yang diperlukan adalah keberanian untuk berjalan menembusnya, berhasil atau gagal itu lain cerita. Seringkali yang terjadi saya merasa tidak bisa dan melangkah mundur, sehingga dinding tembok pun tidak bergeming.

Apa yang harus dilakukan untuk mampu menembus batas seperti yang dilakukan oleh teman saya? Tentu saja mengikis pola pikir yang membatasi dan menggantinya dengan can do attitude. Perilaku yang membangkitkan semangat di dalam diri bahwa “saya bisa”. Jangan sampai belum mulai melangkah sudah merasa tidak mampu. Perilaku ini tentu tidak muncul begitu saja karena berasal dari kemauan untuk berubah, dari yang selalu berpikir “tidak bisa” menjadi  “bisa” , dari yang selalu berpikir “saya kecil” menjadi “saya berharga”, dari yang berpikir “saya tidak percaya diri” menjadi “saya percaya diri”, karena jika kita tidak percaya kepada diri sendiri, bagaimana kita berharap orang lain akan percaya kepada kita.

Menembus batas, adalah saat dimana kita menerobos segala batasan dan keterbatasan, seperti anak panah menerobos tembok dan terus bergerak maju. Kuncinya adalah kemauan berubah, can do attitude, percaya diri, dipadu dengan konsistensi yang tidak pernah berakhir. Mengikuti proses yang harus dijalani dengan tekun, dan memiliki pengharapan bahwa suatu hari nanti proses itu akan memberikan hasil yang menyenangkan. Kegagalan adalah bagian dari sebuah perjalanan. Selamat menembus batas, dan bergerak tanpa henti.

No comments:

Post a Comment