Wednesday, December 8, 2010

dari kejuaraan sepak bola AFF (dan refleksi olahraga)

Saya suka nonton bola, tetapi tidak bisa digolongkan sebagai penggemar bola karena hanya mengikuti event-event khusus saja seperti Piala Dunia atau Piala Eropa, sedangkan kejuaraan benua lain atau pertandingan antar klub tidak saya ikuti. Terakhir mengikuti Piala Asia karena ada Indonesia di dalamnya. Bagi saya apapun alasannya kesebelasan Indonesia harus didukung meskipun prestasinya masih memprihatinkan. Tetapi penilaian ini sepertinya harus segera dirubah karena Indonesia tampil impresif di Kejuaraan AFF 2010 (Asean Football Federation) dengan menumbangkan Malaysia, Laos, dan Thailand di penyisihan grup. Jalan memang masih panjang, tetapi kemenangan demi kemenangan yang diraih membangkitkan harapan untuk team nasional.  Ketika menonton pertandingan semalam antara Indonesia vs Thailand melalui televisi saya takjub dengan lautan merah putih yang memenuhi Stadion Senayan. Yah, ternyata masyarakat Indonesia habis-habisan mendukung kesebelasannya. Pemandangan ini tentu sangat ekstrim dibandingkan pandangan masayarakat yang selalu pesimis dengan prestasi team nasional yang kian memburuk dari tahun ke tahun. Padahal kalau dipikir-pikir kita punya 250 juta manusia yang semestinya menjadi sumber daya potensial untuk mencari 22 pemain bola (jangan-jangan terlalu banyak mikir sehingga tidak kunjung bergerak. hehehe). Prestasi yang seret menyebabkan rakyat Indonesia sendiri tidak melirik team nasional.  Tetapi saat ini team nasional menjelma menjadi idola baru, bahkan selebritis baru di dunia hiburan. Praktis acara infotainment yang sempat saya lihat di televisi beberapa hari ini selalu memunculkan berita mengenai pesepakbola kita, apalagi dengan munculnya nama-nama  seperti Irfan Bachdim yang blasteran itu dan Christian Gonzales. Nama-nama lokal juga ikut beredar seperti sang kapten Firman Utina, Markus Haris (yang kebetulan menikah dengan artis) ataupun Oktovianus.  Luar biasa! Penampilan team nasional seakan mengobati bangsa Indonesia yang beberapa bulan terakhir  terluka karena bencana di beberapa daerah negeri ini.  Sebenarnya sebelum kejuaraan ini saya buka pecinta team nasional, karena menurut saya permainannya tidak enak dilihat dan kalah melulu, walaupun  kalau Indonesia berlaga di kejuaraan antar bangsa, hati saya tetap untuk Merah Putih. Jangankan di tingkat dunia, di Asia Tenggara saja prestasi Indonesia nyaris tak terdengar. Tetapi itu dulu, saya berharap Kejuaraan AFF tahun ini menjadi tonggak kebangkitan team nasional, karena bagaimanapun saya ingin kesebelasan kita bisa diperhitungkan. Saya teringat nama-nama di tahun 80-an seperti Bambang Nurdiansyah, Ricky Yakob yang saat itu cukup disegani. Tetapi seiring betambahnya waktu, prestasi Indonesia juga surut, yang tidak surut adalah berita-berita negatif seputar kepengurusan PSSI. Jujur saja, Kalau ditanya siapa kesebelasan favorit saya, jawabannya sudah pasti: Jerman! Kalau tidak percaya anda bisa melihat foto profil saya yang memakai kostum sepakbola negara tersebut. Hehehe. Saya juga tidak tahu kenapa, tetapi kecintaan saya terhadap kesebelasan negeri  ini sudah sangat lama, bahkan sejak televisi masih berwarna hitam putih. Saya ingat pertama kali menonton piala dunia di televisi adalah tahun 1982, berarti sudah hampir 30 tahun yang lalu! Saat itu saya sudah pegang Jerman, mungkin karena merasa ada tali persaudaraaan dengan pemainnya, maklum pemain legendaris Jerman waktu itu adalah Karl Heinz “Rummenigge”,  beda tipis dengan “Rum Martani”.  Wah, pasti anda segera berpikir: ngaco nih! Hahaha...tentu saja ngaco, la wong kedua orang tua saya asli Solo, mana ada darah Jerman, yang ada Jerman = Jejer Kauman. Hahaha.  Jadi anda bisa bayangkan betapa patah hatinya saya ketika Jerman gagal melaju ke final Piala Dunia kemarin, rasa-rasanya Piala Dunia sudah berakhir ketika Jerman kalah dan separuh jiwaku pergi. Halah!  Kalau ditanya pemain Jerman dari tahun 80-an sampai sekarang saya akan dengan fasih menjawab. Mulai era Paul Breitner sampai Schweinsteiger, Lothar Mathaeus sampai Philip Lahm, Karl Heinz Rummenigge sampai Lukas Podolski.  Tetapi jangan bertanya  mengenai team nasional Indonesia karena hanya beberapa nama yang saya ingat. Apakah saya anti nasionalisme? Tidak juga karena saya tetap mendukung kesebelasan Indonesia, meskipun belum sampai pada taraf kesebelasan favorit. Tetapi semuanya berubah setelah saya menonton pertandingan Indonesia di Kejuaraan AFF ini ditambah gencarnya pemeberitaan televisi. Sejujurnya saya berharap banyak team kita mampu juara. Bayangkan saja, masak dengan negara sekecil Singapura kita kalah prestasi. Sejak Piala AFF digelar dari tahun 1996, Singapura mampu menjadi juara AFF 3 kali,  Thailand 3x, dan Vietnam 1x, sedangkan Indonesia sama sekali tidak pernah! Karena itu bisa dipahami kenapa masyarakat begitu antusias dengan kejuaraan kali ini dan begitu berharap Indonesia menjadi juara. Istilahnya bukan haus gelar lagi, tetapi sudah haus dan lapar gelar. Saya juga heran, bagaimana negara sebesar ini kesulitan membentuk kesebelasan yang mumpuni. Bukan hanya sepakbola tetapi juga di seluruh cabang olahraga. Bulutangkis, olahraga yang menjadi kebanggaan Indonesia dan selalu menjadi jawara terus menerus sekarang di ujung tanduk. Saya ingat ketika masih kecil, pertandingan Thomas dan Uber Cup adalah wajib tonton. Kampung bisa mendadak sepi ketika pertandingan digelar.  Dan begitu Indonesia menang teriakan kebanggaan menggema di mana-mana, lalu keesokan harinya mulailah bermunculan pemain-pemain amatir di jalan-jalan kampung yang bermain tepok bulu angsa ini. Tetapi sekarang? Saya tidak melihat gaungnya. Masyarakat tampak mulai apatis, seiring dengan runtuhnya dominasi bulutangkis Indonesia di tingkat dunia. Dahulu, negara kita adalah kiblat bulutangkis dunia selain China, tetpai sekarang kita justru tertatih-tatih bersaing di level dunia bahkan Asia.  Saya teringat di Olimpiade 1992 ketika Indonesia meraih 2 medali emas dari cabang bulutangkis karena perjuangan Alan Budikusuma dan Susi Susanti. Saya begitu terharu sampai meneteskan air mata melihat bendera Indonesia berkibar diiringi lagu Indonesia Raya. Di tingkat Asia sama saja, bulutangkis kita hanya mampu meraih 1 medali emas di Asian Games Guangzou kemarin. Tiga medali emas lainnya disumbangkan oleh dayung perahu naga, cabang olahraga yang sempat akan dicoret karena dianggap terlalu banyak biaya dan kans-nya kecil untuk menang tetapi justru mampu menyelamatkan muka Indonesia. Harus diakui bahwa olahraga kita masih sangat lemah. Jangankan Asia, di ASEAN saja kita sudah bukan raja karena Thailand mengambil alih gelar itu. Di Asian Games kemarin posisi Indonesia juga berada di bawah Thailand dan Malaysia. Saya bukanlah pengamat olahraga dan tidak terjun langsung di dunia olahraga. Saya hanya bagian dari rakyat Indonesia yang cinta negeri ini dan ingin Indonesia bisa dihargai oleh negara lain karena olahraga. Olahraga adalah alat pemersatu dan tolok ukur kebanggaan sebuah negara. Lihat saja di Olimpiade. Dulu sebelum China muncul sebagai kekuatan, Amerika dan Uni Soviet bersaing keras menjadi yang pertama (meskipun kedua negara tersebut sepertinya tidak pernah ikut bersama-sama dalam 1 olimpiade karena saling boikot), tetapi negara yang berprestasi bagus di olahraga dianggap negara yang besar. Lihatlah China yang tumbuh sebagai negara terbesar dan terkuat di olahraga mengungguli Amerika, Jerman, dan negara Eropa Barat lainnya. Jangan lupa selain olahraga, ekonomi China juga tumbuh pesat dan menjadi salah satu raksasa dunia akhir-akhir ini. Jadi sebenarnya olahraga adalah tolok ukur kebanggaan dan mampu menjadi perekat bangsa. Berbagai luka dan duka suatu bangsa bisa pupus karena keberhasilan di bidang olahraga. Olahraga adalah komunikasi politik yang manjur, karena suatu negara akan dihargai dengan prestasinya di bidang olahraga. Keberhasilan Chris John mempertahankan gelar, keberhasilan team nasional menjadi juara grup dan selalu menang dalam 3 pertandingan menjadi asa baru bagi dunia olahraga kita. Kalau negeri sekecil Singapura saja mampu menjadi juara AFF sampai 3 kali, kenapa kita sekalipun belum pernah? Wah, berarti ada yang salah. Dimana salahnya saya tidak tahu. Tapi yang jelas olahraga tentu tidak berdiri sendiri karena ada pemain, pelatih, pengurus, pemerintah, dan supporter. Berarti ada masalah diantara beberapa faktor tadi. Saatnya berbenah, karena semestinya dengan 250 juta, kita bisa menjadi bangsa yang besar di olahraga. Mungkin faktor prioritas yang harus dipertajam, prioritas dan fokus pada prestasi bukan ambisi pribadi. Prioritas pada negeri ini, bukan kepentingan sendiri. Kejuaraan AFF masih menyisakan semifinal dan final, perjalanan team nasional belum berakhir, dan saya sungguh ingin melihat di akhir pertandingan final, piala AFF mau berdiam di Indonesia. Semoga!

No comments:

Post a Comment