Saturday, June 30, 2012

Trainer oh Trainer


“Mengajar sampai tataran spirit, membangkitkan orang untuk tergerak melakukan apa yang diajarkan”, ucapan Pak Daniel Dianto dari People Sight menancap di benak saya ketika saya mengikuti training Managing People Effectively.  Tugas trainer bukan hanya memberikan materi, tetapi bagaimana menjadi change driver atau enabler, sehingga peserta training  memiliki semangat untuk berubah dan melakukan apa yang dipelajari. Itulah yang sekarang menjadi tantangan saya ketika mengajar, bukan lagi sekedar “menyampaikan”  tetapi “membangkitkan”. Bukan lagi hanya “membuat peserta training paham”, tetapi “mendorong mereka melakukan”. Paling tidak itu sudah saya rasakan ketika mengajar di dua Rumah Sakit bulan ini, yaitu RS Fatima di Ketapang Kalimantan Barat, dan RS Hermina Galaxy Bekasi. Kebahagiaan saya adalah ketika melihat mereka puas dengan training yang diikuti, dan bersemangat menjalankannya. Rasa capek berdiri selama 8 jam, berbicara dari pagi sampai sore selama 3 hari berturut-turut terbayar lunas. Biasanya selama 2 hari penuh konsentrasi saya masih tinggi, tetapi di hari ke-3 sedikit goyang, terkadang have no idea harus berbicara apa, dan “blank sesaat”, tetapi keinginan memberi sebaik mungkin memaksa saya untuk tetap peak perform, karena tidak ingin melihat peserta training yang sudah menyediakan waktunya untuk duduk tidak mendapatkan yang terbaik. Syukurlah, selama ini saya mampu recovery dengan memanfaatkan masa-masa break, terutama istirahat makan siang yang cukup panjang.
Tantangan terbesar selanjutnya adalah bagaimana kita menjadi pelaku dari apa yang kita ajarkan, karena trainer adalah guru. Akronim “guru” dalam bahasa Jawa, yaitu digugu dan ditiru. Digugu maksudnya disegani, diikuti perkataannya. Ditiru berarti menjadi contoh atau teladan. Sungguh tugas yang berat dan membutuhkan kesiapan mental. Apakah saya sudah melakukannya dengan baik? Ketika mengajar service excellence dan berbicara melayani sepenuh hati, apakah saya melakukan hal yang sama dalam perilaku sehari-hari. Ketika bicara coaching counseling dan peran seorang pemimpin, apakah itu juga yang saya lakukan? Berbicara dengan 1 jari menunjuk orang lain dan 4 jari menunjuk diri sendiri, menyadarkan saya bahwa mengajar itu tidak mudah. Mudah ketika kita hanya memberikan materi, tidak mudah ketika tantangannya berbicara pada tataran spirit dan menjadi “change driver” karena harus berbicara dari hati. Hati yang terdalam tidak bisa bohong, jadi ketika kita berbicara sesuatu yang tidak kita lakukan energi yang tersampaikan ke peserta tidak cukup menggugah rasa. Mengajar sejatinya adalah transfer energi, sehingga ketika kita melakukannya dengan sepenuh hati, energi kita akan terkuras tetapi kita akan mendapatkan energi balik dari peserta dengan semangatnya. Saya termasuk orang yang meyakini bahwa ketika saya mengajar dengan sepenuh hati maka peserta akan antusias dan itu merupakan charger bagi energi saya!
Menjadi trainer bukan sekedar pintar berbicara di depan umum, merangkai kata dan menjelaskan sesuatu. Mengajar harus dijiwai dengan keinginan berbagi dan dorongan memberi sebaik mungkin yang memungkinkan kita untuk terus belajar, mengisi pikiran dan memenuhi jiwa dengan hal-hal membangun. Kalau tidak kita akan kering, dan proses mengajar menjadi sesuatu yang rutin. Hal mendasar adalah jiwa yang penuh dengan ucapan syukur, karena itulah yang mendorong kita menjadi pelaku, bukan hanya pengajar. Mengajar dan melakukan, membuat materi training menjadi hidup sehingga benih yang ditabur bisa tertanam di hati peserta. Saya mengalami ketika mengajar dengan perasaan yang gundah, sedang ada masalah, jiwa yang kering, maka proses di dalam kelas pun tidak maksimal. Pengajaran akan berakhir tanpa kepuasan, baik bagi saya maupun peserta.
                Dua rumah sakit yang saya ajar bulan ini memberikan respon yang sangat baik. Saya berbahagia dengan wajah-wajah mereka yang bersuka cita. Beberapa peserta bahkan menjadi teman FB dan bertukar PIN BB. Senang sekali membaca status mereka, karena mengutip apa yang telah dipelajari dan tekad untuk menjadi lebih baik. Saya tidak berharap semua peserta merasakan hal yang sama, karena itu adalah pilihan. Tetapi mengetahui ada sebagian kecil peserta yang tergugah, itu sudah cukup bagi saya.
Lalu bagaimana setelah proses pelatihan selesai? Saya berjalan pulang dan menengok diri saya sendiri. Apakah kebahagiaan yang saya rasakan, akan menuntun saya ke perjalanan hidup yang lebih baik? Apakah saya akan terus memelihara tataran spirit itu, ataukah menghilangkannya? Setelah saya menabur benih ke orang lain dan meninggalkan mereka dalam tekad untuk berubah, apakah saya akan kembali menyusuri jalanan pribadi yang terkadang tanpa cahaya? Atau saya juga terpacu untuk terus berbenah dan menggapai tingkat yang lebih tinggi? Saya tersenyum, mematikan lampu kamar, merebahkan diri dan tertidur, agar waktu berlalu dan esok hari menjemput……



Friday, June 29, 2012

Good luck Der Panzer...


Anti klimaks! Itu istilah paling tepat untuk menggambarkan akhir perjuangan Jerman di Piala Eropa 2012. Berjaya di laga grup dengan hasil sempurna, tetapi berujung kegagalan di semi final melawan Italia. Kejadian ini mengulang peristiwa Piala Dunia 2010, ketika Jerman juga melangkah ke semifinal dengan perkasa setelah di babak sebelumnya menyingkirkan Inggris dan Argentina dengan skor 4-0, tetapi akhirnya terhenti oleh Spanyol. Sebagai penggemar kesebelasan Jerman sejak belasan tahun, kekalahan atas Italia sungguh menyakitkan. Seakan tidak percaya dan ingin memutar ulang sang waktu seandainya bisa. Saya merasakan kesedihan para pemain dan supporter, karena itu juga yang saya rasakan.  Banjir air mata terjadi di ruang ganti pemain, tanpa kata-kata. Sungguh sangat sulit menerima sebuah kekalahan ketika merasa sedang di puncak penampilan dan lebih difavoritkan…
Meskipun tidak selalu mengikuti pertandingan Jerman di Piala Eropa kali ini, tetapi darah yang mengalir di tubuh saya “tetap Jerman”. Maklum, saya sudah menjadi pendukung setia Der Panzer sejak tahun 1982, ketika masih bernama Jerman Barat dengan pemain seperti Karl Heinz Rummeniege, Paul Breitner, Pierre Litbarski. Berlanjut di tahun 1990-an, era Lothar Matthaeus, Rudi Voeller, Jurgen Klinsman. Lalu tahun 2000-an ketika diperkuat Michael Ballack, sampai era sekarang dengan Miroslav Klose, Philip Lahm, dan sederet pemain muda lainnya. Masih jelas di ingatan saya kejadian saat Piala Dunia 1990, ketika Jerman berhadapan dengan Inggris di semifinal yang akhirnya dimenangkan Jerman lewat adu penalti. Karena tidak sanggup melihat dan jantung berdetak kencang, saya memilih untuk pergi. Tetapi begitu Jerman menang dan melaju ke final, saya senang bukan kepalang. Tahun itu memang milik Jerman yang akhirnya menjadi Juara Dunia, dan berlanjut dengan Juara Eropa 1996. Sayangnya itulah terakhir kali Jerman mengangkat trophy juara dan harus puasa gelar sampai sekarang.
Sebenarnya saya tidak tahu pasti kenapa begitu fanatik dengan Jerman, padahal masih banyak kesebelasan lain yang bagus seperti Brazil, Argentina, Italia, Perancis, Spanyol, dan lainnya. Kalaupun kalah dan kecewa, tetapi tetap setia mendukung dan rela menanti beberapa tahun lagi untuk bisa melihat di turnamen berikutnya. Bahkan saking sukanya, teman-teman semasa sekolah dan kuliah yang sudah puluhan tahun berlalu pun masih ingat kalau saya pendukung setia Jerman. Buktinya beberapa teman lama masih sms dan bbm-an sepanjang Piala Eropa tahun ini.
Pertarungan Jerman Italia menandaskan kembali bahwa bola itu bundar dan semua bisa terjadi di lapangan. Meskipun diunggulkan, Jerman tidak mampu mengatasi ketangguhan Italia yang bermain lebih efisien. Perjalanan Jerman menjadi sebuah anti klimaks dan harus berhenti sebelum sampai ke puncak tertinggi. Tetapi itulah permainan, kalah menang sudah biasa dan harus siap menerimanya, meskipun terasa sangat menyakitkan. Kelengahan dan kesalahan yang dilakukan dapat berakibat fatal dan menuai kegagalan.
Menyaksikan setiap akhir pertandingan bola dengan beragam ekspresi dari dua sisi,                 -kegembiraan meluap dari kesebelasan yang menang dan kesedihan dari kesebelasan yang kalah- sungguh mengharukan. Saya menikmati detik-detik dimana para pemain kesebelasan pemenang menyalami lawan dan mencoba menghibur mereka. Saya berempati dengan perjuangan pemain yang tidak kenal lelah. Meskipun memahami bahwa ini hanyalah permainan, kekalahan – apalagi kekalahan kesebelasan kesayangan-,  tetap terasa menyesakkan.
Melihat pertandingan sepakbola sepanjang 90 menit ditambah perpanjangan waktu dan adu penalti kalau dibutuhkan, mengajarkan saya bahwa setiap perjalanan selalu ada akhirnya, berhasil atau gagal. Meskipun demikian, sebelum perjalanan selesai perjuangan terus dilakukan untuk menaklukkan lawan. Kadang lawan begitu kuat, tantangan begitu besar, sehingga harus habis-habisan menghadapinya dan baru berhenti setelah wasit meniup peluit panjang. Hasil akhir adalah ujung dari proses, rangkaian usaha dengan jatuh bangun dan keringat bercucuran. Ketika berhasil, kita akan merayakannya dan siap menerima tantangan berikutnya. Tetapi kalau gagal, kita akan terduduk lemas meratapinya, berjuang untuk sadar dan berusaha keras bangkit lagi. Dalam pertandingan sepakbola, setelah semuanya selesai pemain akan beranjak ke ruang ganti. Satu persatu pendukung berjalan pulang, riuh rendah sorakan berhenti. Pemain kembali ke rumah, berusaha tidur untuk sejenak melupakan kegagalan yang dialami.  Lalu mereka bangun kembali keesokan harinya, dan pertandingan kemarin menjadi sebuah masa lalu yang pahit. Satu-satunya cara melewati kepahitan itu adalah menegakkan kepala, melangkah, dan berjalan lagi menyongsong hari baru dengan membangun kekuatan dan harapan. Seperti sebuah pertandingan sepakbola yang penuh dinamika, perjalanan kehidupan kita pun begitu berwarna, sukses - gagal, suka cita - duka cita, kebahagiaan - kesedihan….
Pertandingan Piala Eropa 2012 sudah berakhir bagi Jerman. Saatnya pulang dan menyadari bahwa masih ada kesebelasan yang bermain lebih baik saat ini. Menengok ke belakang tidak akan merubah keadaan. Joachim Loew, sang pelatih mengatakan bahwa Jerman segera menatap Piala Dunia 2014 di Brazil. Ya, bangkit dan melangkah. Pertandingan sudah usai, tetapi jalan panjang masih membentang di depan. Good luck Der Panzer!

Friday, June 22, 2012

Sepuluh ribu saja!


Berapa harga barang bekas yang sudah tidak berfungsi? Tidak ada harganya, seberapapun banyaknya.  Namanya saja tidak berfungsi, bagaimana mau dihargai? Itulah yang saya rasakan ketika mengantongi uang Rp 10.000 hasil penjualan beberapa alat rumah tangga yang sudah rusak. Sebenarnya berniat membuangnya, tetapi ketika ada Abang-Abang,  pengumpul barang bekas lewat depan rumah, saya iseng memanggil dan bertanya harganya sampai tercipta transaksi yang menyesakkan hati.
Hari ini saya sengaja cuti untuk membereskan kamar dan harta karun yang saya miliki. Setelah peristiwa “sepuluh ribu” tadi, saya memandangi tumpukan barang-barang bekas lainnya yang sedang menunggu untuk dibuang (atau disimpan lagi?). Terkadang sayang juga membuangnya, meskipun tidak tahu kapan akan dipakai lagi.  Kalau sudah seperti itu, yang terjadi adalah tumpukan kardus yang tidak sedap dipandang dan mengundang nyamuk datang. Saya bertanya dalam hati kenapa dulu membeli barang-barang ini kalau kemudian akan dibuang. Meskipun dalam kondisi tertentu hal ini tidak bisa dihindari karena kebutuhan saya waktu itu pasti berbeda dengan sekarang. Beberapa barang sudah tidak dipakai, baik karena sudah uzur atau rusak karena lama tidak dipakai. Nah penyebab kedua ini yang membuat dada saya terasa sesak. Membeli barang, dipakai sebentar, lalu dianggurin sampai berbulan-bulan. Berdebu, dan  rusak.  Kebiasaan yang sangat buruk dan harus segera dirubah. Saya harus belajar banyak bagaimana merawat barang dan membeli sesuatu yang benar-benar saya butuhkan, bukan hanya keinginan sesaat lalu bosan.  Tanpa sengaja saya menoleh ke gitar akustik, gitar listrik dan power mixernya, printer, kamera, speaker, tape recorder, bahkan televisi yang jarang saya sentuh. Mungkin kalau bisa menjerit, mereka akan teriak dan protes karena dibiarkan saja. Saya tertegun, dan teringat “balada Rp 10.000”.  Tentu barang-barang yang saya sebut tadi tidak akan saya jual, karena sebenarnya saya bukan tipe orang yang suka jual beli barang. Jadi kalau sudah rusak paling banter saya buang, atau mencoba untuk menghibahkan ke keponakan untuk direparasi meskipun jarang ada yang mau. Ngasih kok sudah rusak, kenapa tidak yang masih baru? Hahaha…
Sepuluh ribu rupiah! Hampir tidak ada artinya. Untuk membeli nasi goreng di warung pun sangat pas-pas an dan hanya cukup ditemani dengan teh tawar hangat. Begitu murahnya, sampai saya terkejut sesaat dan hampir tidak percaya. Tetapi daripada dibuang dengan percuma, bukankah itu pilihannya. Barang bekas, menjadi rongsokan, dan berpindah ke tempat sampah. Orang yang membuangnya pun tidak akan pernah merasa kehilangan, seperti saya yang sama sekali tidak merasa terganggu dengan ketiadaan barang-barang tersebut. Saya jadi bertanya-tanya, apakah hidup saya seperti itu? Kalau saya tidak merawat kehidupan ini dengan baik, apakah akhirnya akan menjadi rongsokan dan tidak ada harganya lagi? Lebih parah lagi, orang-orang sekitar saya tidak akan merasa kehilangan , seperti saya tidak merasa kehilangan dengan barang-barang tersebut karena memang sudah tidak ada dampaknya bagi saya. Ngeri juga berpikir seperti itu. Tetapi saya segera tersadar bahwa hidup saya bukan barang, meskipun saya berusaha membuat persamaan. Hidup begitu berharga, dan itu semua karena anugrahNya. Seberapapun kacau diri saya, saya bernilai di mataNya. Tidak seperti barang bekas tadi yang kemudian menjadi sama sekali tidak bernilai. Saya belajar bahwa seandainya saya mengumpamakan kehidupan seperti barang-barang yang pernah saya beli, maka saya harus merawatnya, menggunakannya dengan benar, sehingga memberikan arti dan manfaat bagi penggunanya, dalam hal ini orang-orang yang berinteraksi dengan saya. Ekstrimnya, ada sesuatu yang bermakna karena saya ada. Kalaupun suatu ketika menjadi rusak, lebih disebabkan faktor usia dan bukan karena perawatan yang tidak baik. Satu hal lagi, Pencipta saya sama sekali berbeda dengan saya atau Abang-Abang pengumpul barang bekas. Kalau saya segera membuang barang yang sudah tidak berfungsi dan Abang-Abang menghargainya dengan sangat rendah, maka Pencipta saya tidak akan pernah membuang “barang” yang diciptakannya. Meskipun sudah rusak, tetap akan dicari karena sangat bernilai, bahkan berusaha dibentuk lagi menjadi sesuatu yang baru.
Barang bekas, menjadi rongsokan, sesuatu yang sangat sederhana, tetapi menyentuh hati saya. Jangan sampai di akhir nanti, harga saya hanya sepuluh ribu rupiah karena sudah tidak berfungsi sehingga tidak memberi manfaat. Atau sudah berusaha dibentuk ulang tetapi tetap saja ngadat!  Saya berharap menjadi bentukan baru itu, dan kalaupun nanti akhirnya termakan usia, saya masih bisa memberikan sesuatu yang berarti bagi sekitar saya. Selamat merawat hidup yang bernilai, selamat bersyukur karena kita berharga, selamat menjadi bentukan baru selamanya!