Wednesday, July 27, 2011

sebuah inspirasi.....

              Ini kisah menarik dari seorang teman yang baru saja saya kenal selama 3 hari pelatihan di Jakarta. Selain menikmati saat-saat menjadi murid, saya terhibur dengan teman-teman baru yang berasal dari berbagai daerah dan institusi. Berawal dari tugas kelompok untuk berlatih mendengar dan bertanya secara aktif dalam sesi komunikasi efektif, saya berpasangan dengan seorang teman  yang sudah 14 tahun bekerja di terminal peti kemas Tanjung Priok. Kebetulan poin-poin pertanyaan adalah menggali mengenai profesi yang dijalani saat ini. Saya tertarik dengan lamanya dia bekerja di perusahaan tersebut yang sudah dijalani selama 14 tahun. Bagi saya yang berpindah di 3 perusahaan dalam waktu 8 tahun, angka 14 adalah waktu yang sangat lama untuk tetap tinggal di satu tempat. Saat ini teman saya menjabat sebagai koordinator kelompok customer service dan bertanggung jawab memberi verifikasi apakah sebuah muatan bisa dibongkar atau tidak. Intinya, kalau tidak ada tanda tangan dari teman saya, muatan kapal yang masuk tidak bisa dibongkar. Tentu bukan posisi yang seadanya. Tetapi saya sungguh tidak menyangka bahwa dia memulainya dari posisi sopir! Teman saya bercerita kalau dia hanya lulusan SMA dan tahun 1997 diterima menjadi sopir direksi di peti kemas tersebut. Pekerjaan sebagai sopir dia jalani selama 4 tahun. Ketika ada lowongan sebagai karyawan data entry di tahun 2001, teman saya mencoba mengajukan diri dan diterima. Dengan rendah hati dia mengatakan bahwa itu hanyalah keberuntungan. Karirnya terus naik dan setelah 10 tahun bekerja dia menjadi koordinator yang bertanggung jawab terhadap pelayanan bongkar muat di terminal peti kemas tersebut, membawahi 6 orang karyawan. Mendengar ceritanya hati saya meluap karena senang dan bangga, bersyukur mendapatkan sebuah kisah inspiratif dari seorang teman yang baru saya kenal. Saya tahu bahwa banyak sekali kisah yang lebih dramatis mengenai jalan kesuksesan seseorang, dari yang bukan apa-apa menjadi segalanya. Dari posisi paling bawah sampai menjadi seorang direktur bahkan pemilik perusahaan. Tetapi kisah sederhana dari teman saya cukup menggugah hati untuk bercermin. Ketika saya bertanya bagaimana ke depannya, dia menjawab dijalani saja, datar saja. Tidak puas dengan jawaban tersebut saya menggali lebih dalam tentang kemungkinan naik ke jenjang berikutnya. Teman saya tersenyum dan menjawab kalau pendidikannya hanyalah SMA. Mendengar jawaban tersebut, gantian saya yang tersenyum dan mengatakan bahwa melanjutkan sekolah adalah pilihan terbaik untuknya. Teman saya mengangguk dan mengatakan bahwa di sudah merencanakannya karena karir ke depan cukup terbuka.
            Meskipun terkesan biasa, tetapi kisah tadi sungguh memberkati saya. Pendidikan SMA, bermula dari sopir, dan sekarang memiliki posisi yang bagus. Seakan-akan from nothing to be everything, from a driver to be a leader. Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa sopir adalah nothing. Setiap pekerjaan adalah mulia asal dikerjakan dengan sepenuh hati dan dengan ucapan syukur. Saya hanya ingin menyampaikan bahwa teman saya tadi memiliki semangat tinggi untuk bergerak maju dan tidak berhenti di satu titik.  Saya meyakini bahwa kesuksesan dia bukanlah karena keberuntungan, karena keberuntungan saja tidak akan membawa seseorang untuk naik. Keberuntungan hanya akan didapat kalau ada kemampuan dan kesempatan. Jadi saya percaya bahwa teman saya tadi memiliki kemampuan dan ada kesempatan untuknya. Lebih dari itu dia memiliki sikap mental pemenang: ulet, bersemangat, pantang menyerah. Memiliki visi ke depan yang dia tuangkan dalam rencananya untuk melanjutkan sekolah. Meskipun kami berinteraksi hanya selama 3 hari tetapi saya berharap suatu hari nanti dapat bertemu kembali dengannya dan berbagi cerita sukses. Saya belajar darinya dan menyadari bahwa saya masih harus banyak berbenah untuk menjadi seorang pemenang.
        Berbicara mengenai inspirasi, saya teringat pertanyaan seorang peserta training mengenai perbedaan motivasi dan inspirasi. Saat itu saya menjelaskan bahwa motivasi adalah tindakan memberikan dorongan kepada orang lain atau diri sendiri, bisa melalui perkataan, buku-buku bacaan, seminar, ataupun hal-hal yang mendorong seseorang untuk tetap bersemangat. Motivasi bisa berasal dari luar maupun dari dalam diri kita. Dari luar misalnya ketika kita mengikuti pelatihan motivasi, membaca buku-buku, dukungan atasan, rekan kerja, orang terkasih, dan lain sebagainya. Motivasi dari dalam misalnya ketika diri kita terpacu untuk terus berjuang mekipun tidak ada suntikan motivasi dari luar. Tentu saja motivasi dari dalam lebih tahan lama, dan justru inilah yang menjadi tujuan kita, yaitu bagaimana kita bisa memotivasi diri sendiri. Terkadang lebih mudah memotivasi orang lain daripada memotivasi diri sendiri.  Bagi saya inspirasi memiliki makna yang lebih dalam, karena bukan hanya berasal dari perkataan tetapi benar-benar sebuah tindakan nyata yang dilakukan, dan tindakan tersebut mampu menyentuh hati orang lain untuk mengikutinya dan mengambil pelajaran darinya. Istilah gaulnya bukan hanya ngomong, tetapi ada tindakan nyata. Kisah sukses teman saya tadi adalah sebuah inspirasi. Ketika bercerita tidak ada teriakan-teriakan berkobar dari ucapannya, nadanya biasa saja seperti orang bertutur. Tidak ada kesombongan, hanya kerendahan hati dan ucapan syukur. Bukan bermaksud memotivasi orang lain dengan kata-kata mutiara dan diucapkan dengan semangat menyala-nyala. Cukup dengan tindakan, tetapi berdampak  lebih hebat dari kata-kata indah yang sering saya rangkai untuk memberi semangat para peserta.
                Kalau begitu apakah kata-kata motivasi tidak perlu? Tentu saja tidak, tetapi yang lebih penting adalah motivasi dari dalam diri sendiri. Karena itu saya heran kalau ada seorang supervisor atau sales manager yang mengeluh anak buahnya tidak termotivasi dan meminta kami untuk memotivasi. Merekalah yang seharusnya menjadi penggerak semangat dan menginspirasi anak buahnya untuk terus memiliki api motivasi dalam dirinya. Melalui apa? Tindakan nyata! Memberi teladan melalui perbuatan dan memiliki integritas, satunya kata dan perbuatan. Kata-kata saja tidak cukup kalau tidak ada tindakan nyata. Seorang pemimpin harus mampu menghidupi kata-katanya, melakukan apa yang dia katakan. Bagi saya, trainer terbaik adalah atasan langsung karena merekalah yang setiap hari berinteraksi dengan anak buahnya.
             Saya percaya kalau kita mau membuka mata dan hati kita setiap hari, ada banyak kisah sederhana yang memotivasi bahkan menginspirasi kita untuk menjadi lebih baik. Tukang sapu jalanan yang melakukan pekerjaannya dengan riang, ibu-ibu penjual jamu yang menggendong dagangannya setiap hari tanpa mengeluh, tukang bakso yang selalu tersenyum ketika saya pulang kerja setiap hari. Kalau saya mulai berkeluh kesah dan merasa belum menjadi apa-apa, saya akan menegur diri saya dengan cerita teman saya tadi. Terkadang saya merasa lemah dan tidak ada jalan terbuka, padahal yang terjadi adalah saya belum berjuang sekuat tenaga. Terkadang saya merasa tidak memiliki kemampuan apa-apa, padahal yang terjadi sebenarnya hanya karena saya malas belajar dan membaca. Terkadang saya merasa semua energi sudah dicurahkan, padahal yang terjadi hanya karena saya tidak cukup sabar untuk terus mencoba. Pepatah Jawa mengatakan “jer basuki mawa bea”, artinya untuk meraih kemuliaan, kesuksesan harus dengan biaya. Biaya bisa berupa waktu, usaha, kerja keras, pengorbanan, pengendalian diri, dan hal-hal yang kita curahkan untuk mencapai kesuksesan. Jalan menuju ke sana pasti terjal dan mendaki, tetapi seperti seorang pendaki yang berjuang sepanjang malam mencapai puncak gunung, pagi harinya dia akan disambut dengan indahnya pemandangan sunrise yang luar biasa. Rasa penat dan capek langsung sirna, berganti kesukaan dan puji syukur pada Pencipta. Jer basuki mawa bea, tidak ada makan siang gratis, tidak ada kesuksesan tanpa usaha. Itu hanya ada di dalam angan-angan yang segera hilang ditiup angin. Dan ketika sadar, kita sudah tertinggal jauh. Maukah kita berhenti melangkah ataukah kita menyiapkan energi untuk mendaki?
               
               
                

Friday, July 22, 2011

when the obstacle comes...

Sebuah sms dari seorang teman yang sedang dalam kondisi tidak bagus membuat saya terhenyak membacanya, “I dun know what should I do, I dun know where to go, I dun know what to do, I dun know what to say, I dun know what I need. Even I dun know who am I. I lost myself”.  Lah, bagaimana sih, kalau tidak tahu apa yang akan dikerjakan, paling banter saya akan bilang, lakukan saja apa yang kamu suka. Kalau tidak tahu kemana mau pergi, ya sudah, diam saja di rumah menikmati waktu istirahat. Tetapi kalau sudah tidak tahu siapa dirinya, ini kan repot. Saya segera membalas sms tersebut dengan kata-kata, “Is there anything I can do to help u?”  Teman saya  menjawab, “Nothing, this is my problem”. Waduh, ini lebih aneh lagi. Kalau memang tidak mau dibantu, kenapa harus sms saya. Cukup diam, dan menyelesaikan sendiri masalahnya. Saya mengenal teman saya sebagai seorang yang positif, penuh semangat, dan berenergi,  jadi kalau dia tiba-tiba bicara seperti itu, bagi saya ini sungguh mengherankan dan tidak masuk akal. Saya bahkan tidak pernah membayangkan dia mengatakan hal-hal melemahkan seperti itu, karena saya percaya dia cukup kuat mengatasinya. Maka untuk meyakinkan diri, saya membalas sms-nya, “I know you can handle it. I never imagine that you can be drop like this.” Teman saya menjawab, “I am a human being. This is just a part of my moment”. Saya membalasnya, “Maybe what u need is only time to think all over”. Percakapan berhenti sampai di situ. Saya merenung dan menyadari bahwa hal ini bisa terjadi pada siapapun, bahkan pada orang yang paling termotivasi sekalipun. Butuh waktu dan kemauan keras untuk melawan perasaan lemah, tak berdaya, tidak ada harapan, tidak berguna, tidak berharga, mengasihani diri sendiri, penyangkalan diri, menyalahkan orang lain, dan segala macam perasaan negatif yang muncul. Semakin dibiarkan berlarut-larut, orang akan semakin negatif dan jatuh dalam situasi dimana dia yakin bahwa dia tidak mampu menolong dirinya sendiri.
Saya bukanlah orang yang selalu termotivasi, meskipun dari penampakan luar “sepertinya” penuh energi dan bersemangat. Ada saat-saat dimana saya kecewa, marah, frustrasi, jengkel, dan jatuh dalam kondisi negatif. Semakin saya biarkan perasaan itu memenuhi hati, maka saya benar-benar merasa bahwa saya dalam kondisi yang sangat menyedihkan. Tetapi ketika saya melawan perasaan itu, membuangnya, memindahkan pikiran saya ke hal-hal yang berguna, saya membangkitkan bara api dalam hati yang menyadarkan saya untuk bangun dan bertindak. Kuncinya adalah hati kamu, seorang teman saya yang lain mengatakannya pada saya, “Kalau hati kamu bersih, jiwamu akan tenang, dan hidupmu akan berbahagia.” Saya teringat gambar shincan dan doraemon yang dikirim dalam bbm group. Diceritakan bahwa shincan minta ke doraemon agar mengeluarkan alat yang bisa membuat mereka bahagia. Doraemon menjawab, “alat itu hanya ada di TV dan komik, sesungguhnya kebahagiaan itu berasal dari dalam diri kita masing-masing.” Saya tersenyum ketika melihat gambar itu, dan mengangguk menerima kebenarannya.
Kitab Amsal mengatakan, “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan”. Bagi saya ini sungguh luar biasa, karena kitab yang ditulis ribuan tahun yang lalu itu mampu melihat jauh ke depan dan menangkap sumber persoalan manusia. Hati memancarkan kehidupan, apakah itu kehidupan yang dipenuhi kemarahan, kebencian, dendam, iri hati, atau kehidupan yang dipimpin oleh hati yang bersih, tulus, mengasihi, murah hati, semua adalah pilihan kita. Karena itu Amsal melanjutkan dengan mengatakan bahwa hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang.
Alangkah berbahagianya kalau kita selalu bersemangat menjalani kehidupan setiap hari. Tetapi saya percaya bahwa tidak ada orang yang tidak pernah mengalami masalah. Alangkah naifnya kalau kita mengatakan hidupku tanpa masalah, tidak pernah ada tekanan, tidak pernah stress.  Justru hidup akan menjadi membosankan kalau berjalan datar dan kita akan menjadi orang-orang yang tidak tahan uji. Pertanyaannya adalah ketika ada masalah, apa yang kita lakukan untuk mengatasinya. Maramis dalam bukunya Ilmu Kedokteran Jiwa mengungkapkan bahwa stress dapat bersumber dari empat hal yaitu frustrasi, konflik, tekanan, dan krisis. Frustrasi terjadi bila ada halangan antara kita dan tujuan kita. Misalnya kita mau pergi ke suatu tempat dan terburu-buru, mendadak mobil kita mogok, atau kita ingin melanjutkan kuliah ke jenjang yang lebih tinggi tetapi tidak lulus kualifikasi. Konflik terjadi apabila kita tidak dapat memilih antara dua atau lebih macam kebutuhan atau tujuan. Memilih yang satu, berarti frustrasi terhadap yang lain. Ibarat kita berada di persimpangan jalan dan tidak dapat memilih ke kiri atau ke kanan. Bahasa kerennya “on the crossroad”, seperti yang sering saya baca di status fb teman saya. Tekanan, dapat menimbulkan masalah penyesuaian. Tekanan bisa datang dari dalam, bisa dari luar. Tekanan dari dalam misalnya keinginan kita untuk mencapai suatu hal yang justru membuat kita tertekan karena ada perasaan malu kalau tidak tercapai. Tekanan dari luar bisa berupa harapan berlebihan terhadap kita atau tuntutan dari orang-orang sekitar yang membuat kita terbeban. Krisis ialah suatu keadaan yang mendadak menimbulkan stress seperti kematian, kecelakaan, kehilangan orang yang dikasihi, penyakit, dan lain sebagainya.
 Stress yang muncul harus dihadapi dan diselesaikan, tergantung dari ketahanan setiap individu. Daya tahan stress atau nilai ambang frustrasi setiap orang berbeda-beda. Penyesuaian diri terhadap stress berbeda-beda karena penilaian terhadap stres berbeda dan tuntutan tiap individu juga berbeda tergantung pada umur, jenis kelamin, kepribadian, intelegensia, emosi, status sosial, atau pekerjaan individu tersebut. Menurut teori, setiap orang dapat saja terganggu jiwanya asal saja stress itu cukup besar, cukup lama, cukup spesifik, bahkan bisa terjadi pada orang yang kepribadian dan emosinya stabil.  Ini adalah bagian yang selalu saya ingat dari ilmu psikiatri sejak saya kuliah dulu, bahwa setiap orang bisa jatuh dalam kondisi gangguan jiwa ketika tidak mampu menangani stress yang menimpanya. Menyadarkan saya untuk selalu “eling lan waspodo”, kiasan Jawa yang artinya selalu “ingat dan waspada”. Saya percaya, dengan cara “eling lan waspodo”, saya tidak mudah jatuh pada kondisi “I dun know who I am. I lost myself. Kehilangan jati diri”. Alangkah ngerinya kalau itu sampai terjadi, tidak tahu siapa diri kita, tidak tahu mau ke mana, tidak tahu arah yang dituju, seperti sebuah jarum dalam tumpukan jerami, getting lost! Kalau seperti itu, apalagi yang dapat diharapkan dari kita, yang diciptakan berharga dan memiliki tujuan mulia.
Kegembiraan akan terasa ketika kita pernah mengalami kedukaan. Kebahagiaan akan terasa ketika kita mengalami kesedihan. Bukankah itu esensi kehidupan, karena tidak semua keadaan berjalan seperti yang kita inginkan. Kadang kita mendapatkan apa yang kita harapkan, tetapi kadangkala tidak. Bayangkan kalau setiap kali terjadi sesuatu yang tidak kita harapkan kita stress berkepanjangan, kita akan kehabisan energi untuk melanjutkan kehidupan. Alih-alih membawa manfaat bagi orang lain, kita justru akan menjadi beban dan menghilangkan makna kehidupan itu sendiri. Kalau begitu apakah kita tidak boleh sedih dan kecewa? Boleh saja, karena seperti sms teman saya tadi, “I am a human being”. Jangankan kita, tokoh Alkitab seperti Raja Daud pun mengeluh dalam kesesakannya sampai bermazmur, “lesu aku karena mengeluh, setiap malam aku menggenangi tempat tidurku, dengan air mataku aku membanjiri ranjangku.” Tetapi di tulisan berikutnya, Daud bermazmur, “Aku mencurahkan keluhanku ke hadapanNya, kesesakanku kuberitahukan kehadapanNya.”  That’s the point! Daud is back to The Creator! Ya, Dia yang menciptakan kita, tahu persis siapa kita dan kelemahannya, bahkan ketika kita tidak memahaminya.  Kalau kita mau mengakuinya dan datang kepadaNya di dalam kesesakan, kita bisa bermazmur seperti Daud, “Aku mencurahkan keluhanku ke hadapanMu.....”.  When the obstacle comes, let’s fight my friend, let’s struglling, because we are strong, more than a conqueror!

Tuesday, July 12, 2011

Sepenuh Hati


Salah satu kepuasan terbesar saya saat ini adalah apabila saya bisa memberikan yang terbaik dalam training-training yang saya berikan dan peserta training mendapatkan manfaat yang optimal dari training tersebut. Saya tidak ingin mereka pulang dengan kecewa dan menyesal telah mendatangi training saya, meskipun suka tidak suka mereka tetap harus datang karena keikutsertaan mereka adalah tugas dari kantor. Itulah sebabnya saya merasa harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya sebelum memberikan training dan berharap apa yang saya pelajari akan membantu saya dalam memberikan materi. Seperti kepuasan yang saya rasakan ketika memberikan training Coaching dan Counseling minggu lalu untuk para sales leader cabang karena peserta sangat antusias selama pelatihan. Secara emosi saya sungguh terlibat dan bersuka cita dengan semangat mereka sehingga membuat saya terus termotivasi untuk memberikan yang terbaik. Begitu saya termotivasi maka energi yang saya keluarkan semakin positif dan serasa tidak akan habis sampai pelatihan selesai. Rasa capek yang luar biasa setelah 2 atau 3 hari mengajar full day, segera terbayarkan begitu peserta puas dan mendapatkan banyak manfaat dari training tersebut. Sungguh, saya merasa berbahagia.
Pepatah bijak mengatakan bahwa apa yang kita kerjakan dengan sepenuh hati akan memberikan hasil yang terbaik, entah itu dalam pekerjaan maupun kehidupan sehari-hari. Dulu saya merasa kesulitan untuk menerjemahkan kata “sepenuh hati” pada pekerjaan yang saya lakukan, karena saya merasa tidak tune in dan hanya menjalankan kewajiban. Tetapi sekarang saya mengerti maknanya, dan mendapatkan pencerahan bahwa bekerja dengan hati ternyata memberikan kepuasan luar biasa dan memberikan energi yang terus mengalir sehingga kita sanggup memberikan yang terbaik yang kita miliki. Saya bersyukur bahwa akhirnya saya bisa mendapatkan makna itu yang membuat saya bebas berkreasi dan berjalan seperti yang saya inginkan. Saya teringat masa lampau ketika saya bekerja karena saya harus bekerja. Pekerjaan menjadi sangat melelahkan karena saya harus menguras energi untuk dua hal, memaksa diri untuk menyukainya, dan memaksa diri untuk tetap melakukan pekerjaan tersebut. Energi yang saya keluarkan menjadi sangat besar tetapi tidak produktif.
Memberikan dengan sepenuh hati tidak akan bisa dilakukan tanpa mencintai. Karena saya cinta mengajar, maka saya melakukannya dengan sepenuh hati. Sentuhan hati hanya dapat dilakukan dengan hati, itulah kuncinya. Kita bisa memberi tanpa mencintai, tetapi tidak mungkin mencintai tanpa memberi. Totalitas yang kita berikan akan tercermin dalam sikap, bahasa tubuh, dan energi yang memancar dari diri kita dan akan memberikan efek positif bagi orang lain. Pertanyaannya, apakah kita selalu mendapatkan pekerjaan yang kita cintai? Bukankah dalam hidup ini seringkali kita tidak bisa memilih karena tuntutan ekonomi dan melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak kita sukai? Ya, itu seringkali terjadi. Bagi saya tidak ada pilihan lain kecuali mencoba mencintai apa yang kita miliki saat ini kalau kita belum punya kesempatan untuk mendapatkan yang lain. Pepatah Jawa mengatakan, “witing tresno jalaran soko kulino”, permulaan cinta adalah karena terbiasa. Kadang-kadang kita memplesetkannya menjadi “witing tresno jalaran ora ono liyo”, permulaan cinta adalah karena tidak ada yang lain, alias tidak ada pilihan lagi. Jadi apa boleh buat, cintailah apa yang ada. Meskipun hanya plesetan, tetapi saya merasa pepatah itu ada benarnya juga, untuk tidak mengatakan bahwa diri kita tidak laku-laku sehingga terpaksa menerima saja apa yang ada. Hehehe. Soko kulino diartikan bahwa awalnya tidak ada cinta, tetapi karena setiap hari bertemu dan terus berinteraksi lama-lama cinta itu tumbuh juga. Analogi ini sepertinya bisa juga diterapkan dalam pekerjaan kita, sehingga kita tidak berhenti pada satu titik yang membuat kita jenuh dan putus asa tetapi seperti tidak ada jalan keluar. Kecuali kalau kita berani memilih dan segera keluar dari lingkaran tersebut, mencari sesuatu yang kita cintai dan melakukannya sepenuh hati.
Ketika saya memutuskan keluar dari sales dan marketing, lalu turn around di bagian training saya merasa itu sebuah pilihan yang tepat. Panggilan saya adalah mengajar dan pengembangan orang, dan saya merasa talenta saya ada di situ. Paulus Winarto dalam bukunya “Be Strong” menulis bahwa ada tiga tahap penting dalam perjalanan sukses anak manusia di muka bumi ini, yaitu menemukan talenta, mengembangkannya, dan menjadikannya rahmat atau berkat bagi hidup sesama, karena kita tidak bisa memberikan apa pun yang tidak kita miliki. Menjadi diri sendiri, terus belajar, dan bertumbuh sehingga semakin banyak yang bisa kita bagikan kepada sesama. Do what you love and love what you do!
Dalam perjalanan hidup, saya banyak menemukan orang-orang yang sungguh melakukan pekerjaannya dengan sepenuh hati. Saya tidak tahu apakah itu talenta mereka, tetapi yang saya tahu adalah saya sungguh terberkati dengan cara mereka melakukan pekerjaannya. Penjual soto langganan di depan kantor saya yang lama, yang selalu tersenyum ketika melayani pelanggan dan selalu memberikan lebih dari yang saya minta. Saya teringat beberapa waktu yang lalu ketika saya bertanya apakah masih ada “ceker (kaki ayam)- biasanya orang Jawa sangat suka ceker”, saya berpikir bahwa dia akan memberikan saya 1 buah ceker, tetapi ternyata saya diberi 3 ceker dengan harga yang sama! Wah, ini murah hati atau menghina dikiranya saya rakus? Hahaha. Atau senyuman tulus seorang office boy yang saya temui di kantor, yang selalu menyapa setiap saya lewat. Saya percaya bahwa melakukan sesuatu dengan sepenuh hati akan selalu memberikan dampak bagi orang lain. Dan bukankah itu makna kenapa kita ada di dunia ini? Rick Warren dalam bukunya Purpose Driven Life menggelitik saya dengan sebuah pertanyaan, untuk apa kita berada di dunia ini. Ya, saya percaya bahwa tidak ada yang kebetulan dan saya diciptakan untuk suatu tujuan, menjadi berkat bagi orang lain, dan melalui itulah saya bisa merasakan betapa hidup menjadi bermakna, yaitu ketika saya bisa membagikan apa yang saya miliki kepada orang lain, bukan memikirkan apa yang bisa saya dapatkan dari orang lain.
Jadi kalau saat ini saya bisa terus memberikan training dan saya berbahagia karenanya, itulah sebenarnya sumber kebahagiaan saya. Bukan karena apa yang saya miliki, tetapi apa yang bisa saya bagi. Kebahagiaan saya tidak tergantung kepada orang lain, tetapi tergantung pada diri saya sendiri. Saya pernah dengan antusias bercerita kepada seorang teman mengenai mimpi, harapan, dan keinginan saya, menjadi trainer dan penulis buku. Saat itu dengan penuh semangat saya mengatakan bahwa itulah kebahagiaan saya, ketika saya bisa berbagi dengan orang lain, mencintai apa yang saya kerjakan, dan bersyukur untuk apa yang bisa saya berikan bagi sesama. Hidup saya akan berbeda, karena saya tidak lagi terpusat pada apa yang belum saya miliki, tetapi pada apa yang bisa saya berikan. Ketika saya ditanya apa yang membuat saya suka mengajar? Saya menjawab, karena cinta. Saya ingin berbagi, dan saya sangat berbahagia ketika orang lain bisa mendapatkan manfaat dari apa yang saya lakukan. Hati hanya bisa disentuh melalui hati. Seperti syair lagu cinta Ari Lasso, “sentuhlah dia tepat di hatinya, dia kan jadi milikmu selamanya”, ya, dalam konteks kehidupan sehari-hari dan pekerjaan, melakukan dengan hati akan memberikan dampak bagi orang lain, karena kita akan menjadi berarti bukan dari apa yang kita terima tetapi dari apa yang kita lakukan. Saya mengamininya, bagaimana dengan anda?