Menjadi seorang dokter kadang kala merupakan privilege tersendiri, terutama tentu saja untuk hal-hal yang berhubungan dengan kesehatan. Sebagai contoh, sabtu kemarin saya baru saja menjalani medical check up di sebuah Rumah Sakit untuk seleksi ujian. Setelah melewati serangkaian kegiatan seperti ambil sampel darah, periksa mata, foto rontgen, maka tahapan terakhir adalah pemeriksaan fisik diagnostik oleh dokter. Tidak saya sangka ternyata antrinya cukup banyak, dan 1 kali pemeriksaan bisa sampai 20 menit. “Lama juga nih” pikir saya. Setelah menunggu hampir 1 jam, maka tibalah giliran saya. Begitu masuk ke ruang periksa, dokter yang memeriksa tiba-tiba berdiri dan mengulurkan tangan sambil berkata, “Silakan duduk, dokter Rum. Kok tidak ditulis dokternya” tanyanya sambil tersenyum. Setelah duduk, dokter tersebut menambahkan huruf “dr” di depan nama saya. Saya tertawa kecil dan menjawab, “Iya dok, gak papa, sudah ditinggalin juga kok dokternya. Hehehe”. Setelah ngobrol sebentar, dokter tersebut mempersilakan saya untuk tiduran dan memeriksa tekanan darah. “Bagus tensinya dok, 120/80.” “Oh, terima kasih”, jawab saya. Saya mengira dokter tersebut akan melanjutkan pemeriksaan, tapi ternyata salah. Dia segera duduk, membuat catatan sebentar, lalu berkata’” Sudah selesai dokter Rum, mudah-mudahan hasilnya bagus semua.” “Oh, sudah dok? Tanya saya kaget. ”Iya deh, terima kasih banyak dok.” lanjut saya sambil berjabat tangan. Saya segera keluar ruangan. Wah, cuma 5 menit. Orang-orang yang menunggu di luar kelihatan kaget melihat saya keluar secepat itu. Saya segera melangkah pulang sambil tersenyum dan bergumam,”Jadi dokter kadang-kadang enak juga. hehehe”.
Setahun yang lalu saya juga mengalami hal yang sama ketika mengurus perpanjangan SIM A. Saya memang sengaja mengurus sendiri, selain hemat juga ingin menjadi warga negara yang baik. Saat harus tes kesehatan, saya melihat bahwa yang bertugas adalah seorang perawat yang kemudian memepersilakan saya duduk setelah sampai giliran saya. “Duduk mbak. Saya periksa dulu” ucapnya sambil melingkarkan tensimeter ke lengan saya. Tetapi semua berubah ketika dia membaca foto copy KTP saya. Oh ya, di KTP saya masih menuliskan pekerjaan sebagai “Dokter”. Bukan untuk gaya, tapi bingung juga kalau harus mengisi dengan “Karyawan swasta”. Rasanya aneh, kurang keren. Hahaha. Begitu petugas tersebut membaca kalau saya dokter, sikapnya berubah. “Oh, bu dokter. Praktek di mana dok?” tanyanya yang disambung dengan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Sejurus kemudian pemeriksaan saya sudah selesai. “Sudah selesai tes-nya, dok. Dokter langsung bawa saja berkasnya ke loket sana.” Ucapnya sambil menunjuk sebuah loket. “Wah, cepat sekali” pikir saya. Saat menuju loket yang ditunjuk dan mengantri foto, privilege tersebut muncul lagi. Pak polisi yang bertugas memotret saat membaca berkas saya langsung memberi tempat, “Bu dokter, sini dok. Langsung foto”. “Wah, gak perlu ngantri lama nih”, pikir saya. “Ternyata jadi dokter tuh menyenangkan juga. Hehehe”.
Saya teringat 20 tahun yang lalu ketika saya lulus SMA dan harus menentukan kuliah di mana. Waktu itu saya ikut program PMDK dan lolos masuk Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Solo tanpa saringan UMPTN. Jadilah ketika teman-teman sibuk belajar mempersiapkan ujian masuk PTN, saya justru sibuk membaca komik Kho Ping Ho. Maklum, sudah ketrima, jadi mau ngapain lagi? Kalau saya ditanya kenapa memilih kedokteran, saya tidak punya jawaban pasti saat itu. Yang terbersit hanyalah bahwa jadi dokter itu keren. Pakai jas putih. Itu saja. Saya tidak berpikir banyak mengenai hal-hal mulia seperti menjadi dokter untuk menolong orang lain dan sebagainya. Enggak ada tuh. Alasannya simpel, keren saja! Hahaha..nyebelin nggak sih! So, beginilah jadinya. Setelah lulus, saya akhirnya benar-benar tidak menjadi dokter yang baik, karena meninggalkan dunia itu dan berjalan mengikuti panggilan hati di bidang training dan people development. Apakah ada perasaan menyesal? Nggak ada, cuma harus diakui waktu jadi banyak terbuang. Tetapi saya tidak bisa menyalahkan siapa-siapa untuk hal ini, karena memang tidak ada yang memaksa saya kuliah kedokteran. Hanya ketidaktahuan dalam menyadari talenta saja yang membuat jalan saya menjadi berliku. Tetapi saya bersyukur, bahwa akhirnya saya berani mengambil jalan yang benar-benar saya sukai, meninggalkan praktek kedokteran dan mengikuti panggilan hati. Banyak orang mengatakan sayang sekali saya tidak praktek dokter, tapi jauh di dalam hati saya menyadari bahwa jalan yang saya ambil sekarang itulah yang terbaik. Di luar semua itu, belajar di kedokteran, menjadi dokter, dan sempat mempraktekkan ilmu yang saya pelajari meskipun sebentar turut memberikan warna dalam hidup saya.
Saya menyadari bahwa dokter hanyalah sebuah gelar yang menempel di sebuah nama. Gelar itu menjadi tidak berarti kalau nama yang ada di belakangnya tidak menjiwai dan menghidupi gelar tersebut. Itulah sebabnya saya tidak pernah mencantumkan gelar itu di depan nama saya, karena saya merasa tidak menjiwai dan menghidupinya sehingga gelar tersebut memiliki makna lebih dalam dari sebuah gelar, tetapi sungguh bermanfaat bagi orang lain sesuai dengan sumpah yang berada di balik gelar tersebut. Saya harus mengakui bahwa gelar “dokter” memberikan sesuatu yang lebih dan berbeda. Sebagai contoh, lulusan dokter akan dipanggil Bu/Pak Dokter di manapun dia berada. Tapi lulusan teknik, orang tidak akan memanggil mereka Pak Insinyur atau Pak Sarjana Teknik. Ataupun lulusan pertanian misalnya, tidak akan dipanggil dengan Bu/Pak Sarjana Pertanian. Begitu juga lulusan psikologi yang kemudian mengambil profesi psikolog, tidak akan dipanggil dengan sebutan Bu/Pak Psikolog. Jadi harus saya akui, bahwa gelar dokter itu sungguh spesifik. Hal ini yang kadang membuat kalangan dokter sendiri berpendapat bahwa dokter itu memiliki ego yang tinggi dan susah diatur. Menurut saya bisa ya bisa tidak, tapi sering ada benarnya juga. Seperti sebuah acara kuis 1 lawan 100 yang baru saja saya tonton sekilas di Indosiar. Seorang dokter muda yang ikut di acara tersebut sudah mengumpulkan uang 41 juta. Jumlah yang tidak sedikit tentu saja dan itu semua dicapai tanpa pernah memakai alat-alat bantuan yang dimiliki. Wah, hebat juga. Ketika masuk ke pertanyaan berikutnya dan sang dokter agak ragu, diapun tetap lanjut tanpa menggunakan alat bantuan yang dimiliki. Padahal sesungguhnya dengan alat bantu seperti bertanya ke audience, pass, atau dobel, atau apalagi saya lupa, segalanya akan lebih mudah. Tetapi sayangnya dengan confidence yang tinggi dokter tersebut tetap memilih satu jawaban tanpa memanfaatkan alat bantu, meskipun dia juga ragu dengan jawaban tersebut. Dan ternyata jawabannya salah! Maka melayanglah uang 41 juta hanya karena dia tidak mau menggunakan alat bantu yang diberikan. Spontan saya bergumam, “Sombong sekali sih, kan ada alat bantu. Kenapa tidak dipakai. Kalau pintar dan strategik, dia bisa membawa pulang uang puluhan juta. Lumayan kan”. Sejujurnya saya tidak sungguh-sungguh melihatnya sebagai kesombongan seorang dokter, meskipun hal itu sempat tercetus. Mungkin saja sang dokter juga grogi sehingga bingung harus bagaimana. Ketika ditanya pembawa acara kenapa tidak mau menggunakan alat bantu, dokter tersebut menjawab pendek, “Percaya pada feeling saja”. Waduh, sayang sekali dok! Seandainya alat bantu dipakai, bisa jadi hasil akhirnya berbeda.... Tetapi sekali lagi saya tegaskan, it’s just a game!
Suatu ketika saya merelakan diri ditangkap polisi lalu lintas karena melanggar lampu merah. Sebenarnya kesal juga, karena moncong mobil saya sudah melewati lampu yang saat itu masih berwarna kuning. Tapi apa daya, ternyata di jalanan gelar dokter saya tidak berguna. Dengan malas saya menunjukkan SIM, STNK, dan pak polisi mulai menjelaskan kesalahan saya serta berapa denda yang harus saya tanggung (Maklum, dalam 1 bulan ketangkap polisi dua kali dengan kesalahan yang sama. Saat ditilang pertama kali saya sengaja memilih tilang karena ingin jadi warga negara yang baik. Tapi setelah tahu prosesnya dan uangnya juga tidak jelas, maka saya berjanji pada diri sendiri untuk menyelesaikan masalah lalu lintas di pinggir jalan. Hahaha.) Polisi tersebut ketika membaca SIM saya segera berkata “O..bu dokter”. “Iya Pak, saya buru-buru nih. Maaf, ada pasien gawat.” (waduh, bohong nih. Ah biarin saja deh, sekali-kali, pikir saya). Saya pikir polisi tersebut akan berubah sikap setelah tahu saya dokter dan ada pasien gawat menunggu. Siapa tahu dia maklum kenapa saya terpaksa melanggar lampu merah. Tapi ternyata salah besar! Polisi itu tidak bergeming dan tetap melanjutkan pembicaraan. “Iya bu dokter, jadi bagaimana? Ditilang saja atau bagaimana? Kalau menurut pasal yang ada, dendanya Rp 500 ribu untuk pelanggaran lampu lalu lintas.” “Waduh, payah nih, gak mempan.” pikir saya. Akhirnya karena tidak mau berpanjang lebar, saya segera memberikan “sesuatu” kepada petugas tersebut yang kemudian membiarkan mobil saya berjalan lagi. Sepanjang perjalanan saya berpikir, “Waduh, ternyata gelar dokter tidak berlaku di jalanan. Apalagi kalau digunakan untuk berbohong. Tetep....rugi. Kapok deh, ntar gak pakai lagi gelar itu. Malah dirampok lebih banyak. Celaka dua belas...!
Sekali lagi saya menyadari bahwa gelar tidak lebih dari sebuah tempelan huruf di depan nama yang bisa jadi tidak akan berguna seandainya tidak memberikan perubahan apa-apa bagi sang pemilik dan dampak yang sginfikan bagi diri sendiri dan orang lain. Bekerja selama 6 tahun di dunia farmasi dan berhubungan dengan banyak dokter, terkadang membuat saya bersyukur tidak menggunakan lagi gelar itu karena perilaku sejawat yang terkadang bertentangan dengan hati nurani. Tetapi meskipun begitu, saya bersyukur masih dapat menemukan dokter-dokter tulus dan rendah hati yang sungguh-sungguh memberikan ilmunya untuk membantu orang lain, dan saya sungguh berharap teman-teman saya masuk kelompok ini karena saya percaya dokter-dokter seperti itulah yang dibutuhkan, bukan seperti saya tentunya!
No comments:
Post a Comment