Friday, November 11, 2011

just be patient!

“Porridge day 6!”, demikian bunyi status bbm saya dengan tambahan icon tepok jidat atau “can’t watch”, yang sebenarnya merupakan ekspresi jeritan hati. Terus menerus menyantap bubur sampai hari ke-6 (dan berlanjut ke hari ke-7 dan 8) akibat thypus ternyata bukan perkara mudah. Saya bukan orang yang alergi dengan bubur, bahkan terkadang bubur adalah salah satu menu pilihan saya untuk sarapan pagi. Tetapi terus menerus menyantap bubur sungguh membuat saya hampir muntah karena bosan, meskipun sudah dibantu dengan lauk yang bervariasi seperti ikan, daging ayam, hati, atau telur. Pikiran saya mulai melayang-layang dan membayangkan lezatnya martabak, bebek sambal ijo, gurame goreng, sate kambing, soto ayam, dan beragam menu makanan favorit lainnya. Nasi menjadi sesuatu yang mahal, karena saya memaksa diri untuk terus makan bubur sampai usus saya kembali pulih seperti sediakala.
Sabar, demikian pesan teman-teman. Tidak ada yang instan, semua adalah proses. Bahkan perjalanan suatu penyakit dari masa inkubasi (bekembangnya penyakit) sampai kesembuhannya adalah sebuah proses yang harus dinikmati. Ya, sabar menjadi sesuatu yang langka, dan membuat saya belajar arti menahan diri. Bertahan untuk tidak terburu-buru menyantap makanan kegemaran dan terus berjuang menghabiskan sendok demi sendok bubur untuk meringankan kerja sistem pencernaan saya. Meskipun dalam hati saya selalu berpikir kapan semua ini akan berakhir, tetapi membayangkan perut saya kembali sakit jauh lebih tidak mengenakkan daripada proses menyantap bubur yang harus saya jalani.
Sabar, kata yang mudah diucapkan tetapi ternyata harus diperjuangkan. Saya bukanlah orang yang sabar, dan cenderung berpusat pada hasil, bukan menikmati proses yang berjalan setahap demi setahap. Saya berharap semua keinginan saya segera terwujud tanpa ada kesulitan atau hambatan , meskipun saya sadar itu semua hanya ada di alam khayal atau impian. This is the real life, selalu ada hal-hal tidak mengenakkan yang harus saya telan. Saya tidak bisa berharap semua berjalan baik-baik saja sesuai dengan keinginan saya. Alangkah naifnya kalau saya berpikir demikian. Tetapi bukankah itu sesuatu yang sangat manusiawi, menginginkan segala hal berjalan dengan baik, lancar, sesuai harapan? Bukankah itu keinginan yang sangat wajar? Yup, absolutely right! Tetapi sekali lagi, itu hanya ada di dongeng-dongeng ala H.C Andersen, ketika Sang Pangeran Tampan berhasil menyelamatkan seorang Putri Cantik lalu menikah dan berbahagia selamanya. Alur cerita yang lancar dan pasti, seperti sebuah episode kehidupan yang sudah digariskan untuk happy ending.
Saya teringat kata-kata bijaksana yang menyebutkan bahwa ketika kita berdoa untuk minta kesabaran, Tuhan justru akan mengirim orang-orang yang menjengkelkan untuk melatih kita menjadi sabar. Sabar yang kita harapkan diberikan secara mudah, ternyata harus diproses dengan cara demikian. Seperti otot yang harus dilatih untuk lebih kuat dan gagah, kesabaran pun merupakan sebuah karakter yang harus dilatih agar terbentuk. Kalau kita berada di lingkungan yang semuanya normal dan baik-baik saja, kita merasa menjadi orang yang sabar. Tetapi penilaian apakah kita sabar atau tidak akan nampak terlihat ketika kita berada di lingkungan yang dihuni oleh orang-orang yang tidak meyenangkan dan membuat kita ingin marah,. Justru di saat itulah kesabaran diuji, apakah kita mampu naik kelas atau masih harus mengulang kelas yang sama karena tidak lulus ujian.
Seringkali saya berharap menjadi orang yang sabar, dan saya ditantang untuk melatih kesabaran melalui hal-hal yang tidak saya sukai. Kesabaran hati untuk menikmati bubur berhari-hari lamanya meskipun saya sudah sangat bosan mengajarkan saya banyak hal mengenai keteguhan hati. Saya belajar berempati untuk mereka yang terbaring sakit dan harus melewati berbagai proses untuk sembuh, orang-orang yang jauh lebih menderita dari saya tetapi tangguh dan sabar melewati semua proses yang memang harus dijalani. Sementara saya sudah mulai tidak betah dan merengek hanya karena makan bubur. Sungguh, rasanya saya harus malu dan merelakan hati untuk lebih banyak belajar.
Akhir-akhir ini saya merasa dilatih untuk sabar. Mulai dari hal-hal kecil sampai pekerjaan sehari-hari yang terkadang membuat saya kecewa. Penilaian kinerja yang terasa tidak memuaskan, atau pencapaian prestasi yang berjalan di tempat. Atau juga masa-masa dimana saya harus bekerja sama dengan karyawan baru di kantor untuk melakukan bebagai aktivitas pekerjaan yang baru baginya. Sebagai seseorang yang terbiasa bekerja cepat saya sungguh tidak sabar dan ingin mengatasi semua pekerjaannya agar berjalan lebih lancar. Tetapi saya sadar bahwa itu tidak akan membuat dia pintar, atau saya menjadi lebih pintar, tetapi justru membuat saya kehabisan energi karena mengcover pekerjaan yang bukan lagi menjadi porsi saya. Maka kesabaran sangat diperlukan agar saya tidak tertekan dan belajar menerima kenyataan bahwa tidak semua orang seperti yang saya harapkan. Justru tantangannya adalah bagaimana saya bisa membawa orang tersebut berada pada level yang saya inginkan.
“Sabar subur”, itu adalah istilah Jawa yang merujuk pada artian bahwa orang yang sabar itu akan subur. Subur di sini maksudnya adalah sehat, montok, sukses, bahagia. Kalau tidak salah ingat, “sabar subur” juga merupakan merek roti di Solo sewaktu saya masih kecil, apakah sekarang masih ada atau tidak, saya tidak tahu. Tetapi intinya istilah “sabar subur” ingin menunjukkan kepada kita bahwa orang sabar itu pada akhirnya akan menikmati keuntungan, menjadi “subur”. Berarti orang yang tidak sabar, akan menjadi “tidak subur”. Kalau dalam dunia tumbuhan yang disebut “tidak subur” berarti kering, tidak berbuah, layu. Jadi kalau dianalogikan, orang yang berperilaku tidak sabar akan menjadi orang-orang yang tidak bisa memberikan karya positif bagi orang lain karena “tidak subur.” Kalau tidak subur berarti perlu dipupuk, disiangi, diberantas hama-nya, alias dilatih, dibuang sifat-sifat buruknya, dan diberantas hal-hal negatif yang membuat pikiran dan hatinya menjadi mudah panas dan tidak sabar. Sabar, sesuatu yang sederhana tetapi ternyata berperan sangat penting bagi “subur tidaknya” seseorang. Sabar menghadapi hal-hal yang mengecewakan, sabar terhadap proses kehidupan, sabar untuk dibentuk menjadi berlian meskipun tidak enak. Kalau kita tahu bahwa kesabaran menghasilkan buah-buah yang menyejukkan, mengapa terasa susah melakukannya? Karena kita tidak memiliki keteguhan hati untuk belajar dan merendahkan diri untuk mau dididik dan membuang ego kita. Kita mengedepankan nilai-nilai “saya”. Saatnya merendahkan diri untuk mau menerima hal-hal tidak enak yang melatih kesabaran dan kekuatan hati. Saya sedang dalam proses menerimanya, bagaimana dengan Anda?



Tuesday, November 8, 2011

just take a rest!

“Sakit berarti badannya perlu istirahat. Jadi istirahat saja, Bu”, demikian pesan seorang teman dokter melalui bbm nya ketika saya tanya obat apa lagi yang perlu saya minum untuk mempercepat proses penyembuhan penyakit thypus yang saya derita. Saya tersenyum membacanya dan tidak bertanya lebih lanjut. Dalam hati saya berkata, buat apa protes, memang begitulah kenyataannya.
Sakit, bukanlah hal yang mengenakkan. Apalagi bagi saya yang “terbiasa” jarang sakit. Paling banter batuk pilek, diare, atau yang “agak” parah waktu itu adalah campak, yang memaksa saya untuk beristirahat selama beberapa hari. Tetapi itupun sangat jarang terjadi. Jadi kalau saat ini saya harus terbaring karena thypus, bagi saya ini kenyataan yang harus diterima. Paling tidak sudah ada yang berubah, misalnya kalau saya harus mengisi formulir donor darah yang biasanya ada kolom riwayat penyakit. Kalau selama ini saya mencentang tanda “tidak pernah”di riwayat penyakit thypus, berarti mulai sekarang mau tidak mau saya harus merubah kolom yang saya centang.
Dalam hati sebenarnya saya sedang bertanya-tanya, kenapa bisa sakit. Padahal saya merasa sudah menjaga kesehatan sebaik-baiknya. Mulai dari buah-buahan, jus, olahraga teratur, minum vitamin, dan yang lainnya. Bagaimana dengan makanan sehari-hari? Ya sih, kalau itu masih harus dipertanyakan karena saya selalu jajan di pinggir jalan (tapi bukankah kalau jajan di tengah jalan justru tidak mungkin? Ketabrak dong...hahahaa). Padahal yang namanya thypus kan ditularkan melalui media makanan dan minuman. Bakteri Salmonella yang menjadi penyebab penyakitnya suka bertengger di makanan yang kurang terjaga kebersihannya. Waduh...berarti saya harus merubah pola makan nih, termasuk pola jajan, bukan lagi di pinggir jalan, tetapi harus di tempat yang lebih “terjamin” kebersihannya. Hehehe. Meskipun kalau iseng masih bisa dipertanyakan lagi kenapa jatuh sakitnya baru sekarang, bukankah selama ini pola makan saya sudah seperti itu? Yah, berarti kamu beruntung saja, jawab teman dokter saya sekenanya, mungkin sudah mulai jengkel karena saya yang bukannya istirahat tetapi justru tidak berhenti bertanya. Beruntung, masih dilindungi. Beruntung, masih boleh bekerja terus setiap hari. Nah sekarang memang harus beristirahat. Siapa tahu itu akumulasi dari rasa capek yang sebenarnya sudah berminggu-minggu tetapi tidak dirasakan. Sudahlah Bu, “sakit berarti badannya perlu istirahat”, kata teman saya lagi, kali ini dengan tambahan icon malaikat.
Saya terdiam dan menyadari benar juga yang teman saya katakan. Istirahat, sepertinya sepele, tetapi ternyata memiliki dampak yang hebat bagi tubuh kita. Makanya dalam seminggu orang harus beristirahat minimal 1 hari untuk kembali rileks dan bisa bekerja dengan segar di awal minggu. Sementara saya? Seringkali istirahat pun saya isi dengan jalan-jalan ataupun sesuatu yang memerlukan tenaga sehingga saya merasa kehabisan energi di minggu berikutnya. Tetapi bukankah istirahat bukan berarti harus tiduran terus di rumah? Rekreasi, jalan-jalan ke mall, bermain bersama teman, itu juga istirahat? Oh ya, saya setuju, tetapi ternyata terkadang tubuh hanya ingin kita berdiam dan menghabiskan waktu di rumah dengan santai. Mendengarkan musik, menonton dvd, bercengkerama dengan keluarga, tidur. Banyak pilihan cara istirahat yang bisa kita nikmati, tetapi memang yang paling penting adalah kita mengetahui batas kemampuan dan kekuatan tubuh kita sendiri. Nah ini yang seringkali saya lupakan. Saya merasa kondisi fisiknya masih seperti 10 tahun yang lalu, padahal jelas tidak mungkin. Saya juga sering menyepelekan tanda-tanda kecapekan yang saya rasakan, dengan alasan “sebentar lagi istirahat”, tetapi setelah itu tetap tidak beristirahat! Itu baru beristirahat secara fisik, bagaimana secara psikis? Ini lebih bermakna lagi sepertinya. Terkadang kita mengalami stress yang membuat kita merasa capek dan ingin tidur, agar bisa melupakan masalah yang ada. Faktor psikis tentu tidak bisa kita kesampingkan, justru akhir-akhir ini psikis menjadi pencetus dari berbagai macam penyakit. Stress pekerjaan, tuntutan hidup, ketegangan-ketegangan yang dialami, ketidakpuasan, seringkali  berujung pada kekecewaan. Dan jangan salah, itu semua membuat tubuh kita menjadi rentan terhadap berbagai penyakit karena daya tahan tubuh yang berkurang. Makanya cara paling manjur adalah hati yang “semeleh”, istilah Jawa yang berarti ikhlas, rela, bersyukur. Dijamin, tubuh kita kuat secara fisik maupun psikis. Kalau dulu di usia lebih muda, saya boleh berbangga dengan fisik yang kuat, tetapi sekarang sepertinya saya harus lebih berhati-hati. Teman-teman kos dengan bercanda mengatakan, ingat nih, faktor “u”, sudah tidak seperti zaman dulu lagi yah. Ingat waktu dan fisik. Saya hanya tertawa, meskipun harus mengakui bahwa sepertinya saya memang perlu merubah pola hidup yang saya jalani. Lebih sehat, lebih mengenal tanda-tanda dari dalam tubuh sendiri, kapan harus berhenti, kapan harus melanjutkan perjalanan, dan lebih “semeleh”.
Berbicara mengenai tanda, saya melayangkan pandangan ke luar jendela dan menyadari bahwa cuaca mendung sore ini. Prediksi saya langsung bicara bahwa kemungkinan akan hujan, dan prediksi itu biasanya benar. Kenapa? Karena saya mengenal tanda-tanda alam. Kalau ditarik lebih jauh, seandainya cuaca mendung dan saya harus bepergian dengan berjalan kaki, maka saya pasti akan membawa payung untuk melindungi saya terhadap hujan. Itu tanda yang sangat mudah dan jelas. Pertanyaannya, tubuh saya juga sering memberikan tanda, terlalu capek, tetapi saya tidak berhenti. Bisa jadi karena memang belum bisa berhenti, atau karena saya tidak mau berhenti. Tetapi sama dengan tanda alam, tubuh pun memberikan sinyal ketika ada sesuatu yang tidak beres, dan semestinya saya peka dengan tanda-tanda yang ada, bahwa saya memang perlu berhenti sebentar, beristirahat untuk menjadi lebih segar. Karena kalau tanda-tanda itu diabaikan, tubuh akan memaksa kita dengan caranya sendiri agar kita beristirahat. Jangankan kita, Tuhan pun perlu berhenti pada hari ke-7 dalam penciptaan alam semesta, untuk mengajarkan bahwa kita pun perlu waktu untuk beristirahat, mengisi ulang energi kita sebelum melanjutkan perjalanan.
Saya membayangkan sebuah perjalanan panjang tanpa ada titik-titik perhentian. Kita akan dipaksa untuk terus berjalan sampai kehabisan tenaga, dan akhirnya justru tidak mencapai tempat yang kita tuju. Saya teringat dulu ketika masih muda dan ikut naik gunung. Ada beberapa titik perhentian untuk beristirahat, agar kita bisa mengatur kembali tenaga, membuang beban yang tidak berguna, menambah logistik dan air minum yang kita perlukan, mengatur ulang pendakian, dan sebagainya. Kenapa? Karena memang titik perhentian diperlukan. Bukan untuk mundur, tetapi untuk berhenti sejenak dan menapak dengan lebih tegak. Istirahat bukan berarti kita membuang waktu, tetapi justru memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya karena tubuh akan kembali diisi dengan energi baru. Jadi kalau saat ini saya sedang terbaring karena sakit, berarti tubuh saya memang perlu beristirahat. Tidak perlu panik ataupun merasa kehilangan banyak waktu untuk bekerja, karena justru saya harus bersyukur masih diberi waktu untuk berdiam diri dan belajar dari rasa sakit.
Sakit, berarti tubuh kita perlu istirahat. Ya, sesederhana itu, semudah itu. Selamat beristirahat untuk teman-teman yang saat ini sedang sakit, atau merasa sangat capek tetapi tidak ada waktu untuk beristirahat. Saatnya belajar menyediakan waktu, daripada suatu ketika kita dipaksa untuk berdiam diri dan tidak bisa menghindar lagi karena terbaring sakit. Kalau saat ini sedang sakit, selamat menikmati rasa sakit itu, bersyukurlah untuk apapun yang dialami saat ini. Get well soon! God bless you...