Tuesday, December 28, 2010

terlambat


Nasi sudah menjadi bubur, itu istilah lain dari kata “terlambat”. Mungkin maksudnya adalah sudah tidak bisa dimakan lagi atau tidak mengenyangkan, padahal menurut saya bubur pun tetap bermanfaat, paling tidak buat orang sakit yang harus menerima diet lunak karena belum boleh makan nasi. Jangan lupa juga, orang sehatpun doyan makan bubur, contohnya saya yang sering sarapan bubur ayam yang lewat depan kos-kosan karena enak dan hangat. Bahkan berjualan bubur di Jakarta di pagi hari dijamin laris manis tanjung kimpul, saking banyaknya yang beli, benar-benar bubur memberi penghidupan bagi banyak orang.  Itu baru bubur kelas kaki lima, belum jenis bubur di level lebih tinggi yang disiapkan untuk sarapan pagi di hotel berbintang, tentu sangat nikmat untuk disantap, padahal menurut saya ya sama saja. Hehehe. Jadi sebenarnya saya agak bingung dengan arti perumpamaan itu, tetapi karena sudah membudaya dan orang pun paham dengan artinya, ya sudah, tidak ada masalah. Lagi pula ngapain iseng mempermasalahkan yang sudah jelas, kok seperti kurang kerjaan. Mirip dengan berita-berita kemarin yang hangat mengulas keistimewaan Jogja. Saya heran, sudah jalan baik kok dipermasalahkan, padahal masih banyak masalah lain yang lebih penting yang belum tertangani dengan baik. Ya itulah, kalau pemerintahnya tidak fokus, lama-lama bikin saya yang rakyat biasa ini geleng-geleng kepala.  Aneh bin ajaib, maunya apa saya sendiri tidak paham. Tapi sudahlah, lupakan saja hal-hal yang seperti itu, karena tidak ada hubungannya dengan catatan saya hari ini. Yang jelas kalau kita bicara mengenai kata “terlambat” tentu persepsinya bermacam-macam. Bagi sepasang suami istri yang baru menikah, perkataan istri “mas, aku terlambat”, pasti akan memunculkan gairah suka cita yang luar biasa, tetapi kalau itu terjadi pada muda-mudi yang baru pacaran, wah, pasti serasa bencana yang turun dari langit. “Terlambat” dalam konteks kalimat saya tersebut tentu bukan arti sesungguhnya. Kata “terlambat” paling sering dihubungkan dengan waktu, entah kedatangan atau keberangkatan, misalnya datang terlambat atau pulang terlambat. Contoh, saya diundang rapat jam 10 pagi, tetapi saya baru muncul jam 11.00, maka dikatakan bahwa saya datang terlambat.  Kereta berangkat jam 7 pagi tetapi ternyata baru siap jam 7.30, maka dikatakan bahwa kereta terlambat berangkat. Konon kabarnya kalau masalah waktu orang Indonesia tidak disiplin, sampai-sampai dibilang jam karet. Istilah slang-nya “molor”. Wah, kayak karet celana saja, kalau sudah molor pasti di pinggangnya jadi lebih lebar dan panjang. Undangan jam 7, datang jam 8 dan seterusnya. Saya ingat sekali kalau dulu jadi panitia Natal di gereja maka undangannya dibuat mundur setengah atau 1 jam. Tapi ini perayaan Natal, bukan kebaktian. Misalnya perayaan Natal dimulai jam 7 malam, maka undangan ke jemaat dibuat jam 6 sore, tetapi undangan ke Pembicara tetap jam 7 malam. Tujuannya kalau pembicara datang tepat waktu tetapi jemaatnya molor, maka panitia tidak akan menanggung malu karena pembicara harus menunggu. Masak pendeta menunggu, kalau jemaat menunggu itu sudah wajar. Hahaha. Maka kalau ada jemaat yang datang tepat waktu sesuai undangan, pasti wajahnya jadi manyun karena menunggu terlalu lama. Hebatnya selama ini jarang sekali yang datang tepat waktu, biasanya mulai berdatangan setengah jam kemudian, istilahnya tahu sama tahu. Itu kalau perayaan natal, kalau kebaktian Natal tentu berbeda, karena kebaktian sudah ada jam-jamnya. Kebaktian jam 8 pagi, pasti mulai jam 8 pagi, makanya sebelum jam 8 gedung gereja pasti sudah penuh. Saya paling tidak suka datang terlambat di kebaktian gereja, rasanya kok tidak sopan sama Tuhan, sudah seminggu sekali, masih juga terlambat. Makanya paling tidak suka juga kalau ada yang datang terlambat, lalu tengak tengok mencari kursi padahal ibadah sudah dimulai. Tetapi karena katanya lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, ya mau tidak mau saya menerima juga dengan suka cita. Mungkin ada sesuatu yang menyebabkan orang tersebut datang terlambat. Positif saja. Kalau urusan tepat waktu, datang di  kebaktian gereja masih kalah dibandingkan dengan mau naik pesawat. Kalau ibadah ke gereja, saya bisa datang 10 menit sebelumnya, tetapi kalau naik pesawat, saya bisa datang di bandara 1 setengah jam sebelum boarding. Intinya kalau naik pesawat tidak boleh datang terlambat, tapi kalau ibadah di gereja bolehlah sekali-kali terlambat. Kalau terlambat datang check in kan tiket kita hangus, rugi sekian ratus ribu rupiah atau malahan juta, tetapi kalau terlambat ke gereja , paling juga ketinggalan 1 atau 2 buah lagu dan salam berkat, tidak rugi-rugi amat. Hehehe, kalau sudah begini segala cara diupayakan agar alasan yang dikemukakan bisa rasional dan masuk akal. Saya juga tidak suka kalau ada yang datang terlambat ke kantor, karena saya tidak pernah datang terlambat. Selama 6 tahun bekerja, rasanya saya jarang sekali terlambat, mungkin kalau pas saya sakit diare atau panas, maka datangnya lebih siang, tetapi itupun jarang. Kantor saya yang dulu masuk jam 8.30, tetapi jam 8 saya pasti sudah datang, selain karena tidak mau macet di jalan, datang setengah jam lebih awal sangat bermanfaat untuk mempersiapkan diri sebelum bekerja. Bagi saya, bekerja pun butuh persiapan fisik dan mental, jadi kalau datang lebih awal, fisik dan mental saya jauh lebih siap daripada datang mepet atau malahan terlambat. Saya berpendapat bahwa saya digaji dari jam 8.30 sampai 17.30 berarti jam 8.30 adalah saat saya mulai kerja, bukan saat saya datang. Demikian juga pulangnya, jam 17.30 adalah detik terakhir kita bekerja, bukannya jam 17.30 sudah siap menenteng tas untuk pulang. Mungkin terkesan ekstrim, tetapi itu paradigma saya tentang jam kerja, kalau tidak setuju ya tidak apa-apa, sah-sah saja, namanya juga bebas berpendapat. Nah, akhir-akhir ini orang Indonesia juga suka sekali  “khilaf” dengan kata terlambat. Sudah terjadi baru sadar. Sudah banjir baru bingung mau ngapain, sudah terjadi penganiayaan TKI baru bingung mengantisipasi. Wah, kok sukanya terlambat. Mungkin karena terlalu sering bertindak terlambat, maka menghadapi kemenangan demi kemenangan timnas dari penyisihan sampai semifinal piala AFF 2010, petinggi-petinggi negeri kapok terlambat.  Maka mulailah ramai-ramai mendompleng timnas yang belum juara itu agar dilihat orang. Buru-buru mengundang makan, memberi bonus, menghibahkan tanah, mengajak doa bersama, agar masyarakat melihat peran mereka. Padahal masyarakat sekarang tentu tidak bodoh, justru heran dengan segala macam kegiatan tidak perlu yang mengganggu konsentrasi timnas. Bahkan sang pelatih pun tidak punya wewenang untuk menolak semua undangan karena justru petinggi bola-nya yang bertingkah. Begitu timnas kalah di final putaran pertama, mulailah ada instruksi agar timnas jangan ganggu, biarkan konsentrasi, jangan ada kegiatan yang tidak perlu. Waduh, menyedihkan sekali. Lah, selama ini  pada kemana? Kenapa tidak dari kemarin-kemarin? Mungkin takut atau sungkan kali ya..... Coba semua orang sadar sebelumnya dan mengerti apa yang perlu dipersiapkan untuk menjadi juara, tentu tidak akan ada gangguan seperti itu. Timnas bisa fokus latihan dan pertandingan, bukan fokus pada hal-hal yang tidak perlu. Memang itu bukan semata-mata penyebab kekalahan timnas, tapi harus diakui bahwa itu menyita waktu, tenaga, dan konsentrasi. Katanya kalau mau sukses harus fokus, kok malah dibuat tidak fokus. Yang memalukan justru ini dilakukan oleh orang-orang yang katanya bertanggung jawab terhadap kemajuan sepakbola di negeri ini (yang tidak pernah maju-maju) dan petinggi-petinggi yang harusnya memberi contoh. Memang serba salah, karena orang tetap tidak mau salah dan disalahkan. Tetapi ya sudah, sekali lagi semua sudah terlambat dan timnas memang sudah kalah di putaran pertama, tetapi dengan menjunjung tinggi pepatah “tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki diri” maka saya percaya peluang timnas untuk juara masih ada meskipun sangat kecil. Sejujurnya saya bersyukur timnas kalah, meskipun tidak berharap kalah begitu telak. Bukan berarti saya tidak nasionalis, karena saya adalah pendukung timnas. Alasannya simpel, biar orang-orang itu sadar, lebih baik terlambat sadar daripada tidak sama sekali. Bayangkan seandainya timnas menang di putaran pertama, wah alangkah ngerinya manuver politisasi berikutnya, ngeri dan memuakkan. Apalagi bagi orang-orang yang kemarin terlalu bernafsu mendompleng timnas. Ya sudahlah, saya cuma ingin bicara itu saja, berharap mereka sadar dan menjadi petinggi yang pemimpin, bukan petinggi yang lebih suka memikirkan kepentingan sendiri. Saya juga berharap saya sendiri tidak menjadi orang-orang yang terlambat bereaksi tetapi juga tidak terlalu cepat. Itu semua hanya masalah waktu, dan tentu saja kita bisa mengaturnya kecuali hal-hal di luar kuasa kita. Jadi bagi saya yang tidak suka dengan kata “terlambat”  maka bila suatu ketika saya datang terlambat ke kantor karena hal-hal di luar kuasa saya, misalnya di tengah jalan terjebak macet karena ada kecelakaan, saya tidak akan merasa bersalah karena sebenarnya saya sudah mengatur waktu sedemikian rupa. Kejadian kecelakaan tentu di luar kemampuan saya, apalagi di jalanan Jakarta yang begitu ganas di pagi hari. Dengan pemahaman seperti itu saya juga belajar untuk mengerti orang lain yang datang terlambat karena mungkin mengalami kasus yang sama. Tetapi kalau orang yang sama begitu terus setiap hari, alamak....anda tahu sendiri kualitas orang tadi seperti apa. Di sisi lain, saya tetap menyukai kata “terlambat” dalam konteks berbeda seperti “lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali”,  yang membuat saya terpacu untuk belajar mengejar ketinggalan selagi ada waktu.  Memang sih, paling bagus ya tidak terlambat, tapi kalaupun sudah terlambat, tidak apa-apa karena kita punya kemauan untuk memulai. Seperti saya yang terlambat berlatih menulis, tetapi itu lebih baik daripada tidak sama sekali. Yah, kalau urusan belajar, saya setuju dengan istilah “tidak ada kata terlambat”. Mudah-mudahan kali ini anda setuju dengan saya!  

Saturday, December 25, 2010

Selamat Natal! – refleksi dari The Chronicles of Narnia, The Voyage of the Dawn Treader

Pengenalan akan Tuhan bukan berasal dari ritual keagamaan ataupun aktivitas ibadah yang dilakukan. Pengenalan akan Tuhan berasal dari pengakuan pribadi mengenai kebutuhan kita akan Kuasa yang memberikan damai sejahtera dan kekuatan menjalani hidup ini. Kesadaran diri bahwa kita berdosa dan membutuhkan belas kasihan Tuhan, membutuhkan Terang yang sudah datang ke dunia ini, dan ikut bersinar menjadi terang yang menerangi sekitar. Selamat Natal!
(Natal, Dec 25, at 0.00)

Bintang biru yang menuntun  Caspian, Edmund, Lucy, dan kawan-kawan menuju Aslan di film The Chronicles of Narnia, the Voyage of the Dawn Treader untuk menghancurkan kuasa kegelapan mengingatkan saya akan bintang terang yang membawa orang Majus dan gembala kepada bayi Yesus. Sama-sama membawa manusia menuju Terang, yang akan memberikan kelegaan dan kedamaian. Film Narnia adalah salah satu film yang saya suka dan tidak akan pernah saya lewatkan. Dibandingkan seri pertama dan kedua, Narnia terbaru lebih praktis dan lugas dalam penggarapannya walaupun tidak terlalu menegangkan seperti seri sebelumnya. Meskipun begitu, bobot pesan yang diberikan justru lebih menonjol dan sangat jelas. Diawali dari perjalanan Caspian, Edmund, Lucy, Eustace, dan kawan-kawan negeri Narnia untuk membebaskan warganya dari ketakutan dan kuasa kegelapan dengan cara berlayar menuju ujung dunia yang akan membawa mereka kepada Aslan. Sebelum mereka sudah ada 7 bangsawan dari negeri Narnia yang berangkat tetapi tidak pernah kembali. Perjalanannya sendiri tidak mudah, karena harus berhadapan dengan banyak ancaman dan bahaya. Dalam kebimbangan dan ketidakpastian menuju ujung dunia untuk menghancurkan Pulau Kegelapan, banyak peristiwa yang menguji masing-masing anggota kapal. Lucy, mendapatkan mantera cermin ajaib yang bisa membuat dirinya terlihat cantik, sesuatu yang sangat diinginkannya untuk menjadi cantik seperti Susan kakaknya. Tetapi ternyata semua itu semu, dan yang paling berharga adalah menjadi diri sendiri karena setiap kita diciptakan unik. Pelajaran ini sangat mengena bagi Lucy sehingga ketika seorang anak perempuan kecil yang ikut di kapal menyatakan kekagumannya padanya dan ingin menjadi seperti dia ketika besar nanti, Lucy menjawab dengan manis,“jadilah dirimu sendiri”. Sebuah kalimat yang sangat menyentil, karena begitu sering kita ingin menjadi seperti orang lain tetapi melupakan jati diri kita. Meniru kesuksesan dan kehebatan orang lain sah-sah saja, tetapi yang tidak boleh dilupakan bahwa masing-masing orang memiliki keunikan sendiri dan setiap orang akan menjadi hebat sesuai dengan talenta yang diberikan kepadanya! Perjalanan warga Narnia menuju ujung dunia bukanlah perjalanan yang mudah, dan di sinilah muncul gesekan-gesekan antar anggota yang menarik. Salah satu pesan yang diberikan kepada mereka adalah “ujilah diri sendiri” dan “menang terhadap diri sendiri”, itulah yang akan membawa mereka kepada keberhasilan berperang atas kuasa kegelapan. Rintangan bisa datang dari luar maupun dalam. Seperti ketika Edmund, Lucy, dan Caspian bertemu dengan harta karun yang sangat banyak, dan Edmund tergerak oleh keegoisan diri untuk menjadi nomor satu, tidak mau berada di bawah bayang-bayang Caspian atau Peter kakaknya, dan rela baku hantam dengan Caspian untuk menunjukkan siapa yang lebih terhormat diantara mereka. Keinginan untuk memiliki tahta, kekuasaan, membuat Edmund melupakan tujuan mula-mula, menuju Aslan untuk menghancurkan Pulau Kegelapan. Untungnya Lucy mengingatkannya akan pesan “ujilah diri sendiri” sehingga Edmund kembali sadar. Ujian lain adalah emas yang sangat banyak membawa manusia kepada kekayaan, membuat Eustace menjadi tamak sehingga dikutuk dan berubah menjadi naga. Sebuah godaan yang tampak di depan mata dan apabila mereka jatuh di dalamnya akan menjauhkan mereka dari tujuan awal. Ketakutan awak kapal karena perjalanan yang sekan tiada akhir dan tidak ada kepastian, perbekalan yang hampir habis dan hanya cukup untuk 2 minggu sedangkan perjalanan yang ditempuh masih tidak jelas kapan berakhirnya. Ombak yang sangat tinggi, capek, lelah, lapar. Kegalauan, keputusasaan, keinginan awak kapal untuk berbalik kembali ke negeri asal dan tidak melanjutkan perjalanan sangat menggoncang Caspian dan kawan-kawan, tetapi keyakinan yang mendalam bahwa perjalanan mereka tidak akan sia-sia karena membawa misi mulia untuk menghancurkan kuasa gelap dan membebaskan rakyat Narnia terpatri di hati Caspian, Edmund, Lucy, Eustace, yang terus berjuang memimpin awak kapal dengan keyakinan teguh dan dengan bantuan bintang biru yang selalu muncul untuk memberi tanda ke arah mana mereka harus berjalan. Ucapan yang diungkapkan oleh tikus Narnia, Reepicheep, sangat menarik “kamu tidak punya apa-apa karena kamu tidak punya keyakinan.”  Yup, keyakinan  yang kuat, menguji diri, dan kemenangan atas diri, membawa Caspian dan kawan-kawan akhirnya berhasil menghancurkan pulau kegelapan, mengembalikan warga Narnia yang selama ini hilang dengan bantuan dari Aslan yang tidak pernah terlambat. Film yang lugas, tetapi sarat makna. Bagi saya film tersebut menuntun saya untuk melawan kegelapan dengan cara mencari Tuhan. Tuhan tidak berada jauh di atas sana, tetapi Dia ada dan sangat dekat. Sayangnya seperti yang dialami warga Narnia, sikap tidak menguji diri sendiri, tidak menang terhadap diri sendiri, dan kalah terhadap godaan-godaan yang ada di depan saya justru akan menjauhkan saya dari Tuhan. Egois, tidak memiliki keyakinan, ketakutan, keputusasaan menemani perjalanan saya  dan sekan mengajak saya kembali ke masa lalu yang kelam. Saat seperti itulah saya membutuhkan bintang biru, seperti warga Narnia yang setia mengikuti arah yang ditunjukkan bintang biru dan berhasil memenangkan pertempuran dengan kegelapan dan membebaskan jiwa-jiwa lain yang terperangkap di sana. Perjalanan yang tidak mudah, tapi kesetiaan memenangkan segalanya. Bintang biru, laksana bintang terang yang membawa orang Majus dan gembala kepada bayi Yesus. Tidak ada keraguan, yang ada hanyalah kepastian. Tema Natal tahun ini dari PGI dan KWI adalah “Terang yang sesungguhnya, yang menerangi setiap orang sedang datang ke dalam dunia.” Saya menuliskan catatan ini setelah selesai mengikuti kebaktian Malam Natal di GKJ Margoyudan Solo. Pendeta dalam kotbahnya menjelaskan bahwa kita adalah pembawa terang itu, sehingga jangan terjebak pada kondisi yang selalu hanya melihat kepada diri sendiri, keluarga, gereja. Di luar sana banyak orang yang membutuhkan terang. Orang Kristen sering terjebak dengan selalu melihat ke dalam, tanpa menyadari bahwa sebagai penyalur terang, terang  itu harus bersinar dan menyinari orang lain karena untuk itulah orang Kristen dipanggil. Jangan melihat kegelapan, tetapi lihat dan fokuslah pada terang. Jangan melihat masalah dan siapa yang salah, tetapi lihatalah pada terang yang memberikan jalan keluar dari masalah. Natal lebih dari sekedar pohon terang, sinterklas, hiasan warna warni, kado natal, seperti yang diekspresikan oleh pusat-pusat perbelanjaan ataupun hiasan dekorasi di gereja dan rumah kita. Pengenalan akan Tuhan Sang Terang yang lahir itu, berawal dari kesadaran bahwa kita membutuhkan pertolongan dan belas kasihan, yang dalam perjalanan iman selanjutnya akan menuntut kita untuk menguji diri sendiri dan terus setia sampai akhir. Kalau warga Narnia bertemu Aslan, kita akan bertemu dan mengenal Tuhan secara pribadi dan merasakan Terangnya bercahaya dalam kehidupan kita sehingga kitapun menjadi terang yang bercahaya bagi sekitar. Selamat Natal, Tuhan beserta kita. Immanuel!

(sudah jam segini, harus segera tidur coz besok Kebaktian Natal jam 7 pagi. Have a nice sleep....)

Friday, December 24, 2010

solo, the spirit of Java - episode belajar

Ini kisah tentang seseorang yang sedang belajar mengenal kota kelahirannya setelah puluhan tahun lewat.  Ini kisah tentang saya, yang merasa harus menebus dosa karena tidak memiliki pengenalan cukup mengenai kota asalnya. Yah, liburan kali ini di Solo akan saya gunakan untuk menyusuri dan mengenal wisata yang ada. Aneh rasanya kalau saya sampai tidak tahu dan tidak bisa bercerita mengenai kota ini, padahal saya fasih bicara mengenai Singapore atau Bangkok yang baru saja saya kunjungi. Saya ingat sebelum berangkat ke kedua kota tersebut, saya sampai harus membeli buku, browsing internet, mempelajari makanan, transportasi dan semua hal menarik yang harus saya kunjungi ketika tiba di sana dan tak ketinggalan pula barang-barang apa yang harus saya beli yang berarti akan berdampak pada isi kantong saya. Tetapi ketika bicara mengenai Solo, saya justru tidak bisa bercerita banyak. Kunjungan ke kedua tempat tersebut menginspirasi saya untuk lebih dulu memahami dan mengenal keindahan kota asal yang ada di depan mata. Rasa iri karena wisata yang maju di kedua negara tersebut membuat saya ingin membuktikan bahwa Solo juga memiliki potensi wisata yang unik dan bisa dijual. Syaratnya tentu saja saya harus mengenal dengan baik terlebih dulu. Saya tidak tahu apakah saya satu-satunya orang Solo yang tidak mengenal kotanya, atau sebenarnya masih banyak yang lain seperti umumnya fenomena gunung es. Kalau bicara mengenai museum, keraton, mungkin masih ada ingatan sedikit-sedikit meskipun saya sudah hampir lupa, karena rasanya sudah lama sekali sejak terakhir saya ke sana. Keinginan untuk mengenal Solo dengan lebih baik justru muncul setelah saya mengenal tempat lain. Mungkin benar juga kata pepatah, rumput tetangga lebih hijau, tapi saat ini saya ingin membuktikan bahwa rumput saya sendiri ternyata bukan hanya hijau tapi berkilau-kilau! Jadi tujuan liburan kali ini adalah tempat-tempat yang menjadi icon kota Solo seperti keraton, museum Radyapustaka, pasar Ngarsopuro yang merupakan pusat benda-benda antik, dan tentu saja batik! Selain tempat budaya, Solo terkenal dengan wisata kulinernya. Saya teringat dengan seorang teman beberapa waktu lalu yang katanya sangat mencintai Solo karena banyak makanan enak, bahkan katanya kalau urusan kuliner Solo jagonya. Saya hanya tersenyum mengiyakan, padahal saat itu sambil berpikir tempat-tempat mana saja yang sudah saya singgahi. Malu kan, kalau orang di luar Solo justru lebih mengenal kota ini dibanding saya. Istilahnya “haram hukumnya”, hahaha. Tetapi lagi-lagi saya tidak terlalu paham kuliner mana yang enak dan terkenal. Justru saya harus membaca buku dulu untuk mengenalnya baru meluncur ke sana. Wah, aneh benar pikir saja, tetapi tidak apa-apa daripada tidak sama sekali.  Saya tidak bisa menyalahkan hal ini karena masa-masa di Solo saya habiskan dengan belajar dan belajar. Kalaupun ada kegiatan di luar rumah itu lebih ke arah organisasi atau kegiatan gereja yang tidak mengeksplorasi makanan. Semua itu ditambah dengan keterbatasan dana yang ada yang mengharuskan saya untuk makan di rumah. Istilahnya kenyang dulu baru pergi jalan-jalan, jadi tidak ada yang namanya jajan di luar. Kalaupun mau pergi kemana-mana, perut harus diisi dulu, maklum, dana yang ada lebih dialokasikan untuk membayar sekolah atau membeli buku. Akibatanya saya memang lebih mengenal masakan ibu di rumah daripada berburu kuliner yang katanya terkenal itu.  Saya tidak tahu, apakah tahun-tahun 80-90-an kuliner di Solo sudah booming, tapi sepertinya semua berawal dari banyaknya orang Solo yang pergi ke Jakarta atau kota besar lainnya. Sebenarnya sama saja seperti orang daerah lain yang kembali ke daerahnya dan ingin memuaskan diri dengan masakan khas yang ada. Jadi intinya saya tahu makanan khas Solo, tetapi tidak untuk wisata kulinernya karena kebutuhan gizi saya sudah terpenuhi oleh masakan rumahan seperti sayur asem, oseng-oseng, sayur lodeh, sayur gori, pecel, sambel tumpang, dan lain-lain yang selalu ada dan tersedia. Paling banter saya bisa bercerita banyak mengenai HIK atau Hidangan Istimewa Kampung atau terkenal dengan sebutan “wedangan” yang menunya murah meriah dan hore, mulai dari “sego bandeng” terkenal dengan julukan “sego kucing”, “sego oseng-oseng”, ditambah lauknya yang seru seperti usus, tahu bacem, tempe bacem, telur puyuh, ataupun minumnya yang beragam seperti jahe, serbat, dan lain-lain.  Di Jogja HIK terkenal dengan sebutan “angkringan”. Saya justru mengenal tempat-tempat makan terkenal di kota Solo setelah bekerja di luar kota dan banyak ditanya oleh orang lain sehingga mau tidak mau saya harus belajar mengenainya melalui buku dan sekarang saatnya mempraktekkan! Hahaha, aneh rasanya, tetapi tidak apa-apa karena memang mampunya dan sadarnya baru sekarang. Maksud saya mampu beli, karena dulu waktu kecil atau pas kuliah sepertinya tidak mungkin. Sadar, karena baru sekarang terinspirasi, sedangkan dulu saya cuek saja dan tidak peduli. Jadilah liburan ini saya sengaja menghabiskan waktu untuk mencicipi kuliner di Solo yang terkenal itu, tujuannya hanya satu agar bisa bercerita banyak mengenai kota ini dan benar-benar jadi orang Solo yang bisa diandalkan, bukan kaosnya saja yang bertuliskan “Solo the spirit of Java”, tapi tidak ada “spiritnya” di dalam diri saya. Mungkin terkesan tendensius, tapi saya memang sengaja melakukannya. Kota lain dikenal dengan baik, tetapi kota sendiri justru terpinggirkan. Kalau orang Sunda bilangnya “pamali”, hehehe.  Mengenal kota Solo dengan atmosfer yang tenang dan langgamnya yang pelan, jauh berbeda bila dibandingkan dengan hiruk pikuk Jakarta. Solo hampir sama dengan Jogja yang juga kalem, bedanya Jogja sudah mampu menjadikan kotanya sebagai salah satu tujuan wisata di Indonesia. Memutar ulang kenangan tentang Solo dan menyusuri lagi potensi wisata yang ada tampaknya bakal menjadi acara menarik di liburan saya kali ini. Jadi jangan heran kalau hari-hari ini status update saya banyak mengenai makanan, bukan berarti saya sangat rakus, tetapi lebih karena saya ingin mengajak anda berimajinasi mengenai keunikan Solo dan kelezatan kulinernya, lalu muncul keinginan untuk datang ke kota ini suatu hari nanti. Ya, suatu hari nanti, ketika anda bingung memutuskan berlibur kamana, saya berharap tulisan saya nantinya akan menjadi inspirasi bagi anda untuk menghabiskan waktu menikmati indahnya Solo. Seperti saya saat ini yang sudah mulai menikmati segarnya mie toprak Yu Nani di Kartopuran, lanjut dengan es dawet Pasar Gede. Itu baru awalnya, karena masih ada Timlo Bu Sastro, Gudeg Ceker depan Margoyudan, Nasi liwet Wongso Lemu di Keprabon, dan lagi dan lagi..... 

Monday, December 20, 2010

bangkok, the simply beautiful...

Bangkok, perpaduan budaya dan modernisasi, memunculkan sebuah keindahan wisata yang memikat. Kalau Singapore memuaskan kita dengan modernisasi yang kental, maka Bangkok memberikan sentuhan yang berbeda. Bangkok tidak ubahnya seperti putri cantik yang teguh memegang adat, tetapi terus bersolek dan tidak malu-malu menerima peradaban baru.  Pertama kali tiba di Bangkok saya (dan seorang teman)  disambut dengan kemegahan Suvarnabhumi airport yang masih dalam proses pembangunan di sana sini. Berbeda dengan Changi yang segalanya tertata rapi, Suvarnabhuni masih harus banyak berbenah. Paling tidak itu yang saya rasakan ketika mendarat di sana. Mungkin karena saya datang di malam hari sehingga semua serba terbatas. Kebetulan pesawat Air Asia yang saya tumpangi tidak memberikan imigration form dikarenakan ketiadaan stock, maka begitu turun dari pesawat saya segera mencari petugas bandara untuk meminta form tersebut. Bisa dibayangkan puluhan penumpang meminta form kepada satu orang petugas yang berjaga saat itu dan dengan kemampuan bahasa Inggris yang terbatas. Untungnya saya tiba lebih dulu sehingga tidak kesulitan mendapatkannya, paling tidak dengan sedikit bahasa Tarzan.  Begitu juga dengan peta Bangkok yang tidak saya dapatkan di bandara, berbeda jauh dengan Changi yang menyediakan box panduan wisata di hampir setiap sudut sehingga memenuhi kebutuhan kita akan peta Singapore maupun buku-buku panduan wisata. Bahkan ketika sampai di guest house tempat saya menginap, peta Bangkok juga tidak saya dapatkan. Waduh, payah nih, bagaimana mungkin saya bisa berjalan-jalan tanpa peta? Jadilah setengah hari pertama saya berjalan dengan sedikit tersendat dan bertanya-tanya kepada siapapun orang yang bisa saya tanyai. Maklum, sulit menemukan orang di Bangkok yang bisa bicara bahasa Inggris, kecuali di tempat-tempat yang merupakan konsentrasi turis seperti di Khaosan. Oh ya, saya menginap di daerah Khaosan, yang konon merupakan tempat berkumpulnya backpacker dari seluruh dunia kalau berkunjung ke Thailand. Khaosan Road adalah sebuah jalan yang sangat terkenal dan penuh dengan penginapan murah sampai mahal, penjual makanan, souvenir khas Thailand, cafe, dan segala yang dibutuhkan turis asing. Sebagian besar yang menginap di Khaosan adalah turis bule, agak susah menemukan  orang Asia di sana (atau mungkin saya belum ketemu, yang jelas hampir 90% yang saya temui adalah orang bule). Penginapan saya, Wild Orchid Villa,  tidak persis berada di jalan Khaosan, tetapi sangat dekat, paling hanya 5 menit berjalan kaki. Pemilihan penginapan lebih berdasarkan referensi dari buku yang saya baca, sehingga saya sedikit terkejut ketika sampai di sana karena lebih tepat disebut guest house dengan kamar-kamar yang sederhana meskipun bersih, jauh dari gambaran sebuah hotel, apalagi dari gambaran di internet yang sempat saya eksplor ketika akan booking online. Wah, ternyata gambar kamarnya sangat menipu! Hahaha. Tetapi karena sudah booking dan kedatangan saya juga sudah sangat malam saya tetap tinggal di situ. Rugi juga kalau pindah, biaya pembatalan bisa untuk menginap semalam lagi. Yang penting kamar dan kamar mandinya bersih, lagi pula saya tidak pergi ke Bangkok untuk pindah tidur! Di bawah penginapan ada cafe yang penuh dengan musik berdentam dan orang-orang bule yang nongkrong sekedar minum menghabiskan malam. Sungguh mengejutkan karena tidak seperti yang saya bayangkan. Sebenarnya saya sudah tahu kalau di bawah penginapan ada cafe (yang katanya sangat terkenal di daerah Khaosan) tetapi tidak membayangkan akan seramai ini. Waduh! Untungnya saya mendapat kamar di lantai 5, coba kalau di lantai bawah pasti tidak bisa tidur. Ruginya saya harus naik tangga sampai lantai 5 karena tidak ada lift! Tapi tidak apa-apa, hitung-hitung berolahraga. Hehehe. Pertimbangan lain menginap di daerah Khaosan karena daerah tersebut dekat dengan tempat-tempat wisata yang akan saya kunjungi dan masih bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Maklum, karena setengah backpacker maka moda transportasi yang digunakan adalah jalan kaki, bus kota dan sky train. Tuk-tuk (semacam bajaj), dan taksi adalah pilihan terakhir. Boros kan kalau setiap hari naik taksi, padahal judulnya berjalan-jalan hemat.  Hati-hati kalau memilih taksi, pilihlah yang ada tulisannya Taxi Meter, meskipun belum tentu argonya juga benar. Seperti pengalaman saya dari Bandara ke penginapan, meskipun sudah memilih Taxi Meter, tetap saja argonya berjalan cepat bagai kuda. Alhasil, dari contekan buku yang mestinya hanya sekitar 360 bath dari bandara ke daerah saya menginap, saya harus membayar 495 bath! Hari pertama tujuan saya adalah Grand Palace, Wat Pho, dan Wat Arun, tempat-tempat yang merupakan icon kota Bangkok, semacam merlion kalau di Singapore, atau tugu Monas kalau Jakarta (?). Karena belum ada peta, maka saya mengandalkan mulut untuk bertanya-tanya arah ke Grand Palace. Sempat berputar-putar di area Khaosan sampai hampir putus asa saya justru bertemu dengan taman di pinggir sungai Chao Praya (Chao Praya River) yang indah. Selain wisata, Sungai Chao Praya juga digunakan sebagai sarana tranpsortasi, sehingga jangan membayangkan sebuah sungai yang kotor dan penuh dengan sampah seperti yang sering kita dapatkan di Jakarta. Sambil berputar otak mencari arah, saya istirahat dulu sebentar sebelum melanjutkan perjalanan. Setelah berjalan sekian lama akhirnya saya bertemu dengan Pak Polisi yang baik hati dan menjelaskan arah ke Grand Palace dengan bahasa Inggris yang dia bilang “little-little I can.” Lumayan, yang penting paham. Grand Palace adalah kompleks kerajaan yang dibangun sejak tahun 1782 dan meliputi area seluas 218.000 m2, dikelilingi oleh dinding sepanjang 1900 meter. Dibangun oleh Raja Rama I sebagai tempat tinggal sekaligus pusat pemerintahan waktu itu.  Saya membayangkan seperti Kraton Jogja atau Kraton Solo dengan banyak peninggalan warisan yang sangat layak untuk dijual sebagai objek wisata. Harus diakui bahwa Bangkok mengelola Grand Palace dengan sangat baik dan menjadi tujuan turis. Bisa dibilang jangan pernah mengaku ke Bangkok kalau belum mengunjungi Grand Palace yang juga terkenal dengan adanya the Temple of Emerald Budha, tempat orang biasa bersembahyang! Biaya masuk cukup mahal sekitar Rp 110.000, tetapi terbayar dengan keindahan di dalamnya, sedangkan untuk orang Thailand tidak dipungut biaya alias gratis. Bersama saya ada banyak rombongan turis dari berbagai negara sehingga meskipun masih pagi tempat itu sudah dipenuhi banyak turis. Luar biasa, padahal masih hari Jumat, terlebih kalau Sabtu dan Minggu.  Wah, kapan ya Kraton Jogja dan Solo bisa seperti itu? Kalau untuk Jakarta saya tidak bisa menemukan tempat yang pas, mungkin istana Bogor atau semacam itulah. Sebagai ibu kota negara, Bangkok bukan hanya merupakan pusat bisnis dan pemerintahan tetapi juga objek wisata. Berbeda dengan Jakarta yang cenderung sebagai pusat bisnis, sedangkan wisata belum menunjang.  Di Grand Palace saya sempat bertemu dengan beberapa orang bapak dan ibu dari Indonesia yang sedang berjalan-jalan, kebetulan saja ngeh karena mendengar mereka mengobrol menggunakan bahasa Indonesia. Iseng saya bertanya ikut tour apa, rombongannya mana, ternyata jawabannya “sedang dinas dan pulang besok siang pakai Garuda”. Waduh, dinas? Tapi Jumat pagi sudah jalan-jalan, dan baru pulang besok siang? Capek deh.....(mendadak ingat rombongan studi banding DPR yang ke Yunani tetapi mampir di Turki). Enak juga yah, tidak seperti saya yang harus keluar uang untuk membiayai semua ini dan sibuk mencari penerbangan dan penginapan murah (tetapi saya bersyukur karena saya menjadi orang bebas dan tidak pernah merasa merugikan siapapun saat jalan-jalan. Hahaha). Selesai di Grand Palace saya melanjutkan ke Wat Pho yang terkenal dengan reclining Budha (patung Budha dengan posisi tidur). Modal utamanya adalah bertanya dan mengikuti kemana turis lain berjalan. Hehehe. Setelah berjalan sekian menit saya menemukan pos Tourist information, lumayan untuk bertanya-tanya dan mendapatkan peta Bangkok. Akhirnya dapat juga map of Bangkok, serasa mendapat berlian, karena peta merupakan pegangan utama saya untuk menyusuri kota. Maklum, tidak ikut rombongan tour travel. Kalau kemana-mana naik taksi rasanya bukan pilihan yang tepat,  apalagi jalanan Bangkok mirip Jakarta, macet. Selesai dari Wat Pho, saya melanjutkan ke Wat Arun dengan hanya berjalan ke arah berkebalikan. Bedanya untuk menuju Wat Arun kita harus naik perahu dari dermaga Tha Thien Pier, melintasi Chao Praya River dengan biaya 3 Bath atau sekitar Rp 900. Pulang pergi butuh Rp 1.800. Murah meriah! Tiga tempat tersebut memang menjadi tujuan wajib bagi saya, jadi harus selesai dulu baru bisa ke tempat lain (tempat lain means shopping area. Hehe). Sekitar jam 2 siang semua tempat sudah selesai dikunjungi dan barulah saya melanjutkan perjalanan ke pusat kota Bangkok yang saya capai dengan menggunakan bus kota. Tujuan berikutnya MBK (Mah Boon Krong), mall tertua di Bangkok. Tarif busnya murah, cuma 7 Bath atau sekitar Rp 2.100. Trus bagaimana kita tahu bus nomor berapa? Sekali lagi andalannya adalah bertanya di tourist information (sayangnya jumlah pos tourist information terbatas, bahkan ada yang tidak buka, sehingga saya agak kesulitan kalau sampai di tempat yang tidak ada pos informasi). Karena kondektur di dalam bus juga tidak bisa bahasa Inggris maka saya mengucapkan tempat tujuan dengan lambat tetapi keras. Kalaupun masih tidak paham, maka saya membuka peta dan menunjuk area tersebut. Selama ini cara tersebut cukup manjur, meskipun ada juga yang tetap tidak paham. Kesulitan lain adalah nama-nama jalan di Bangkok sebagian besar ditulis dengan huruf Thai dan hanya sedikit yang menyertakan huruf latin termasuk area-area yang dilewati bus, sehingga saya sempat bingung dan stress. Meskipun Bangkok sama macetnya dengan Jakarta, tetapi kemacetan yang ada lebih teratur. Mungkin karena jarang sekali orang menggunakan sepeda motor. Yang banyak justru transportasi umum seperti bus. Bus kota di Bangkok ada yang AC dan non AC, kalau AC bayarnya 2x lipat,  jadi kalau bus biasa 7 Bath, maka yang AC 14 Bath (sekitar Rp 4.200). Enaknya bus di Bangkok sangat banyak sehingga tidak perlu berdesak-desakan. Sambil menunggu di halte saya mengamati hampir semua bus jarang yang penuh sesak, kalaupun penuh, semua penumpang bisa duduk, bahkan ada yang terisi hanya setengahnya. Kondektur juga berseragam sama, seperti pegawai pemerintahan, mungkin semua bus kota dikelola oleh pemerintah. Perjalanan ke tengah kota membutuhkan waktu sekitar 20 menit, karena masih sekitar jam 2 dan belum macet. Selesai melihat-lihat di MBK saya melanjutkan ke  Pratunam market, pasar tradisional yang menjual beragam pakaian dan pernak-pernik dengan naik tuk-tuk sebesar 60 bath. Sebenarnya ingin naik bus juga, tapi karena mengejar waktu saya memutuskan naik tuk-tuk. Sayangnya saya tidak cukup banyak mendapatkan penjual souvenir Thailand, atau mungkin karena waktu saya terbatas sehingga tidak bisa menjelajah seluruh pasar. Selesai di Pratunam saya balik ke MBK. Sebenarnya tujuan berikutnya adalah Suan Lum Night Bazaar di daerah Lumphini yang bisa dijangkau dengan menggunakan BTS (Bangkok Sky Train) tetapi karena sudah malam saya memutuskan untuk kembali ke penginapan. Selain jalanan sangat macet, juga masih harus mencari-cari tempatnya. Jadi Suan Lum Night Bazaar terpaksa saya batalkan diganti dengan Chatuchak market keesokan harinya. Chatuchak market adalah pasar tradisional yang buka hanya di akhir pekan, Sabtu dan Minggu. Menempati area yang sangat luas dan terdiri dari ribuan kios yang menjual segala macam keperluan. Kalau kebetulan berkunjung ke Bangkok di akhir pekan, Chatuchak market tidak boleh dilewatkan. Selain berbelanja, kita bisa merasakan atmosfer pasar tradisional yang kental. Saya rasa anda yang doyan shopping bisa bertahan dari pagi sampai sore di sana. Kalau menginap di Khaosan Road dan ingin ke Chatuchak, maka bisa menggunakan bus no 3 atau BTS. Sayangnya karena BTS belum menjangkau Khaosan, maka harus naik bus dulu ke MBK dengan bus no 47 atau 15,  baru naik BTS di National Stadium Station yang terletak di samping MBK dengan tujuan akhir Mo Chit station. Chatuchak hanya sekitar 5 menit berjalan kaki dari Mo Chit. Ketika menuju Chatuchak, saya sempat nyasar karena menaiki bus yang salah, bukan salah nomornya tetapi salah arah. Harusnya ke arah yang berlawanan dari tempat saya menyetop pertama kali.  Untung saya sengaja duduk di kursi sebelah sopir untuk memudahkan bertanya, tetapi ternyata penjelasan sopir semakin membuat bingung. Hahaha. Kebetulan di belakang saya ada penumpang yang bisa berbahasa Inggris, sehingga membantu menjelaskan ke saya berdasarkan penjelasan sopir. Leganya.. Akhirnya saya turun, menyeberang ke sisi jalan yang lain, dan berganti bus dengan nomor yang sama. Uniknya bus tersebut gratis padahal jarak yang ditempuh lumayan jauh, sekitar 30 menit. Pantas tidak ada kondektur.  Bus yang saya tumpangi berikutnya juga gratis. Saya tidak sempat bertanya kenapa gratis karena keburu turun, cuma merasa aneh saja, masih ada yang gratis di Bangkok padahal penumpangnya cukup banyak, meskipun tidak berdesak-desakan. Selesai di Chatuchak saya kembali ke MBK dengna menggunakan BTS, tarifnya 35 bath atau sekitar Rp 10.500. Cepat dan bebas macet. Sebenarnya tujuan terkahir ke Pratunam, tetapi karena ada yang mau dibeli di MBK saya turun di sana dan baru naik tuk-tuk menuju Pratunam market. Dua hari adalah waktu yang sangat singkat untuk mengenal Bangkok, apalagi belum sempat ke Patpong yang terkenal dengan ladyboy. Hehehe. Bagi saya Bangkok mirip dengan Jakarta, sama-sama macet. Bedanya kemacetan Bangkok lebih teratur dan transportasi umumnya lebih tertib dan manusiawi. Bicara mengenai makanan, buah-buah yang dijual di pinggir jalan juga sama, dari mangga, nanas, anggur, jambu, nangka, pisang, rata-rata 20 bath (Rp 6.000) sekantong plastik. Segar dan nikmat. Makanan juga murah, mulai dari Pad Thai (sejenis kwee tiau) chicken rice, dan ikan atau daging yang dibakar. Biaya hidup hampir sama dengan Jakarta. Membandingkan 3 kota, Jakarta, Singapore, Bangkok, harus diakui Jakarta masih tertinggal dalam urusan transportasi umum dan pengelolaan wisata. Kalau di Singapore ada sungai yang membelah kota dan digunakan sebagai area wisata, di Bangkok juga demikian, bahkan dipakai sebagai alat transportasi. Sungai-sungai di Jakarta kotor dan penuh sampah. Jakarta gencar membangun gedung-gedung baru, mall, apartemen, sedangkan Singapore dan Bangkok sibuk memoles pariwisatanya. Meskipun Bangkok masih kalah dibanding Singapore untuk urusan pengelolaan pariwisata, tetapi Bangkok jelas unggul dalam hal potensi wisata dan budaya. Sayangnya saya belum sempat menjelajah ke tempat-tempat lain di Thailand seperti Pattaya, Phuket, Ciang Mai yang katanya juga indah. Dalam hati saya menyadari bahwa  Indonesia tidak kalah indah dengan keragaman budaya yang tidak ada tandingannya. Kalau Jakarta bagi saya sudah terlalu sesak. Ketika pulang di bandara Suvarnabhuni, saya kaget dengan banyaknya orang asing di sana sampai-sampai antrian di imigrasi untuk foreigner tidak tanggung-tanggung lamanya. Sedikit jengkel karena petugas imigrasi tidak ditambah padahal beberapa meja yang ada antriannya sudah sangat panjang. Mengunjungi tempat-tempat tersebut membuat saya menyadari bahwa potensi Indonesia tidak kalah hebat. Andaikan saja dikelola dengan maksimal, Indonesia pasti jadi surga wisata dunia. Mulai dari budaya, adat, gedung bersejarah, museum, pantai, gunung, semuanya ada, tersebar di seluruh provinsi. Mungkin karena terpencar-pencar sehingga pengelolaannya lebih susah tergantung masing-masing pemerintah daerah.  Kalau ingat Grand Palace, saya ingat Keraton Solo dan Jogja, Wat Pho, Wat Arun,  saya ingat Borobudur, Prambanan. Pasar tradisional, saya ingat Beringharjo, Malioboro, Pasar Klewer. Itu baru Jawa Tengah saja, belum provinsi yang lain, padahal ada 33 provinsi di Indonesia. Wow, sebuah potensi yang luar biasa! Indonesia bukan hanya Bali atau Jogjakarta, masih banyak daerah lain yang menyimpan pesona alam dan budaya. Melihat negara lain membuat saya semakin mencintai bangsa ini meskipun juga "kecewa" dengan pengelolaannya. Kita bisa belajar dari negara lain untuk mengemas wisata menjadi sebuah industri yang kaya devisa. Seperti Bangkok, yang sebenarnya juga belum sehebat Singapore dalam mengelola pariwisata tetapi masih lebih baik dari kita. Kota tersebut memiliki perpaduan budaya dan modernisasi yang indah dan memunculkan keinginan turis untuk datang dan datang lagi. Bangkok, the simply beautiful…..

Thursday, December 16, 2010

singapore (part 2) - first day

Ini cerita tentang pejalan kaki yang menyusuri setiap sudut jalanan sampai kaki serasa pingsan (kakinya doang, coz badannya masih segar bugar. Hehehe)

Cerita berawal dari MRT Little India yang hanya berjarak 200 m dari penginapan (ini berdasarkan browsing internet yang saya baca, kalau fisiknya sendiri belum ada gambaran sama sekali).  Setelah turun dari kereta saya (dan seorang teman) mencari arah keluar, karena ada beberapa alternatif jalan yang bisa digunakan tergantung tujuan kita mau kemana. Sedikit bingung karena belum terlalu familiar, kami terbantu dengan map dinding yang cukup besar yang terdapat di station tersebut. Setelah mempelajari peta dan membuka kembali contekan yang sudah dipersiapkan, maka saya mengambil arah keluar di Bras Basah Road meskipun masih ada sedikit keraguan. Tetapi show must go on,  sehingga kami tetap berjalan keluar dan sampai di sebuah kompleks yang kelihatannya pertokoan (belakangan baru sadar namanya Tekka Centre – padahal sudah baca berkali-kali sebelum berangkat, tapi belum “ngeh” juga. MRT Little India terletak di kompleks ini). Kompleks tersebut berada di persimpangan beberapa jalan, sehingga kami harus mencari-cari arah yang tepat menuju hotel yang terletak di Selegie Road.  Karena sudah jam 2 siang maka kami berdua memutuskan untuk makan dulu sebelum check in, lagi pula waktu check in adalah jam 3 siang. Setelah mencari berkeliling kami melihat deretan rumah makan di kompleks tersebut (mirip seperti food court di ITC) dengan banyak pilihan menu yang bisa disantap. Kalau soal makanan saya termasuk konservatif, susah menerima jenis masakan baru dan sangat tergantung pada selera. Mungkin karena terlalu lama hidup di Jawa Tengah dan makan masakan rumahan, sehingga sulit menerima tantangan baru. Maklum, perut saya termasuk sensitif, tidak cocok sedikit langsung terasa kenyang dan tidak selera makan. Ada syaratnya lagi, setiap hari harus ada nasi, karena kalau belum ketemu nasi berarti belum makan. Hahaha. Setelah melongok di beberapa kios makan, pilihan saya jatuh ke steamed chicken rice, semacam nasi yang dikukus dengan lauk daging ayam yang diiris-iris dan diberi kuah, sedangkan teman saya masih mencari-cari menu yang cocok. Sekali lagi saya bukanlah orang yang fleksibel mengenai makanan, tapi karena saat itu perut sudah lapar, apa yang ada dimakan dulu. Menu yang saya pilih juga lumayan, paling tidak ada nasinya meskipun saya tidak cocok dengan rasanya.  Gurih, tapi menurut saya aneh. Herannya banyak juga yang suka dengan chicken rice (berarti selera saya saja kali ya…). Woah, kalau sudah begini saya akan sangat merindukan nasi + sayur asam + tempe goreng + ikan asin + sambal + kerupuk yang nikmat itu. Hehehee. Selesai makan kami melanjutkan perjalanan menuju hotel dan sempat bertanya ke orang di jalan mengenai arah yang kami tuju. Ternyata hotel tempat kami menginap sangat dekat dari tempat kami makan dan kelihatan dari seberang jalan. Dengan hanya menyeberang 2 kali dan berjalan sekitar 10 menit kami sudah sampai di Fragrance Selegie Hotel tempat kami menginap yang sangat strategis dan berada di tengah-tengah area antara Little India dan Bugis. Kalau mau ke Orchard Road juga sangat dekat, tinggal jalan sekitar 10 menit sudah sampai. Pantas, meskipun kamarnya sangat kecil untuk berdua, tetapi harganya lumayan (mana ada sih hotel di Singapore yang murah, kalau mau lebih  hemat memang bisa mencari dormitory atau backpacker hostel). Setelah istirahat sebentar, kami bersiap-siap untuk jalan ke Orchard sore ini, karena katanya kalau belum ke Orchard berarti belum sah pergi ke Singapore. Hmmm…ada-ada saja! Jam 16.30 kami sudah siap memulai perjalanan dan melangkah menuju Orchard. Keluar dari hotel kami mengambil arah kanan dan terus berjalan menyusuri pertokoan sampai ada perempatan pertama, jalan terus sampai ketemu  perempatan kedua, kalau ke kiri ke Bras Basah Road, ke kanan ke Orchard. Oh ya, modal utama untuk berjalan-jalan di Singapore adalah peta yang dapat dengan mudah didapatkan di Changi atau hotel tempat kita menginap. Pokoknya harus pegang peta, karena sangat membantu . Finally, here we are, Orchard Road, yang kami tempuh dalam waktu sekitar 15 menit berjalan kaki. Mulailah kami menyusuri jalanan yang penuh pertokoan di kanan kiri. Menjelang Natal, Orchard Road berhias dan sungguh indah. Sayangnya karena masih sore maka gemerlapnya belum tampak. Tujuan kami saat ini cuma jalan dan menikmati indahnya suasana menyambut Natal (suasana di pertokoan, yang tentu sangat berbau bisnis. Hehehe). Terkadang kami masuk juga ke mall untuk sekedar melihat-lihat, lalu keluar lagi karena memang tidak berniat membeli. Kalau mau beli oleh-oleh pilihannya di Lucky Plaza yang terletak di ujung dekat MRT Orchard Station. Di situ akan banyak ditemukan cinderamata Singapore seperti jam tangan, gantungan kunci, kaos, dengan bandrol 3 for 10, 3 biji harga S$ 10. Selain di Lucky Plaza,  jatah berbelanja adalah di luar Orchard yaitu Bugis Market, Chinatown, dan Mustafa Centre. Kami menghabiskan malam  itu dengan menyusuri mall satu demi satu, berfoto-foto (pasti), dan berhenti sebentar untuk duduk-duduk melihat orang lalu lalang.  Oh ya, yang tidak boleh ditinggalkan adalah mencicipi ice cream jalanan yang banyak terdapat di sepanjang Orchard yang disebut di buku sebagai Uncle Ice Cream. Kenapa disebut uncle, karena mayoritas penjualnya adalah bapak-bapak tua. Pilihannya adalah ice cream potong (yang ditambah dengan selembar roti tawar) atau ice cream cup dengan banyak rasa seperti durian, coklat, corn, strawberry, dan lain-lain. Rasanya enak, harganya S$1. Uncle ice cream banyak terdapat di sepanjang Orchard dan selalu laku. Herannya yang berjualan semua bapak-bapak tua, mungkin memang dikhususkan untuk memberi mereka pekerjaan. Hehehe (benar tidaknya saya tidak tahu persis). Sampai di ujung Orchard, kami turun ke bawah lewat underpasss untuk menyusuri sisi seberang yang tidak kalah serunya. Kalau dari Selegie road tadi kami belok ke kanan, deretan mall yang kami lewati adalah Plaza Singapura, OG Department Store, Centrepoint, The Heeren, Paragon, Lucky Plaza, Tangs. Melewati underpass, maka kami muncul di sisi lain dari Orchard tempat berdirinya ION Orchard, Wisma Atria, Takashimaya, Orchard Central dan beberapa shopping mall yang lain. Yakin deh, kalau anda termasuk doyan belanja dan sudah menyiapkan banyak uang pasti tidak tahan untuk tidak berbelanja di sini. Kalau saya memang sengaja ingin mencari suasananya saja, jalan-jalan, dan memuaskan keingintahuan mengenai Orchard (kalau teman saya tetap nyari-nyari barang. Hahaha). Waktu kami ke sini ada pertunjukan choir yang membawakan lagu-lagu Natal di depan ION, sayangnya ketika kami sudah siap duduk untuk menonton sekaligus mengistirahatkan kaki, pertunjukan belum juga dimulai, dan baru proses latihan.  Akhirnya kami tinggalkan untuk melanjutkan perjuangan menyusuri Orchard balik ke hotel dari sisi yang belawanan. Fisik masih segar bugar, tetapi kaki sudah mulai tidak bisa diajak kompromi. Kalau saya hitung dari jam setengah 5 sore, sampai saat itu sekitar jam 9 malam, berarti sudah 4 jam saya berjalan-jalan. Waduh, pantas telapak kaki sudah mulai nyut-nyutan. Akhirnya kami memutuskan untuk balik ke hotel karena harus mengumpulkan tenaga untuk perjalanan yang lebih panjang keesokan harinya. Mungkin karena keasyikan berjalan kami sedikit nyasar. Untungnya kami segera sadar sehingga bisa segera balik ke jalan utama. Berjalan-jalan selama 4 jam ternyata membuat lapar juga, sehingga meskipun sudah jam 9 malam kami berrhenti dulu di Mc Donald dengan harapan bisa makan nasi putih. Tapi ternyata keinginan kami hanyalah impian, karena tidak ada nasi di Mc Donald Singapore! Hahaha...Karyawannya (yang kelihatannya dari Indonesia) menjelaskan dengan bahasa, “Tidak ada nasi di Mc Donald Singapore Bu, adanya kentang. Bagaimana?”  Karena lapar, akhirnya kami  setuju saja. Jadilah malam itu kami akhiri dengan seporsi kentang medium dan beberapa chicken wing serta segelas lemon tea dan air mineral. Hah, lumayan kenyang, dijamin tidur  nyenyak. Selesai makan kami berjalan melewati beberapa pertokoan dan mampir sebentar di Fair Price minimarket. Harga barang-barang yang dijual tidak terlalu mahal, seperti judulnya “FairPrice”, dan saya menyempatkan diri membeli 1 sisir pisang yang berisi 5 biji dengan harga S$1.5, atau sekitar Rp 10.300. Lumayan, buat bekal besok jalan-jalan, karena pasti saya sangat membutuhkan kalium dan vitamin.  Kami tiba di hotel sekitar jam 10 kurang, beres-beres, istirahat, tidur, dan siap untuk melanjutkan perjalanan keesokan harinya….



Wednesday, December 15, 2010

singapore (part 1) - reflection



I can not wait for my next travelling! Ternyata jalan-jalan itu enak. Yup, siapa bilang nggak enak? Apalagi saat ini saya dalam posisi libur panjang dan tetap menerima uang gajian. Hehehe...Beberapa hari lalu saya baru balik dari Singapore, my first travelling abroad. Agak ndeso, tapi nggak apa-apa, justru itu asyiknya, lagi pula memang sengaja pergi dengan setengah backpacker (kalau mengaku backpacker murni belum tega, la wong backpacker kok yang dituju tempat belanja melulu. Haha). Persiapan menjelajah negeri tetangga ini sudah saya lakukan jauh-jauh hari, bahkan saya sengaja membeli buku panduan jalan hemat ala backpacker, browsing internet, peta Singapore, tempat-tempat yang akan dituju, makanan, dan banyak hal lainnya. Ini pula yang saya lakukan untuk tujuan berikutnya di Bangkok. Benar-benar saya perlakukan dengan serius, serasa riset, dengan menggabungkan bahan dari buku dan hasil pencarian di internet yang kemudian saya tata sendiri untuk membuat rencana perjalanan dengan menyesuaikan waktu yang ada. Hotel juga sudah saya pesan jauh-jauh hari sehingga semua persiapan terasa komplit. Wah, benar-benar mantap dan tinggal berangkat (yang penting bawa uang banyak. Hehehe). Saya sengaja tidak menggunakan jasa tour travel karena ingin mengeksplorasi dan mencari tahu sendiri negara tujuan. Selain lebih bebas, juga menghemat. Untuk wisatawan seperti saya, perbedaan sekian dollar tentu bermakna. Hehehe. Sebenarnya saya sangat geli karena begitu serius mempersiapkan pengetahuan mengenai negara yang akan dituju dengan membaca sebanyak-banyaknya termasuk rute perjalanan yang akan dilewati. Dengan cara seperti ini saya serasa sudah mengenal negara dan kota tersebut, bahkan sebelum saya menginjakkan kaki ke sana! Hal yang justru tidak saya lakukan ketika saya berangkat ke Jakarta 7 tahun yang lalu. Tidak ada acara membaca buku mengenai Jakarta, mengumpulkan bahan, dan mempelajari kota ini. Mungkin karena merasa masih di negeri sendiri sehingga tidak terlalu peduli dan beranggapan tidak mungkin tersesat. Kalaupun terpaksa nyasar  tinggal naik taksi, selesai.  Nah, kalau pergi ke luar negeri pikiran seperti itu harus saya buang karena tentu saya berusaha mengatur pengeluaran dengan baik.  Karena tidak mempelajari Jakarta, saya tidak terlalu mengenal kota ini dan potensi pariwisatanya. Paling banter Ancol, Dufan, Waterboom, Monas, Kota Tua, Mangga Dua.  Wah, saya jadi merasa bersalah karena tidak mengenal dengan baik kota yang menghidupi saya bertahun-tahun dan saya tempati untuk berkarya. Yang tersisa justru kesan kotor, kumuh, macet, banjir, dan semrawut. Hal yang sangat bertolak belakang dengan penilaian saya tentang Singapore bahkan ketika baru mendarat di bandaranya. Megah, modern, rapi, tertata, itu kesan pertama saya ketika mendarat di Changi. Karena menobatkan diri sebagai setengah backpacker maka saya memilih tidak menggunakan taksi untuk menuju hotel. Alasannya jelas, pertama, ingin merasakan MRT (Mass Rapid Transportation) Singapore yang terkenal itu, kedua karena merasa setengah backpacker, ketiga karena sengaja mengulur waktu agar tiba di hotel tidak kepagian, dan terakhir tentu saja karena ingin berhemat! Anda bisa memilih alasan mana yang kelihatannya paling masuk akal dengan diri saya. Hehehe. Hal yang mengagumkan adalah Singapore menata transportasinya dengan sangat baik, sehingga dari bandara Changi saya sama sekali tidak kesulitan menuju kota. Dari terminal 1 Changi saya naik skytrain ke arah terminal 3 karena MRT Changi station terletak diantara terminal 2 dan terminal 3.  Skytrain disediakan gratis dan selalu tersedia hampir setiap 2 menit. Satu hal yang menarik adalah semua penunjuk arah terpampang dengan  jelas sehingga meskipun baru pertama kali ke Singapore dijamin anda tidak tersesat. Kalaupun nyasar sedikit-sedikit ya wajarlah, kan justru bisa jadi cerita indah. Sampai di terminal 3 saya menuju MRT station yang ada di basement, dan let the camera flash began! Sudah diduga perjalanan ini adalah perjalanan narsis sehingga di setiap tempat jeprat jepret pun tidak terelakkan, termasuk tulisan MRT station dan ticket. Hahaha! Di sebelah General Ticket Machine (GTM) tempat saya akan membeli tiket, berdiri seorang ibu petugas berwajah India yang menyapa dengan ramah, “Where are you going?” “Little India”, jawab saya. “Little India?” “Yes, I want to go to Selegie Road. My hotel is Fragrance Selegie.” “Oh...Selegie Road. The best one. How could you stay there, always full.”  “Yes, I booked the hotel since 3 months ago.” jawab saya “O...good.”  Hotel tempat saya bermalam memang terletak sangat dekat dengan MRT Little India, hanya sekitar 200 meter. Dengan sangat baik beliau melayani saya dan menjelaskan cara menuju ke sana, dimana saya turun, berapa kali ganti MRT, dan terakhir memberikan saya peta kecil rute MRT. ”How long will you stay here?” tanyanya melanjutkan. “3 days.” “3 days? Ok, You better buy Singapore Tourist Pass for your trip. You could go to Bugis MRT station tomorrow, close to Little India. Just go there by walk. Ticket office open on 10 am” jelasnya lagi. Sangat membantu dan sungguh-sungguh mencerminkan keseriusan negara ini untuk meningkatkan pariwisatanya. Mungkin mereka menyadari tidak memiliki sumber daya alam yang cukup, sehingga sektor pariwisata adalah penggerak perekonomian. Saya merasakan bahwa semua petugas begitu terpanggil untuk membantu wisatawan dan menjelaskan dengan sangat ramah.Seperti sebelumnya ketika saya agak bingung harus ke terminal 2 atau terminal 3 untuk menuju MRT Changi station, tourist information center menjadi andalan saya untuk bertanya. Kalau kita terbiasa dengan stasiun yang ramai, banyak penjual, sampah berserakan, orang makan dan minum, maka itu tidak akan pernah kita dapatkan di MRT station. Sangat bersih dan teratur. Bahkan saya tidak berani minum meskipun merasa haus karena saya amati tidak ada orang yang minum atau makan di station. Saya penasaran apakah memang dilarang, tetapi tidak ada tulisan apa-apa yang melarang orang makan dan minum. Rasa penasaran saya akhirnya terjawab ketika di station berikutnya saya membaca peringatan dilarang minum dan makan. Pantas, tidak ada seorangpun yang melakukannya, bahkan hanya untuk minum. Jadi kalau mau naik MRT siapkan diri anda untuk kenyang dan minum dulu secukupnya karena anda tidak bisa melakukannya begitu sudah masuk ke station. Hehehe. Yang mengagumkan saya adalah semua orang menaatinya (termasuk saya yang sebenarnya ingin minum dan menggigit roti secuil saja). Mungkin karena takut dengan dendanya (saya tidak tahu persis berapa denda yang dijatuhkan kalau melanggar peraturan tersebut dan juga tidak tertarik untuk  bertanya). Tetapi apapun itu, entah takut denda atau memang karena kesadaran sendiri, ketaatan warga negara ini terhadap peraturan yang ada patut diacungi jempol. Penumpang yang keluar masuk kereta pun juga teratur. Yang mengherankan turis-turis seperti saya (yang kadang-kadang melanggar peraturan di negeri sendiri) juga dengan rela mengikutinya dan merasa bangga melakukannya. Kalaupun nanti saya balik Jakarta lagi pasti sudah lupa dengan pelajaran yang didapat, dan segera berkilah dengan tangkas, “Tentu saja di Singapore saya taat, karena yang lain juga taat. Kalau di Jakarta, saya taat tetapi yang lain tidak, kan jadi rugi sendiri. Mendingan sama-sama tidak taat.” Begitu deh...jadinya saling menunggu orang lain untuk taat. Sebenarnya ingin memulai dari diri sendiri dan menjadi contoh, tetapi karena terlalu sering meilhat ketidaktaatan, maka yang taat justru menjadi anomali, barang aneh. Akhirnya sampailah saya di MRT Little India setelah perjalanan 1 jam dan berganti kereta 3 kali yang ternyata sangat mudah dan nyaman. Jarak kedatangan satu MRT dengan MRT berikutnya hanya berkisar 2-3 menit sehingga tidak ada penumpukan penumpang. Sekali lagi saya kagum dengan cara pemerintah Singapore menata transportasinya dan merindukan Jakarta memiliki hal yang sama. Apakah karena Singapore sangat kecil sehingga lebih mudah ditata sedangkan Jakarta sudah terlanjur penuh sesak dimana-mana?  Mengamati kemacetan Jakarta yang semakin parah akhir-akhir ini, sepertinya alat transportasi massal yang dapat mengangkut banyak orang seperti MRT dapat dijadikan pilihan, meskipun menurut saya yang pertama harus dibenahi adalah karakter orang-orangnya, baik pemerintah, warga, dan semua komponen yang mencintai Jakarta. Kalau Singapore saja bisa, mestinya Jakarta juga bisa (entah kapan). Keluar dari MRT station dan melangkahkan kaki ke jantung kota Singapore membuat saya kembali berdecak kagum. Bukan karena gedung tinggi yang menjulang, tetapi sekali lagi karena keteraturan kota ini. Jalanan tidak terlalu ramai, mungkin karena saat itu jam 2 siang, tampak ada beberapa proyek di jalanan yang sedang dilakukan. Hebatnya, proyek tersebut sama sekali tidak mengganggu kelancaran lalu lintas, ditutup dengan sangat baik, dan tetap disediakan jalan bagi pejalan kaki. Ya, saya setuju dengan buku yang saya baca bahwa Singapore adalah sorga bagi pejalan kaki karena disetiap jalur jalan yang saya lewati selalu disediakan tempat untuk pejalan kaki. Keteraturan kota ini juga tampak dari orang-orang yang melintas dan menyeberang jalan yang taat pada rambu-rambu yang ada. Ketika tanda merah bagi pejalan kaki, maka semua orang akan berhenti meskipun tidak ada mobil atau motor yang lewat, dan baru berjalan lagi ketika tanda berubah hijau. Kalau di Jakarta mana ada pemandangan seperti ini. Mobil, motor, metromini, pejalan kaki, sama-sama berebut saling mendahului dan mencari jalan sendiri-sendiri. Yap, lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Saya setuju dengan peribahasa itu, yang mengartikan bahwa masing-masing daerah punya cara, kebiasaaan, adat, dan budaya yang berbeda. Tetapi keteraturan dan ketaatan semestinya berlaku universal. Saya sungguh ingin Jakarta teratur dan nyaman, mudah-mudahan bukan hanya sebuah impian. Singapore tidak kurang beragamnya dibading Jakarta. Ada Melayu, China, India, tetapi di tengah keragaman tersebut mereka memiliki bahasa universal untuk keteraturan. Mungkin sedikit berbeda kalau di Little India, karena ketika hari Minggu saya jalan di area tersebut, hampir di setiap tikungan dan tempat penuh gerombolan orang India.  Sangat sesak, dan sesukanya, sehingga saya merasa seperti tidak sedang di Singapore. Agak seram juga kesannya sehingga saya jalan dengan lebih cepat. Kelihatannya daerah ini tidak begitu nyaman untuk jalan kaki, meskipun ini persepsi saya saja, karena sehari sebelumnya saya lewat tempat yang sama tapi tampak biasa meskipun tetap ramai, mungkin karena Minggu hari libur. Tapi begitu keluar dari area tersebut, keteraturan kembali terjaga. Terlepas dari itu, saya mengagumi Singapore sebagai sebuah negara yang sukses mengembangkan pariwisatanya tanpa ada sumber daya alam yang memadai, dan menjaga ketaatan serta keteraturan warganya. Indonesia memiliki sumber daya alam yang jauh lebih hebat, tetapi mungkin karena merasa kaya sehingga kita merasa cukup. Tiba-tiba saya ingat Malioboro Jogja yang bisa juga ditata seindah Orchard road, atau Pasar Klewer Solo yang memiliki karakteristik hampir sama. Indonesia jauh lebih kaya akan alam, budaya, etnis, makanan, dan segala hal, sehingga semestinya kita bisa terbang jauh lebih tinggi dibanding negeri singa itu. Sumber daya alamnya melimpah, pertanyaannya apakah sumber daya manusianya kompeten untuk mengelolanya? Mestinya iya, karena Indonesia penuh dengan orang pintar. Jadi? Itulah yang harus dicari jawabannya dan menjadi tanggung jawab kita bersama.

____***_____

Pagi tadi saya berjalan kaki dari Cempaka Putih ke Taman Solo karena ada yang harus dibeli di minimarket. Maklum masih libur, jadi kerjaannya nyantai dan jalan-jalan. Kenangan berjalan kaki di Singapore masih melekat sehingga saya ingin merasakannya lagi di Jakarta. Tetapi ternyata saya harus bersaing dengan kendaraan lain sampai harus mepet ke pinggir karena tidak ada trotoar dan was-was tersenggol kendaraan meski sukses juga sampai tujuan. Wah, dari rencana mau jalan PP akhirnya saya nyerah pulang naik bajaj. Ambil sisi positifnya deh, memberi rejeki ke orang lain. Ya nggak? Hehehe..

(Sebenarnya ingin menulis pengalaman saya jalan-jalan di Singapore, tetapi jatuhnya selalu refleksi. Mungkin karena belum terbiasa menulis perjalanan, sehingga pikiran saya selalu membawa ke arah perenungan. Hehehe, it’s fine, makanya saya beri judul part 1. Mudah-mudahan saya segera menulis pengalaman jalan-jalannya sehingga bisa jadi catatan jurnal, tanpa embel-embel refleksi)

Tuesday, December 14, 2010

pemain pengganti

Ini cerita tentang pemain pengganti.  Sebenarnya saya ingin menuliskannya setelah pertandingan Indonesia - Thailand selesai digelar di kejuaraan sepak bola ASEAN AFF 2010, tetapi karena berbagai kesibukan menjadi terbengkalai.  Meskipun begitu dorongan untuk menuliskannya tetap besar sehingga saya memutuskan untuk menuliskannya juga dengan harapan tidak terlalu basi untuk dibaca. Saya yakin setiap pemain sepak bola pasti berhasrat menjadi pemain inti dan bukan pemain pengganti atau cadangan. Namanya saja pengganti, berarti hanya bermain untuk menggantikan pemain inti kalau pemain inti berhalangan. Cadangan, berarti dicadangkan, untuk jaga-jaga, atau sering kita mengolok-oloknya dengan istilah  “ban serep”, artinya ban cadangan, hanya dipakai kalau ban inti-nya gembos atau bocor, tetapi kalau ban inti-nya baik-baik saja, ya harus puas sebagai pajangan. Dalam permainan sepakbola pemain pengganti pasti diperlukan sehingga mereka pun harus selalu siap fisik dan mental meskipun jauh di lubuk hati terdalam ada keinginan terpilih sebagai pemain inti.  Selama ini penggantian pemain bisa dilakukan apabila pemain inti cedera, tampil kurang bagus, atau memang ada perubahan strategi dari pelatih, misalnya dari strategi bertahan menjadi menyerang, maka team membutuhkan lebih banyak pemain penyerang daripada bertahan. Pertandingan Indonesia melawan Thailand di penyisihan grup seminggu yang lalu sebenarnya tidak berpengaruh lagi bagi Indonesia karena sudah pasti maju ke semifinal sehingga hasil imbang ataupun kalah tidak menjadi soal, tetapi tentu saja team Indonesia berhasrat menang dan mengalahkan Thailand setelah sekian lama selalu kalah. Impian itu akhirnya terwujud dengan susah payah.  Kemenangan Indonesia atas Thailand dengan skor  2-1  semuanya dicetak melalui titik penalti. Bambang Pamungkas (Bepe) yang masuk sebagai pemain pengganti sukses mengeksekusi kesempatan tersebut. Saya bukanlah penggemar Bepe, tetapi setahu saya Bepe adalah kapten kesebelasan Indonesia selama bertahun-tahun meskipun sekarang posisi itu diberikan ke pemain lain oleh pelatih, dan dia hanya menjadi pemain cadangan. Masuknya pemain naturalisasi membuat persaingan posisi penyerang menjadi sengit dan Bepe bukan lagi menjadi pilihan utama. Praktis ban kapten yang selalu melingkar di lengannya tercabut. Saya rasa ini bukanlah hal yang mudah baginya, tetapi justru hal inilah yang menarik hati saya. Sebelum pertandingan dimulai saya sempat mengirim sms ke keponakan yang sama-sama suka bola, “Indonesia Thailand loh..ayo nonton. Eh, Bambang Pamungkas sekarang cadangan, tidak jadi kapten lagi. Kasihan ya... “  Keponakan saya membalas singkat, “Yoi...”.   “Kasihan”, itu komentar saya. Dari seorang kapten menjadi pemain cadangan tentu tidak mudah apalagi publik seakan melupakan dia yang sudah membela Indonesia selama 11 tahun dan memalingkan muka ke wajah-wajah baru team nasional seperti Irfan Bachdim atau Christian Gonzales yang belum ada seumur jagung membela team nasional. Ya, inilah publik Indonesia. Tetapi  pada pertandingan Indonesia - Thailand kemarin saya melihat hal yang luar biasa, keteguhan mental seorang Bepe. Mungkin ada yang mencela dengan mengatakan gol penalti adalah keberuntungan, tetapi  menurut saya justru tendangan penalti memberikan tekanan mental yang sangat berat buat penendang. Saya ingat di Final Piala Dunia 1994 ketika Roberto Baggio secara tragis gagal menuntaskan tendangan penalti sehingga Italia kalah 3-2 melawan Brasil.  Bayangkan, ini event Piala Dunia dan pemain sekelas Roberto Baggio bisa gagal!  Jadi ketika malam itu Bepe dipercaya mengambil tendangan penalti saya sadar bahwa itu tidak mudah. Tidak semua pemain berani dan berjiwa besar mengambil penalti, karena untuk penalti berlaku hukum yang tidak terbantahkan, “kalau berhasil dan gol itu memang sudah seharusnya, tetapi kalau gagal maka akan dicela sepanjang masa”, apalagi Bepe yang sedang dalam titik terendah dalam karirnya di team nasional. Bagi saya tendangan penalti sangat dramatis dan sering saya tinggal karena tidak tahan merasakan atmosfernya. Maka ketika tendangan penalti pertama sukses dan Indonesia menyamakan kedudukan saya sangat lega, demikian pula dengan penalti yang kedua. Kamera televisi menyorot sebuah spanduk yang bertuliskan “Bepe still a Legend”. Saya tidak sedang membahas panjang lebar mengenai penalti karena saya justru ingin menggali sesuatu yang menarik yaitu sosok pemain pengganti dalam diri Bepe. Tidak mudah menjadi pemain biasa setelah selama ini dipercaya menjadi kapten kesebelasan nasional. Tetapi Bepe dengan rendah hati mengatakan bahwa dia tidak mengharapkan menjadi pemain inti seterusnya karena itu adalah hak pelatih, yang dia lakukan adalah bagaimana bermain sebaik-baiknya kalau diturunkan. Bagi saya ini mengagumkan dan justru menunjukkan kepemimpinannya. Keberanian dia mengambil panalti juga merupakan pertahunan nama besar, karena kalau gagal bisa dipastikan akan dicela dan dicaci maki, apalagi saat ini orang-orang sedang meragukan kemampuannya.  Saya meilhat Bepe bermain secara profesional, sebaik-baiknya, tidak peduli apapun posisinya sekarang. Kalaupun tidak lagi menjadi kapten, itu bukan hal yang penting, karena yang terutama baginya adalah kepentingan team dan bermain sebaik-baiknya. Karena penasaran saya mencari di internet mengenai sosok Bambang Pamungkas dan menemukan official websitenya yang penuh dengan tulisan-tulisan dia yang luar biasa. Seorang yang berprestasi dan rendah hati yang bisa anda pelajari di www.bambangpamungkas20.com. Saya rasa tidak semua pemain bola bisa bersikap seperti itu apalagi saat membela kesebelasan nasional yang sarat dengan  kebanggaan diri. Saya teringat di Piala Dunia 2010 Afrika Selatan kemarin ketika Jerman dipimpin oleh kapten baru Philip Lahm karena Sang Kapten Michael Ballack cedera. Dipimpin Lahm, Jerman tampil impresif meskipun gagal melaju ke final. Sayangnya seusai Piala Dunia, kedua pemain terlibat perang dingin mengenai siapa yang berhak menjadi kapten Der Panzer. Philip Lahm merasa berhasil dan berkeinginan terus menjadi kapten sedangkan Ballack merasa dialah yang berhak.  Bukankah ban kapten adalah wewenang pelatih dan sejatinya seorang pemain harus siap diposisikan sebagai apa saja?  Jadi saya melihat ada perbedaan yang sangat besar di sini.  Bagi Lahm dan Ballack posisi kapten adalah sangat penting, sampai menyulut perseteruan, padahal keduanya sama-sama hebat dan merupakan pemain inti. Bayangkan dengan Bepe yang terdegradasi dari kapten menjadi pemain cadangan, tetapi semangat untuk memberikan yang terbaik tidak pernah pudar. Berbicara mengenai pemain pengganti tidak fair rasanya kalau saya tidak menulis mengenai Arif Hartono, pemain pengganti  lain yang tidak kalah bersinar di kesebelasan nasional dan bermain sebagai gelandang. Sama seperti Bepe, sejauh ini Arif  belum pernah dipercaya penuh sebagai pemain inti, tetapi setiap kali dimasukkan pelatih dia selalu memberikan warna bagi permainan team dan menciptakan gol. Penalti yang didapat ketika melawan Thiland juga berasal dari hasil jerih payahnya. Saya melihat bahwa bagi Bepe dan Arif, posisi sebagai pemain inti bukanlah segalanya, tetapi yang terpenting adalah bagaimana bermain sebaik-baiknya ketika dipercaya pelatih masuk lapangan meskipun hanya sebagai pemain pengganti. Berkat kontribusinya media menjuluki mereka sebagai “supersub”, pemain pengganti yang super. Hasil yang mereka tunjukkan selama inipun ternyata belum cukup membuat mereka dipercaya sebagai pemain inti, tetapi sekali lagi sepertinya mereka tidak terlalu peduli. Yang terpenting adalah bagaimana bermain sebaik-baiknya setiap kali dipercaya. Ini yang saya kagumi dari kedua pemain tersebut, dan mengajarkan saya kerendahan hati. Sering sekali saya terjebak dengan posisi, sehingga ketika saya merasa tidak mendapat posisi yang layak (menurut saya), saya tidak mau memberikan yang terbaik, tetapi memberikan yang sedang-sedang saja sesuai posisi padahal saya tahu persis bahwa saya mampu memberikan lebih. Manusia adalah makhluk yang (sadar atau tidak sadar, diakui atau tidak diakui)  haus dengan kekuasaan. Jabatan, posisi adalah nomor satu, sampai-sampai orang mempertaruhkan segalanya untuk merebut jabatan tertentu dan menghalalkan segala cara untuk bertarung dengan sesama. Yang dicari adalah kekuasaan karena kekuasaan memberikan banyak hal, dan begitu terlempar dari kekuasaan maka sekaan-akan tidak memilki kekuatan lagi, tidak mampu berkontribusi lagi, dan serasa hilang segalanya. Kalau sudah seperti itu maka orang akan berusaha mencari kekuasaan baru. Maka jangan heran kalau orang yang berada di pusat kekuasaan tidak akan pernah mau turun. Kenapa? Karena berkuasa itu enak!  Terus terang kalau saya amati (tapi tidak tahu ini  benar atau salah - mudah-mudahan salah) menjadi pejabat di Indonesia itu enak. Prestasi jelek, dihantam sana-sani tetap saja melenggang kangkung.  Jadi ketua persatuan olahraga ini itu, prestasinya tenggelam, tetap saja tidak mau mundur.  Kenapa? Karena berkuasa itu enak! Saya rasa mestinya mereka belajar dari Bepe dan Arif, tidak peduli apapun posisinya yang penting adalah penampilan terbaik, itu namanya profesionalisme. Memberikan yang terbaik dari kemampuannya dengan atau tanpa jabatan. Karena jabatan hanyalah sementara tetapi profesionalisme dan nama baik berumur panjang. Bukankah katanya jabatan itu amanah, sehingga harus diemban dengan penuh tanggung jawab dan “tahu diri”? Kerendahhatian akan memunculkan respek dan penghormatan tetapi haus kekuasaan hanya akan membawa kepada kehancuran. Kerendahan hati membebaskan diri dari perasaan kehilangan jabatan dan kekuasaan. Saya belajar dari dua orang pemain pengganti yang “super”, yang pasti menyimpan keinginan menjadi pemain inti, tetapi bukan itu yang dikejar karena yang terpenting adalah aktualisasi diri, memberikan terbaik dari yang dimiliki, dan biarlah orang lain yang menyadari seberapa besar jati diri yang kita miliki. Bukan dari jabatan tetapi dari karakter yang muncul melalui kerendahan hati ala pemain pengganti!

Wednesday, December 8, 2010

dari kejuaraan sepak bola AFF (dan refleksi olahraga)

Saya suka nonton bola, tetapi tidak bisa digolongkan sebagai penggemar bola karena hanya mengikuti event-event khusus saja seperti Piala Dunia atau Piala Eropa, sedangkan kejuaraan benua lain atau pertandingan antar klub tidak saya ikuti. Terakhir mengikuti Piala Asia karena ada Indonesia di dalamnya. Bagi saya apapun alasannya kesebelasan Indonesia harus didukung meskipun prestasinya masih memprihatinkan. Tetapi penilaian ini sepertinya harus segera dirubah karena Indonesia tampil impresif di Kejuaraan AFF 2010 (Asean Football Federation) dengan menumbangkan Malaysia, Laos, dan Thailand di penyisihan grup. Jalan memang masih panjang, tetapi kemenangan demi kemenangan yang diraih membangkitkan harapan untuk team nasional.  Ketika menonton pertandingan semalam antara Indonesia vs Thailand melalui televisi saya takjub dengan lautan merah putih yang memenuhi Stadion Senayan. Yah, ternyata masyarakat Indonesia habis-habisan mendukung kesebelasannya. Pemandangan ini tentu sangat ekstrim dibandingkan pandangan masayarakat yang selalu pesimis dengan prestasi team nasional yang kian memburuk dari tahun ke tahun. Padahal kalau dipikir-pikir kita punya 250 juta manusia yang semestinya menjadi sumber daya potensial untuk mencari 22 pemain bola (jangan-jangan terlalu banyak mikir sehingga tidak kunjung bergerak. hehehe). Prestasi yang seret menyebabkan rakyat Indonesia sendiri tidak melirik team nasional.  Tetapi saat ini team nasional menjelma menjadi idola baru, bahkan selebritis baru di dunia hiburan. Praktis acara infotainment yang sempat saya lihat di televisi beberapa hari ini selalu memunculkan berita mengenai pesepakbola kita, apalagi dengan munculnya nama-nama  seperti Irfan Bachdim yang blasteran itu dan Christian Gonzales. Nama-nama lokal juga ikut beredar seperti sang kapten Firman Utina, Markus Haris (yang kebetulan menikah dengan artis) ataupun Oktovianus.  Luar biasa! Penampilan team nasional seakan mengobati bangsa Indonesia yang beberapa bulan terakhir  terluka karena bencana di beberapa daerah negeri ini.  Sebenarnya sebelum kejuaraan ini saya buka pecinta team nasional, karena menurut saya permainannya tidak enak dilihat dan kalah melulu, walaupun  kalau Indonesia berlaga di kejuaraan antar bangsa, hati saya tetap untuk Merah Putih. Jangankan di tingkat dunia, di Asia Tenggara saja prestasi Indonesia nyaris tak terdengar. Tetapi itu dulu, saya berharap Kejuaraan AFF tahun ini menjadi tonggak kebangkitan team nasional, karena bagaimanapun saya ingin kesebelasan kita bisa diperhitungkan. Saya teringat nama-nama di tahun 80-an seperti Bambang Nurdiansyah, Ricky Yakob yang saat itu cukup disegani. Tetapi seiring betambahnya waktu, prestasi Indonesia juga surut, yang tidak surut adalah berita-berita negatif seputar kepengurusan PSSI. Jujur saja, Kalau ditanya siapa kesebelasan favorit saya, jawabannya sudah pasti: Jerman! Kalau tidak percaya anda bisa melihat foto profil saya yang memakai kostum sepakbola negara tersebut. Hehehe. Saya juga tidak tahu kenapa, tetapi kecintaan saya terhadap kesebelasan negeri  ini sudah sangat lama, bahkan sejak televisi masih berwarna hitam putih. Saya ingat pertama kali menonton piala dunia di televisi adalah tahun 1982, berarti sudah hampir 30 tahun yang lalu! Saat itu saya sudah pegang Jerman, mungkin karena merasa ada tali persaudaraaan dengan pemainnya, maklum pemain legendaris Jerman waktu itu adalah Karl Heinz “Rummenigge”,  beda tipis dengan “Rum Martani”.  Wah, pasti anda segera berpikir: ngaco nih! Hahaha...tentu saja ngaco, la wong kedua orang tua saya asli Solo, mana ada darah Jerman, yang ada Jerman = Jejer Kauman. Hahaha.  Jadi anda bisa bayangkan betapa patah hatinya saya ketika Jerman gagal melaju ke final Piala Dunia kemarin, rasa-rasanya Piala Dunia sudah berakhir ketika Jerman kalah dan separuh jiwaku pergi. Halah!  Kalau ditanya pemain Jerman dari tahun 80-an sampai sekarang saya akan dengan fasih menjawab. Mulai era Paul Breitner sampai Schweinsteiger, Lothar Mathaeus sampai Philip Lahm, Karl Heinz Rummenigge sampai Lukas Podolski.  Tetapi jangan bertanya  mengenai team nasional Indonesia karena hanya beberapa nama yang saya ingat. Apakah saya anti nasionalisme? Tidak juga karena saya tetap mendukung kesebelasan Indonesia, meskipun belum sampai pada taraf kesebelasan favorit. Tetapi semuanya berubah setelah saya menonton pertandingan Indonesia di Kejuaraan AFF ini ditambah gencarnya pemeberitaan televisi. Sejujurnya saya berharap banyak team kita mampu juara. Bayangkan saja, masak dengan negara sekecil Singapura kita kalah prestasi. Sejak Piala AFF digelar dari tahun 1996, Singapura mampu menjadi juara AFF 3 kali,  Thailand 3x, dan Vietnam 1x, sedangkan Indonesia sama sekali tidak pernah! Karena itu bisa dipahami kenapa masyarakat begitu antusias dengan kejuaraan kali ini dan begitu berharap Indonesia menjadi juara. Istilahnya bukan haus gelar lagi, tetapi sudah haus dan lapar gelar. Saya juga heran, bagaimana negara sebesar ini kesulitan membentuk kesebelasan yang mumpuni. Bukan hanya sepakbola tetapi juga di seluruh cabang olahraga. Bulutangkis, olahraga yang menjadi kebanggaan Indonesia dan selalu menjadi jawara terus menerus sekarang di ujung tanduk. Saya ingat ketika masih kecil, pertandingan Thomas dan Uber Cup adalah wajib tonton. Kampung bisa mendadak sepi ketika pertandingan digelar.  Dan begitu Indonesia menang teriakan kebanggaan menggema di mana-mana, lalu keesokan harinya mulailah bermunculan pemain-pemain amatir di jalan-jalan kampung yang bermain tepok bulu angsa ini. Tetapi sekarang? Saya tidak melihat gaungnya. Masyarakat tampak mulai apatis, seiring dengan runtuhnya dominasi bulutangkis Indonesia di tingkat dunia. Dahulu, negara kita adalah kiblat bulutangkis dunia selain China, tetpai sekarang kita justru tertatih-tatih bersaing di level dunia bahkan Asia.  Saya teringat di Olimpiade 1992 ketika Indonesia meraih 2 medali emas dari cabang bulutangkis karena perjuangan Alan Budikusuma dan Susi Susanti. Saya begitu terharu sampai meneteskan air mata melihat bendera Indonesia berkibar diiringi lagu Indonesia Raya. Di tingkat Asia sama saja, bulutangkis kita hanya mampu meraih 1 medali emas di Asian Games Guangzou kemarin. Tiga medali emas lainnya disumbangkan oleh dayung perahu naga, cabang olahraga yang sempat akan dicoret karena dianggap terlalu banyak biaya dan kans-nya kecil untuk menang tetapi justru mampu menyelamatkan muka Indonesia. Harus diakui bahwa olahraga kita masih sangat lemah. Jangankan Asia, di ASEAN saja kita sudah bukan raja karena Thailand mengambil alih gelar itu. Di Asian Games kemarin posisi Indonesia juga berada di bawah Thailand dan Malaysia. Saya bukanlah pengamat olahraga dan tidak terjun langsung di dunia olahraga. Saya hanya bagian dari rakyat Indonesia yang cinta negeri ini dan ingin Indonesia bisa dihargai oleh negara lain karena olahraga. Olahraga adalah alat pemersatu dan tolok ukur kebanggaan sebuah negara. Lihat saja di Olimpiade. Dulu sebelum China muncul sebagai kekuatan, Amerika dan Uni Soviet bersaing keras menjadi yang pertama (meskipun kedua negara tersebut sepertinya tidak pernah ikut bersama-sama dalam 1 olimpiade karena saling boikot), tetapi negara yang berprestasi bagus di olahraga dianggap negara yang besar. Lihatlah China yang tumbuh sebagai negara terbesar dan terkuat di olahraga mengungguli Amerika, Jerman, dan negara Eropa Barat lainnya. Jangan lupa selain olahraga, ekonomi China juga tumbuh pesat dan menjadi salah satu raksasa dunia akhir-akhir ini. Jadi sebenarnya olahraga adalah tolok ukur kebanggaan dan mampu menjadi perekat bangsa. Berbagai luka dan duka suatu bangsa bisa pupus karena keberhasilan di bidang olahraga. Olahraga adalah komunikasi politik yang manjur, karena suatu negara akan dihargai dengan prestasinya di bidang olahraga. Keberhasilan Chris John mempertahankan gelar, keberhasilan team nasional menjadi juara grup dan selalu menang dalam 3 pertandingan menjadi asa baru bagi dunia olahraga kita. Kalau negeri sekecil Singapura saja mampu menjadi juara AFF sampai 3 kali, kenapa kita sekalipun belum pernah? Wah, berarti ada yang salah. Dimana salahnya saya tidak tahu. Tapi yang jelas olahraga tentu tidak berdiri sendiri karena ada pemain, pelatih, pengurus, pemerintah, dan supporter. Berarti ada masalah diantara beberapa faktor tadi. Saatnya berbenah, karena semestinya dengan 250 juta, kita bisa menjadi bangsa yang besar di olahraga. Mungkin faktor prioritas yang harus dipertajam, prioritas dan fokus pada prestasi bukan ambisi pribadi. Prioritas pada negeri ini, bukan kepentingan sendiri. Kejuaraan AFF masih menyisakan semifinal dan final, perjalanan team nasional belum berakhir, dan saya sungguh ingin melihat di akhir pertandingan final, piala AFF mau berdiam di Indonesia. Semoga!

Tuesday, December 7, 2010

dibuang (tak) sayang

Saya punya kebiasaan mengumpulkan barang-barang lama yang akhirnya memenuhi kamar dan membuat saya kesulitan meletakkannya. Kebiasaan ini sudah ada sejak saya kos perkali di Salatiga sampai-sampai seorang teman menjuluki saya “nyusuh”, bahasa Jawa yang artinya membuat sarang. Kata “nyusuh” biasanya digunakan untuk menyebut induk burung yang sedang mempersiapkan sarang bagi anak-anaknya, dengan menyusun ranting-ranting atau jerami sehingga sarang menjadi empuk dan siap ditinggali. Itu kalau burung, kalau saya....wah, bukannya menjadi empuk tetapi justru makin rusuh dan berantakan.  Kebiasaan ini berlanjut sampai sekarang, sehingga saya membutuhkan lebih banyak kardus untuk menyimpan barang-barang tersebut.  Jenisnya bermacam-macam, mulai dari tas yang sedikit rusak, celana panjang dan baju-baju yang sudah tidak muat karena berat badan selalu bertambah setiap tahun, sandal, souvenir pernikahan, dan banyak lagi. Selain itu ada juga kumpulan kertas print out motivasi yang sudah berdebu dan hampir coklat, atau blocknote meeting kantor yang sudah kadaluarsa. Belum lagi brosur-brosur rumah atau apartemen hasil dari mengunjungi pameran ini dan itu. Untungnya kebiasaan ini diimbangi dengan kebiasaan yang kontradiktif yaitu membersihkan kamar sampai ke akar-akarnya, dalam arti mengeluarkan kasur, kursi, dan lain-lain yang bisa saya angkut,  setiap ada momen tertentu, misalnya menjelang Lebaran, Natal, Tahun Baru, atau ada perubahan-perubahan radikal dalam hidup saya. Begitu sudah selesai dan kamar tertata rapi, hati saya terasa plong, seakan siap membuka lembaran baru. Kalau sedang rajin saya tidak perlu menunggu saat spesial dan akan melakukannya paling tidak dua bulan sekali, sementara yang seminggu sekali cukup  saya pel dan semprot pewangi,  beres.  Seperti kemarin saya membongkar kamar karena seakan menandai selesainya perjalanan di kantor lama dan bersiap ke tempat yang baru (meskipun masih tahun depan bo...). Saya terkadang geli sendiri dan merasa itu hanya efek psikologis, tetapi karena sudah kebiasaan ya tetap saya kerjakan dengan sepenuh hati. Justru yang menjadi perhatian adalah kesulitan saya untuk membuang barang-barang lama karena merasa sayang padahal jelas-jelas sudah tidak diperlukan. Bahasa Jawanya “eman-eman”, yah..karena kebiasaan nyusuh tadi. Kalau baju atau tas yang sudah tidak terpakai biasanya saya susun dan saya berikan ke bapak pemulung, tetapi pernik-pernik yang lain, bahkan hanya kertas-kertas, tetap saya simpan dengan harapan akan terpakai “suatu hari nanti” atau dengan pemikiran “suatu hari nanti akan berguna”. Kapan hari itu tiba, entahlah, yang jelas sampai saat saya bersih-bersih lagi dua atau tiga bulan ke depan, barang tersebut masih manis tersimpan dan tidak pernah saya gunakan karena memang sudah tidak saya perlukan! Wah, ternyata susah membuang hal-hal yang tidak perlu dalam hidup kita.  Seperti yang saya lakukan tadi. Jelas-jelas bisa dibuang tetapi tetap saja digenggam sampai kapanpun, padahal saya tahu persis itu hanya akan memenuhi kamar saya. Tetapi itulah manusia, susah membuang yang tidak berguna padahal jelas-jelas tidak ada manfaatnya. Mungkin itu juga yang saya alami selama ini. Menyimpan kebencian dan dendam, padahal jelas-jelas tidak perlu. Tapi hati ini rasanya menang. Atau menyimpan luka dan kecewa yang akan dibawa sampai kapanpun. Wah, hebat sekali, emangnya kuat sampai kapanpun? Bukankah itu menjadi beban yang sangat berat? Tapi gitu deh...manusia kan merasa kuat dan mampu menanggung segala sesuatu bahkan hal-hal yang mestinya dibuang untuk membuat langkah ke depan semakin ringan dan terang. Kadang-kadang kita juga menggenggam masa lalu terlalu kuat dan tidak mau keluar dari situ karena perasaan takut menghadapi masa depan seperti saya. Gamang dengan apa yang terbentang di depan tanpa  tahu arah dan tujuan, sehingga tetap berpegang pada hal-hal lama yang membuat saya tenang katena telah melewatinya. Ah, tapi yang saya tahu manusia adalah makhluk yang penuh harapan. Hari ini adalah Tahun Baru Islam, saya membaca status beberapa teman di facebook yang menyiratkan kebahagiaan dan harapan akan masa depan yang lebih baik. Doa-doa dipanjatkan untuk menguatkan hati mengiringi langkah ke depan. Saya tidak begitu familiar dengan Tahun Baru Islam, yang saya kenal adalah 1 Suro dengan tradisi Solo  Kirab Kebo Kyai Slamet. Saya ingat puluhan tahun lalu ketika saya masih kecil, mbah putri saya selalu wanti-wanti  (mengingatkan) tidak boleh tidur sore kalau malam 1 Suro karena ora elok,  tidak layak. Saya tidak tahu kenapa ora elok, tetapi sebagai anak kecil saya menurut saja, dan tetap berusaha melek meskipun  sudah terkantuk-kantuk. Tetapi kalau sudah tidak kuat, saya tetap saja tidur, namanya juga anak-anak, hehehe.  Sampai sekarang saya tidak tahu kenapa tidak boleh tidur awal, mungkin tujuannya agar kita berefleksi mengenai tahun lama dan berdoa untuk tahun baru yang menjelang. Jangan tidur saja, karena  tidur adalah kondisi di mana kita tidak sadar, dan kita tidak tahu apa yang sedang terjadi. Dalam hati saya berpikir mungkin saja alasannya begitu, karena kedatangan Tuhan yang kedua kali pun digambarkan sebagai pencuri yang tidak tahu kapan datang sehingga orang percaya jangan sampai tertidur dan harus terus berjaga-jaga.  Kalau Tahun Baru Islam  diperingati hari ini, maka Tahun Baru Masehi masih 3 minggu lagi. Sebelumnya ada Natal, dan menjelang Natal adalah minggu advent yang saat ini sudah masuk di minggu advent ke-dua. Bagi orang Kristen, minggu advent adalah minggu penantian kedatangan Juru Selamat. Menanti adalah hal yang menjemukan, apalagi kalau menunggu yang tidak pasti. Tetapi advent adalah menunggu penggenapan janji yang pasti. Nah, kalau begitu semestinya saat ini saya sudah harus membersihkan kamar sampai ke akar-akarnya dan membuang yang ridak perlu. Tentu saja itu hanya harafiah, karena maksud saya adalah membersihkan kamar hati saya agar siap menyambut kedatanganNya. Tetapi ya itu tadi, saya masih sering menggenggam hal-hal yang tidak perlu dan tidak akan dipakai lagi. Jawabannya simpel karena saya memang tidak mau melepaskannya. Bayangkan seandainya barang yang sudah expired itu saya berikan ke orang yang memerlukan, bukankah lebih bermanfaat daripada terus menyimpannya lalu dimakan rengat dan berkarat? Atau saya menunggu untuk membuangnya suatu hari nanti dengan hati pilu karena sudah hancur dimakan waktu. Itulah, susah sekali membersihkan hati dari debu-debu yang menempel karena debu itu sudah menjadi bagian dalam hidup kita sehingga kita merasa nyaman hidup dengannya. Saat bersih-bersih kamar kemarin, saya bertekad tutup mata dan dengan tega terus membuang benda-benda yang menurut saya memang sudah tidak dipakai lagi. Saat membuang memang terasa begitu sayang, tetapi saya tidak merasakannya lagi sekarang. Bahkan saya senang karena kamar saya jauh lebih bersih dan sehat.  Perasaan sayang hanya sesaat dan setelah saya membuangnya semua baik-baik saja. Berarti sebenarnya yang membuat masalah adalah saya sendiri, dan saya juga yang harus menyelesaikannya. Buktinya saya justru bisa mengisi kamar saya dengan benda-benda yang jauh lebih dibutuhkan dan akan membantu saya mengisi hari-hari ke depan. Jadi kalau selama ini anda masih menyimpan barang-barang lama yang sudah tidak dipakai lagi dan akan berdebu, saya ingatkan lebih baik dibuang saja,  berujung di tukang loak atau diberikan ke pemulung,  Sama juga dengan hati kita yang harus dipersiapkan untuk membuang yang lama dan mengisinya dengan energi baru sehingga ketakutan akan masa datang dapat kita hadapi dengan semangat tinggi. Lagi pula kenapa mesti takut, kalau saat ini kita sudah sampai di sini dengan selamat, tidakkah itu berarti kita juga akan mampu berjalan ke depan dengan gagah berani? Tentu saja kita tidak berjalan sendiri, karena kalau seperti itu manusia akan merasa hebat dan tidak lagi memerlukan Tuhan. Buktinya ada banyak agama di dunia, itu berarti manusia masih mengakui ada kekuatan di luar sana yang sangat besar, kekuatan Tuhan Semesta Alam yang senantiasa menuntun kita. Saya ingin membawaNya masuk ke hati saya, tetapi Dia berbisik bahwa hati saya masih penuh dengan barang-barang lama yang harus segera disingkirkan sebelum ada ruang untukNya. Saya jadi malu, karena ternyata saya belum menyiapkan ruang bagi Dia, yang justru saat ini saya nanti-nantikan di minggu advent. Ternyata saya hanya mempersiapkan fisik saja, tetapi tidak dengan hati saya. Buktinya ruang hati saya masih dipenuhi dengan barang yang tidak berguna, yang seharusnya sudah saya buang tanpa ada rasa sayang. Kalau masih juga eman-eman, rasanya Dia tidak akan masuk juga, meskipun fisik saya sudah berjalan jauh ke depan. Sampai kapan? Sampai saya membersihkan hati dan menyediakan ruang tersebut untukNya…..