Friday, May 25, 2012

Mabuk Laut (part 2)


Masih tentang mabuk laut. Rasanya topik ini menyisakan banyak hal untuk diceritakan. Diam, pasrah,tetapi tetap bertahan karena tidak ada pilihan. Tidak mungkin saya terjun ke laut dan keluar kapal, bunuh diri namanya. Hahaha. Kalau mabuk darat, saya bisa minta sopir menepi dan buru-buru melompat ke luar. Itulah gambaran yang tepat untuk menjelaskan situasinya. Bahkan teman saya mengatakan, yang dilakukan hanyalah bertahan, dan berharap untuk segera sampai ke daratan. Serasa berada di dalam sebuah penderitaan atau kesusahan, tetapi tidak bisa melakukan apa-apa selain diam dan bertahan, dengan masih menyisakan harapan.
Saya merenungkan hal itu. Diam, bertahan, harapan. Diam, karena memang tidak bisa melakukan apa-apa. Duduk susah, apalagi berdiri dan berjalan. Saya hanya memilih posisi paling enak yang membuat saya nyaman, paling tidak mengurangi rasa sakit yang saya rasakan. Tetapi saya harus bertahan menghadapinya, karena masih ada harapan untuk sampai ke daratan. Ketika segala sesuatu tampak begitu sulit, yang bisa dilakukan adalah bertahan dan menghadapinya. Kenapa? Karena tidak ada pilihan lain. Tidak mungkin lari menghindar. Saya bisa bertahan karena saya mempunyai harapan bahwa kapal akan merapat ke daratan dan penderitaan berakhir. Harapan tersebut meskipun terasa lama, memunculkan rasa optimis bahwa waktu berjalan dan kesusahan akan segera berlalu. Harapan saya membungkah menjadi kebahagiaan ketika kapal sudah merapat ke daratan, dan saya lega melangkah ke luar.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan harapan sebagai “suatu keinginan supaya menjadi kenyataan”. Pernahkah anda memiliki sebuah harapan? Pasti anda menjawab “yes, absolutely”,  baik yang sederhana maupun yang besar.  Kalau mengenang masa lalu, saya berpikir bahwa terkadang saya memiliki harapan konyol.  Dulu ketika kuliah saya berangkat bersama kakak karena kantornya saya lewati setiap pergi ke kampus. Saya akan menurunkan kakak di pinggir jalan besar, lalu beliau berlanjut dengan berjalan kaki menuju kantor. Suatu pagi ketika kami berangkat, tiba-tiba ada sebuah kendaraan menyalip saya dan ternyata itu adalah teman kantornya.  Maka kakak pun heboh meminta saya memacu kendaraan agar bisa mengejar, karena beliau ingin berpindah tumpangan. Harapan saya waktu itu adalah menemui lampu lalu lintas yang berwarna merah sehingga teman kakak berhenti yang berarti saya bisa mengejarnya. Kalau saya pikirkan, itu adalah harapan aneh yang pernah ada di hati saya. Bayangkan, orang berkendara di jalan raya tentu ingin lampu lalu lintas berwarna hijau dan terus berjalan. Tetapi karena ada kepentingan, maka saya berharap lampu menyala merah. Harapan itulah yang membuat saya memacu kendaraan sambil berdoa. Sampai sekarang saya tertawa kalau mengingat kisah tersebut. Can’t watch!  Tetapi itulah harapan.  Kalau kondisi sekarang, apa harapan saya? Tentu hal-hal yang lebih besar seperti ingin rumah cepat selesai, ingin mengumpulkan tulisan-tulisan saya menjadi sebuah buku dan terpajang di rak Gramedia, ingin peserta training memahami dengan baik apa yang saya sampaikan ketika saya mengajar dan materi yang saya berikan memberikan inspirasi bagi mereka untuk melakukan. Harapan itu mampu membuat saya terjaga dari kebosanan atau perasaan negatif yang seringkali membuat saya tidak termotivasi.
Saya pernah mengirimkan pesan kepada seorang teman yang suaminya menjadi korban pesawat Sukhoi. Isinya memohon maaf karena saya terlambat mendengar kabar dan berharap dia memiliki ketabahan. Sebelumnya saya sudah bersiap untuk mengucapkan belasungkawa atas meninggalnya sang suami tetapi seorang teman lulusan psikologi mengingatkan  agar saya jangan dulu mengucapkan belasungkawa karena mungkin yang bersangkutan masih menyimpan sebuah harapan bahwa suaminya akan pulang dengan selamat. Saya sedikit tertegun, tetapi saya ikuti sarannya. Ternyata benar, teman saya menjawab dengan mengatakan bahwa sampai sekarang belum ada kabar tentang suaminya dan mohon doa untuk keselamatannya.  Dia menganggap bahwa suaminya masih hidup meskipun kemungkinan itu sangat kecil bahkan hampir tidak ada karena pesawat hancur berkeping-keping. Tetapi masih ada harapan yang disimpan di dada walau sepertinya mustahil.  Saya percaya harapan tersebut membuat teman saya berdoa siang malam, memohon belas kasihan Tuhan. Setelah sekian hari waktu berjalan  akhirnya saya melihat status di handphone nya yang sudah menandakan kepergian sang suami. Harapannya pun sirna.
Ketika mengingat hal tersebut, saya menyadari bahwa di dalam kehidupan ini tentu banyak masalah dan kesusahan yang kita alami. Seringkali kita ingin lari menjauh. Tetapi ketika tidak ada pilihan, satu-satunya yang bisa kita lakukan adalah bertahan dan menghadapinya dengan kekuatan yang ada serta menyimpan harapan bahwa semua itu akan berakhir. Harapan seperti sebuah api yang menyala di hati dan membuat kita termotivasi untuk terus melangkah. Seperti saat mabuk laut, seandainya tidak ada harapan untuk sampai ke daratan, tentu rasa putus asa akan menyerang dan membuat sendi-sendi kehidupan serasa lumpuh. Tetapi karena saya menyimpan harapan yang pasti, bahwa perjalanan akan berakhir dalam  3 jam, maka detik demi detik yang berjalan saya maknai sebagai langkah menuju kebebasan. Harapan membuat saya bertahan dan terus berjuang menghadapinya dengan kekuatan yang ada.
Harapan, bisa menjadi kenyataan tetapi terkadang luput dari yang kita inginkan. Ketika harapan itu tidak berjalan sebagaimana adanya, kita harus belajar menerimanya dengan kebesaran hati. Saya berharap, apapun harapan yang anda miliki saat ini, semoga anda bisa menggapainya dan menyadari bahwa harapan membuat kita antusias menjalani hari-hari yang ada. Peristiwa mabuk laut selama 3 jam memberi banyak kisah untuk dibagikan. Bertahan, menghadapi kesulitan, dan menyimpan harapan, menjadi sebuah formula kehidupan yang saya dapatkan. Sungguh unforgettable moment...... Selamat merangkai harapan, dan berjalan bersamanya sehingga anda mampu bertahan dalam menghadapi setiap kesulitan yang ada. Enjoy every time in your life, because of hope. Yes, just a hope....

Thursday, May 24, 2012

Mabuk Laut


 
Mabuk laut. Baru kali ini saya benar-benar merasakan diguncang-guncang ombak ketika naik kapal laut pada perjalanan pulang dari Pulau Pramuka ke Jakarta. Sebenarnya tidak menyangka juga, karena pada keberangkatan sehari sebelumnya saya dan teman-teman bisa bebas duduk dan berdiri di dek kapal, menikmati kesempatan menyeberangi Laut Jawa tanpa merasa mual dan muntah. Tapi perjalanan pulang keesokan harinya  membuyarkan semua kenyamanan itu.  Bahkan karena begitu dahsyatnya serangan mabuk laut, seorang teman berjanji berulang kali tidak akan naik kapal laut  lagi. Saya cuma bisa menyeringai, karena masih membayangkan perasaan yang sangat tidak enak di kapal. Selama 3 jam saya harus tidur miring dan memejamkan mata demi menghindari serangan pusing mirip vertigo yang langsung merangsang keseimbangan tubuh dan memaksa lambung bergejolak sampai kerongkongan. Jujur, sayapun sudah tidak tahan, dan sepanjang perjalanan terus berdoa agar segera sampai ke daratan. Seorang teman yang iseng berkali-kali bilang, mendingan mabuk cinta, daripada mabuk laut. Haduh....ada-ada saja....tidak semuanya deh, namanya mabuk pasti tidak enak.
Ketika membayangkan lagi kejadian tersebut, saya menggeleng-gelengkan kepala, tidak mau terulang lagi dan dengan sadar mengakui kedahsyatan kekuatan laut. Sejak kapal mulai bergerak, jalannya mulai tidak lurus dan bergoyang ke kanan ke kiri. Persis seperti naik kora-kora di Dufan,  diayun-ayun sampai mabuk.  Dalam kondisi seperti itu, jangankan duduk, tidur telentang pun tidak sanggup. Badan lemas tanpa tenaga (padahal habis makan siang cukup banyak dan sangat nikmat. Haduh....).  Niat hati ingin menolong orang lain, tetapi ternyata menolong diri sendiri pun saya tidak mampu. Berkali-kali saya bergumam, I love daratan, sebagai ganti status BB saya yang sok bombastis, I love the sea and its beauty. Boro-boro its beauty, membuka mata saja saya tidak sanggup. Sejenak saya teringat pengumuman di pesawat terbang ketika mau take off, dan pramugari menyampaikan beberapa peraturan penerbangan yang diantaranya berbunyi, “Ketika tekanan oksigen dalam kabin turun, masker oksigen akan keluar dari tempatnya. Pakai masker anda terlebih dahulu, sebelum menolong orang lain.” Yup, dalam kondisi lemah berbaring saya sangat setuju dengan pernyataan tersebut. Kita tidak bisa menolong orang lain kalau menolong diri sendiri saja tidak sanggup. Itu pelajaran pertama yang saya dapat...
Pelajaran kedua adalah bahwa saya ternyata begitu lemah ketika dihadapkan dengan kekuatan alam. Itu baru ombak laut Jawa, tetapi cukup membuat saya tidak berdaya selama 3 jam yang terasa begitu lama. Padahal biasanya, 3 jam adalah waktu yang sangat singkat ketika saya menikmati tontonan film di bioskop atau pijet seluruh badan sambil rebahan. Hehehe.  Semuanya menjadi seperti kontradiksi. Alam menyediakan begitu banyak kekayaan dan keindahan untuk dimanfaatkan manusia. Itulah yang saya alami ketika berlibur ke Pulau Pramuka dan mengunjungi beberapa pulau lainnya seperti Semak Daun dan restoran Nusa Keramba yang terapung di atas laut. Takjub, kagum, dan terus menerus memuji keindahan ciptaan Tuhan. Saat snorkeling dan melihat keindahan taman di bawah air laut, menikmati hamparan karang berwarna warni dan ikan yang berlarian kian kemari, saya tidak henti-hentinya berdecak kagum. Itu baru snorkeling, bagaimana kalau diving. Waoo...pasti luar biasa.  Lalu ketika saya berdiri di tepi pantai, menyaksikan gradasi warna laut dari hijau, kebiruan, dan biru tua karena pantulan awan, saya kembali termangu-mangu menyaksikan kehebatan alam. Benar-benar indah... Negeri ini dikaruniai alam yang mengagumkan dan menawarkan keindahan bagi setiap orang. Teman saya berkali-kali mengambil  gambar dan terus menerus berujar,  “di sini saja begitu cantik, apalagi Bunaken, Raja Ampat, yang masih perawan. Ah....sungguh tidak terbayang...” Tetapi keindahan dan kecantikan itu sirna sesaat ketika saya harus menerima kenyataan pahit terguncang-guncang di lambung kapal. Alam yang sangat indah, ternyata menyimpan kekuatan yang sanggup membuat manusia seperti saya lemah tak berdaya. Sungguh, saya jadi merasa sangat kecil, seperti rumput yang sekarang ada, tetapi besok menjadi kering dan mati.
Pelajaran ketiga adalah saya tidak bisa berjalan sendiri dan membutuhkan orang lain untuk saling menolong. Dalam kondisi lemah dan ingin muntah, saya memerlukan kantong plastik untuk berjaga-jaga. Tetapi jangankan berdiri, duduk pun saya tidak sanggup, apalagi berjalan sebentar untuk mengambilnya di tas. Sekuat apapun saya berusaha, rasanya tidak mampu bangkit, karena begitu duduk, seluruh benda-benda di sekitar saya seakan berputar. Bersyukur seorang teman yang juga sama-sama terbaring lemah masih mampu menggerakkan tangannya untuk menyodorkan kantong plastik kepada saya, nyaris tanpa bicara. Saya belajar dari hal-hal kecil yang seakan tidak berharga, sebuah kantong plastik, yang sangat berarti bagi kondisi saya saat itu. Saya tertegun, terkadang saya begitu egois dan menganggap mampu untuk melakukan semuanya sendiri, tetapi sebenarnya sehebat apapun,  saya tetap membutuhkan orang lain. Dalam kondisi yang biasa-biasa saja mungkin itu tidak terlihat, tetapi ketika saya berada dalam kondisi yang tidak baik, saya menyadari betapa teman itu sungguh berharga.
Saya percaya anda memiliki banyak teman. Mereka ada di sekitar kita. Ada yang masuk di hati kita, lalu pergi meninggalkan jejak.  Ada yang diam sebentar kemudian menghilang. Ada yang masih terus ada di hati dan mewarnai hari-hari kita, baik di pekerjaan maupun kehidupan sehari-hari. Tetapi apapun itu, saya menyadari bahwa mereka sungguh berharga. Teman yang mengelilingi kita, merupakan sumber kekuatan dan motivasi yang terus mendorong kita untuk maju. Tentu ini adalah definisi dari teman yang benar-benar teman dan bukan hanya sekedar basa basi. Seperti di saat saya tidak berdaya, dan seorang teman mengulurkan kantong plastik. Di saat saya tidak mampu menolong diri sendiri, seorang teman memberikan bantuan, padahal kondisinya tidak lebih baik dari saya. Dalam kehidupan sehari-hari dimana kita merasa putus asa dan tidak  mampu memotivasi diri sendiri, kata-kata penghiburan atau pelukan seornag teman menjadi sangat berarti. Mungkin mereka hanya memberikan telinga untuk menjadi tempat sampah cerita kita, atau hanya memberikan sedikit waktu dari waktunya yang terbatas, tetapi keberadaannya membuat kita merasa berharga.
Perjalanan saya ke Pulau Pramuka bersama rekan-rekan kerja menyisakan banyak cerita seru. Dari keindahan laut dan isinya, sampai kisah tak terlupakan di perjalanan pulang. Dari memuji kebesaran ciptaanNya, sampai mabuk laut berkepanjangan. Meskipun demikian,  semua yang dialami menjadi hal yang sangat indah untuk dikenang.  Saya yang saat mabuk dan sesaat setelah sampai di darat berucap kapok untuk melintasi laut ternyata sekarang sudah berubah pikiran, dan kembali mendengungkan I love the sea and its beauty. Dalam bahasa yang rada kampungan, “mabuk laut, sengsara, tetapi nyandu...ingin kembali dan kembali lagi.”  Terkadang memang keindahan baru bisa dinikmati dan semakin bisa dinikmati setelah kita merasakan kesulitan dan ketidaknyamanan. Seperti indahnya laut, yang berbanding lurus dengan goncangan ombak yang memabukkan. Selamat menikmati laut dan berdecak karenanya.  Selamat menikmati keindahan hidup yang berbanding lurus dengan tantangan di dalamnya...

Tuesday, May 8, 2012

Superhero (part2) - leadership lesson


Masih tentang Superhero. Film The Avengers yang saya tonton menyisakan banyak hal mengenai leadership dan esensi sebuah team untuk dijadikan perenungan, meskipun dari segi cerita saya merasa biasa-biasa saja. The Avengers diawali ketika Fury, direktur SHIELD -organisasi penjaga kedamaian internasional- memanggil para superhero untuk membantunya mengalahkan Loki yang membawa kabur kubus kosmik dari SHIELD.  Kubus kosmik diyakini memilki kekuatan luar biasa, yang mampu membuka portal galaxi dan memanggil pasukan dari planet Asgard untuk menguasai  bumi. Yang menarik dari cerita ini adalah berkumpulnya para superhero yang harus bekerjasama menaklukkan musuh dan menyelamatkan dunia. Pertanyaannya, mampukan mereka melakukannya?  Jawabannya sudah pasti: mampu!  Yang perlu dicermati adalah bagaimana proses penyatuan mereka menjadi sebuah team dan pencapaian tujuan bersama.
 Saya percaya, seandainya hanya 1 superhero yang bertugas, tetap akan berakhir happy ending (mana ada sih superhero yang kalah. Hehehe). Tetapi justru itu daya tariknya. Secara logika, kalau 1 superhero saja sudah hebat, kumpulan beberapa jagoan tentu jauh lebih dahsyat. Ternyata tidak semudah itu. Menyatukan beberapa superhero di dalam satu team berarti siap dengan ego masing-masing.  Mengapa? Karena semua merasa hebat! Terbukti di sesi-sesi awal para superhero justru saling bentrok satu sama lain dan tidak ada yang mau mengalah. Masing-masing merasa paling benar dan harus didengarkan. Kalau sudah begini, seberapapun hebatnya mereka, pasti akan menjadi rapuh. Itu terbukti bahwa mereka saling bertikai dan mencela, sampai sebuah titik balik terjadi ketika salah satu agen SHIELD meninggal dunia dibunuh musuh. Titik balik inilah yang menjadi momentum kebangkitan mereka dan dimanfaatkan dengan baik oleh Fury untuk membawa team ke dalam satu misi yang sama.
Dalam kenyataan sehari-hari di organisasi, membangun sebuah team tidaklah mudah, apalagi sebuah team yang terdiri dari orang-orang hebat. Bayangkan seperti dalam kesebelasan sepakbola, belum tentu kumpulan para bintang bisa menjadi juara. Saya berandai-andai para penyerang hebat seperti Lionel Messi, Christiano Ronaldo, David Villa, Didier Drogba, berkumpul dalam satu kesebelasan dan dimainkan bersamaan. Apakah akan terjadi hujan  gol di kandang lawan? Belum tentu, seandainya mereka tidak mengenyampingkan ego masing-masing untuk mencetak gol. Siapa tahu yang muncul justru aksi individualistis untuk membuktikan siapa yang terbaik. Itulah yang dialami The Avengers.  Dari pengamatan saya, sebenarnya itu bukan mutlak kesalahan mereka, karena dari awal Fury selaku direktur SHIELD tidak memberikan gambaran atau visi yang jelas mengenai proyek kubus kosmik, sehingga terjadi saling curiga dan menduga-duga.  Di dalam konsep leadership, kejelasan visi menjadi sangat penting. Setiap anggota dalam sebuah organisasi yang memiliki kejelasan visi akan memiliki ikatan yang lebih kuat. Selanjutnya adalah misi atau tujuan yang akan dicapai, karena leadership adalah bagaimana menggerakkan dan mempengaruhi orang untuk mencapai suatu misi tertentu yang menjadi tujuan organisasi. Dalam leadership, pemahaman anggota atas visi organisasi dan adanya kesamaan tujuan yang akan dicapai membuat anggota organisasi termotivasi untuk mencapai sasaran yang dituju. Dalam konteks The Avengers, tanpa adanya visi, misi, dan tujuan yang sama, para superhero akan terus bertikai dan gagal menjadi sebuah team yang tangguh.
Hal lain yang patut dicatat adalah, bahwa menjadi satu team, berarti masing-masing anggota harus mau menurunkan egonya dan saling menghargai. Ini tampak pada adegan ketika mereka diserang pasukan Asgard dan dalam kondisi tertekan. Secara spontan, team meminta Captain America untuk memberikan komando dan mengatur posisi pertempuran, tanpa ada bantahan dari masing-masing anggota. Ini sebuah pelajaran, bahwa diantara kumpulan jagoan tetap harus ada seorang pemimpin.  Fury, direktur SHIELD, secara dejure adalah yang mengumpulkan mereka, tetapi secara defacto dalam kondisi real lapangan, pemimpin operasional menjadi kunci yang sangat penting untuk menyelesaikan tujuan. Dalam posisi genting dan krisis, pemimpin mengambil alih komando, seperti Captaint America yang penuh karisma dalam memberikan instruksi dan seluruh anggota menaatinya.  Saya menikmati setiap perintah yang keluar dari mulut Sang Captaint dan menyaksikan para superhero taat tanpa berbantah dalam menjalankannya.
Dalam ilmu kepemimpinan, kemauan anggota untuk mengikuti perintah pemimpin, tentu tidak terjadi begitu saja tanpa ada pengaruh yang kuat.  Menurut konsep leadership Stephen Covey, itu semua berawal dari kepercayaan –trustworthiness – yang merupakan perpaduan dari competence dan character.  Competence merujuk pada pengetahuan, ketrampilan, dan attitude yang dimiliki seseorang untuk menyelesaikan tugasnya. Character dibangun dari nilai-nilai yang dianut seorang pemimpin dan track record yang baik sehingga seorang pemimpin pantas diikuti. Salah satu contoh competence dan character yang membangun  trustworthiness adalah kepemimpinan Mahatma Gandhi yang mengatakan bahwa “my life is its own message”, hidup saya adalah pesan itu sendiri.  Para pengikut harus melihat bagaimana Gandhi hidup, makan, berbicara, duduk, dan berperilaku secara umum. Gandhi percaya bahwa kehidupan pribadinya memberikan dia kredibilitas dan karakter untuk menjadi seorang pemimpin yang sukses. Subarto Zaini, dalam bukunya Leadeship in Action mengatakan bahwa Gandhi adalah contoh pemimpin yang autentik, seperti juga Ibu Teresa, Nelson Mandela, dan Marthin Luther King. Mereka menjadi pemimpin yang kuat dan memilki pengaruh yang sangat besar bukan karena kedudukannya, tetapi karena karakter pribadi, pemikirannya, dan kepeduliannya yang sangat besar terhadap kemanusiaan.
Kembali kepada The Avengers. Pelajaran tentang leadership yang saya dapatkan adalah bahwa ketidak jelasan visi akan mengganggu proses penyatuan team yang berujung pada ketiadaan misi yang sama. Apa jadinya sebuah team tanpa memiliki misi atau tujuan yang sama? Yup, setiap anggota akan berjalan sendiri-sendiri!  Tulisan ini saya tutup dengan pertanyaan, “Apakah anda memiliki sebuah team saat ini? Sudahkan anda menjelaskan visi anda terhadap team tersebut dengan jelas? Apakah team anda memiliki satu tujuan bersama yang akan dicapai, seperti tujuan The Avengers mengalahkan Loki dan pasukannya? Apakah anda membangun kepercayaan team atas dasar competence dan character? Kalau belum, segeralah memperbaikinya atau anda tidak akan pernah dikenal sebagai seorang pemimpin di mata team anda.... Selamat berjuang, be a great leader....

Monday, May 7, 2012

Superhero


Superhero. Saya begitu mengagumi tokoh jagoan komik tersebut dari masa kanak-kanak sampai sekarang. Mulai dari Superman, Batman, Spiderman, Captaint America, sampai pahlawan lokal seperti Gundala Putra Petir. Selalu ada rasa bangga dan kebahagiaan ketika para superhero berhasil menghancurkan musuh dan mengembalikan kedamaian dunia. Saat masih kanak-kanak, saya berpikir itu adalah khayalan masa kecil karena kebutuhan akan idola, tetapi ketika usia saya menjelang 40 dan masih tetap menyukainya, saya mulai berpikir ulang. Jangan-jangan karena masa kecil kurang bahagia. Atau lebih parah lagi, pendewasaan diri saya memang terlambat. Wah, ngeri sekali kalau alasannya yang terakhir. Can’t watch deh! Hehehe.
Sebenarnya saya tidak perlu terlalu cemas, karena ternyata banyak usia sebaya yang juga suka dengan superhero. Paling tidak itu yang saya dapatkan ketika menonton The Avengers minggu lalu. Bukan cuma remaja atau anak-anak, tetapi juga ibu-ibu dan bapak-bapak. Pantas saja, film ini menjadi box office dunia selama satu pekan pertama pemutarannya dan memecahkan rekor Harry Potter and The Deathly Hallows Part 2 yang bertahan sejak Juli 2011. The Avengers mampu meraup 200,3 juta dollar AS, dan menjadi raja baru sebagai film terlaris dalam pemutaran pekan perdana sepanjang masa, mengalahkan Harry Potter, The Dark Knight, Spiderman, dan Twilight Saga (Kompas.com).
Pertanyaan saya, mengapa orang suka menonton superhero, sehingga film-film tentang jagoan rata-rata menjadi box office? Padahal ceritanya sangat biasa dan begitu-begitu saja. Patronnya adalah hitam melawan putih, kejahatan melawan kebenaran. Sang jagoan sebagai pembela kebenaran akan bertempur dengan penjahat yang merusak masyarakat dan mengganggu keamanan. Dia awal cerita, si penjahat tampak tangguh bukan kepalang, sakti mandraguna. Akibatnya dalam pertemuan awal sang jagoan selalu kalah. Lalu cerita berlanjut, sang jagoan menemukan kembali kekuatannya, bertempur lagi dan menang. Terkadang ditambahkan bumbu percintaan antara sang jagoan (yang juga manusia biasa) dengan wanita cantik pujaan hatinya agar terasa lebih manusiawi. Lalu cerita berakhir happy ending, dan penonton keluar dari gedung  bioskop dengan tertawa lebar.
Ketika saya bertanya kepada diri sendiri, kenapa menyukai superhero, saya mendapatkan jawaban bahwa ternyata saya merasa ingin menjadi seperti mereka. Hebat, pembela kebenaran, pantang menyerah, menolong orang yang membutuhkan, penuh belas kasihan. Permulaannya gagal, tetapi hasil akhirnya pasti menang. Benar-benar sesuai pakem yang menyatakan bahwa kebenaran pada akhirnya selalu menang terhadap kejahatan. Keinginan untuk menjadi seperti superhero itu tentu berada di alam bawah sadar saya. Tetapi bukankah alam bawah sadar itu yang justru memunculkan apa yang sebenarnya saya pikirkan. Keinginan menjadi orang hebat, membantu orang lain, berguna bagi sesama. Saya tidak tahu persis apa alasan orang-orang menonton dan menyukai superhero, tetapi mungkin salah satu alasannya adalah seperti yang saya sebutkan. Bisa saja mereka memiliki pendapat yang lain, saya tidak tahu pasti. Mungkin saja mereka suka dengan adegan pertempuran yang dahsyat dan berteknologi tinggi, seperti yang ditunjukkan di dalam film The Avengers.
Kalau saya coba telusuri dan renungkan, pada dasarnya di dalam diri manusia ada keinginan menjadi seorang hero.  Selalu ada benih kepahlawanan dan kebaikan dalam diri setiap manusia. Ini bisa dipahami karena manusia diciptakan baik adanya. Cobalah bertanya kepada seorang Bapak, apa yang mereka inginkan. Tentu mereka berharap menjadi Bapak yang baik bagi anak-anaknya, bertanggung jawab, bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarga, dan menjadi suami yang baik bagi istrinya, penyayang dan setia. Tetapi di dalam perjalanan waktu, seringkali benih itu terkoyak dan tersapu oleh pengaruh sekitar sehingga memudar dan tidak bertumbuh.

Benih superhero ada dalam sikap dan perilaku yang pantang mernyerah, penuh semnagat, berjuang habis-habisan, tidak takut dengan penderitaan atau rintangan yang menghadang, serta keinginan untuk menolong orang lain.  Sama seperti ketika para jagoan The Avengers berperang melawan keangkaramurkaan Loki dan pasukannya yang ingin menaklukkan bumi. Pertempuran gagah berani ditunjukkan dengan tujuan mengalahkan musuh dan menyelamatkan dunia. Meskipun berpeluh dan terluka, mereka pantang menyerah dan terus berusaha mengatasi hambatan yang menghadang.
Saya percaya, sebenarnya setiap orang diperlengkapi dengan benih survival di dalam hatinya, agar mampu bertahan hidup di dunia yang penuh tantangan ini. Memang tidak semua orang menjadi setangguh superhero, karena ada yang kemudian lembek dan rapuh.  Bukan berarti mereka tidak mampu, hanya belum bisa mengoptimalkan benteng pertahanan di dalam dirinya, atau justru tidak ada kemauan untuk bangun dan berjuang, pasrah pada nasib dan menyalahkan keadaan. Tentu kita tidak berharap menjadi orang-orang seperti itu. Saya percaya, tentu kita ingin menjadi seperti superhero yang tegar menghadapi kesulitan. Memang, superhero hanya ada di komik, tidak ada di dunia nyata, tetapi saya percaya benih dasar seorang jagoan ada di dalam setiap manusia. Kalau tidak, tidak mungkin saya membaca ada begitu banyak orang-orang hebat yang terlahir di dunia ini. Seperti Nick Vujicic yang terlahir tanpa lengan dan kaki, tetapi justru menjadi motivator dunia. Atau Hee Ah Lee, pianis cacat asal Korea yang hanya memiliki 4 jari di kedua tangannya, tetapi sangat luar biasa. Lance Amstrong, pembalap sepeda yang terkena kanker tetapi terus survive dan menjuarai Tour de France berkali-kali. Atau seorang ibu penjual sayur mayur di pasar, yang anak-anaknya berhasil lulus sebagai sarjana. Penyapu jalanan, yang pantang menyerah dan terus berjuang untuk kehidupannya. Merekalah superhero di dunia nyata....
Lalu kenapa jiwa sedahsyat itu bisa pudar di beberapa orang? Karena tidak tahan sakit dan menderita. Ketika hambatan muncul yang keluar adalah keluhan, omelan, keputusasaan. Kalau itu terjadi bertahun-tahun, benih pahlawan yang ditabur itu lama-lama akan sirna.  Benih itu akan muncul, bangkit kembali, kalau kita mau memaksa diri melawan tantangan yang ada dan tegar menghadapi masalah. Sejujurnya, itulah saya. Saya sungguh ingin memiliki jiwa superhero, tetapi pada kenyataannya saya gampang menyerah dan putus asa. Lebih sering mengeluh, menyalahkan diri sendiri dan keadaan, lalu meratapi kegagalan. Saya bukanlah orang yang tegar, dan mampu berjalan dengan kepala tegak dengan keteguhan hati. Sungguh, saya harus belajar banyak dan memaksa diri untuk terus bergerak dan melangkah, tanpa terjebak di dalam ratapan yang berkepanjangan dan tidak menghasilkan apa-apa. Hanya keletihan dan kesunyian.
Film The Avengers bagi saya biasa-biasa saja, tetapi ada satu perenungan yang saya dapatkan, bahwa di dalam diri manusia selalu ada benih kedahsyatan, kemauan dan keberanian untuk berjuang sekuat tenaga menghadapi tantangan hidup dan keinginan untuk berbagi, menjadi berarti bagi orang lain. Kalah, terseok-seok, jatuh, bangkit, berjuang, dan menang. Memang tidak sesederhana itu, tetapi semestinya kita bisa. Mendadak terngiang lagu Hero dari Mariah Carey di telinga saya.....
There’s a hero, if you look inside your heart
You dont have to be afraid of what you are
There’s an answer, when you reach into your soul
And the sorrow that you know
Will melt away
Reff:
And then a hero comes along
With the strength to carry on
And you cast your fear inside
And you know you can survive
So when you feel like hope is gone
Look inside you and be strong
And you’ll finally see the truth
That a hero lies in you

Yes, a hero lies in you...give thanks to The Lord that given such a hero soul inside us...  Kita memiliki benih-benih itu, yang ditabur dan harus disemai untuk menjadi energi bagi diri sendiri dan orang lain. Pertanyaannya, maukah kita....?