Berapa harga barang
bekas yang sudah tidak berfungsi? Tidak ada harganya, seberapapun
banyaknya. Namanya saja tidak berfungsi,
bagaimana mau dihargai? Itulah yang saya rasakan ketika mengantongi uang Rp
10.000 hasil penjualan beberapa alat rumah tangga yang sudah rusak. Sebenarnya
berniat membuangnya, tetapi ketika ada Abang-Abang, pengumpul barang bekas lewat depan rumah, saya
iseng memanggil dan bertanya harganya sampai tercipta transaksi yang
menyesakkan hati.
Hari ini saya sengaja cuti
untuk membereskan kamar dan harta karun yang saya miliki. Setelah peristiwa
“sepuluh ribu” tadi, saya memandangi tumpukan barang-barang bekas lainnya yang
sedang menunggu untuk dibuang (atau disimpan lagi?). Terkadang sayang juga
membuangnya, meskipun tidak tahu kapan akan dipakai lagi. Kalau sudah seperti itu, yang terjadi adalah
tumpukan kardus yang tidak sedap dipandang dan mengundang nyamuk datang. Saya
bertanya dalam hati kenapa dulu membeli barang-barang ini kalau kemudian akan dibuang.
Meskipun dalam kondisi tertentu hal ini tidak bisa dihindari karena kebutuhan
saya waktu itu pasti berbeda dengan sekarang. Beberapa barang sudah tidak dipakai,
baik karena sudah uzur atau rusak karena lama tidak dipakai. Nah penyebab kedua
ini yang membuat dada saya terasa sesak. Membeli barang, dipakai sebentar, lalu
dianggurin sampai berbulan-bulan. Berdebu, dan
rusak. Kebiasaan yang sangat
buruk dan harus segera dirubah. Saya harus belajar banyak bagaimana merawat
barang dan membeli sesuatu yang benar-benar saya butuhkan, bukan hanya
keinginan sesaat lalu bosan. Tanpa
sengaja saya menoleh ke gitar akustik, gitar listrik dan power mixernya,
printer, kamera, speaker, tape recorder, bahkan televisi yang jarang saya
sentuh. Mungkin kalau bisa menjerit, mereka akan teriak dan protes karena
dibiarkan saja. Saya tertegun, dan teringat “balada Rp 10.000”. Tentu barang-barang yang saya sebut tadi
tidak akan saya jual, karena sebenarnya saya bukan tipe orang yang suka jual
beli barang. Jadi kalau sudah rusak paling banter saya buang, atau mencoba
untuk menghibahkan ke keponakan untuk direparasi meskipun jarang ada yang mau.
Ngasih kok sudah rusak, kenapa tidak yang masih baru? Hahaha…
Sepuluh ribu rupiah!
Hampir tidak ada artinya. Untuk membeli nasi goreng di warung pun sangat
pas-pas an dan hanya cukup ditemani dengan teh tawar hangat. Begitu murahnya,
sampai saya terkejut sesaat dan hampir tidak percaya. Tetapi daripada dibuang
dengan percuma, bukankah itu pilihannya. Barang bekas, menjadi rongsokan, dan
berpindah ke tempat sampah. Orang yang membuangnya pun tidak akan pernah merasa
kehilangan, seperti saya yang sama sekali tidak merasa terganggu dengan
ketiadaan barang-barang tersebut. Saya jadi bertanya-tanya, apakah hidup saya
seperti itu? Kalau saya tidak merawat kehidupan ini dengan baik, apakah
akhirnya akan menjadi rongsokan dan tidak ada harganya lagi? Lebih parah lagi,
orang-orang sekitar saya tidak akan merasa kehilangan , seperti saya tidak
merasa kehilangan dengan barang-barang tersebut karena memang sudah tidak ada
dampaknya bagi saya. Ngeri juga berpikir seperti itu. Tetapi saya segera
tersadar bahwa hidup saya bukan barang, meskipun saya berusaha membuat
persamaan. Hidup begitu berharga, dan itu semua karena anugrahNya. Seberapapun
kacau diri saya, saya bernilai di mataNya. Tidak seperti barang bekas tadi yang
kemudian menjadi sama sekali tidak bernilai. Saya belajar bahwa seandainya saya
mengumpamakan kehidupan seperti barang-barang yang pernah saya beli, maka saya
harus merawatnya, menggunakannya dengan benar, sehingga memberikan arti dan manfaat
bagi penggunanya, dalam hal ini orang-orang yang berinteraksi dengan saya. Ekstrimnya,
ada sesuatu yang bermakna karena saya ada. Kalaupun suatu ketika menjadi rusak,
lebih disebabkan faktor usia dan bukan karena perawatan yang tidak baik. Satu
hal lagi, Pencipta saya sama sekali berbeda dengan saya atau Abang-Abang
pengumpul barang bekas. Kalau saya segera membuang barang yang sudah tidak
berfungsi dan Abang-Abang menghargainya dengan sangat rendah, maka Pencipta saya
tidak akan pernah membuang “barang” yang diciptakannya. Meskipun sudah rusak,
tetap akan dicari karena sangat bernilai, bahkan berusaha dibentuk lagi menjadi
sesuatu yang baru.
Barang bekas, menjadi
rongsokan, sesuatu yang sangat sederhana, tetapi menyentuh hati saya. Jangan
sampai di akhir nanti, harga saya hanya sepuluh ribu rupiah karena sudah tidak
berfungsi sehingga tidak memberi manfaat. Atau sudah berusaha dibentuk ulang
tetapi tetap saja ngadat! Saya berharap menjadi bentukan baru itu, dan
kalaupun nanti akhirnya termakan usia, saya masih bisa memberikan sesuatu yang
berarti bagi sekitar saya. Selamat
merawat hidup yang bernilai, selamat bersyukur karena kita berharga, selamat
menjadi bentukan baru selamanya!
No comments:
Post a Comment