Catatan tentang talenta
Alkisah ada seorang bangsawan yang akan pergi merantau di negeri yang jauh. Sebelum berangkat dia memanggil 3 orang hambanya. Yang seorang diberi 5 keping uang dinar, yang seorang lagi 2, dan yang satu diberi 1 dinar. Kemudian pergilah tuan itu beberapa waktu lamanya. Setelah tuannya pergi, hamba yang memperoleh 5 keping dinar segera menjalankan uangnya dan memperoleh laba 5 dinar. Demikian juga dengan hamba yang kedua, segera menjalankan uangnya dan memperoleh laba 2 dinar. Hamba yang ketiga, yang mendapat 1 keping dinar, merasa takut karena hanya bermodal kecil sehingga tidak menjalankan uang itu tetapi justru menguburnya. Ketika kembali Sang Tuan memanggil lagi 3 orang hambanya. Hamba yang pertama yang diberi 5 keping dinar, menyerahkan 10 keping dinar sebagai hasil pekerjaannya. Hamba yang kedua melakukan hal yang sama. Hamba yang ketiga menyerahkan kembali 1 keping dinarnya dan berkata: “Tuan, saya tahu Tuan orang yang kejam, karena itu saya takut dan menyembunyikan uang yang Tuan berikan. Ini terimalah kembali uang Tuan.” Tuan tersebut menjadi marah dan berkata, “Kamu hamba yang jahat dan malas. Sudah semestinya uang yang saya berikan kepadamu saya ambil lagi dan saya berikan ke orang yang sudah bekerja keras. Dan kamu, sudah selayaknya dicampakkan karena tidak berguna!”
Bagaimana komentar anda mengenai cerita tadi? Mungkin ada yang bilang bahwa memang sudah seharusnya seperti itu, karena hamba yang ketiga sangat malas dan tidak mau bekerja menggandakan uangnya. Tapi bisa jadi reaksi anda berbeda, karena menurut anda sang tuan tidak adil dalam memberikan modal, sehingga hamba dengan modal terkecil merasa kecewa dan tidak mau mengelola modal yang dia miliki. Tetapi jangan lupa, bahwa hamba yang kedua-pun mendapatkan modal yang lebih kecil dari hamba yang pertama. Hanya bedanya, dia tetap bekerja keras menggandakan modal yang dia terima sehingga menghasilkan dan memberikan kebahagiaan bagi tuannya.
Hari ini saya mengisi monolog di kebaktian gereja. Sesuatu yang sudah lama sekali tidak saya lakukan. Terakhir mungkin sudah hampir 20 tahun yang lalu, waktu saya masih remaja dan bergereja di Solo. Melakukan hal itu lagi seperti memacu adrenalin saya untuk bekerja keras dan berlatih melakukan yang terbaik, bukan hanya untuk saya, tetapi lebih karena saya bersyukur untuk kesempatan yang Tuhan berikan bagi saya. Yup, kesempatan, kemauan, dan kemampuan, itu yang ingin saya bagikan saat ini. Saya teringat puluhan tahun yang lalu, ketika masih anak-anak, remaja, dan pemuda di Solo. Bermain drama adalah salah satu yang saya sukai, baik di acara gereja maupun di teater sekolah. Apalagi kalau Natal tiba, wah, hari-hari sudah padat dengan latihan dan pentas dimana-mana (wadow…kesannya artis banget!). Ketika saya bercerita kepada seorang teman mengenai hal ini, maka dengan usil dia bertanya. “Lu main drama jadi apa? Jadi domba kalee…” Hahaha, kebayang nggak sih peran domba, praktis acting saya hanya tiduran dan meringkuk, namanya juga domba! Hehehe. Yang masih saya ingat jelas adalah ketika saya ikut kompetisi festival teater antar SMU se-Solo. Lupa tahun berapa, tapi yang jelas saat itu masih imut-imut dan rasanya top sekali ikut festival seperti itu. Nah, itu cerita masa lalu. Kalau Kahitna bilang, “Cerita lalu”. Bagaimana dengan sekarang?
Apa yang saya lakukan akhir-akhir ini adalah bagian dari membongkar dan menggali talenta yang sudah terkubur. Ada dorongan kuat dalam hati saya untuk mengasah dan mengembangkannya setelah lama membiarkannya mati. Maka begitulah, tahun ini seperti revival year bagi saya, tahun membongkar dan menggandakan, tahun kebangkitan. Dimulai ketika saya memutuskan untuk belajar gitar lagi di awal tahun dengan tujuan yang sederhana, ingin mengiringi Persekutuan Doa Tempo Group. Meskipun sekarang setelah hampir menjelang akhir tahun, belum juga punya keberanian untuk mengiringi. Masih malu, takut salah, belum percaya diri. Tapi sungguh saya berjanji untuk mulai mengiringi bulan depan, paling tidak genjreng-genjreng ngikutin keyboardnya. Karena kalau tidak sekarang kapan lagi? Bolehlah salah-salah sedikit, kan audience-nya teman sendiri. Nggak ada ujian juga kan, paling banter dibatin orang, “Pede banget nih.” Ah, bagi saya itu tidak penting, yang penting nggak fals. Hehehe. Yang kedua adalah kemauan saya untuk mulai mengolah lagi keinginan saya bermain drama. Emang sih baru mulai, tapi yang penting mau dulu! Dan dengan bekal “mau” tadi, mulailah saya mengambil peran monolog seperti yang saya lakukan di kebaktian pagi tadi. Wah, ternyata nggak gampang. Kalau cuma ngomong sih gampang, tapi penjiwaannya itu loh.... Penjiwaannya mana? Maka mulailah saya berlatih keras semalaman untuk dapat melakukannya dengan baik. Dan sungguh bersyukur, tugas pertama setelah puluhan tahun berjalan dengan lancar. Maklum, namanya orang narsis, disuruh maju ke depan dan bicara sendiri, tentu sudah mendarah daging dan menjadi hobi. Tapi hal penting yang saya ambil sebagai pelajaran adalah, bahwa dorongan yang ada di dalam diri saya untuk mengembangkan apa yang saya miliki benar-benar deras mengalir seperti air bah. Saya ingin melakukan apa yang saya bisa dan apa yang menjadi talenta saya. Saya hanya takut ketika saatnya tiba, saya akan ditanya oleh Pencipta, kemana uang dinar yang Dia percayakan kepadaku? Wah, jangan sampai saya bilang bahwa saya menguburnya dan mengembalikan modal awal sama persis dengan yang Dia berikan. Ngeri rasanya! Padahal talenta diberikan untuk dikembangkan, terlebih lagi untuk membuat orang lain terberkati dengan talenta yang kita miliki.
Seperti yang saya lakukan saat ini dengan catatan-catatan saya. Saya hanya ingin berbagi dan menuliskan apa yang saya alami dan rasakan. Kalau itu kemudian menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain, ah, sungguh saya bersyukur karenanya. Salah satu impian saya adalah ingin menjadi orang yang membantu orang lain menemukan talentanya dan kemudian mengembangkannya. Itu menjadi kesukacitaan dan kepuasan yang luar biasa bagi saya, jauh lebih berharga daripada uang. Salah satu panggilan saya adalah menjadi trainer, dan melalui panggilan itu saya bisa membantu orang untuk menemukan dunianya, berjalan sesuai dengan panggilan hati dan mengembangkan talentanya. Baru-baru ini saya membaca buku Rene Suhardono, “Your Job is not Your Career”, yang menigsahkan bagaimana bekerja sesuai dengan panggilan hati, yaitu bekerja dimana kita begitu enjoy dalam melakukannya. Rene menyebutkan, kalau kita bekerja sesuai dengna panggilan hati, maka hasilnya akan berlimpah-limpah. Hasil disini lebih ke arah kepuasan dan kepenuhan hidup, bukan bicara hanya mengenai uang. Karir bukanlah pekerjaan kita, karena pekerjaan adalah milik perusahaan. Karir adalah panggilan hidup dan kepenuhan hidup, menjadi apa saya kelak, apa manfaat saya untuk orang lain, bagaimana saya menjalani hidup dengan berkelimpahan syukur. Ide yang ditawarkan Rene bukan hal yang baru bagi saya, tatapi buku ini kembali menggunggah dan menyegarkan saya bahwa karir memiliki banyak hal yang jauh lebih besar dari hanya sekedar pekerjaan. Dan itu yang sekarang ingin saya lakukan. Sekali lagi impian saya adalah membantu orang lain menemukan talenta dan panggilan hatinya sehingga mereka akan merasakan kepenuhan hidup dengan berjalan sesuai apa yang ingin mereka lakukan. Seperti yang saya lakukan sekarang ini, membuka ikatan-ikatan yang memasung saya dan menikmati setiap detik kehidupan yang sungguh indah karena saya melakukan sesuatu yang sesuai dengan talenta saya. Mungkin saat anda membaca catatan ini, anda juga sedang mengalami hal yang saya dengan saya. Tetapi percayalah, tidak ada sesuatu yang sia-sia. Saya sangat percaya dan beriman bahwa setiap orang memiliki talenta dalam dirinya, besar ataupun kecil. Tetapi kalau kita mau menggandakannya talenta kita seberapa pun kecilnya, ternyata hasilnya sangat mencengangkan. Saya memiliki seorang teman yang hobi membuat kue dan sering membuat kue untuk diri sendiri ataupun keluarga kalau ada acara-acara special. Lebaran kemarin saya mendorong dia untuk mulai menjajakan kue-nya dan saya membantu menjualkan. Ternyata hasilnya menggembirakan. Capek, tapi senang. Teman-teman kantor suka dengan contoh kue yang dia buat sehingga pesanan mengalir cukup banyak. Kalau tidak dibatasi, bisa-bisa tidak akan selesai sampai Lebaran tiba. Teman saya sangat bergembira dan semakin bersemangat melakukannya. Menyadari bahwa dia bisa, dan punya kemampuan, mengerjakan sesuatu yang dia nikmati, mendapat hasil, dan orang lain pun juga senang menikmati kue yang enak. Itu contoh kecil bagaimana kita mengembangkan apa yang kita miliki. Bagaimana dengan anda? Mulailah mengenali diri, bersyukur untuk kemampuan yang Tuhan berikan dan bersiap menggandakannya untuk menjadi berkat bagi orang lain. Selamat berjuang, selamat berkarya!
25.10.2010
No comments:
Post a Comment