Friday, November 11, 2011

just be patient!

“Porridge day 6!”, demikian bunyi status bbm saya dengan tambahan icon tepok jidat atau “can’t watch”, yang sebenarnya merupakan ekspresi jeritan hati. Terus menerus menyantap bubur sampai hari ke-6 (dan berlanjut ke hari ke-7 dan 8) akibat thypus ternyata bukan perkara mudah. Saya bukan orang yang alergi dengan bubur, bahkan terkadang bubur adalah salah satu menu pilihan saya untuk sarapan pagi. Tetapi terus menerus menyantap bubur sungguh membuat saya hampir muntah karena bosan, meskipun sudah dibantu dengan lauk yang bervariasi seperti ikan, daging ayam, hati, atau telur. Pikiran saya mulai melayang-layang dan membayangkan lezatnya martabak, bebek sambal ijo, gurame goreng, sate kambing, soto ayam, dan beragam menu makanan favorit lainnya. Nasi menjadi sesuatu yang mahal, karena saya memaksa diri untuk terus makan bubur sampai usus saya kembali pulih seperti sediakala.
Sabar, demikian pesan teman-teman. Tidak ada yang instan, semua adalah proses. Bahkan perjalanan suatu penyakit dari masa inkubasi (bekembangnya penyakit) sampai kesembuhannya adalah sebuah proses yang harus dinikmati. Ya, sabar menjadi sesuatu yang langka, dan membuat saya belajar arti menahan diri. Bertahan untuk tidak terburu-buru menyantap makanan kegemaran dan terus berjuang menghabiskan sendok demi sendok bubur untuk meringankan kerja sistem pencernaan saya. Meskipun dalam hati saya selalu berpikir kapan semua ini akan berakhir, tetapi membayangkan perut saya kembali sakit jauh lebih tidak mengenakkan daripada proses menyantap bubur yang harus saya jalani.
Sabar, kata yang mudah diucapkan tetapi ternyata harus diperjuangkan. Saya bukanlah orang yang sabar, dan cenderung berpusat pada hasil, bukan menikmati proses yang berjalan setahap demi setahap. Saya berharap semua keinginan saya segera terwujud tanpa ada kesulitan atau hambatan , meskipun saya sadar itu semua hanya ada di alam khayal atau impian. This is the real life, selalu ada hal-hal tidak mengenakkan yang harus saya telan. Saya tidak bisa berharap semua berjalan baik-baik saja sesuai dengan keinginan saya. Alangkah naifnya kalau saya berpikir demikian. Tetapi bukankah itu sesuatu yang sangat manusiawi, menginginkan segala hal berjalan dengan baik, lancar, sesuai harapan? Bukankah itu keinginan yang sangat wajar? Yup, absolutely right! Tetapi sekali lagi, itu hanya ada di dongeng-dongeng ala H.C Andersen, ketika Sang Pangeran Tampan berhasil menyelamatkan seorang Putri Cantik lalu menikah dan berbahagia selamanya. Alur cerita yang lancar dan pasti, seperti sebuah episode kehidupan yang sudah digariskan untuk happy ending.
Saya teringat kata-kata bijaksana yang menyebutkan bahwa ketika kita berdoa untuk minta kesabaran, Tuhan justru akan mengirim orang-orang yang menjengkelkan untuk melatih kita menjadi sabar. Sabar yang kita harapkan diberikan secara mudah, ternyata harus diproses dengan cara demikian. Seperti otot yang harus dilatih untuk lebih kuat dan gagah, kesabaran pun merupakan sebuah karakter yang harus dilatih agar terbentuk. Kalau kita berada di lingkungan yang semuanya normal dan baik-baik saja, kita merasa menjadi orang yang sabar. Tetapi penilaian apakah kita sabar atau tidak akan nampak terlihat ketika kita berada di lingkungan yang dihuni oleh orang-orang yang tidak meyenangkan dan membuat kita ingin marah,. Justru di saat itulah kesabaran diuji, apakah kita mampu naik kelas atau masih harus mengulang kelas yang sama karena tidak lulus ujian.
Seringkali saya berharap menjadi orang yang sabar, dan saya ditantang untuk melatih kesabaran melalui hal-hal yang tidak saya sukai. Kesabaran hati untuk menikmati bubur berhari-hari lamanya meskipun saya sudah sangat bosan mengajarkan saya banyak hal mengenai keteguhan hati. Saya belajar berempati untuk mereka yang terbaring sakit dan harus melewati berbagai proses untuk sembuh, orang-orang yang jauh lebih menderita dari saya tetapi tangguh dan sabar melewati semua proses yang memang harus dijalani. Sementara saya sudah mulai tidak betah dan merengek hanya karena makan bubur. Sungguh, rasanya saya harus malu dan merelakan hati untuk lebih banyak belajar.
Akhir-akhir ini saya merasa dilatih untuk sabar. Mulai dari hal-hal kecil sampai pekerjaan sehari-hari yang terkadang membuat saya kecewa. Penilaian kinerja yang terasa tidak memuaskan, atau pencapaian prestasi yang berjalan di tempat. Atau juga masa-masa dimana saya harus bekerja sama dengan karyawan baru di kantor untuk melakukan bebagai aktivitas pekerjaan yang baru baginya. Sebagai seseorang yang terbiasa bekerja cepat saya sungguh tidak sabar dan ingin mengatasi semua pekerjaannya agar berjalan lebih lancar. Tetapi saya sadar bahwa itu tidak akan membuat dia pintar, atau saya menjadi lebih pintar, tetapi justru membuat saya kehabisan energi karena mengcover pekerjaan yang bukan lagi menjadi porsi saya. Maka kesabaran sangat diperlukan agar saya tidak tertekan dan belajar menerima kenyataan bahwa tidak semua orang seperti yang saya harapkan. Justru tantangannya adalah bagaimana saya bisa membawa orang tersebut berada pada level yang saya inginkan.
“Sabar subur”, itu adalah istilah Jawa yang merujuk pada artian bahwa orang yang sabar itu akan subur. Subur di sini maksudnya adalah sehat, montok, sukses, bahagia. Kalau tidak salah ingat, “sabar subur” juga merupakan merek roti di Solo sewaktu saya masih kecil, apakah sekarang masih ada atau tidak, saya tidak tahu. Tetapi intinya istilah “sabar subur” ingin menunjukkan kepada kita bahwa orang sabar itu pada akhirnya akan menikmati keuntungan, menjadi “subur”. Berarti orang yang tidak sabar, akan menjadi “tidak subur”. Kalau dalam dunia tumbuhan yang disebut “tidak subur” berarti kering, tidak berbuah, layu. Jadi kalau dianalogikan, orang yang berperilaku tidak sabar akan menjadi orang-orang yang tidak bisa memberikan karya positif bagi orang lain karena “tidak subur.” Kalau tidak subur berarti perlu dipupuk, disiangi, diberantas hama-nya, alias dilatih, dibuang sifat-sifat buruknya, dan diberantas hal-hal negatif yang membuat pikiran dan hatinya menjadi mudah panas dan tidak sabar. Sabar, sesuatu yang sederhana tetapi ternyata berperan sangat penting bagi “subur tidaknya” seseorang. Sabar menghadapi hal-hal yang mengecewakan, sabar terhadap proses kehidupan, sabar untuk dibentuk menjadi berlian meskipun tidak enak. Kalau kita tahu bahwa kesabaran menghasilkan buah-buah yang menyejukkan, mengapa terasa susah melakukannya? Karena kita tidak memiliki keteguhan hati untuk belajar dan merendahkan diri untuk mau dididik dan membuang ego kita. Kita mengedepankan nilai-nilai “saya”. Saatnya merendahkan diri untuk mau menerima hal-hal tidak enak yang melatih kesabaran dan kekuatan hati. Saya sedang dalam proses menerimanya, bagaimana dengan Anda?



Tuesday, November 8, 2011

just take a rest!

“Sakit berarti badannya perlu istirahat. Jadi istirahat saja, Bu”, demikian pesan seorang teman dokter melalui bbm nya ketika saya tanya obat apa lagi yang perlu saya minum untuk mempercepat proses penyembuhan penyakit thypus yang saya derita. Saya tersenyum membacanya dan tidak bertanya lebih lanjut. Dalam hati saya berkata, buat apa protes, memang begitulah kenyataannya.
Sakit, bukanlah hal yang mengenakkan. Apalagi bagi saya yang “terbiasa” jarang sakit. Paling banter batuk pilek, diare, atau yang “agak” parah waktu itu adalah campak, yang memaksa saya untuk beristirahat selama beberapa hari. Tetapi itupun sangat jarang terjadi. Jadi kalau saat ini saya harus terbaring karena thypus, bagi saya ini kenyataan yang harus diterima. Paling tidak sudah ada yang berubah, misalnya kalau saya harus mengisi formulir donor darah yang biasanya ada kolom riwayat penyakit. Kalau selama ini saya mencentang tanda “tidak pernah”di riwayat penyakit thypus, berarti mulai sekarang mau tidak mau saya harus merubah kolom yang saya centang.
Dalam hati sebenarnya saya sedang bertanya-tanya, kenapa bisa sakit. Padahal saya merasa sudah menjaga kesehatan sebaik-baiknya. Mulai dari buah-buahan, jus, olahraga teratur, minum vitamin, dan yang lainnya. Bagaimana dengan makanan sehari-hari? Ya sih, kalau itu masih harus dipertanyakan karena saya selalu jajan di pinggir jalan (tapi bukankah kalau jajan di tengah jalan justru tidak mungkin? Ketabrak dong...hahahaa). Padahal yang namanya thypus kan ditularkan melalui media makanan dan minuman. Bakteri Salmonella yang menjadi penyebab penyakitnya suka bertengger di makanan yang kurang terjaga kebersihannya. Waduh...berarti saya harus merubah pola makan nih, termasuk pola jajan, bukan lagi di pinggir jalan, tetapi harus di tempat yang lebih “terjamin” kebersihannya. Hehehe. Meskipun kalau iseng masih bisa dipertanyakan lagi kenapa jatuh sakitnya baru sekarang, bukankah selama ini pola makan saya sudah seperti itu? Yah, berarti kamu beruntung saja, jawab teman dokter saya sekenanya, mungkin sudah mulai jengkel karena saya yang bukannya istirahat tetapi justru tidak berhenti bertanya. Beruntung, masih dilindungi. Beruntung, masih boleh bekerja terus setiap hari. Nah sekarang memang harus beristirahat. Siapa tahu itu akumulasi dari rasa capek yang sebenarnya sudah berminggu-minggu tetapi tidak dirasakan. Sudahlah Bu, “sakit berarti badannya perlu istirahat”, kata teman saya lagi, kali ini dengan tambahan icon malaikat.
Saya terdiam dan menyadari benar juga yang teman saya katakan. Istirahat, sepertinya sepele, tetapi ternyata memiliki dampak yang hebat bagi tubuh kita. Makanya dalam seminggu orang harus beristirahat minimal 1 hari untuk kembali rileks dan bisa bekerja dengan segar di awal minggu. Sementara saya? Seringkali istirahat pun saya isi dengan jalan-jalan ataupun sesuatu yang memerlukan tenaga sehingga saya merasa kehabisan energi di minggu berikutnya. Tetapi bukankah istirahat bukan berarti harus tiduran terus di rumah? Rekreasi, jalan-jalan ke mall, bermain bersama teman, itu juga istirahat? Oh ya, saya setuju, tetapi ternyata terkadang tubuh hanya ingin kita berdiam dan menghabiskan waktu di rumah dengan santai. Mendengarkan musik, menonton dvd, bercengkerama dengan keluarga, tidur. Banyak pilihan cara istirahat yang bisa kita nikmati, tetapi memang yang paling penting adalah kita mengetahui batas kemampuan dan kekuatan tubuh kita sendiri. Nah ini yang seringkali saya lupakan. Saya merasa kondisi fisiknya masih seperti 10 tahun yang lalu, padahal jelas tidak mungkin. Saya juga sering menyepelekan tanda-tanda kecapekan yang saya rasakan, dengan alasan “sebentar lagi istirahat”, tetapi setelah itu tetap tidak beristirahat! Itu baru beristirahat secara fisik, bagaimana secara psikis? Ini lebih bermakna lagi sepertinya. Terkadang kita mengalami stress yang membuat kita merasa capek dan ingin tidur, agar bisa melupakan masalah yang ada. Faktor psikis tentu tidak bisa kita kesampingkan, justru akhir-akhir ini psikis menjadi pencetus dari berbagai macam penyakit. Stress pekerjaan, tuntutan hidup, ketegangan-ketegangan yang dialami, ketidakpuasan, seringkali  berujung pada kekecewaan. Dan jangan salah, itu semua membuat tubuh kita menjadi rentan terhadap berbagai penyakit karena daya tahan tubuh yang berkurang. Makanya cara paling manjur adalah hati yang “semeleh”, istilah Jawa yang berarti ikhlas, rela, bersyukur. Dijamin, tubuh kita kuat secara fisik maupun psikis. Kalau dulu di usia lebih muda, saya boleh berbangga dengan fisik yang kuat, tetapi sekarang sepertinya saya harus lebih berhati-hati. Teman-teman kos dengan bercanda mengatakan, ingat nih, faktor “u”, sudah tidak seperti zaman dulu lagi yah. Ingat waktu dan fisik. Saya hanya tertawa, meskipun harus mengakui bahwa sepertinya saya memang perlu merubah pola hidup yang saya jalani. Lebih sehat, lebih mengenal tanda-tanda dari dalam tubuh sendiri, kapan harus berhenti, kapan harus melanjutkan perjalanan, dan lebih “semeleh”.
Berbicara mengenai tanda, saya melayangkan pandangan ke luar jendela dan menyadari bahwa cuaca mendung sore ini. Prediksi saya langsung bicara bahwa kemungkinan akan hujan, dan prediksi itu biasanya benar. Kenapa? Karena saya mengenal tanda-tanda alam. Kalau ditarik lebih jauh, seandainya cuaca mendung dan saya harus bepergian dengan berjalan kaki, maka saya pasti akan membawa payung untuk melindungi saya terhadap hujan. Itu tanda yang sangat mudah dan jelas. Pertanyaannya, tubuh saya juga sering memberikan tanda, terlalu capek, tetapi saya tidak berhenti. Bisa jadi karena memang belum bisa berhenti, atau karena saya tidak mau berhenti. Tetapi sama dengan tanda alam, tubuh pun memberikan sinyal ketika ada sesuatu yang tidak beres, dan semestinya saya peka dengan tanda-tanda yang ada, bahwa saya memang perlu berhenti sebentar, beristirahat untuk menjadi lebih segar. Karena kalau tanda-tanda itu diabaikan, tubuh akan memaksa kita dengan caranya sendiri agar kita beristirahat. Jangankan kita, Tuhan pun perlu berhenti pada hari ke-7 dalam penciptaan alam semesta, untuk mengajarkan bahwa kita pun perlu waktu untuk beristirahat, mengisi ulang energi kita sebelum melanjutkan perjalanan.
Saya membayangkan sebuah perjalanan panjang tanpa ada titik-titik perhentian. Kita akan dipaksa untuk terus berjalan sampai kehabisan tenaga, dan akhirnya justru tidak mencapai tempat yang kita tuju. Saya teringat dulu ketika masih muda dan ikut naik gunung. Ada beberapa titik perhentian untuk beristirahat, agar kita bisa mengatur kembali tenaga, membuang beban yang tidak berguna, menambah logistik dan air minum yang kita perlukan, mengatur ulang pendakian, dan sebagainya. Kenapa? Karena memang titik perhentian diperlukan. Bukan untuk mundur, tetapi untuk berhenti sejenak dan menapak dengan lebih tegak. Istirahat bukan berarti kita membuang waktu, tetapi justru memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya karena tubuh akan kembali diisi dengan energi baru. Jadi kalau saat ini saya sedang terbaring karena sakit, berarti tubuh saya memang perlu beristirahat. Tidak perlu panik ataupun merasa kehilangan banyak waktu untuk bekerja, karena justru saya harus bersyukur masih diberi waktu untuk berdiam diri dan belajar dari rasa sakit.
Sakit, berarti tubuh kita perlu istirahat. Ya, sesederhana itu, semudah itu. Selamat beristirahat untuk teman-teman yang saat ini sedang sakit, atau merasa sangat capek tetapi tidak ada waktu untuk beristirahat. Saatnya belajar menyediakan waktu, daripada suatu ketika kita dipaksa untuk berdiam diri dan tidak bisa menghindar lagi karena terbaring sakit. Kalau saat ini sedang sakit, selamat menikmati rasa sakit itu, bersyukurlah untuk apapun yang dialami saat ini. Get well soon! God bless you...


Sunday, October 23, 2011

Rumput Tetangga Lebih Hijau?

Pepatah mengatakan rumput tetangga selalu lebih hijau, artinya bahwa kita selalu melihat orang lain memiliki hal-hal yang lebih baik dari kita sehingga membuat apa yang kita miliki menjadi tidak berharga.  Apakah benar seperti itu? Bisa ya, bisa tidak. Bisa jadi rumput tetangga memang lebih hijau, atau bisa jadi hanya “tampak” lebih hjau padahal tidak sama sekali. Sesuatu yang menipu, karena cara berpikir kita sudah ditutup oleh pandangan bahwa apa yang ada pada orang lain selalu lebih dari apa yang ada pada kita. Sikap seperti itu membuat kita menjadi tidak pernah puas, merasa inferior, dan tidak menikmati apa yang ada pada diri kita, sesuatu yang kalau dibiarkan terus menerus akan berujung pada kondisi kecewa, penyangkalan diri, dan ketidakmampuan untuk bersyukur.
Kalau bicara “rumput tetangga yang lebih hijau”, teman-teman pria biasanya akan bercanda dengan mengatakan bahwa istri orang lain terlihat lebih cantik, lebih hebat, lebih pintar, tidak seperti istri sendiri yang memiliki banyak kekurangan. Saya sering tersenyum mendengar candaan mereka, karena dalam pemikiran saya, jangan-jangan istri mereka pun saat ini sedang berpikir yang sama, bahwa suami-suami orang lain itu lebih ganteng, lebih macho, lebih kaya, lebih hebat daripada suami mereka. Nah, kalau benar seperti itu, jelas tidak akan ada habisnya, karena masing-masing melihat milik orang lain. Tetapi saya masih percaya bahwa itu hanya bercandaan saja , bahwa mereka adalah suami-suami dan istri-istri yang setia, dan mau menerima apapun keadaan pasangannya. Namanya saja sudah memilih untuk bersama selamanya, saat suka dan duka, bukan saat suka dan suka. Paling tidak itulah yang saya dengar setiap kali mengikuti sakramen pemberkatan nikah di gereja, bahwa masing-masing pasangan berikrar setia dalam suka dan duka, sampai maut memisahkan mereka.
Saya mencoba memahami pepatah “rumput tetangga lebih hijau” dengan analogi yang lain. Sebagai seseorang yang sering bepergian ke luar kota dan menginap di hotel, seringkali saya dibuat bosan dengan menu sarapan pagi yang ada. Kalau saya menginap selama 1 minggu, praktis selama 7 hari saya akan dibombardir dengan menu sarapan pagi yang hampir sama setiap hari. Saat pertama biasanya saya akan sangat menikmati, tetapi memasuki hari keempat dan seterusnya, saya tidak terlalu tertarik lagi. Paling banter hanya makan roti, buah ,serta minum jus. Yang terbayang justru enaknya nasi uduk seharga tiga ribu rupiah atau jus buatan sendiri yang rasanya mantap dan menyegarkan di rumah. Padahal kalau dipikir-pikir tidak ada yang kurang dengan menu sarapan paginya, bahkan sangat komplit. Tetapi sekomplit apapun hidangan yang tersedia, ternyata saya masih menyimpan kerinduan untuk makanan sederhana yang biasa saya makan. Bukan berarti saya tidak suka sarapan di hotel karena kalau ditanya mana yang lebih enak, bagi saya semuanya enak, karena saya menikmati setiap detik sarapan pagi yang tersedia. Jadi apakah makanan di hotel seumpama rumput tetangga yang lebih hijau bagi saya? Bisa ya, bisa tidak, karena ternyata saya pun sangat menikmati sarapan nasi uduk dan segelas jus yang menjadi kebiasaan saya sehari-hari.
Lain lagi cerita teman yang menginap beberapa hari di hotel bintang 5 untuk keperluan training dan harus berdiam sampai malam karena materi training yang sangat padat. Akibatnya selama berhari-hari teman saya menyantap hidangan hotel bintang 5 yang mestinya sangat sehat dan lezat. Tetapi memasuki hari kesekian, teman saya memilih tidak makan di hotel tetapi jajan di pinggiran jalan di kaki lima dan menyantap nasi goreng. Sepertinya tidak masuk akal, sudah disediakan hidangan di hotel bintang 5, tetapi masih juga jajan di pinggir jalan. Lalu apa jawaban teman saya, “Bosan, pengen sesuatu yang lain.”  Nasi goreng pinggir jalan bisa jadi adalah “rumput tetangga lebih hijau” bagi teman saya saat itu yang kebetulan sedang menginap di hotel bintang 5. Tetapi bagi orang yang terbiasa makan di pinggir jalan, hidangan hotel bintang 5 adalah “rumput tetangga lebih hijau” bagi mereka. Ternyata “sang rumput tetangga” menjadi sangat relatif, tergantung siapa yang melihatnya. Dalam kasus teman saya, dia sangat menikmati jajanan kaki lima, padahal secara logika hidangan hotel jelas lebih mewah, sesuatu yang bisa jadi merupakan “rumput tetangga” bagi orang yang selalu makan di pinggir jalan.
Contoh-contoh tersebut menyakinkan saya bahwa “rumput tetangga” hanya tergantung pada cara pandang kita. Jadi kalau kita berpikir rumput tetangga lebih hijau, sebaiknya mulai untuk mencuci otak kita sekarang juga. Kenapa? Karena kebenarannya sangat relatif. Apapun yang kita miliki, bisa menjadi rumput tetangga bagi orang lain. Sehingga yang terpenting bukan lagi apa yang kita miliki, tetapi bagaimana kita menikmati apa yang kita miliki. Bukan mengenai apa yang ada di depan kita, tetapi apakah kita bisa dengan penuh suka cita menikmatinya dan bersyukur untuk apa yang kita miliki saat ini. Hati yang ikhlas dan dipenuhi syukur, akan mampu mengusir “rumput tetangga yang lebih hijau” karena apa yang kita miliki pun sebenarnya adalah rumput tetangga bagi orang lain. Kalau mereka melihat apa yang kita miliki lebih daripada yang mereka miliki, bagaimana kita bisa iri kepada orang lain yang menganggap kita memiliki lebih banyak dan lebih baik dari mereka? Semua hanyalah masalah sudut pandang dan suasana hati saja!
Ungkapan “rumput tetangga lebih hijau” kembali menyusup di hati saya ketika saya bergabung di grup bbm teman-teman kuliah kedokteran yang sekarang sudah menjadi “orang”, bukan berarti dulu mereka bukan orang, tetapi artinya “sudah mapan.” Ada spesialis penyakit dalam, bedah, kandungan dan kebidanan, anak, syaraf, mata, paru, kulit, radiologi, dan beberapa spesialis lainnya. Lengkap.  Bisa juga tuh kalau mau mendirikan rumah sakit, tinggal menyiapkan modalnya saja. Hehehe. Wah hebat juga, tidak menyangka teman-teman kuliah dulu sekarang sudah mantap dan sukses dengan pilihannya. Mendadak saya melihat “rumput tetangga lebih hijau” pada diri mereka. Kenapa? Karena saya melihat diri saya! Dokter yang tidak mau menjadi dokter, menyia-nyiakan 7 tahun masa pendidikan yang penuh penderitaan (hehehe), kemudian menyeberang ke dunia manajemen dengan mempelajari human resources yang sekarang ditekuni. Sepertinya saya melangkah berbalik arah dan tidak menjadi seperti teman-teman saya yang sekarang menjadi spesialis. Ego saya mengatakan bahwa bukan berarti saya tidak bisa, tetapi karena memang saya memilih untuk menjadi seperti apa saya sekarang. Tetapi kenapa saya melihat mereka adalah “rumput tetangga yang lebih hijau”? Karena saya belum mau berdamai dengan diri saya sendiri dan terjebak dalam ego yang berkepanjangan dan tidak ada manfaatnya sama sekali. Bukankah jalan yang saya tempuh saat ini adalah pilihan saya? Setiap pilihan yang diambil harus diiringi dengan tanggung jawab untuk menerima resiko yang ada. Jadi saya tidak perlu merasa bahwa rumput yang saya miliki saat ini terlalu kuning dan kering sehingga saya harus menengok rumput tetangga yang menurut pandangan saya lebih segar padahal itu bukan pilihan saya.  Berlatih untuk menikmati apa yang saya miliki. Sama seperti teman saya yang makan di kaki lima dengan rasa nikmat, mengesampingkan hidangan hotel bintang 5 yang bisa jadi adalah rumput tetangga bagi orang lain.
Jadi sebenarnya “rumput tetangga lebih hijau” adalah sah-sah saja, tetapi bukan untuk membuat kita ingin memiliki rumput tersebut, karena rumput yang kita miliki tidak kalah hijaunya. Terkadang kita tidak bisa melihat karena pikiran kita sudah disilaukan oleh “hijaunya rumput tetangga”, entah benar-benar hijau atau hanya sebuah ilusi. Karena itu bagi saya yang terpenting adalah menikmati dan mensyukuri apa yang kita miliki saat ini. Kalaupun Tuhan belum memberikan sesuatu yang lebih, tentu ada maksudnya. Jangan-jangan Tuhan sedang menyelidiki hati kita, sanggupkah kita diberi tanggung jawab yang lebih besar? Karena semakin banyak yang Tuhan berikan, semakin tinggi juga tanggung jawab yang kita kembalikan kepaaNya. Jadi? Bersyukurkah untuk “rumput” yang anda miliki saat ini, karena rumput yang ada tersebut adalah yang terbaik untuk anda. Hanya butuh sentuhan tangan yang sepenuh hati untuk menyirami dan menyiangi, agar rumput tersebut menjadi lebih hijau dan bersinar-sinar, mengalahkan rumput tetangga yang hijaunya terkadang hanya ilusi. Selamat menikmati rumput anda masing-masing dan bersyukur untuk apa yang anda miliki!

Thursday, October 20, 2011

Bromo, The Beautiful One....

Bromo, akhirnya sampai juga saya ke sana. Sebenarnya tidak ada rencana pergi ke Bromo tahun ini, karena pikiran saya sedang terpikat oleh pesona Karimunjawa, sehingga upaya untuk mencari waktu cuti diarahkan untuk mendatangi kepulauan tersebut. Tetapi benar kata pepatah, terkadang apa yang kita rencanakan justru tidak terjadi tetapi yang tidak kita rencanakan datang tiba-tiba di pelupuk mata. Karena ada kebutuhan mengajar di Surabaya, maka mendadak saya harus berangkat ke kota tersebut dari Senin sampai Jumat. Lumayan, ada waktu Sabtu Minggu yang akan saya manfaatkan untuk berkunjung ke rumah kakak dan keponakan di Surabaya. Belum terpikir sama sekali untuk pergi ke Bromo, karena saya mengira Bromo hanya dapat dicapai dari kota Malang. Dengan situasi lumpur Lapindo yang kabarnya masih membuat macet perjalanan, saya malas pergi ke sana. Tetapi setelah bertanya kesana kemari, ternyata Bromo juga bisa dicapai dari Probolinggo yang hanya 2,5 jam dari Surabaya. Wah, tanpa pikir panjang saya segera mempersiapkan segala sesuatu untuk pergi ke tempat yang konon disebut sebagai negeri di awan, sebuah tempat yang harus dikunjungi. Maka jadilah saya mempersiapkan dua agenda sekaligus sebelum ke Surabaya, yang pertama adalah keperluan training, dan yang kedua adalah peralatan yang saya butuhkan untuk mengatasi dinginnya Bromo seperti tutup kepala, sarung tangan, syal, jaket, dan sebagainya.
Ternyata keinginan travelling mampu memotivasi saya untuk lebih giat bekerja, terbukti waktu berlalu begitu cepat dari Senin sampai Jumat. Hehehe. Setelah mencari-cari alternatif keberangkatan, saya bersama dua orang teman memutuskan untuk berangkat malam hari dari Surabaya dan tidak menginap di Bromo. Dengan menyewa mobil dari Surabaya, kami berangkat jam 10 malam. Perjalanan Surabaya Bromo ditempuh dalam waktu kurang lebih 4 jam. Sekitar jam 2 pagi kami sudah sampai di kaki gunung Bromo dan mobil diparkir di perhentian terakhir sebelum berganti dengan jeep yang akan membawa kami naik. Karena masih sangat pagi, kami menghabiskan waktu untuk duduk-duduk di mobil dan mencari jeep yang bisa kami sewa. Setelah tawar menawar kami mendapatkan harga 350 ribu dengan tujuan ke penanjakan untuk melihat sunrise dan ke kawah dengan melintasi lautan pasir. Jam 4 pagi kami bergerak naik menuju penanjakan yang membutuhkan waktu sekitar 15 menit dari parkiran. Penanjakan adalah sebuah tempat yang tinggi, dan kita harus sedikit mendaki untuk mencapainya. Kalaupun tidak kuat berjalan ada banyak persewaan kuda dengan harga 100 ribu rupiah pulang pergi. Cukup mahal untuk ukuran turis domestik, sehingga saya melihat ada banyak orang yang memilih berjalan kaki dengan santai. Tetapi karena mengejar waktu dan tidak kuat berjalan kaki, saya dan teman-teman memutuskan naik kuda. Mahal juga sih, tetapi ya sudahlah, daripada tidak bisa melihat momen terbitnya matahari yang sangat kami tunggu.
Finally, here we are, di tempat tertinggi dari penanjakan dan menantikan sang mentari bangun dari tidurnya. Semburat warna merah jingga memancar dari kejauhan, memberikan nuansa terang di tengah kegelapan pagi yang terasa dingin. Sekitar jam 5 pagi, seperempat bulatan merah muncul dari balik awan, dan secara perlahan makin lama makin besar. Setengah bulatan, tiga perempat, sampai penuh satu bulatan. Saya tidak berkedip melihatnya. Hampir semua orang yang berada di situ berteriak, antara takjub, kagum,dan senang, melihat indahnya matahari yang muncul dari balik awan. Benar-benar menggeliat dari tidur, seperti mata yang masih terpejam, lalu membuka sedikit demi sedikit sebelum sampai pada kesadaran penuh. How Great Thou Art, saya berdecak kagum melihat keindahan alam yang berada di depan mata, dan menyenandungkan pujian bagi Sang Pencipta. Sungguh, saya merasa sangat kecil dan tidak berdaya. Matahari bersinar lembut, dengan tarian awan yang bergerak di sekelilingnya, memberikan sentuhan keindahan yang tiada tara. Bagi saya, ini adalah the most beautiful sunrise I’ve ever seen! Kalau biasanya saya menikmati sunrise di tepi pantai, kali ini saya dipuaskan dengan sensasi yang berbeda. Saya teringat gambar pemandangan alam ketika saya masih TK atau SD, dengan dua buah gunung berdampingan dan matahari tepat di tengah-tengahnya. Sangat generik! Dan sekarang saya menikmati suasana itu. Berdiri di pegunungan, melihat sang surya beranjak menyinari bumi, mekipun tidak menyembul diantara pegunungan. Di sisi lain, bulan masih belum tenggelam dari langit. Indah sekali! Rasa capek berjalan seakan sirna berganti decak kagum, kegembiraan, dan pujian pada Tuhan yang menciptakan alam dengan begitu luar biasa. How Great is Our God!  Setelah puas menikmati sunrise, saya dan teman-teman beranjak ke sisi lain dari penanjakan, menikmati indahnya gunung Bromo dari kejauhan, bagaikan sekumpulan gunung yang berjajar tegak dan kokoh, mengapung di atas lautan pasir dengan awan yang berarak di atasnya. Wow!
Turun dari penanjakan kami segera diantar jeep untuk menuju kawah. Perjalanan cukup singkat, hanya sekitar 15 menit. Di lautan pasir ini juga terdapat pura yang biasa digunakan untuk upacara Kasada, yaitu melempar sesaji ke pura. Karena ada batas suci, maka jeep tidak boleh masuk terlalu dalam dan harus parkir di luar dari batas yang telah ditentukan. Kawah gunung Bromo masih sekitar 2 kilometer, yang harus kami tempuh dengan berjalan kaki atau naik kuda menyeberangi lautan pasir. Disebut lautan pasir karena sejauh mata memandang yang ada hanya pasir, bercampur hembusan angin dan debu. Karena mengira jalanan datar, maka kami memutuskan untuk berjalan kaki dengan gagah berani. Sebenarnya sejak turun dari jeep sudah banyak penyewa kuda yang menawari kami dengan harga 100 ribu rupiah pulang pergi, tetapi karena ingin unjuk kekuatan fisik, saya dan teman-teman tidak bergeming sampai akhirnya kami harus pasrah dengan kondisi alam yang ada dan memutuskan untuk naik kuda. Hebatnya, meskipun sudah berkali-kali kami tolak, tetapi tetap saja ada 3 orang penyewa kuda yang terus membuntuti kami, seakan-akan tahu persis batas kekuatan orang-orang kota seperti kami yang “hasrat besar tenaga kurang.”  Saya salut dengan mereka yang pantang menyerah bernegosiasi dan menawarkan dagangannya. Mendadak saya teringat training negosiasi yang saya berikan untuk teman-teman cabang, bahwa kesuksesan negosiasi dipengaruhi oleh adanya persiapan yang cukup, riset, observasi untuk mencari data sehingga tahu persis kondisi lawan. Itulah yang dilakukan oleh para penyewa kuda itu sampai akhirnya kami menyerah karena tidak sanggup lagi berjalan. Mereka sangat mengenal calon customer, tahu persis kelemahannya, kebutuhannya, dan menggunakan itu sebagai senjata untuk memenangkan negosiasi. Saya sangat yakin mereka sudah melakukan banyak observasi terhadap para pengunjung sehingga tahu cara menghadapi beragam karakter orang, bahkan yang keras kepala seperti saya.  Dengan tersenyum saya membayangkan sebuah contoh yang bagus untuk training negosiasi berikutnya! Hahaha.
Perjalanan dengan kuda tidak otomatis mengantar kami sampai ke puncak karena untuk menuju ke kawah harus menaiki tangga yang tinggi dan tertutup pasir tebal. Kuda hanya mengantar kami sampai di dasar tangga dan perjalanan ke atas hanya bisa dicapai dengan berjalan kaki. Inginnya sih tidak perlu bersusah payah, apalagi kami sudah membayar 70 ribu rupiah per kuda pulang pergi dari penawaran awal 100 ribu rupiah. Itupun setelah kami menempuh seperempat perjalanan. Apa boleh buat, karena sudah sampai di dasar tangga dan sudah membayar cukup mahal, maka tidak ada pilihan lain kecuali naik ke atas. Perlahan-lahan saya dan teman-teman menapaki tangga satu per satu dengan hati yang bulat. Harus sampai ke puncak. Semangat! Tidak ada perjalanan ke puncak yang mudah, pasti akan mengalami rintangan dan tantangan. Ada harga yang harus dibayar. Maka dengan memotivasi diri sendiri, saya menaiki tangga yang membawa saya ke puncak kawah. Benar-benar perjalanan yang penuh metafora, karena saya selalu menganalogikannya dengan perjalanan ke puncak kesuksesan. Tidak ada yang mudah. Dan ketika saya berhenti untuk beristirahat sejenak dan mengatur nafas, saya membayangkan bahwa perjalanan kesuksesan juga memerlukan perhentian-perhentian sementara untuk mengatur nafas. Berhenti sebentar untuk berjalan lagi. Terus naik, dan bukan turun. Setelah penuh perjuangan, akhirnya sampai juga saya di puncak. Thanks God! Syukur, bahagia, dan puas bercampur menjadi satu. Saya teringat belasan tahun yang lalu ketika pertama kali mendaki gunung. Perasaan seperti inilah yang saya rasakan, syukur, bahagia, dan puas. Saya termenung, membayangkan perjalanan manusia dalam meraih kesuksesan. Penuh perjuangan, tetapi terus berjalan tanpa henti, sampai tiba di tempat tujuan. Kesuksesan, yang saya definisikan sebagai menjadi apa yang diinginkan dan mampu mengalirkan berkat untuk orang lain. Blessed to be a blessing!
Sesampainya di atas, saya dibuat kagum dengan pemandangan yang ada. Meskipun sangat berdebu, dan tiupan angin bercampur pasir mengganggu penglihatan saya, tetapi saya tidak pernah menyesal mengerahkan tenaga untuk mencapai puncak. Satu hal yang mencemaskan adalah tidak adanya pagar pengaman yang kuat yang melingkari pinggir kawah sehingga harus ekstra hati-hati. Tepi kawah Bromo benar-benar sangat tipis, hanya ada sedikit pagar pengaman, sehingga saya dan teman-teman tidak berani banyak bergerak. Kepulan asap muncul dari kawah, bercampur dengan hembusan pasir. Hal ini justru memberikan sensasi yang berbeda karena biasanya gunung identik dengan tumbuhan yang sejuk dan rindang tetapi di Bromo yang dilihat hanyalah pasir dan pasir. Satu hal lagi, sinar matahari begitu panas menyengat meskipun masih pagi.  Kondisi alam yang sangat kontradiktif: udara dingin, tetapi panas menyengat. Pantas saja orang-orang di sini berkulit sangat gelap. Hehehe. Jam 8 pagi  kami turun dari kawah, menyeberangi lautan pasir dengan berkuda, naik jeep dan kembali ke parkiran mobil untuk balik ke Surabaya. Capek, ngantuk, tetapi puas dengan apa yang kami dapatkan di sini. Mungkin itulah yang juga dirasakan oleh puluhan turis asing dan domestik yang bersama-sama dengan saya menikmati indahnya Bromo pagi ini. Bromo, melengkapi keindahan alam Indonesia yang luar biasa yang sangat menginspirasi saya untuk menikmati keindahan alam Indonesia lainnya. Pikiran saya melayang-layang membayangkan tujuan berikutnya. Karimunjawa, is it going to be my next destination? Let’s wait and see.....

Tuesday, September 20, 2011

On the Crossroad

Seorang teman menulis “on the crossroad” di status fb-nya. Kontan dengan iseng saya bertanya, “Kenapa? Lagi bingung menyeberang? Bukankah ada traffic light di situ?”, yang dijawab dengan cengiran masam dan ucapan, “Dasar ya....gak tahu orang lagi bingung”.  Saya hanya tertawa dan berkata maaf. On the crossroad, di persimpangan jalan, saya bisa merasakan apa yang teman saya rasakan karena saya pun pernah mengalami hal yang sama. Bukan hanya pernah, bahkan rasanya berkali-kali pada posisi on the crossroad. Bingung untuk memilih, tetapi harus memilih. Bingung bisa berarti 2 hal, memang benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukan, atau justru sangat tahu, tetapi tidak memiliki kekuatan hati untuk mengambil tindakan seperti yang diharapkan. Kalau benar-benar tidak tahu, tentu yang dibutuhkan adalah pengetahuan, berarti harus konsultasi atau bertanya kepada orang yang lebih tahu. Yang menjadi masalah adalah kalau sudah tahu apa yang harus dilakukan, tetapi tidak memiliki kemauan untuk melakukannya. Nah, rasanya saya termasuk kategori ini. Hehehe. Teman saya yang menulis status tersebut kemudian berkirim sms, “Saya tahu persis apa yang harus saya lakukan, tetapi kalau masalah hati susah deh. Jadi meskipun saya tahu kalau saya tidak bisa berjalan bersama dia, tetapi yah...saya tidak bisa menolaknya.” Saya menjawab, “Tidak bisa atau tidak mau? Bedanya jauh loh... Kalau tidak bisa, berarti kamu harus berlatih dulu untuk menjadi bisa. Itu mudah. Tetapi kalau tidak mau, itu berbeda, karena sebenarnya kamu bisa, tetapi memang tidak ada niat untuk melakukannya.” Teman saya terdiam sesaat lalu membalas sms saya, “Sepertinya pilihan yang tepat adalah saya tidak mau, bukannya saya tidak bisa. trus bagaimana ya?”  Saya menghela nafas sebentar lalu mengetik sebuah kalimat yang segera saya kirim, “I can’t say anything.  It depends on you. It’s all about the courage of your heart.”
On the crossroad, saya pun pernah mengalaminya. Ingatan saya melayang ke beberapa tahun silam, ketika saya harus memutuskan untuk berjalan dengan seseorang atau meninggalkannya dan terbang bagaikan rajawali. Keinginan hati adalah berjalan dengannya dengan komitmen yang dia tawarkan, tetapi hati kecil saya mengatakan bahwa saya selayaknya tidak melakukannya. Setiap keputusan selalu ada resiko yang menyertai. Betapapun sakitnya saya bangga dengan diri saya yang mampu terbang dan berjalan dengan tegar, layaknya seorang pemenang. Keteguhan hati membawa saya belajar merelakan untuk bisa terbang tinggi. Dan sekarang ketika saya kembali dihadapkan pada posisi on the crossroad, saya mencoba untuk mengingat apa yang sudah saya lakukan di tahun-tahun yang telah lalu. Dalam kondisi yang berbeda, ketika saat ini saya berusaha membiarkan seseorang yang sangat dekat dengan saya dan saya sayangi untuk kembali menemukan dirinya dan tidak tenggelam dalam kelekatan yang akhirnya tidak membawa ke dalam kebahagiaan. Saya menyadari itu tidak mudah bagi saya, tetapi saya percaya peristiwa yang pernah saya alami dan ketegaran yang pernah ada di dalam diri saya akan kembali muncul seperti mentari di pagi hari. Terkadang ada keputusan pahit dan tidak menyenangkan untuk sesaat, tetapi saya percaya ujungnya akan membawa kedamaian.
On the crossroad, terkadang bisa dilihat sebagai sebuah kejadian yang membuat kita menjadi lemah. Tetapi dalam kondisi ketika yang dibutuhkan hanyalah keteguhan hati, kita ditantang untuk terus berjalan segelap apapun, karena saya percaya ada cahaya yang akan menerangi. Kalaupun saat ini saya juga sedang berada di persimpangan, pengalaman yang dulu semestinya membuat saya berpikir jernih dan memilah dengan hati bijaksana. Mantan atasan saya pernah berkata kepada saya, “Ketika kamu sedang bingung memilih, tulislah pilihan tersebut di atas sebuah kertas dan pilah satu persatu sisi positif dan negatifnya. Lalu bandingkan sisi mana yang lebih banyak. Setelah itu semua kembali kepada hati nuranimu, mana yang akan kamu pilih. Ketika kamu sudah memilih, cobalah untuk teguh melakukannya dengan segala resiko yang akan dihadapi, karena itulah esensi kedewasaan. Tetapi ketika kamu menyadari bahwa pilihanmu salah, ada 2 hal yang bisa kamu lakukan, berhenti dan berputar arah atau terus meratapi kesalahan itu. Saya berharap kamu memilih yang pertama. Pilihan tidak selalu benar, tetapi apapun yang kamu pilih lakukanlah itu dengan sungguh-sungguh sampai kamu menyadari apakah pilihan kamu benar atau salah.”  Saya mengamini apa yang beliau katakan, tetapi saya berpikir bahwa itu hanya relevan kalau kita dalam kondisi bingung memilih dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Dalam kondisi dimana kita sudah tahu apa yang harus dilakukan tetapi kita tidak mau untuk memilih yang benar, yang diperlukan hanyalah keteguhan hati dan kesadaran untuk kembali ke dasar hati yang terdalam. Seperti kata Alkitab, “roh memang penurut tetapi daging lemah.” Justru karena daging lemah, kita bersyukur memiliki roh yang selalu mengingatkan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, apa yang pantas dan tidak pantas. Semua kembali kepada hati kita masing-masing.
On the crossroad, ketika teman saya  masih memasang status tersebut, saya kembali mengirimkan sms pendek, ”Sebenarnya kamu tahu apa yang harus kamu pilih, tetapi kamu ragu-ragu mengambilnya. Bukan karena kamu tidak mampu, tetapi karena kamu tidak mau dan ingin terus menikmati apa yang kamu rasakan. Tidak mau lepas dari kesenangan yang hanya semu, untuk mengejar kebahagiaan sejati yang ada di dalam diri sendiri.” Teman saya menjawab singkat, “Saya tahu persis apa yang seharusnya saya lakukan, tetapi sungguh berat melakukannya.” Saya melanjutkan, “Kalau begitu status on the crossroad-mu tidak akan berakhir sampai kamu memutuskan untuk melakukan breakthrough dan mengalahkan diri sendiri.”
Saya tidak tahu apakah teman saya tersinggung dengan sms saya karena dia tidak pernah lagi membalasnya dan status di fb-nya pun sudah berubah. Tetapi percakapan tersebut membukakan mata saya bahwa persimpangan jalan adalah jalan terjal yang harus dilalui dan bisa terjadi pada siapa saja.  Seandainya bisa memilih, saya akan memlilih jalan lain asal sampai di tempat tujuan yang sama. Tetapi seandainya tidak ada pilihan, yang harus saya lakukan adalah melewatinya dengan keputusan terbaik. Semua sumber daya untuk mengambil keputusan sudah ada pada saya, akal budi, nurani, dan kebijaksanaan untuk memilih. Pertanyaannya, apakah saya akan menggunakan itu semua atau saya tetap berjalan pada jalan saya sendiri yang lebih mudah dilalui, meskipun di ujung perjalanan saya tidak yakin ada titik terang dan keselamatan. On the crossroad, bisa mendewasakan atau menghancurkan, tergantung pilihan kita dan pada sisi mana kita berada. Selamat memilih, karena on the crossroad bukanlah akhir sebuah cerita, tetapi justru awal dari sebuah perjalanan yang menuntut kita untuk berlaku setia. Being happy on the crossroad, being wise on choosing your way!

Sunday, September 4, 2011

Pulau Untung Jawa, untung saya ke sana....

I love the beach and its beauty! Inilah yang mendorong saya untuk mencari-cari tempat wisata kemana lagi saya akan mengisi libur lebaran yang masih beberapa hari tersisa. Maklum, sayang saja kalau menghabiskan waktu di rumah sepanjang hari. Bisa sih saya mengisinya dengan membaca buku dan menulis, tetapi saya ingin sesuatu yang lebih berwarna sekaligus bergaya dengan menenteng kamera SLR untuk mengambil foto-foto indah dan tentu saja foto diri yang tidak kalah indah. Haha..narsis! Ada beberapa pilihan di daerah sekitar Jakarta, seperti Puncak, Sukabumi, atau Kebun Raya, tetapi semuanya tidak terlalu menggoda hati, karena saya lagi jatuh cinta dengan laut dan pantai! Benar-benar tergila-gila dan ingin mengeksplor pantai Indonesia yang katanya indah itu. Menikmati sensasi butiran pasir, gradasi warna laut yang tidak bisa terkatakan cantiknya, sekaligus memandang ombak dan bentangan air yang mengharu biru hati saya. Wow...so beautiful! Sebenarnya saya ingin sekali mengisi libur lebaran dengan pergi ke Karimunjawa yang katanya aduhai indahnya. Apalagi terinspirasi dengan cerita Alexander Thian di buku The Journeys yang bercerita tentang pulau tersebut. Wah, rasa hati tak sabar ingin ke sana. Tetapi setelah searching tiket pesawat tujuan Semarang saya langsung lemas dengan harganya yang begitu mahal. Sayang duitnya, lebih baik ditunda saja. Hehehe. Jadilah saya sedikit bingung untuk mencari pantai hanya untuk memuaskan keinginan saya mengambil gambar-gambar indah. Masak harus ke Ancol lagi? Wadoww......nggak lah ya. Barusan saya menjelajah Pantai Carnaval pagi-pagi untuk mendapatkan sunrise. Kalau harus ke Ancol lagi rasanya tidak seru. Hehehe. Untunglah, seorang teman memberi ide untuk pergi ke sebuah pulau yang bernama Untung Jawa, salah satu pulau di Kepulauan Seribu, karena dia juga sedang pergi ke sana dengan teman-temannya. Akhirnya tanpa pikir panjang lagi saya browsing internet untuk mencari tahu pulau apa itu. Namanya aneh, tidak familiar, dan baru sekali itu saya dengar. Kalau “Untung Ada Saya”, saya tahu, itu film yang dibintangi almarhum Gepeng ketika saya masih kecil. Tetapi Untung Jawa? Nah kalau Pulau Tidung, mungkin sudah terkenal karena snorklingnya. Atau jangan-jangan saya yang kurang pergaulan sehingga tidak tahu pulau Untung Jawa? Hehehe.. Ah, itu tidak terlalu penting, karena saya sudah memutuskan untuk pergi ke sana. Tidak perlu menginap, hanya pulang hari. Maka mulailah saya browsing cara menuju ke pulau tersebut, tanya teman, dan lain-lain dengan penuh semangat. Maklum, mau pergi ke pantai. I love it! Belum berangkat saja sudah mengasyikkan, apalagi kalau sudah tiba di sana. Hmmmm...pasti keren!
                Pulau Untung Jawa adalah sebuah pulau di gugusan Kepulauan Seribu yang terletak sangat dekat dengan Jakarta. Dari hasil pencarian di internet, saya menemukan beberapa cara untuk mencapai pulau tersebut, yaitu dari Pantai Tanjung Pasir, Muara Angke, atau Pantai Marina. Dari ketiga tempat itu, yang banyak direkomendasikan adalah Tanjung Pasir, selain lebih dekat juga tempat parkirnya luas sehingga memadai kalau kita membawa mobil sendiri. Setelah menimbang beberapa hal, akhirnya pilihan saya jatuh ke Pantai Tanjung Pasir. Maka mulailah saya kembali memanfaatkan profesor google untuk membantu mencari jalan yang paling mudah menuju Pantai tersebut. Setelah cari ke sana kemari, akhirnya saya mendapatkan jalan yang cukup enak untuk sampai di Tanjung Pasir yaitu melalui tol ke arah bandara, masuk area bandara, lalu keluar melalui pintu belakang (M1) yang ke arah Tangerang. Setelah keluar pintu belakang, lalu ambil arah ke kiri ke jalan utama, kira-kira 500 m putar balik dan jalan terus arah ke Teluk Naga. Perjalanan keluar dari bandara sampai Teluk Naga ditempuh dalam waktu kira-kira 30 menit dengan kecepatan mobil 50 km/jam. Sebenarnya ingin lebih cepat tetapi agak susah karena banyak motor. Jalan lurus terus sampai menemukan Pasar Teluk Naga. Dari pasar masih lurus, lalu ada pertigaan, ambil belok kanan. Nama jalannya adalah Kampung Melayu Tanjung Pasir. Dari situ perjalanan masih sekitar 15 menit lagi. Ada 2 pemberhentian kalau ingin berlayar ke Untung Jawa. Yang pertama adalah pemberhentian “liar” yang dikelola oleh masyarakat sekitar, dan yang kedua, berjarak sekitar 0,5 km adalah pemberhentian “resmi” dan itulah pantai wisata Tanjung Pasir. Meskipun saya sebut “liar”, tetapi banyak juga mobil parkir di situ. Pertama kali saya berhenti di pemberhentian tersebut, tetapi agak bingung karena pantainya sempit dan sepertinya tidak meyakinkan sebagai tempat wisata. Setelah bertanya kepada petugas parkir yang mengatur mobil, ternyata memang tempat wisatanya bukan di situ, tetapi masih berjarak 0,5 km lagi. Karena berpegang pada informasi di internet, akhirnya saya memutuskan untuk keluar dari parkiran dan menuju tempat wisata dengan harapan parkir mobilnya lebih luas dan aman. Tidak berapa lama sampailah saya di Pantai Tanjung Pasir, dan seperti perkiraaan saya, parkirnya luas serta ada pos jaga polisi di dalam area. Biaya parkir mobil sebesar Rp 20.000 selama 24 jam.
                Pantai Tanjung Pasir kurang bagus dan kotor. Ada banyak orang berjualan, tetapi kebersihan area kurang terawat. Selain itu hampir semua orang yang datang ke pantai adalah untuk menyeberang ke Untung Jawa. Tidak perlu kuatir tidak mendapat kapal karena kapal sangat banyak. Begitu turun dari mobil kita akan segera disambut dengan orang-orang kapal yang menawari kita untuk naik. Biaya per orang Rp 10.000, dengan waktu tempuh sekitar 25 – 30 menit. Satu kapal bisa diisi hampir 50 orang, dan tidak akan berangkat sebelum penuh. Mungkin karena libur lebaran, jumlah pengunjung sangat banyak sehingga kapal cepat terisi.
                Perjalanan menuju Untung Jawa menyeberangi laut Jawa yang tenang dengan sedikit ombak. Mungkin karena masih pagi sehingga ombak belum tinggi. Ketika berangkat dari Tanjung Pasir warna air laut masih agak kecoklatan, tetapi begitu ke tengah semakin biru, sampai akhirnya saya merasa seperti berada di hamparan karpet yang beriak-riak dan memantulkan cahaya matahari. Tenang, tetapi dalam. Langit cerah, berwarna biru, tampak beberapa burung camar beterbangan dan gugusan pulau lainnya. Meskipun laut tenang, tetapi saya tetap merasa mual. Maklum, lama tidak naik kapal motor, sehingga agak pusing. Perjalanan yang hanya 30 menit terasa lama. Hehehe...ternyata tidak berdarah pelaut nih, padahal bukankah ada lagu “nenek moyangku, seorang pelaut...” Iya sih, tetapi nenek moyang saya adalah pedagang di pasar yang lebih ngerti berjualan, jadi wajar saja kalau saya agak pusing waktu menyeberang. Hehehe.
                Akhirnya sampai juga di Pulau Untung Jawa. Begitu masuk ke dermaga, saya cukup dibuat kagum dengan pemandangan laut yang terbentang. Tetapi mungkin karena banyak orang dan pantainya sudah tidak perawan, kondisi di tepi pantai agak kotor. Bahkan di tempat-tempat berjualan, banyak gelas mineral atau bungkus mie instant berserakan. Sayang sekali, meskipun memang tempat sampah yang disediakan agak terbatas. Biaya masuk ke pulau ini sebesar Rp 2.000. Benar-benar wisata yang murah, meriah, hore! Tidak perlu jauh-jauh terbang atau menghabiskan banyak uang untuk menikmati keindahan pantai, karena hanya dengan biaya kurang dari Rp 50.000 sudah bisa sampai ke Untung Jawa. Menurut penjual di sekitar dermaga, kalau liburan seperti ini pantai selalu penuh. Selain itu kapal dari Tanjung Pasir juga banyak, bahkan sampai jam 11 malam. Tetapi kalau hari biasa, kita harus janjian dengan orang kapal untuk menjemput kita.
                Di pulau tersebut banyak terdapat homestay, kalau misalnya kita ingin bermalam dan menikmati sunrise di pagi hari. Sayangnya saya lupa untuk menanyakan berapa biaya menginap semalam. Wah, padahal bisa jadi informasi kan, meskipun saya sendiri tidak menginap dan berencana pulang sore. Setelah menikmati pantai di sekitar dermaga, melihat anak-anak berenang, saya melanjutkan perjalanan mengitari pulau kecil ini. Selain berenang, kita juga bisa menyewa sepeda kalau ingin berkeliling pulau. Murah, hanya Rp 5.000 per jam. Ada juga banana boat kalau kita ingin yang lebih seru.
Pertama-tama saya agak kecewa karena pantainya tidak seperti yang saya harapkan dan terkesan mirip Ancol, banyak pengunjung dan tidak alami lagi. Tetapi setelah berjalan makin jauh dari dermaga saya menemukan keindahan yang membuat saya berdecak kagum. Pantai yang lebih murni dengan ombak yang gencar dan gradasi warna yang membuat saya terpesona. Pasirnya putih kecoklatan, lembut, dan indah. Deburan ombak berkali-kali memecah kesunyian dengan beberapa batu yang kokoh berdiri. God is the Greatest Creator indeed! Beberapa orang berenang di pantai dan berteriak-teriak begitu ombak datang. Saya langsung bernafsu mengambil gambar karena terkagum-kagum dengan keindahannya. Setelah puas memfoto sana-sini gantian saya kegirangan bermain air. Kalau sudah begini pasti saya sangat menyesal karena tidak bisa berenang. Bermain di pantai tanpa berenang seperti makan sayur tanpa garam. Kurang afdol. Langsung saya membuat resolusi untuk belajar berenang begitu balik ke Jakarta. Hehehe. Setelah puas berlarian dan berkejaran dengan ombak saya melanjutkan perjalanan menyusuri pulau sekaligus ingin mencari ikan bakar yang enak dan murah.
                Untung Jawa juga memiliki hutan mangrove yang masih asri, dilengkapi tempat-tempat pembibitan. Jadi muncullah perpaduan antara laut yang biru dan hutan yang hijau. Bagus untuk permainan mata dan penangkapan objek kamera tentunya. Maklum, mendadak saya suka mengambil gambar-gambar pemandangan yang indah. Mungkin karena tentengan kameranya berbeda sekarang. Hehehe...gaya boleh dong. Hutan yang hijau bisa ditemui kalau kita terus berjalan mengitari pulau. Akhirnya setelah penasaran mencari-cari tempat ikan, saya menemukannya juga. Tempatnya agak ke dalam dan tidak persis di tepi pantai. Kalau di tepi pantai, yang ada adalah makanan biasa seperti mie ayam, bakso, dan sebagainya. Harga ikan di sini lumayan murah, kami berdua habis Rp 60.000 untuk menu ikan bawal bakar, cumi bakar, lalapan, nasi sebakul, air mineral, dan 2 gelas es teh. Tetep lebih murah dari Jakarta dan tentu lebih segar karena langsung dari sumbernya!
                Setelah kenyang mengisi perut kami melanjutkan perjalanan mengitari pulau untuk kembali ke dermaga keberangkatan yang berbeda dengan kedatangan. Ketika kami tiba di sana, sudah banyak orang mengantri untuk balik ke Tanjung Pasir. Tetapi tidak perlu kuatir dan berdesak-desakan karena kapal banyak tersedia. Sebenarnya kami ingin menunggu sampai sunset, tetapi sayang sekali baterai kamera habis. Waduh, bener-bener menjengkelkan. Akhirnya kami memutuskan pulang dan berharap mendapatkan sunset di tengah laut.
                Perjalanan pulang lebih seru karena ombak lebih tinggi, serasa diayun-ayun, tetapi justru tidak pusing. Mungkin sudah terbiasa, hehehe. Burung camar bersahutan, ditambah matahari yang mulai perlahan turun berwarna jingga sehingga memantul keemasan. Wow, indah sekali. Sebenarnya saya berharap mendapatkan sunset di Tanjung Pasir tetapi ternyata setelah sampai di sana matahari langsung hilang dan saya tidak mendapatkan keindahan itu. Sayang sekali. Tetapi apa yang saya dapatkan seharian ini sudah lebih dari cukup untuk mengambarkan betapa pulau Untung Jawa layak didatangi. Selain indah, tidak perlu merogoh kocek terlalu dalam. Cukup satu hari. Tetapi kalau ingin menginap, rumah-rumah homestay sangat banyak, tinggal pilih saja.
                Perjalanan saya ke Untung Jawa kembali membuktikan bahwa Indonesia sangat kaya akan pemandangan alam yang indah. Benar-benar membuat saya kagum dan berucap Thanks God for this beautiful country. Tadinya saya berpikir untuk mencari keindahan laut dan pantai di tempat-tempat jauh seperti Lombok, tetapi ternyata banyak pantai yang lebih dekat yang belum saya eksplor dengan baik. Seorang teman baru saja memamerkan keindahan Pulau Peucang di Ujung Kulon dan Pantai Ciputih di Pandeglang. Begitu searching internet dan melihat gambarnya, woww.....kekaguman saya semakin bertambah. Amazing! Sungguh saya jatuh hati pada laut dan pantai Indonesia, dan tidak sabar untuk menunggu jadwal perjalanan berikutnya. Next trip, when and where? Belum tahu, tetapi pasti saya akan datang ke sana. Let’s wait and see....

Wednesday, August 31, 2011

catatan dari Medan (bagian 2)


Lake Toba, I am coming... Itu adalah kalimat terakhir di catatan saya yang pertama. Perjalanan Medan – Parapat, kota di tepi danau Toba, membutuhkan waktu 5 jam dengan menggunakan travel. Sebenarnya perjalanan bisa lebih cepat, tetapi karena beberapa kali berhenti maka waktu tempuh menjadi lebih lama. Ada beberapa pilihan travel dari Medan ke Parapat, seperti Raja Taxi atau Paradep taxi. Untuk perjalanan kemarin, saya menggunakan Paradep karena alasan keberangkatan yang lebih pagi dan biaya yang lebih murah, Rp 65.000 untuk Paradep, dan Rp 70.000 untuk Raja.  Keberangkatan paling pagi untuk Raja Taxi adalah jam 09.00, sedangkan Paradep jam 05.00 pagi sudah ada mobil yang berangkat. Mobil kami berisi 6 orang, 4 orang berhenti di Parapat yaitu saya berdua dengan teman, dan 2 orang turis dari Inggris. Dua orang lainnya turun di Tebing Tinggi dan Pematang Siantar. Sebenarnya kalau mau jalan santai dan bersama teman-teman, saya menyarankan untuk menyewa mobil saja karena jatuhnya per orang kurang lebih sama, tetapi  bisa fleksibel dan kemana-mana. Biaya sewa mobil per hari sebesar Rp 350.000, sudah termasuk sopir, tetapi belum termasuk bensin.
Perjalanan Medan - Parapat melalui beberapa kota, di tengah-tengahnya adalah Pematang Siantar. Kalau berhenti di Siantar dan kebetulan anda penyuka masakan China, silakan berhenti di Jl Surabaya untuk menikmati chinese food yang enak. Selain itu Siantar terkenal dengan selai srikaya di toko SEDAP dan oleh-oleh makanan kecil dari toko ASLI, semacam enting-enting atau namanya teng teng. Tetapi kalau ingin berhenti sebaiknya waktu pulang balik ke Medan setelah anda puas menjelajah danau Toba dan pulau Samosir. Untuk penginapan sebaiknya anda memilih di Pulau Samosir daripada Parapat. Sebenarnya saya sudah memesan penginapan di Parapat, tetapi atas bujukan seorang teman yang memandu kami melalui BB, akhirnya kami menyerah dan memutuskan bermalam di Pulau Samosir padahal belum mendapatkan penginapan. Rencana awal adalah kami menginap di Parapat, lalu keesokan harinya berjalan-jalan ke Samosir, dan sorenya balik ke Parapat untuk kemudian ke Medan. Tetapi ternyata butuh transportasi untuk mengelilingi Samosir, dan setelah bernegosiasi dengan sopir travel, akhirnya kami menyewa mobil tersebut dengan biaya Rp 600.000 untuk 2 hari. Sebenarnya pak sopir yang lebih dulu menawarkan kepada kami, dan setelah mempertimbangkan segalanya, kami memutuskan untuk menyewa mobil saja, karena tidak mungkin berjalan-jalan di Samosir tanpa kendaraan.
Setelah sampai ke Parapat kami harus menunggu dulu untuk bisa menyeberang ke Samosir mengikuti jadwal kapal ferry yang ternyata tidak berangkat setiap jam. Jadwal penyeberangan adalah jam 9, 11, 13.00, dan 14.30 dari Parapat. Karena sampai di Parapat jam setengah 2, maka kami menunggu penyeberangan jam 14.30. Waktu tempuh penyeberangan sekitar 1 jam, dan sepanjang penyeberangan kami disuguhi keindahan danau Toba yang begitu luas, bahkan karena luasnya menurut saya sudah seperti laut. Penyeberangan dengan kapal ferry, kalau kita membawa mobil dikenakan biaya Rp 95.000, sudah termasuk orang-orang di dalamnya. Kami tiba di Pelabuhan Tomok, Samosir dan hal pertama yang kami lakukan adalah wisata budaya, yaitu melihat makam Raja Sidabutar, Sigale-gale – menyerupai muppet show yang bisa bergerak-gerak ketika gendang ditabuh, melihat rumah khas orang Batak, dan museum Batak. Dari pelabuhan ke wisata budaya ini sangat dekat, bisa ditempuh dengan berjalan kaki sekitar 5 – 10 menit. Kalau anda ingin mencari oleh-oleh seperti souvenir, kaos, gantungan kunci, tas, ulos, anda dapat membelinya di sini. Tetapi setelah melihat-lihat barang di kios-kios, saya jadi merasa seperti di Malioboro Jogja. Tampaknya barang kiriman dari sana, yang membuat saya urung membelinya. Hehehe.
Wisata budaya ini membutuhkan waktu sekitar 1,5 jam, dipandu oleh seorang pemandu yang menceritakan mengenai riwayat raja Sidabutar ataupun legenda kisah Sigale-gale. Di makam raja Sidabutar, anda bisa melihat patung-patung orang dari batu yang melambangkan cerita memanggil hujan dari langit. Dikisahkan bahwa Sang Raja Sidabutar adalah seorang yang sakti, sampai-sampai kehebatan sang raja mengundang Raja Aceh untuk berguru padanya. Saat berguru, raja Aceh membawa pula gajah-gajah untuk diserahkan kepada Raja Sidabutar. Kehebatan Raja Sidabutar diantaranya bisa memindahkan benda-benda tanpa memegangnya bahkan bisa memanggil hujan. Sehingga ketika musim kemarau dan rakyat membutuhkan hujan, maka dimulailah upacara dengan mengorbankan kerbau dan dikelilingi oleh penduduk. Setelah upacara selesai diadakan, tidak berapa lama hujan pun turun. Legenda Sigale-gale mengisahkan mengenai seorang anak raja yang pergi berperang tetapi gugur di medan perempuran. Karena takut membuat hati Ibunda bersedih, maka berita kematian tersebut tidak disampaikan kepada sang Ibu yang terus menunggu kedatangan putranya. Kemudian diundanglah seorang pematung yang membuat patung menyerupai sang anak lalu diberi roh agar patung tersebut tampak  hidup. Ibunda raja sangat senang dengan kedatangan anaknya, tetapi karena sang pematung telah berbuat tidak benar dengan menghidupkan patung tersebut maka Tuhan murka dan mencabut nyawa pematung sebagai ganti nyawa anak raja. Untuk melihat tarian Sigale-gale, anda dikenakan biaya Rp 80.000 sekali show. Tetapi kalau hanya berfoto, disediakan kotak sumbangan suka rela. Selain itu anda juga perlu menyiapkan tip untuk pemandu yang berkisar antara Rp 15.000 - Rp 20.000.
Pulau Samosir dibagi menjadi beberapa daerah diantaranya Tomok, Tuk Tuk, Ambarita, dan daerah lainnya. Pelabuhan terletak di daerah Tomok, demikian juga wisata budaya yang saya ceritakan. Di Tomok anda juga dapat melihat rumah khas orang Batak, dan museum Batak yang berisi benda-benda kuno, seperti perhiasan, senjata, tempat tidur, ulos, mata uang rupiah lama, dan lain-lain. Meskipun namanya museum, jangan membayangkannya sebagai sebuah bangunan yang megah, karena hanya berupa rumah adat biasa. Bahkan kami harus menyalakan lampu sendiri untuk bisa melihat-lihat isi rumah. Saat itu bahkan hanya ada dua orang anak kecil yang bermain bulutangkis di luar, dan merekalah yang kami tanya apakah boleh masuk ke dalam atau tidak. Tidak ada penjaga, hanya ada kotak sumbangan suka rela. Sayang sekali, seandainya dikelola secara profesional, pasti akan jauh lebih menarik dan mengundang wisatawan untuk datang.
Selesai dari Tomok, kami beranjak ke Tuk Tuk untuk mencari hotel Carolina. Mengikuti anjuran teman, hotel Carolina adalah “the most recommended hotel” di Samosir untuk bisa menikmati keindahan danau Toba. Di daerah Tuk Tuk banyak penginapan, termasuk guest house, dan sudah hal yang biasa kalau anda melihat turis asing sedang berjalan-jalan atau naik motor, karena memang banyak persewaaan motor di sana. Perjalanan dari Tomok ke Tuk Tuk hanya membutuhkan waktu sekitar 15 - 20 menit, tetapi mungkin karena keasyikan bercerita, sopir yang membawa kami kebablasan sampai ke Ambarita, daerah setelah Tuk Tuk. Tetapi itu tidak menjadi soal, karena justru kami menemukan taman doa Getsemane, dan menikmati pemandangan bukit, gunung, sawah, yang menghijau dan indah. Dari atas kami bisa melihat Danau Toba dan sejauh mata memandang yang terlihat adalah air yang tenang, kapal, dan hotel-hotel di tepi danau toba yang berjejer dengan rapi. Indah sekali!
Hotel Carolina, akhirnya kami sampai juga di hotel yang direkomendasikan teman-teman. Letaknya persis di tepi danau Toba, lokasinya strategis, dan kamarnya selalu terisi penuh. Kami beruntung masih bisa mendapatkan kamar. Menurut petugas di resepsionis, kamar-kamar di hotel tersebut tidak pernah kosong. Selain lokasinya yang bagus, harga kamarnya juga sangat murah. Untuk kamar yang standar, tanpa air hangat hanya dikenakan biaya Rp 90.000/malam. Untuk yang view danau, tarifnya Rp 145.000/malam, dengan air hangat tetapi tanpa kulkas. Sayang sekali kamar tersebut sudah penuh, dan kami mendapatkan kamar yang viewnya taman, dengan kulkas dan air hangat, tarif Rp 180.000/malam. Murah sekali!  Harga kamar belum termasuk sarapan pagi. Paket sarapan pagi sebesar Rp 30.000. Meskipun viewnya taman, tetapi jalan ke tepi danau sangat dekat, hanya membuthkan waktu beberapa detik. Suasana hotel sangat nyaman, teduh, dan kita bisa duduk-duduk di tepi danau menunggu matahari terbenam atau terbit karena disediakan kursi pantai yang cukup banyak. Kalau anda suka berenang, anda juga dapat menghabiskan waktu dengan berenang di tepi danau. Hal indah lainnya dari hotel ini adalah restorannya dengan view ke danau. Saya sampai terkagum-kagum dan ingin duduk berlama-lama menikmati pemandangan danau yang tenang dan biru. Sayang cuaca tidak telalu mendukung dan cenderung mendung, tetapi tidak mengurangi keindahannya. Pilihlah tempat duduk yang dekat tepi danau, dan selamat menikmati suasana yang ada. Kalau harga kamarnya murah, maka harga makanan di restoran terbilang mahal. Terinspirasi seorang teman yang mengatakan enak sekali makan indomie di tepi danau toba, maka kami berdua memesan indomie telur dengan harga Rp 25.000 per mangkok. Waooo...rasanya tidak masuk akal, tetapi itu lunas terbayar oleh keindahan danau Toba. Yang unik, hampir semua pengunjung adalah turis asing, dan hanya sedikit orang lokal, mungkin saja karena bulan puasa.  95% tamu hotel yang saya temui adalah turis asing yang menghabiskan waktu dengan membaca buku di tepi danau, duduk-duduk di cafe, ataupun berenang. Harus diakui, hotel ini menawarkan ketenangan diluar dari fasilitas kamar yang sangat biasa. Tetapi pemandangan dan ketenangan yang ditawarkan mampu memikat hati saya. Oh ya, anda tidak perlu menggunakan AC di sini, karena udara sudah dingin, dan kamar-kamar yang tersedia tidak ada yang menggunakan AC. Menikmati sunrise di tepi danau juga sangat mengasyikkan, meskipun matahari baru terlihat sekitar jam 6 lewat, dan tidak muncul secara penuh. Meskipun demikian cahaya kuning keemasan yang dipancarkan cukup membuat saya terkagum-kagum ketika mengambil gambarnya. Sungguh, danau Toba menawarkan kecantikannya. Sekali lagi sayangnya infrastruktur menuju Samosir dan danau Toba belum dibenahi secara optimal. Seandainya ditata seperti di Bali, bukan tidak mungkin danau Toba akan menjadi andalan pariwisata kita. Sebenarnya kami masih ingin melanjutkan perjalanan untuk naik ke bukit dan melihat danau Toba dari atas, sayang sekali hujan turun sangat deras dan kami harus mengurungkan niat itu. Jam 12 siang kami siap di pelabuhan Tomok untuk kembali ke Parapat, dan melanjutkan perjalanan balik ke Medan. Medan, I am back.....
Masih ada 2 tempat yang ingin saya kunjungi di Medan, yaitu rumah Tjong A Fie dan Gereja Imannuel. Tjong A Fie adalah seorang kaya Cina Medan di masa lalu, sangat berpengaruh, dan memiliki hubungan baik dengan Sultan. Almarhum adalah pendiri Bank Kesawan dan memberikan sumbangsih besar bagi pembangunan Masjid Raya, juga tempat ibadah lainnya seperti gereja.  Rumah Tjong A Fie terletak di Jl Kesawan, dekat restoran Tip Top dan masih terpelihara dengan baik. Tiket masuk Rp 35.000 per orang. Setelah saya melihat bagian dalam dan menikmati keindahan peninggalan masa lalu, saya menyadari bahwa Rp 35.000 menjadi sangat layak, karena anda akan mengikuti tur mengelilingi rumah selama lebih kurang 1 jam dan dijelaskan oleh seorang pemandu. Selain itu kondisi rumah sangat bersih dan terawat, menunjukkan pengelolaan yang baik. Menurut cerita pemandu, perawatan rumah tersebut dikelola sendiri karena tidak ada bantuan dari pemerintah. Keturunan Tjong A Fie masih tinggal juga di kompleks rumah tersebut di tempat terpisah. Anda bisa melihat benda-benda peninggalan Tjong A Fie, sejarahnya, foto-foto yang kaya akan nilai sejarah dan terawat dengan baik. Saya segera teringat kunjungan pertama ke Medan di Istana Maimun yang harga tiketnya murah, Rp 5.000 tetapi sayang, seperti kurang terawat. 
Selesai dari Tjong A Fie, perjalanan dilanjutkan ke Gereja Imannuel yang teletak di jalan Diponegoro, dan dibangun tahun 1926. Sebuah gereja tua, mengingatkan saya pada GPIB Imannuel di dekat Stasiun Gambir. Bedanya gereja ini lebih ramping, tidak seperti di Jakarta yang berbentuk bulat melingkar. Perjalanan ke Medan hampir selesai, ditutup dengan berbelanja oleh-oleh khas Medan yang terkenal yaitu bolu dan bika ambon. Kami segera bersiap untuk kembali ke Jakarta. Medan, a nice city. Toba, a very beautiful lake. Berharap suatu ketika saya bisa datang lagi ke sana, tetapi kapan?





Selamat Lebaran!


Selamat Lebaran! Selamat Hari Idul Fitri 1432 H! Dengan penuh suka cita saya menyampaikan selamat kepada saudara maupun teman-teman yang berlebaran hari ini maupun kemarin. Meskipun tidak merayakannya, tetapi saya merasa terlibat dalam kebahagiaan mereka yang muncul dari rasa syukur setelah melewati perjuangan puasa selama 30 hari.  Secara ritual, Lebaran adalah milik teman-teman Muslim, tetapi secara perayaan sebenarnya Lebaran sudah menjadi milik bersama. Bukan melulu Hari Raya keagamaan, tetapi seakan-akan sudah menjadi budaya! Bayangkan, tidak ada libur terlama selain Lebaran. Tidak ada proses perpindahan masyarakat sementara dari satu kota ke kota lain yang luar biasa padat kecuali Lebaran. Tidak ada juga tuan dan nyonya rumah yang harus bekerja keras mengerjakan pekerjaan rumah tangga karena pembantu pulang kampung untuk berlebaran. Sungguh, Lebaran menjadi momen dimana semua anak bangsa seperti terlibat, berbaur dalam kebahagiaan.
Lebaran identik dengan mudik, ketupat, dan silaturahmi. Karena cuti libur yang lama, Lebaran sering dimanfaatkan oleh para perantau untuk kembali ke kampung halaman, bahkan bagi mereka yang tidak merayakannya. Kepadatan arus lalu lintas, penat di perjalanan, seakan sirna begitu bertemu dengan keluarga di daerah asal. Terus terang, saya bukanlah orang yang suka bercapek-capek melalui jalan darat untuk ikut pulang kampung saat lebaran dan memang tidak tertarik sama sekali. Mungkin karena saya single fighter, jadi tidak berpikir panjang dan lebih memilih menggunakan jasa penerbangan yang cepat dan praktis. Meskipun frase “cepat dan praktis” di sini masih bisa diperdebatkan, karena teman saya dari Batam harus menunggu 9 jam di bandara Jakarta untuk penerbangan lanjutan ke Jogja. Enam jam waktu transit, dan 3 jam delay!  Tetapi untuk keluarga besar, membawa mobil adalah pilihan terbaik karena bisa mengangkut seluruh anggota keluarga berikut oleh-oleh yang begitu banyak yang sudah dipersiapkan. Bahkan secara ekstrim dikatakan, kalau siap mudik berarti siap macet dan bersusah payah. Kalau tidak capek, itu belum sah dikatakan mudik. Seorang teman yang terbiasa naik pesawat dan baru pertama kali ikut mudik ke Semarang dengan naik bus dalam rangka mudik bersama, berkali-kali memasang status penuh penyesalan di blackberry nya. Mulai dari kapok, cukup sekali, pinggang pegal, badan rontok, dan sejenisnya. Tertarik untuk menghibur saya segera mengirim pesan singkat melalui bbm, yang mengatakan kalau itulah seni-nya mudik. Kalau badan tidak remuk dan pegal-pegal, belum sah disebut mudik. Indahnya mudik justru terletak di kemacetannya (mmm kalau ini bisa-bisanya saya saja, hehehe). Bayangkan saja yang indah-indah seperti tempat tujuan, bertemu dengan saudara, kegembiraaan yang merekah, pasti mudik akan menjadi sesuatu yang nikmat.  Lain lagi cerita seorang teman yang mudik ke daerah Sumatra. Dari waktu tempuh yang biasa 12 jam, menjadi 24 jam. Bayangkan, naik 2 kali lipat! Untuk menyeberang selat Sunda saja harus antri masuk kapal selama 5 jam. Belum perjalanannya yang macet, kurang tidur, dan menghabiskan waktu di jalan. Kalau tidak tahan, kondisi fisik bisa drop. Teman saya sampai mengatakan pantatnya sudah rata bahkan tidak ada lagi, karena terlalu lama duduk di mobil. Tetapi itulah seni-nya mudik. Mudik lebaran, adalah sebuah fenomena yang luar biasa, ketika orang rela bersusah payah menempuh perjalanan, bukan hanya dengan mobil tetapi juga motor, demi sebuah tujuan, bertemu keluarga di kampung halaman dan merayakan Lebaran bersama.
Lain mudik, lain ketupat. Ini adalah menu wajib merayakan lebaran. Kalau disurvey, ketupat pasti menduduki peringkat tertinggi dalam daftar masakan yang disediakan oleh Ibu-ibu di rumah. Makanya saya bisa membayangkan ketika Pemerintah mengumumkan bahwa Lebaran mundur satu hari, Ibu-Ibu yang sudah mempersiapkan dan memasak ketupat mungkin ada perasaan kecewa. Sebagai seorang perantau yang belum tentu pulang kampung saat libur lebaran, saya sudah lama tidak merasakan ketupat. Kecuali hari ini ketika bertandang ke rumah teman dan dijamu dengan ketupat, sayur pepaya, sambal goreng hati dan semur daging, yang membuat saya tidak malu-malu untuk menambah makan. Rasa ewuh pakewuh sebagai orang Jawa seakan hilang, karena sedapnya sajian ketupat yang menggugah selera. Maklum, beberapa hari menjelang Lebaran, menu makanan saya sebagian besar adalah fast food dan masakan mall yang terkadang rasanya tidak cocok di lidah maupun di kantong. Hehehe.
Lebaran membawa saya ke ingatan masa kecil.  Meskipun tidak merayakan lebaran, almarhum Ibu dan Nenek selalu memasak setiap hari raya tiba. Dari makanan kecil seperti wajik, jadah, emping, kacang, sampai makanan berat seperti ketupat, sambal goreng, dan teman-temannya. Saya juga heran, tidak merayakan tetapi ikut mempersiapkan. Waktu itu almarhum Ibu menjelaskan bahwa ada banyak tamu yang berkunjung di hari Lebaran, karena itu makanan tetap harus dipersiapkan. Maklum, almarhum Nenek adalah orang yang dituakan di kampung dan semua orang pasti datang ke rumah untuk bersilaturahmi. Hal yang menarik yang terus saya ingat sampai sekarang, tetangga-tetangga yang datang memiliki tradisi “sungkem” kepada Nenek dan Ibu. Jadi bukan hanya datang untuk bersalam-salaman, bermaaf-maafan, tetapi lebih dari itu. Sungkem adalah istilah sujud kepada orang yang lebih tua, memohon maaf atas segala kesalahan dan mohon doa restu. Tanpa mengecilkan arti kebudayaan daerah lain, saya merasakan tradisi Jawa yang sangat kental, dan bahwa orang Jawa hidup dalam rasa hormat yang besar kepada orang yang lebih tua. Saya tidak tahu apakah saat ini tradisi tersebut masih berjalan, karena saya sudah tidak pernah pulang kampung lagi di saat Lebaran.
Menjalin silaturahmi dan bermaaf-maafan juga menjadi ciri khas Lebaran. Bahwa setiap orang membutuhkan orang lain, dan kita hidup dalam sebuah keluarga besar. Saya ingat ketika masih kecil sayapun ikut keliling kampung bersalam-salaman, tanpa tahu makna di balik itu semua. Tentu saja hanya ikut-ikutan teman, apalagi setelah selesai berkeliling kantong saya penuh uang hasil pemberian orang-orang yang lebih tua. Tinggal saya sibuk menghitung berapa banyak uang yang saya dapatkan dan akan saya belikan apa. Hahaha. Biasanya saya akan membeli minuman “mewah” menurut saya saat itu seperti Coca Cola, Sprite, Fanta, atau 7up (Seven Up).
Semua kenangan ini membawa saya ke masa Lebaran sekitar 25 tahun silam. Sampai sekarangpun, ciri khas Lebaran tidak pernah berubah. Mudik, ketupat, silaturahmi. Saling bermaafan, dan mulai lagi dari nol. Seperti sebuah kertas yang kembali putih bersih, dan siap untuk ditulisi di hari-hari berikutnya. Seperti istilah “hidup baru” dalam kepercayaan saya yang menggambarkan pertobatan dan kemauan untuk berubah meninggalkan hal-hal lama yang membelenggu dan berjalan di jalanNya.
Selamat Lebaran teman, semoga Lebaran kali ini memberi makna yang lebih dalam. Bukan sekedar mudik, ketupat, silaturahmi, ataupun baju baru, tetapi hati yang baru, yang membuat kita semakin bersemangat untuk berkarya dan melayani di dunia ini. Perjuangan 30 hari berpuasa adalah bukti bahwa teman-teman memiliki kekuatan luar biasa yang datang dari Sang Pencipta. Selamat bersuka cita, mohon maaf lahir dan batin!

Tuesday, August 30, 2011

catatan dari Medan (bagian 1)


Ini catatan perjalanan saya pertengahan Agustus kemarin yang akhirnya berhasil saya tuliskan, mengatasi kesibukan kantor dan tentu saja, kemalasan diri sendiri. Ternyata benar, hal yang paling sulit adalah memaksa diri untuk mengambil sebuah tindakan nyata, paling tidak itu yang saya rasakan 1 minggu terakhir ini. Sebenarnya begitu balik ke Jakarta saya ingin segera menuliskannya, tetapi program kejar tayang modul training yang harus diselesaikan menjelang lebaran membuat saya berhenti sebentar. Sayangnya setelah itu otak saya terprogram untuk masuk dalam suasana libur panjang lebaran, sehingga semakin susah mengaktifkannya. Perlu perjuangan keras dan niat yang kuat, sampai-sampai saya harus melihat lagi foto-foto di Medan untuk membangkitkan sel-sel memori di otak saya, hehehe. Perjalanan saya kali ini berjudul “Menikmati Indonesia”, terinspirasi oleh tayangan iklan di televisi yang memotret indahnya alam negeri ini. Meskipun begitu bukan berarti saya sengaja berangkat tepat di hari kemerdekaan, 17 Agustus. Itu lebih karena pertimbangan cuti saja yang disetujui di tanggal 18 dan 19 Agustus, sehingga saya memiliki rentang hari libur yang cukup panjang. Bersama seorang teman, saya memulai perjalanan menuju tempat yang belum pernah saya singgahi, yang memacu adrenalin saya untuk segera sampai ke sana.
Medan, akhirnya sampai juga saya di kota ini setelah menempuh perjalanan 2 jam dari Jakarta dengan pesawat. Ini pertama kali saya datang ke Medan, padahal sudah berapa banyak kota besar di Indonesia yang berkali-kali saya kunjungi, tetapi Medan belum tersentuh sama sekali. Sepertinya memang tidak perlu menunggu tugas kantor untuk datang ke kota ini, hehehe. Begitu mendarat di bandara Polonia, saya sedikit kaget dengan kondisi bandara. Sejujurnya saya membayangkan bandara yang besar, megah, karena bagaimanapun juga Medan adalah salah satu kota terbesar di Indonesia. Tetapi bandara yang ada menurut saya sudah tidak layak untuk menjadi bandara ibu kota propinsi, bahkan kalah jauh dari bandara Adi Sumarmo Solo, yang hanya sebuah kotamadya. Bandara Polonia mengingatkan saya pada bandara di Jambi atau Lampung yang tergolong kecil. Tetapi menurut seorang teman yang tinggal di sana, saat ini Medan sedang membangun sebuah bandara baru yang terletak di luar kota, tidak seperti bandara sekarang yang berada di dalam kota. Oh ya, kami beruntung karena kedatangan kami dijemput seorang teman, sehingga tidak terlalu pusing mencari taksi yang katanya jarang menggunakan argo tetapi borongan sehingga harus pintar-pintar memilih. Berbicara mengenai transportasi di Medan, teman saya menjelaskan kalau menggunakan kendaraan umum, entah itu taksi atau bentor (becak motor), kita harus memasang tampang galak sehingga mereka tidak berani mempermainkan, karena kalau terkesan bengong dan takut-takut pasti akan ditembak dengan harga yang tinggi. Saya berpikir, kalau wajah bengong tentu tidak akan saya lakukan, tetapi tampang galak sepertinya sulit untuk saya ikuti, karena sebagai orang Solo asli, saya terlahir dengan wajah yang lembut dan tutur kata halus. Hahaha. Tetapi ternyata saran tersebut tidak terbukti, karena ketika saya pergi ke beberapa tempat dengan menggunakan taksi atau bentor, semua berjalan lancar. Tipsnya kalau naik taksi pilihlah yang menggunakan argo seperti Bluebird atau Express, tetapi kalau terpaksa tidak ada, taksi borongan di Medan bertarif Rp 25.000 sekali jalan. Kalau kebetulan jaraknya jauh masih lumayan, tetapi kalau jaraknya dekat rugi juga. Kalau memesan taksi Bluebird atau Express ke operator, kita tetap akan kena charge Rp 25.000 meskipun argonya tidak sampai segitu, kecuali kalau kita mencari taksi di pinggir jalan. Jadi sebenarnya sama saja  dengan Jakarta. Lalu bagaimana dengan bentor? Pintar-pintar saja menawar. Kalau tidak berhasil mendapatkan harga yang sesuai dengan yang kita inginkan jangan kuatir, karena banyak bentor berlalu lalang. Setidaknya kita sudah mendapatkan harga minimal sebagai patokan untuk menawar bentor yang lain.
Seperti kota tropis lainnya, cuaca Medan juga sangat panas. Tetapi menurut informasi yang kami dapat, meskipun siang hari panas, sore hari biasanya hujan. Dari bandara kami berdua mampir sebentar di rumah teman, lalu melaju ke hotel yang sudah saya pesan sebelumnya yaitu My Dream Hotel di Jalan Surabaya. Selama ini saya selalu menggunakan jasa pemesanan melalui internet sehingga sejujurnya bagaimana lokasi dan suasana hotel saya belum tahu, karena pilihan hotel hanya berdasarkan rekomendasi pengguna di internet dan tentu saja harga. Maklum semi backpacker, sehingga harus pandai-pandai memilih tempat menginap yang bagus dengan harga terjangkau. Tetapi ternyata hotel tersebut melebihi ekspektasi saya terutama lokasinya yang tepat berada di depan Jalan Selat Panjang, sebuah lokasi kuliner yang memang sudah menjadi pilihan untuk didatangi. Suasana hotel nyaman, cozy, tenang, baik di lobby, cafe, maupun kamar. Hotel ini menawarkan konsep minimalis yang mengingatkan saya pada hotel Amaris. Bagi saya dengan harga di kisaran 300 ribuan, hotel ini sangat menarik untuk dipilih sebagai tempat menginap ketika tinggal di Medan, kecuali kalau kita pergi untuk tugas kantor. Pasti memilih yang lebih mentereng, hehehe.
Setelah check in, kami menikmati makan siang bakmi khek di daerah Selat Panjang. Enak dan cukup menggugah selera dengan harga sekitar Rp 25.000/porsi. Setelah menikmati santap siang, tujuan pertama kami adalah Istana Maimun, yang merupakan Istana tempat peninggalan Sultan Deli dan dibangun di tahun 1888. Seperti kraton kalau di Solo atau Jogja. Istana Maimun terletak di Jl Brigjen Katamso Medan. Di dalam kompleks Istana tersebut masih ada bangunan rumah yang didiami oleh keturunan Sultan. Kami menuju ke sana dengan naik bentor, dengan biaya Rp 10.000. Karena belum tahu tempatnya kami tidak menawar lagi, selain itu sebelum berangkat pihak hotel memberi ancar-ancar harga naik bentor ke istana Maimun sekitar Rp 10.000 – 15.000. Jadi bagi kami harga itu sudah batas terendah. Ternyata lokasinya dekat dengan hotel tempat kami menginap. Wah, sayang juga tidak menawar, padahal prinsip pertama ketika menggunakan bentor adalah: tawar. Tetapi sudahlah, hitung-hitung memberikan rejeki kepada penarik bentor tersebut.
Bangunan Istana Maimun dibagi menjadi 3 lokasi, yaitu di bagian tengah, samping kanan, dan samping kiri. Tiket masuknya Rp 5.000 per orang. Murah, meriah. Sayangnya menurut saya kondisi istana tersebut kurang terawat, sehingga sebuah istana yang seharusnya menarik dan menjadi tujuan wisata terasa biasa-biasa saja. Desain istana tersebut khas Melayu Muslim, dengan atap berbentuk kubah menyerupai Masjid. Selain itu bisa dilihat foto-foto keluarga sultan, perabot rumah tangga, kursi kesultanan, desain langit-langit yang unik, dan lampu hias yang indah. Istana Maimun memiliki hubungan dengan Masjid Raya Medan, bahkan kabarnya memiliki lorong bawah tanah yang menghubungkannya dengan Masjid Raya. Ketika saya datang ke sana, ada juga pengunjung lain tetapi tidak terlalu banyak. Sebenarnya bangunan ini adalah peninggalan budaya yang indah dan sangat menjual sebagai objek pariwisata kota Medan. Sayangnya belum terlalu disentuh sehingga kesannya hanya seperti mendatangi sebuah bangunan peninggalan zaman dahulu, bukan sebuah Istana!
Dari Istana Maimun perjalanan dilanjutkan ke jalan Kesawan karena kami ingin merasakan sensasi restoran lama yang katanya terkenal di Medan yaitu Tip Top. Dari istana Maimun ke Tip Top cukup dekat, hanya membutuhkan biaya Rp 6.000 dengan naik bentor. Restoran ini sudah ada sejak zaman Belanda dan terkenal dengan kelezatan es krimnya. Memasuki jalan Kesawan seperti berjalan di Kota Toea jakarta, dengan bangunan-bangunan peninggalan Belanda. Meskipun bulan puasa, restoran tersebut penuh dengan pengunjung yang sebagian besar adalah etnis Tionghoa. Dalam suasana bangunan tempoe doeloe kami menyantap semangkuk es krim, sungguh nikmat! Di dekat restoran Tip Top, terletak rumah orang kaya Cina Medan zaman dahulu kala yaitu Tjong A Fie, sayangnya karena waktu sudah agak sore kami belum sempat mengunjunginya.
Karena sudah sore, kami balik ke hotel, kali ini pilihannya adalah berjalan kaki. Selain ingin menikmati jalan-jalan sore di Medan, ternyata jarak ke hotel tidak terlalu jauh, paling tidak itu dari hasil pengamatan kami.  Dengan demikian kami menghabiskan sore itu dengan berjalan kaki menuju hotel, sambil menikmati pemandangan kota Medan dan terkadang menghentikan langkah untuk mengambil gambar momen-momen indah seperti sinar matahari yang mulai terlihat redup. Sangat menawan!
Malam harinya adalah saat berburu kuliner di Selat Panjang. Pilihan makanan sangat beragam, mulai dari yang haram sampai yang halal. Mie pangsit, bubur ayam, kweetiau goreng, bihun kuah, nasi ayam hainam, babi kecap, bakpao, dan lain-lain. Tetapi kalau mencari makanan yang halal, ada pilihan lain yaitu di Merdeka Walk, yang menyajikan beragam pilihan. Merdeka walk adalah tempat nongkrongnya anak muda Medan, dengan aneka pilihan makanan dan minuman yang lebih “modern” dan “aman” dibandingkan Selat Panjang. Dari Selat Panjang ke Merdeka Walk kami naik bentor Rp 10.000. Merdeka Walk terletak di pusat kota Medan, berdekatan dengan Bank Indonesia, Kantor Pos Medan, dan ditata sebagai sebuah kawasan yang asyik untuk berjalan-jalan dan hang out. Tetapi kalau mau merasakan masakan Medan khas Tionghoa, pilihan tetap jatuh di Selat Panjang.
Setelah Merdeka Walk, perjalanan kami lanjutkan ke Masjid Raya yang menggelar Festival Ramadhan di Jalan Ringroad Medan. Festival ini diadakan setahun sekali pada bulan Ramadhan, mirip sekaten kalau di Jogja atau Solo. Kalau Selat Panjang dekat dengan etnis Tionghoa, sedangkan Merdeka Walk khas sentuhan anak muda Medan, maka Festival Ramadhan lebih ke arah etnis melayu, pesta rakyat dengan berbagai permainan, makanan, busana, dan beragam lainnya. Benar-benar mirip sekaten di alun-alun Solo yang dulu sering saya datangi ketika masih kanak-kanak. Sebenarnya saya tidak bermaksud membeli sesuatu, tetapi lebih pada keinginan untuk mengetahui tempat-tempat wisata Medan yang saya baca sebelum berangkat ke kota ini sekaligus mengambil gambar Masjid Raya yang megah itu. Setelah berkeliling, kami kembali ke hotel dengan tetap menggunakan bentor (kendaraan favorit nih) dan melewati jalan yang juga penuh dengan wisata kuliner yaitu Jalan Semarang. Sayangnya karena sudah malam dan perut kenyang kami tidak berhenti lagi.
 Seharian yang cukup lengkap di kota Medan. Setidaknya banyak hal bisa saya dapatkan, mulai dari Istana Maimun, restoran Tip Top, Jalan Kesawan, Selat panjang, Merdeka Walk, Masjid Raya, dan Festival Ramadahan. Masih ada beberapa tempat yang ingin saya singgahi yaitu rumah Tjong A Fie dan Gereja Immanuel. Tetapi karena malam telah larut, rasanya pencarian saya harus dihentikan dulu, karena besok paginya saya akan memulai perjalanan yang tidak kalah asyiknya, yaitu ke Parapat, Danau Toba.
Menyaksikan beragam keindahan kota Medan dan kenikmatan kulinernya membuat saya menyadari bangsa ini sangat beragam. Dan sungguh, saya berbahagia bisa mengunjungi kota ini, salah satu kota yang menawarkan wisata budaya sekaligus kuliner yang menggoda. Ingatan saya segera terbang ke Jogja dan Solo, dua buah kota yang juga selalu menarik untuk dikunjungi. Bedanya kedua kota tersebut kental dengan suasana Jawa, sedangkan Medan menawarkan sesuatu yang lebih plural, mulai dari budaya Melayu, Batak, sampai Tionghoa. Perjalanan menyusuri Medan harus terhenti sejenak karena esok harinya kami akan berangkat ke Toba. Lake Toba, I am coming......