Tuesday, September 20, 2011

On the Crossroad

Seorang teman menulis “on the crossroad” di status fb-nya. Kontan dengan iseng saya bertanya, “Kenapa? Lagi bingung menyeberang? Bukankah ada traffic light di situ?”, yang dijawab dengan cengiran masam dan ucapan, “Dasar ya....gak tahu orang lagi bingung”.  Saya hanya tertawa dan berkata maaf. On the crossroad, di persimpangan jalan, saya bisa merasakan apa yang teman saya rasakan karena saya pun pernah mengalami hal yang sama. Bukan hanya pernah, bahkan rasanya berkali-kali pada posisi on the crossroad. Bingung untuk memilih, tetapi harus memilih. Bingung bisa berarti 2 hal, memang benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukan, atau justru sangat tahu, tetapi tidak memiliki kekuatan hati untuk mengambil tindakan seperti yang diharapkan. Kalau benar-benar tidak tahu, tentu yang dibutuhkan adalah pengetahuan, berarti harus konsultasi atau bertanya kepada orang yang lebih tahu. Yang menjadi masalah adalah kalau sudah tahu apa yang harus dilakukan, tetapi tidak memiliki kemauan untuk melakukannya. Nah, rasanya saya termasuk kategori ini. Hehehe. Teman saya yang menulis status tersebut kemudian berkirim sms, “Saya tahu persis apa yang harus saya lakukan, tetapi kalau masalah hati susah deh. Jadi meskipun saya tahu kalau saya tidak bisa berjalan bersama dia, tetapi yah...saya tidak bisa menolaknya.” Saya menjawab, “Tidak bisa atau tidak mau? Bedanya jauh loh... Kalau tidak bisa, berarti kamu harus berlatih dulu untuk menjadi bisa. Itu mudah. Tetapi kalau tidak mau, itu berbeda, karena sebenarnya kamu bisa, tetapi memang tidak ada niat untuk melakukannya.” Teman saya terdiam sesaat lalu membalas sms saya, “Sepertinya pilihan yang tepat adalah saya tidak mau, bukannya saya tidak bisa. trus bagaimana ya?”  Saya menghela nafas sebentar lalu mengetik sebuah kalimat yang segera saya kirim, “I can’t say anything.  It depends on you. It’s all about the courage of your heart.”
On the crossroad, saya pun pernah mengalaminya. Ingatan saya melayang ke beberapa tahun silam, ketika saya harus memutuskan untuk berjalan dengan seseorang atau meninggalkannya dan terbang bagaikan rajawali. Keinginan hati adalah berjalan dengannya dengan komitmen yang dia tawarkan, tetapi hati kecil saya mengatakan bahwa saya selayaknya tidak melakukannya. Setiap keputusan selalu ada resiko yang menyertai. Betapapun sakitnya saya bangga dengan diri saya yang mampu terbang dan berjalan dengan tegar, layaknya seorang pemenang. Keteguhan hati membawa saya belajar merelakan untuk bisa terbang tinggi. Dan sekarang ketika saya kembali dihadapkan pada posisi on the crossroad, saya mencoba untuk mengingat apa yang sudah saya lakukan di tahun-tahun yang telah lalu. Dalam kondisi yang berbeda, ketika saat ini saya berusaha membiarkan seseorang yang sangat dekat dengan saya dan saya sayangi untuk kembali menemukan dirinya dan tidak tenggelam dalam kelekatan yang akhirnya tidak membawa ke dalam kebahagiaan. Saya menyadari itu tidak mudah bagi saya, tetapi saya percaya peristiwa yang pernah saya alami dan ketegaran yang pernah ada di dalam diri saya akan kembali muncul seperti mentari di pagi hari. Terkadang ada keputusan pahit dan tidak menyenangkan untuk sesaat, tetapi saya percaya ujungnya akan membawa kedamaian.
On the crossroad, terkadang bisa dilihat sebagai sebuah kejadian yang membuat kita menjadi lemah. Tetapi dalam kondisi ketika yang dibutuhkan hanyalah keteguhan hati, kita ditantang untuk terus berjalan segelap apapun, karena saya percaya ada cahaya yang akan menerangi. Kalaupun saat ini saya juga sedang berada di persimpangan, pengalaman yang dulu semestinya membuat saya berpikir jernih dan memilah dengan hati bijaksana. Mantan atasan saya pernah berkata kepada saya, “Ketika kamu sedang bingung memilih, tulislah pilihan tersebut di atas sebuah kertas dan pilah satu persatu sisi positif dan negatifnya. Lalu bandingkan sisi mana yang lebih banyak. Setelah itu semua kembali kepada hati nuranimu, mana yang akan kamu pilih. Ketika kamu sudah memilih, cobalah untuk teguh melakukannya dengan segala resiko yang akan dihadapi, karena itulah esensi kedewasaan. Tetapi ketika kamu menyadari bahwa pilihanmu salah, ada 2 hal yang bisa kamu lakukan, berhenti dan berputar arah atau terus meratapi kesalahan itu. Saya berharap kamu memilih yang pertama. Pilihan tidak selalu benar, tetapi apapun yang kamu pilih lakukanlah itu dengan sungguh-sungguh sampai kamu menyadari apakah pilihan kamu benar atau salah.”  Saya mengamini apa yang beliau katakan, tetapi saya berpikir bahwa itu hanya relevan kalau kita dalam kondisi bingung memilih dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Dalam kondisi dimana kita sudah tahu apa yang harus dilakukan tetapi kita tidak mau untuk memilih yang benar, yang diperlukan hanyalah keteguhan hati dan kesadaran untuk kembali ke dasar hati yang terdalam. Seperti kata Alkitab, “roh memang penurut tetapi daging lemah.” Justru karena daging lemah, kita bersyukur memiliki roh yang selalu mengingatkan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, apa yang pantas dan tidak pantas. Semua kembali kepada hati kita masing-masing.
On the crossroad, ketika teman saya  masih memasang status tersebut, saya kembali mengirimkan sms pendek, ”Sebenarnya kamu tahu apa yang harus kamu pilih, tetapi kamu ragu-ragu mengambilnya. Bukan karena kamu tidak mampu, tetapi karena kamu tidak mau dan ingin terus menikmati apa yang kamu rasakan. Tidak mau lepas dari kesenangan yang hanya semu, untuk mengejar kebahagiaan sejati yang ada di dalam diri sendiri.” Teman saya menjawab singkat, “Saya tahu persis apa yang seharusnya saya lakukan, tetapi sungguh berat melakukannya.” Saya melanjutkan, “Kalau begitu status on the crossroad-mu tidak akan berakhir sampai kamu memutuskan untuk melakukan breakthrough dan mengalahkan diri sendiri.”
Saya tidak tahu apakah teman saya tersinggung dengan sms saya karena dia tidak pernah lagi membalasnya dan status di fb-nya pun sudah berubah. Tetapi percakapan tersebut membukakan mata saya bahwa persimpangan jalan adalah jalan terjal yang harus dilalui dan bisa terjadi pada siapa saja.  Seandainya bisa memilih, saya akan memlilih jalan lain asal sampai di tempat tujuan yang sama. Tetapi seandainya tidak ada pilihan, yang harus saya lakukan adalah melewatinya dengan keputusan terbaik. Semua sumber daya untuk mengambil keputusan sudah ada pada saya, akal budi, nurani, dan kebijaksanaan untuk memilih. Pertanyaannya, apakah saya akan menggunakan itu semua atau saya tetap berjalan pada jalan saya sendiri yang lebih mudah dilalui, meskipun di ujung perjalanan saya tidak yakin ada titik terang dan keselamatan. On the crossroad, bisa mendewasakan atau menghancurkan, tergantung pilihan kita dan pada sisi mana kita berada. Selamat memilih, karena on the crossroad bukanlah akhir sebuah cerita, tetapi justru awal dari sebuah perjalanan yang menuntut kita untuk berlaku setia. Being happy on the crossroad, being wise on choosing your way!

Sunday, September 4, 2011

Pulau Untung Jawa, untung saya ke sana....

I love the beach and its beauty! Inilah yang mendorong saya untuk mencari-cari tempat wisata kemana lagi saya akan mengisi libur lebaran yang masih beberapa hari tersisa. Maklum, sayang saja kalau menghabiskan waktu di rumah sepanjang hari. Bisa sih saya mengisinya dengan membaca buku dan menulis, tetapi saya ingin sesuatu yang lebih berwarna sekaligus bergaya dengan menenteng kamera SLR untuk mengambil foto-foto indah dan tentu saja foto diri yang tidak kalah indah. Haha..narsis! Ada beberapa pilihan di daerah sekitar Jakarta, seperti Puncak, Sukabumi, atau Kebun Raya, tetapi semuanya tidak terlalu menggoda hati, karena saya lagi jatuh cinta dengan laut dan pantai! Benar-benar tergila-gila dan ingin mengeksplor pantai Indonesia yang katanya indah itu. Menikmati sensasi butiran pasir, gradasi warna laut yang tidak bisa terkatakan cantiknya, sekaligus memandang ombak dan bentangan air yang mengharu biru hati saya. Wow...so beautiful! Sebenarnya saya ingin sekali mengisi libur lebaran dengan pergi ke Karimunjawa yang katanya aduhai indahnya. Apalagi terinspirasi dengan cerita Alexander Thian di buku The Journeys yang bercerita tentang pulau tersebut. Wah, rasa hati tak sabar ingin ke sana. Tetapi setelah searching tiket pesawat tujuan Semarang saya langsung lemas dengan harganya yang begitu mahal. Sayang duitnya, lebih baik ditunda saja. Hehehe. Jadilah saya sedikit bingung untuk mencari pantai hanya untuk memuaskan keinginan saya mengambil gambar-gambar indah. Masak harus ke Ancol lagi? Wadoww......nggak lah ya. Barusan saya menjelajah Pantai Carnaval pagi-pagi untuk mendapatkan sunrise. Kalau harus ke Ancol lagi rasanya tidak seru. Hehehe. Untunglah, seorang teman memberi ide untuk pergi ke sebuah pulau yang bernama Untung Jawa, salah satu pulau di Kepulauan Seribu, karena dia juga sedang pergi ke sana dengan teman-temannya. Akhirnya tanpa pikir panjang lagi saya browsing internet untuk mencari tahu pulau apa itu. Namanya aneh, tidak familiar, dan baru sekali itu saya dengar. Kalau “Untung Ada Saya”, saya tahu, itu film yang dibintangi almarhum Gepeng ketika saya masih kecil. Tetapi Untung Jawa? Nah kalau Pulau Tidung, mungkin sudah terkenal karena snorklingnya. Atau jangan-jangan saya yang kurang pergaulan sehingga tidak tahu pulau Untung Jawa? Hehehe.. Ah, itu tidak terlalu penting, karena saya sudah memutuskan untuk pergi ke sana. Tidak perlu menginap, hanya pulang hari. Maka mulailah saya browsing cara menuju ke pulau tersebut, tanya teman, dan lain-lain dengan penuh semangat. Maklum, mau pergi ke pantai. I love it! Belum berangkat saja sudah mengasyikkan, apalagi kalau sudah tiba di sana. Hmmmm...pasti keren!
                Pulau Untung Jawa adalah sebuah pulau di gugusan Kepulauan Seribu yang terletak sangat dekat dengan Jakarta. Dari hasil pencarian di internet, saya menemukan beberapa cara untuk mencapai pulau tersebut, yaitu dari Pantai Tanjung Pasir, Muara Angke, atau Pantai Marina. Dari ketiga tempat itu, yang banyak direkomendasikan adalah Tanjung Pasir, selain lebih dekat juga tempat parkirnya luas sehingga memadai kalau kita membawa mobil sendiri. Setelah menimbang beberapa hal, akhirnya pilihan saya jatuh ke Pantai Tanjung Pasir. Maka mulailah saya kembali memanfaatkan profesor google untuk membantu mencari jalan yang paling mudah menuju Pantai tersebut. Setelah cari ke sana kemari, akhirnya saya mendapatkan jalan yang cukup enak untuk sampai di Tanjung Pasir yaitu melalui tol ke arah bandara, masuk area bandara, lalu keluar melalui pintu belakang (M1) yang ke arah Tangerang. Setelah keluar pintu belakang, lalu ambil arah ke kiri ke jalan utama, kira-kira 500 m putar balik dan jalan terus arah ke Teluk Naga. Perjalanan keluar dari bandara sampai Teluk Naga ditempuh dalam waktu kira-kira 30 menit dengan kecepatan mobil 50 km/jam. Sebenarnya ingin lebih cepat tetapi agak susah karena banyak motor. Jalan lurus terus sampai menemukan Pasar Teluk Naga. Dari pasar masih lurus, lalu ada pertigaan, ambil belok kanan. Nama jalannya adalah Kampung Melayu Tanjung Pasir. Dari situ perjalanan masih sekitar 15 menit lagi. Ada 2 pemberhentian kalau ingin berlayar ke Untung Jawa. Yang pertama adalah pemberhentian “liar” yang dikelola oleh masyarakat sekitar, dan yang kedua, berjarak sekitar 0,5 km adalah pemberhentian “resmi” dan itulah pantai wisata Tanjung Pasir. Meskipun saya sebut “liar”, tetapi banyak juga mobil parkir di situ. Pertama kali saya berhenti di pemberhentian tersebut, tetapi agak bingung karena pantainya sempit dan sepertinya tidak meyakinkan sebagai tempat wisata. Setelah bertanya kepada petugas parkir yang mengatur mobil, ternyata memang tempat wisatanya bukan di situ, tetapi masih berjarak 0,5 km lagi. Karena berpegang pada informasi di internet, akhirnya saya memutuskan untuk keluar dari parkiran dan menuju tempat wisata dengan harapan parkir mobilnya lebih luas dan aman. Tidak berapa lama sampailah saya di Pantai Tanjung Pasir, dan seperti perkiraaan saya, parkirnya luas serta ada pos jaga polisi di dalam area. Biaya parkir mobil sebesar Rp 20.000 selama 24 jam.
                Pantai Tanjung Pasir kurang bagus dan kotor. Ada banyak orang berjualan, tetapi kebersihan area kurang terawat. Selain itu hampir semua orang yang datang ke pantai adalah untuk menyeberang ke Untung Jawa. Tidak perlu kuatir tidak mendapat kapal karena kapal sangat banyak. Begitu turun dari mobil kita akan segera disambut dengan orang-orang kapal yang menawari kita untuk naik. Biaya per orang Rp 10.000, dengan waktu tempuh sekitar 25 – 30 menit. Satu kapal bisa diisi hampir 50 orang, dan tidak akan berangkat sebelum penuh. Mungkin karena libur lebaran, jumlah pengunjung sangat banyak sehingga kapal cepat terisi.
                Perjalanan menuju Untung Jawa menyeberangi laut Jawa yang tenang dengan sedikit ombak. Mungkin karena masih pagi sehingga ombak belum tinggi. Ketika berangkat dari Tanjung Pasir warna air laut masih agak kecoklatan, tetapi begitu ke tengah semakin biru, sampai akhirnya saya merasa seperti berada di hamparan karpet yang beriak-riak dan memantulkan cahaya matahari. Tenang, tetapi dalam. Langit cerah, berwarna biru, tampak beberapa burung camar beterbangan dan gugusan pulau lainnya. Meskipun laut tenang, tetapi saya tetap merasa mual. Maklum, lama tidak naik kapal motor, sehingga agak pusing. Perjalanan yang hanya 30 menit terasa lama. Hehehe...ternyata tidak berdarah pelaut nih, padahal bukankah ada lagu “nenek moyangku, seorang pelaut...” Iya sih, tetapi nenek moyang saya adalah pedagang di pasar yang lebih ngerti berjualan, jadi wajar saja kalau saya agak pusing waktu menyeberang. Hehehe.
                Akhirnya sampai juga di Pulau Untung Jawa. Begitu masuk ke dermaga, saya cukup dibuat kagum dengan pemandangan laut yang terbentang. Tetapi mungkin karena banyak orang dan pantainya sudah tidak perawan, kondisi di tepi pantai agak kotor. Bahkan di tempat-tempat berjualan, banyak gelas mineral atau bungkus mie instant berserakan. Sayang sekali, meskipun memang tempat sampah yang disediakan agak terbatas. Biaya masuk ke pulau ini sebesar Rp 2.000. Benar-benar wisata yang murah, meriah, hore! Tidak perlu jauh-jauh terbang atau menghabiskan banyak uang untuk menikmati keindahan pantai, karena hanya dengan biaya kurang dari Rp 50.000 sudah bisa sampai ke Untung Jawa. Menurut penjual di sekitar dermaga, kalau liburan seperti ini pantai selalu penuh. Selain itu kapal dari Tanjung Pasir juga banyak, bahkan sampai jam 11 malam. Tetapi kalau hari biasa, kita harus janjian dengan orang kapal untuk menjemput kita.
                Di pulau tersebut banyak terdapat homestay, kalau misalnya kita ingin bermalam dan menikmati sunrise di pagi hari. Sayangnya saya lupa untuk menanyakan berapa biaya menginap semalam. Wah, padahal bisa jadi informasi kan, meskipun saya sendiri tidak menginap dan berencana pulang sore. Setelah menikmati pantai di sekitar dermaga, melihat anak-anak berenang, saya melanjutkan perjalanan mengitari pulau kecil ini. Selain berenang, kita juga bisa menyewa sepeda kalau ingin berkeliling pulau. Murah, hanya Rp 5.000 per jam. Ada juga banana boat kalau kita ingin yang lebih seru.
Pertama-tama saya agak kecewa karena pantainya tidak seperti yang saya harapkan dan terkesan mirip Ancol, banyak pengunjung dan tidak alami lagi. Tetapi setelah berjalan makin jauh dari dermaga saya menemukan keindahan yang membuat saya berdecak kagum. Pantai yang lebih murni dengan ombak yang gencar dan gradasi warna yang membuat saya terpesona. Pasirnya putih kecoklatan, lembut, dan indah. Deburan ombak berkali-kali memecah kesunyian dengan beberapa batu yang kokoh berdiri. God is the Greatest Creator indeed! Beberapa orang berenang di pantai dan berteriak-teriak begitu ombak datang. Saya langsung bernafsu mengambil gambar karena terkagum-kagum dengan keindahannya. Setelah puas memfoto sana-sini gantian saya kegirangan bermain air. Kalau sudah begini pasti saya sangat menyesal karena tidak bisa berenang. Bermain di pantai tanpa berenang seperti makan sayur tanpa garam. Kurang afdol. Langsung saya membuat resolusi untuk belajar berenang begitu balik ke Jakarta. Hehehe. Setelah puas berlarian dan berkejaran dengan ombak saya melanjutkan perjalanan menyusuri pulau sekaligus ingin mencari ikan bakar yang enak dan murah.
                Untung Jawa juga memiliki hutan mangrove yang masih asri, dilengkapi tempat-tempat pembibitan. Jadi muncullah perpaduan antara laut yang biru dan hutan yang hijau. Bagus untuk permainan mata dan penangkapan objek kamera tentunya. Maklum, mendadak saya suka mengambil gambar-gambar pemandangan yang indah. Mungkin karena tentengan kameranya berbeda sekarang. Hehehe...gaya boleh dong. Hutan yang hijau bisa ditemui kalau kita terus berjalan mengitari pulau. Akhirnya setelah penasaran mencari-cari tempat ikan, saya menemukannya juga. Tempatnya agak ke dalam dan tidak persis di tepi pantai. Kalau di tepi pantai, yang ada adalah makanan biasa seperti mie ayam, bakso, dan sebagainya. Harga ikan di sini lumayan murah, kami berdua habis Rp 60.000 untuk menu ikan bawal bakar, cumi bakar, lalapan, nasi sebakul, air mineral, dan 2 gelas es teh. Tetep lebih murah dari Jakarta dan tentu lebih segar karena langsung dari sumbernya!
                Setelah kenyang mengisi perut kami melanjutkan perjalanan mengitari pulau untuk kembali ke dermaga keberangkatan yang berbeda dengan kedatangan. Ketika kami tiba di sana, sudah banyak orang mengantri untuk balik ke Tanjung Pasir. Tetapi tidak perlu kuatir dan berdesak-desakan karena kapal banyak tersedia. Sebenarnya kami ingin menunggu sampai sunset, tetapi sayang sekali baterai kamera habis. Waduh, bener-bener menjengkelkan. Akhirnya kami memutuskan pulang dan berharap mendapatkan sunset di tengah laut.
                Perjalanan pulang lebih seru karena ombak lebih tinggi, serasa diayun-ayun, tetapi justru tidak pusing. Mungkin sudah terbiasa, hehehe. Burung camar bersahutan, ditambah matahari yang mulai perlahan turun berwarna jingga sehingga memantul keemasan. Wow, indah sekali. Sebenarnya saya berharap mendapatkan sunset di Tanjung Pasir tetapi ternyata setelah sampai di sana matahari langsung hilang dan saya tidak mendapatkan keindahan itu. Sayang sekali. Tetapi apa yang saya dapatkan seharian ini sudah lebih dari cukup untuk mengambarkan betapa pulau Untung Jawa layak didatangi. Selain indah, tidak perlu merogoh kocek terlalu dalam. Cukup satu hari. Tetapi kalau ingin menginap, rumah-rumah homestay sangat banyak, tinggal pilih saja.
                Perjalanan saya ke Untung Jawa kembali membuktikan bahwa Indonesia sangat kaya akan pemandangan alam yang indah. Benar-benar membuat saya kagum dan berucap Thanks God for this beautiful country. Tadinya saya berpikir untuk mencari keindahan laut dan pantai di tempat-tempat jauh seperti Lombok, tetapi ternyata banyak pantai yang lebih dekat yang belum saya eksplor dengan baik. Seorang teman baru saja memamerkan keindahan Pulau Peucang di Ujung Kulon dan Pantai Ciputih di Pandeglang. Begitu searching internet dan melihat gambarnya, woww.....kekaguman saya semakin bertambah. Amazing! Sungguh saya jatuh hati pada laut dan pantai Indonesia, dan tidak sabar untuk menunggu jadwal perjalanan berikutnya. Next trip, when and where? Belum tahu, tetapi pasti saya akan datang ke sana. Let’s wait and see....