Monday, December 6, 2010

mendua hati

Semalam saya menonton pertandingan Chris John melawan Fernando Saucedo dari Argentina di layar kaca sebagai usaha Chris John mempertahankan gelar kelas bulu WBA. Saya bukan penggemar tinju, tetapi atas nama bangsa dan negara  yang sedang diperjuangkan kehormatannya saya pun terlibat secara emosional untuk menonton pertandingan ini.  Bukan karena ingin melihat orang bertinju, tetapi karena ingin melihat Chris John menang dan bendera Indonesia berkibar. Banyaknya masalah bangsa yang tidak terselesaikan dan kekecewaan terhadap pemerintah negeri ini ternyata tidak menyurutkan kecintaan saya terhadap tanah air tercinta. Bagaimana bisa surut kalau saya lahir, besar, dan hidup di negeri ini.   Sekali lagi saya bukan penggemar tinju dan pasti tidak akan menonton olahraga ini kalau bukan karena Chris John. Terus terang di tengah lesunya prestasi olahraga kita, pencapaian Chris John tentu sangat membanggakan. Sebenarnya saya heran, bagaimana tinju bisa dimasukkan di cabang olahraga. Bagi saya tinju tidak lebih dari pertarungan “pukul-pukulan” dengan resiko sangat tinggi bagi pemainnya. Bayangkan, petinju baru mendapat poin kalau berhasil memukul kepala, bukan perut atau anggota tubuh yang lain. Itu berarti petinju dituntut untuk sebanyak mungkin dan sekeras-kerasanya memukul kepala lawan bahkan sedapat mungkin menjatuhkan mereka. Selama belajar anatomi (ilmu urai) manusia, saya paham bahwa kepala yang keras ini melindungi bagian tubuh yang sangat vital yang disebut otak. Meskipun ada cairan otak yang merupakan bantalan pelindung, tetapi tekanan yang terus menerus dan dalam tingkat kekuatan tertentu akan mampu merusakkannya. Karena pemikiran seperti itu, dan mungkin karena kelembutan hati saya (pasti banyak yang tidak setuju), maka saya tidak habis pikir kenapa tinju dimasukkan ke dalam cabang olahraga, padahal pertandingannya sangat menciderai. Kalau hanya berlatih tinju dengan sansak tanpa bertanding, itu memang olahraga. Tapi mana mungkin seorang petinju hanya berlatih terus tanpa memiliki impian bertanding dan menjadi juara. Sebenarnya saya kagum dengan petinju yang memiliki daya tahan sangat kuat sehingga meskipun dipukul bertubi-tubi tetap berdiri tegak (walaupun kita tidak tahu kesehatan mereka setelah tidak bertanding). Bagimanapun juga saya berpendapat bahwa tinju adalah “olahraga” yang sangat riskan, bahkan semestinya bukan olahraga, karena menurut kamus besar bahasa indonesia olahraga adalah gerak badan untuk menguatkan dan menyehatkan tubuh, bukannya merusak.  Ya, menguatkan dan menyehatkan kalau hanya berlatih bertinju, tetapi kalau sudah bertanding saya tidak menganggapnya sebagai olahraga. Sekali lagi, ini adalah pendapat saya yang tentu saja bebas untuk ditentang atau disetujui, karena saya tidak punya hak untuk memaksakan kehendak.  Di sisi lain, saya menyadari bahwa petinju yang bertanding adalah bekerja mencari nafkah, jadi saya sungguh berharap para petinju itu akan baik-baik saja, mudah-mudahan tidak seperti Mohamad Ali yang kemudian menderita penyakit parkinson di masa tuanya, meskipun kita tidak bisa menyimpulkan  bahwa semua petinju akan terkena parkinson,  atau semua bukan petinju tidak bisa terkena parkinson, tetapi tentu saja  resiko terkena penyakit yang berhubungan dengan otak jelas lebih besar bagi seorang petinju karena trauma pukulan yang mereka derita setiap kali bertanding.  Saya teringat di tahun 80-90 an, ketika Mike Tyson sedang top-topnya dan semua orang menunggu Mike Tyson bertarung, termasuk saya. Menunggu di sini maksudnya ingin melihat bagaimana dia bertarung dan memukul KO lawan dalam sekejap, apalagi kalau lawannya tidak sepadan sehingga nyaris seperti pembantaian. Tapi entah kenapa semua orang suka melihatnya (termasuk saya saat itu) dan sangat terpuaskan kalau Mike Tyson mampu menjatuhkan lawannya dengan cepat. Ah, sungguh sering sekali saya merasa mendua hati, tidak setuju kalau tinju itu olahraga, tetapi  terkadang suka juga melihat pertarungannya. Dalam hati menolak, tetapi mau juga diajak. Wah, susah nih kalau seperti ini. Orang bilang itu namanya malu-malu kucing, malu-malu tapi mau. Sama saja seperti saya yang orang Jawa tulen (katanya terkenal dengan sopan santun dan unggah-ungguhnya) datang bertamu ke suatu tempat. Seperti biasa kalau bertamu tentu banyak hidangan yang disuguhkan dan tuan rumah sibuk untuk menawarkan ini itu. Sebagai orang Jawa tulen, biasanya saya akan berkata, “Iya, terima kasih Pak, Bu, sudah cukup”,  tapi kemudian saya malu-malu mengambil hidangan. Lalu ketika tuan rumah lengah, maka tangan saya sibuk dengan berbagai camilan yang kemudian tinggal separo toples ketika saya pamitan pulang. Waduh, kalau ini sih diagnosanya plus-plus, maksud saya mendua hati plus nggak tahu diri. Hahaha. Kalau saya amati, orang Indonesia ini juga sangat suka mendua hati. Sekarang bilang A, besok sudah jadi B. Apalagi kalau masa-masa menjelang kampanye atau pemilihan umum. Hari ini berkobar-kobar akan memperhatikan rakyat, tetapi nanti kalau sudah terpilih rakyat yang harus memperhatikan dia.  Maklum, modalnya besar, jadi kalau berkuasa, prioritas utama adalah bagaimana bisa balik modal. Urusan janji-janji saat kampanye itu bisa nanti, bukankah rakyat Indonesia terkenal sabar dan pemaaf. Saya juga sering mendengar orang-orang bicara anti Amerika, tapi sehari-hari mereka bangga dengan produk-produk merk Amerika, makan makanan ala Amerika, nonton film Hollywood dan terkagum-kagum dengan kehebatan ceritanya, mengoleksi lagu-lagu penyanyi Amerika, mengadopsi  talent show dan acara tivi ala Amerika, dan banyak lagi.  Hanya bicara tanpa tindakan nyata. Saya sendiri heran, bagaimana bisa seperti itu. Ketika Barack Obama datang, sebagian besar orang kagum dan menyambutnya, meskipun tetap ada demonstrasi dimana-mana. Tapi harus diakui bahwa Obama disambut bak pahlawan, bahkan lebih pahlawan dari pahlawan kita sendiri. Semua itu karena kita merasa sebagai bangsa yang kecil ketika berhadapan dengan Amerika. Jadi sebenarnya benci tapi rindu, malu-malu tetapi mau, tidak butuh tetapi sangat butuh. Nah lo, gimana ya, susah juga mendeskripsikannya. Tapi begitulah, karena kita terbiasa dengan mendua hati. Hari ini bicara kebebasan beragama, tapi saat menolong orang lain dicurigai ada indikasi penyebaran agama tertentu. Bicara kebebasan beribadah, tetapi mendirikan rumah ibadah saja sulitnya bukan main. Hari ini bicara penegakan hukum, tetapi orang-orang yang seharusnya menjadi tonggak justru terlibat dalam mafia hukum. Hari ini bicara kesadaran masyarakat untuk membayar pajak, tetapi di sisi lain penggelapan pajak terjadi dalam skala besar. Baru-baru ini pemerintah DKI akan memberlakukan pajak bagi warteg, meskipun sang Gubernur menyatakan bahwa itu baru wacana. Saya membayangkan bahwa ada ribuan warung tegal di seluruh Jakarta dengan omzet yang beragam. Kalau warteg dikenai pajak, tentu pemilik warteg tidak akan tinggal diam. Maksud saya pasti akan berusaha agar pendapatan tidak berkurang, karena mereka juga harus membayar karyawan selain membiayai diri sendiri dan itu bisa dilakukan dengan cara menaikkan harga.  Konsumen warteg tidak punya pilihan lain selain membayar lebih untuk sepiring makanan dengan menu yang sama.  Bagaimanapun juga saat ini warteg adalah pilihan tempat makan yang masih dianggap “murah meriah dan terjangkau”. Saya sadar, banyak juga pengusaha warteg yang sukses dan kaya raya melebihi pegawai kantoran yang kerja siang malam seperti saya. Saya juga sadar pemerintah  DKI berusaha meningkatkan pendapatan daerah, tetapi rasanya kok memancing yang kecil-kecil, sementara jaring untuk menangkap pengemplang pajak besar justru bolong disana sini. Istilahnya mengais-ngais dari orang kecil yang tidak bisa mengelak, tetapi membiarkan orang besar melenggang kangkung tanpa hambatan.  Saya tahu, tentu tidak semuanya berlaku seperti itu, tetapi seperti kata pepatah, karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Ah, saya bukanlah seorang yang suka politik, karena hidup saya sudah banyak terisi dengan carut marut yang lain , tetapi melihat kondisi bangsa ini saya tidak tahan juga mengeluarkan curahan hati. Jangan sampai terjadi pemerintah terpilih akan bilang begini kepada rakyat, ”Wah, saya tidak menyangka ternyata problemnya banyak sekali. Susah lo jadi pemerintah, harus mikir sana mikir sini. Situ enak, jadi rakyat,  bebas, bisanya cuma protes dan demonstrasi.”  Waduh, kalau seperti itu saya akan segera menjawab, “Emang enak Pak/Bu, bukannya dulu waktu pencalonan sudah tahu resikonya. Kok tetap nekat? Jadi sekarang ya jangan mau terima wewenang saja tanpa ada tanggung jawabnya. Justru rakyat memilih karena menganggap anda bisa. Kalau tahu seperti ini, rakyat juga tidak akan memilih anda.”  Ya iyalah,semua ada resikonya. Petinju yang bertanding pun resikonya sangat besar, karena itu bayaran mereka juga besar. Coba bayangkan seandainya sebelum bertanding tiba-tiba Chris John berkata, “Wah...ngeri sekali lawannya. Saya mundur saja deh..tapi bayarannya tetap ya. Kalau nggak separo saja juga boleh....”   Mana ada bung!  Sekali sudah melangkah, ya harus dituntaskan. Mendua hati memang mudah, tapi resikonya itu loh.... sama seperti  pasangan suami istri yang hidup bahagia, tapi kemudian sang suami tertarik wanita lain. Pertama sih berbunga-bunga, semua indah dan tanpa halangan, tapi akhirnya sang suami berkata, “Wah...gimana ya, dia minta dinikahi juga. Nggak mungkinlah...mana bisa?”  Waduh, kalau sudah begitu, itu urusan anda, jangan minta saran dari saya,  pertama karena saya belum menikah, kedua karena paling banter saya akan bilang, “itu masalah anda, bukan masalah saya. Emang enak.......”

2 comments:

  1. well...surprise...ga nyangka doc rum punya bakat nulis...nice...ditunggu kisah inspiratif dari pengalamannya yg unik...lagi

    ReplyDelete
  2. pak jony, thanks comment-nya. enjoy tulisanku yang lain yah, masih belajar nih. ditunggu next commentnya lagi...

    ReplyDelete