Bangkok, perpaduan budaya dan modernisasi, memunculkan sebuah keindahan wisata yang memikat. Kalau Singapore memuaskan kita dengan modernisasi yang kental, maka Bangkok memberikan sentuhan yang berbeda. Bangkok tidak ubahnya seperti putri cantik yang teguh memegang adat, tetapi terus bersolek dan tidak malu-malu menerima peradaban baru. Pertama kali tiba di Bangkok saya (dan seorang teman) disambut dengan kemegahan Suvarnabhumi airport yang masih dalam proses pembangunan di sana sini. Berbeda dengan Changi yang segalanya tertata rapi, Suvarnabhuni masih harus banyak berbenah. Paling tidak itu yang saya rasakan ketika mendarat di sana. Mungkin karena saya datang di malam hari sehingga semua serba terbatas. Kebetulan pesawat Air Asia yang saya tumpangi tidak memberikan imigration form dikarenakan ketiadaan stock, maka begitu turun dari pesawat saya segera mencari petugas bandara untuk meminta form tersebut. Bisa dibayangkan puluhan penumpang meminta form kepada satu orang petugas yang berjaga saat itu dan dengan kemampuan bahasa Inggris yang terbatas. Untungnya saya tiba lebih dulu sehingga tidak kesulitan mendapatkannya, paling tidak dengan sedikit bahasa Tarzan. Begitu juga dengan peta Bangkok yang tidak saya dapatkan di bandara, berbeda jauh dengan Changi yang menyediakan box panduan wisata di hampir setiap sudut sehingga memenuhi kebutuhan kita akan peta Singapore maupun buku-buku panduan wisata. Bahkan ketika sampai di guest house tempat saya menginap, peta Bangkok juga tidak saya dapatkan. Waduh, payah nih, bagaimana mungkin saya bisa berjalan-jalan tanpa peta? Jadilah setengah hari pertama saya berjalan dengan sedikit tersendat dan bertanya-tanya kepada siapapun orang yang bisa saya tanyai. Maklum, sulit menemukan orang di Bangkok yang bisa bicara bahasa Inggris, kecuali di tempat-tempat yang merupakan konsentrasi turis seperti di Khaosan. Oh ya, saya menginap di daerah Khaosan, yang konon merupakan tempat berkumpulnya backpacker dari seluruh dunia kalau berkunjung ke Thailand. Khaosan Road adalah sebuah jalan yang sangat terkenal dan penuh dengan penginapan murah sampai mahal, penjual makanan, souvenir khas Thailand, cafe, dan segala yang dibutuhkan turis asing. Sebagian besar yang menginap di Khaosan adalah turis bule, agak susah menemukan orang Asia di sana (atau mungkin saya belum ketemu, yang jelas hampir 90% yang saya temui adalah orang bule). Penginapan saya, Wild Orchid Villa, tidak persis berada di jalan Khaosan, tetapi sangat dekat, paling hanya 5 menit berjalan kaki. Pemilihan penginapan lebih berdasarkan referensi dari buku yang saya baca, sehingga saya sedikit terkejut ketika sampai di sana karena lebih tepat disebut guest house dengan kamar-kamar yang sederhana meskipun bersih, jauh dari gambaran sebuah hotel, apalagi dari gambaran di internet yang sempat saya eksplor ketika akan booking online. Wah, ternyata gambar kamarnya sangat menipu! Hahaha. Tetapi karena sudah booking dan kedatangan saya juga sudah sangat malam saya tetap tinggal di situ. Rugi juga kalau pindah, biaya pembatalan bisa untuk menginap semalam lagi. Yang penting kamar dan kamar mandinya bersih, lagi pula saya tidak pergi ke Bangkok untuk pindah tidur! Di bawah penginapan ada cafe yang penuh dengan musik berdentam dan orang-orang bule yang nongkrong sekedar minum menghabiskan malam. Sungguh mengejutkan karena tidak seperti yang saya bayangkan. Sebenarnya saya sudah tahu kalau di bawah penginapan ada cafe (yang katanya sangat terkenal di daerah Khaosan) tetapi tidak membayangkan akan seramai ini. Waduh! Untungnya saya mendapat kamar di lantai 5, coba kalau di lantai bawah pasti tidak bisa tidur. Ruginya saya harus naik tangga sampai lantai 5 karena tidak ada lift! Tapi tidak apa-apa, hitung-hitung berolahraga. Hehehe. Pertimbangan lain menginap di daerah Khaosan karena daerah tersebut dekat dengan tempat-tempat wisata yang akan saya kunjungi dan masih bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Maklum, karena setengah backpacker maka moda transportasi yang digunakan adalah jalan kaki, bus kota dan sky train. Tuk-tuk (semacam bajaj), dan taksi adalah pilihan terakhir. Boros kan kalau setiap hari naik taksi, padahal judulnya berjalan-jalan hemat. Hati-hati kalau memilih taksi, pilihlah yang ada tulisannya Taxi Meter, meskipun belum tentu argonya juga benar. Seperti pengalaman saya dari Bandara ke penginapan, meskipun sudah memilih Taxi Meter, tetap saja argonya berjalan cepat bagai kuda. Alhasil, dari contekan buku yang mestinya hanya sekitar 360 bath dari bandara ke daerah saya menginap, saya harus membayar 495 bath! Hari pertama tujuan saya adalah Grand Palace, Wat Pho, dan Wat Arun, tempat-tempat yang merupakan icon kota Bangkok, semacam merlion kalau di Singapore, atau tugu Monas kalau Jakarta (?). Karena belum ada peta, maka saya mengandalkan mulut untuk bertanya-tanya arah ke Grand Palace. Sempat berputar-putar di area Khaosan sampai hampir putus asa saya justru bertemu dengan taman di pinggir sungai Chao Praya (Chao Praya River) yang indah. Selain wisata, Sungai Chao Praya juga digunakan sebagai sarana tranpsortasi, sehingga jangan membayangkan sebuah sungai yang kotor dan penuh dengan sampah seperti yang sering kita dapatkan di Jakarta. Sambil berputar otak mencari arah, saya istirahat dulu sebentar sebelum melanjutkan perjalanan. Setelah berjalan sekian lama akhirnya saya bertemu dengan Pak Polisi yang baik hati dan menjelaskan arah ke Grand Palace dengan bahasa Inggris yang dia bilang “little-little I can.” Lumayan, yang penting paham. Grand Palace adalah kompleks kerajaan yang dibangun sejak tahun 1782 dan meliputi area seluas 218.000 m2, dikelilingi oleh dinding sepanjang 1900 meter. Dibangun oleh Raja Rama I sebagai tempat tinggal sekaligus pusat pemerintahan waktu itu. Saya membayangkan seperti Kraton Jogja atau Kraton Solo dengan banyak peninggalan warisan yang sangat layak untuk dijual sebagai objek wisata. Harus diakui bahwa Bangkok mengelola Grand Palace dengan sangat baik dan menjadi tujuan turis. Bisa dibilang jangan pernah mengaku ke Bangkok kalau belum mengunjungi Grand Palace yang juga terkenal dengan adanya the Temple of Emerald Budha, tempat orang biasa bersembahyang! Biaya masuk cukup mahal sekitar Rp 110.000, tetapi terbayar dengan keindahan di dalamnya, sedangkan untuk orang Thailand tidak dipungut biaya alias gratis. Bersama saya ada banyak rombongan turis dari berbagai negara sehingga meskipun masih pagi tempat itu sudah dipenuhi banyak turis. Luar biasa, padahal masih hari Jumat, terlebih kalau Sabtu dan Minggu. Wah, kapan ya Kraton Jogja dan Solo bisa seperti itu? Kalau untuk Jakarta saya tidak bisa menemukan tempat yang pas, mungkin istana Bogor atau semacam itulah. Sebagai ibu kota negara, Bangkok bukan hanya merupakan pusat bisnis dan pemerintahan tetapi juga objek wisata. Berbeda dengan Jakarta yang cenderung sebagai pusat bisnis, sedangkan wisata belum menunjang. Di Grand Palace saya sempat bertemu dengan beberapa orang bapak dan ibu dari Indonesia yang sedang berjalan-jalan, kebetulan saja ngeh karena mendengar mereka mengobrol menggunakan bahasa Indonesia. Iseng saya bertanya ikut tour apa, rombongannya mana, ternyata jawabannya “sedang dinas dan pulang besok siang pakai Garuda”. Waduh, dinas? Tapi Jumat pagi sudah jalan-jalan, dan baru pulang besok siang? Capek deh.....(mendadak ingat rombongan studi banding DPR yang ke Yunani tetapi mampir di Turki). Enak juga yah, tidak seperti saya yang harus keluar uang untuk membiayai semua ini dan sibuk mencari penerbangan dan penginapan murah (tetapi saya bersyukur karena saya menjadi orang bebas dan tidak pernah merasa merugikan siapapun saat jalan-jalan. Hahaha). Selesai di Grand Palace saya melanjutkan ke Wat Pho yang terkenal dengan reclining Budha (patung Budha dengan posisi tidur). Modal utamanya adalah bertanya dan mengikuti kemana turis lain berjalan. Hehehe. Setelah berjalan sekian menit saya menemukan pos Tourist information, lumayan untuk bertanya-tanya dan mendapatkan peta Bangkok. Akhirnya dapat juga map of Bangkok, serasa mendapat berlian, karena peta merupakan pegangan utama saya untuk menyusuri kota. Maklum, tidak ikut rombongan tour travel. Kalau kemana-mana naik taksi rasanya bukan pilihan yang tepat, apalagi jalanan Bangkok mirip Jakarta, macet. Selesai dari Wat Pho, saya melanjutkan ke Wat Arun dengan hanya berjalan ke arah berkebalikan. Bedanya untuk menuju Wat Arun kita harus naik perahu dari dermaga Tha Thien Pier, melintasi Chao Praya River dengan biaya 3 Bath atau sekitar Rp 900. Pulang pergi butuh Rp 1.800. Murah meriah! Tiga tempat tersebut memang menjadi tujuan wajib bagi saya, jadi harus selesai dulu baru bisa ke tempat lain (tempat lain means shopping area. Hehe). Sekitar jam 2 siang semua tempat sudah selesai dikunjungi dan barulah saya melanjutkan perjalanan ke pusat kota Bangkok yang saya capai dengan menggunakan bus kota. Tujuan berikutnya MBK (Mah Boon Krong), mall tertua di Bangkok. Tarif busnya murah, cuma 7 Bath atau sekitar Rp 2.100. Trus bagaimana kita tahu bus nomor berapa? Sekali lagi andalannya adalah bertanya di tourist information (sayangnya jumlah pos tourist information terbatas, bahkan ada yang tidak buka, sehingga saya agak kesulitan kalau sampai di tempat yang tidak ada pos informasi). Karena kondektur di dalam bus juga tidak bisa bahasa Inggris maka saya mengucapkan tempat tujuan dengan lambat tetapi keras. Kalaupun masih tidak paham, maka saya membuka peta dan menunjuk area tersebut. Selama ini cara tersebut cukup manjur, meskipun ada juga yang tetap tidak paham. Kesulitan lain adalah nama-nama jalan di Bangkok sebagian besar ditulis dengan huruf Thai dan hanya sedikit yang menyertakan huruf latin termasuk area-area yang dilewati bus, sehingga saya sempat bingung dan stress. Meskipun Bangkok sama macetnya dengan Jakarta, tetapi kemacetan yang ada lebih teratur. Mungkin karena jarang sekali orang menggunakan sepeda motor. Yang banyak justru transportasi umum seperti bus. Bus kota di Bangkok ada yang AC dan non AC, kalau AC bayarnya 2x lipat, jadi kalau bus biasa 7 Bath, maka yang AC 14 Bath (sekitar Rp 4.200). Enaknya bus di Bangkok sangat banyak sehingga tidak perlu berdesak-desakan. Sambil menunggu di halte saya mengamati hampir semua bus jarang yang penuh sesak, kalaupun penuh, semua penumpang bisa duduk, bahkan ada yang terisi hanya setengahnya. Kondektur juga berseragam sama, seperti pegawai pemerintahan, mungkin semua bus kota dikelola oleh pemerintah. Perjalanan ke tengah kota membutuhkan waktu sekitar 20 menit, karena masih sekitar jam 2 dan belum macet. Selesai melihat-lihat di MBK saya melanjutkan ke Pratunam market, pasar tradisional yang menjual beragam pakaian dan pernak-pernik dengan naik tuk-tuk sebesar 60 bath. Sebenarnya ingin naik bus juga, tapi karena mengejar waktu saya memutuskan naik tuk-tuk. Sayangnya saya tidak cukup banyak mendapatkan penjual souvenir Thailand, atau mungkin karena waktu saya terbatas sehingga tidak bisa menjelajah seluruh pasar. Selesai di Pratunam saya balik ke MBK. Sebenarnya tujuan berikutnya adalah Suan Lum Night Bazaar di daerah Lumphini yang bisa dijangkau dengan menggunakan BTS (Bangkok Sky Train) tetapi karena sudah malam saya memutuskan untuk kembali ke penginapan. Selain jalanan sangat macet, juga masih harus mencari-cari tempatnya. Jadi Suan Lum Night Bazaar terpaksa saya batalkan diganti dengan Chatuchak market keesokan harinya. Chatuchak market adalah pasar tradisional yang buka hanya di akhir pekan, Sabtu dan Minggu. Menempati area yang sangat luas dan terdiri dari ribuan kios yang menjual segala macam keperluan. Kalau kebetulan berkunjung ke Bangkok di akhir pekan, Chatuchak market tidak boleh dilewatkan. Selain berbelanja, kita bisa merasakan atmosfer pasar tradisional yang kental. Saya rasa anda yang doyan shopping bisa bertahan dari pagi sampai sore di sana. Kalau menginap di Khaosan Road dan ingin ke Chatuchak, maka bisa menggunakan bus no 3 atau BTS. Sayangnya karena BTS belum menjangkau Khaosan, maka harus naik bus dulu ke MBK dengan bus no 47 atau 15, baru naik BTS di National Stadium Station yang terletak di samping MBK dengan tujuan akhir Mo Chit station. Chatuchak hanya sekitar 5 menit berjalan kaki dari Mo Chit. Ketika menuju Chatuchak, saya sempat nyasar karena menaiki bus yang salah, bukan salah nomornya tetapi salah arah. Harusnya ke arah yang berlawanan dari tempat saya menyetop pertama kali. Untung saya sengaja duduk di kursi sebelah sopir untuk memudahkan bertanya, tetapi ternyata penjelasan sopir semakin membuat bingung. Hahaha. Kebetulan di belakang saya ada penumpang yang bisa berbahasa Inggris, sehingga membantu menjelaskan ke saya berdasarkan penjelasan sopir. Leganya.. Akhirnya saya turun, menyeberang ke sisi jalan yang lain, dan berganti bus dengan nomor yang sama. Uniknya bus tersebut gratis padahal jarak yang ditempuh lumayan jauh, sekitar 30 menit. Pantas tidak ada kondektur. Bus yang saya tumpangi berikutnya juga gratis. Saya tidak sempat bertanya kenapa gratis karena keburu turun, cuma merasa aneh saja, masih ada yang gratis di Bangkok padahal penumpangnya cukup banyak, meskipun tidak berdesak-desakan. Selesai di Chatuchak saya kembali ke MBK dengna menggunakan BTS, tarifnya 35 bath atau sekitar Rp 10.500. Cepat dan bebas macet. Sebenarnya tujuan terkahir ke Pratunam, tetapi karena ada yang mau dibeli di MBK saya turun di sana dan baru naik tuk-tuk menuju Pratunam market. Dua hari adalah waktu yang sangat singkat untuk mengenal Bangkok, apalagi belum sempat ke Patpong yang terkenal dengan ladyboy. Hehehe. Bagi saya Bangkok mirip dengan Jakarta, sama-sama macet. Bedanya kemacetan Bangkok lebih teratur dan transportasi umumnya lebih tertib dan manusiawi. Bicara mengenai makanan, buah-buah yang dijual di pinggir jalan juga sama, dari mangga, nanas, anggur, jambu, nangka, pisang, rata-rata 20 bath (Rp 6.000) sekantong plastik. Segar dan nikmat. Makanan juga murah, mulai dari Pad Thai (sejenis kwee tiau) chicken rice, dan ikan atau daging yang dibakar. Biaya hidup hampir sama dengan Jakarta. Membandingkan 3 kota, Jakarta, Singapore, Bangkok, harus diakui Jakarta masih tertinggal dalam urusan transportasi umum dan pengelolaan wisata. Kalau di Singapore ada sungai yang membelah kota dan digunakan sebagai area wisata, di Bangkok juga demikian, bahkan dipakai sebagai alat transportasi. Sungai-sungai di Jakarta kotor dan penuh sampah. Jakarta gencar membangun gedung-gedung baru, mall, apartemen, sedangkan Singapore dan Bangkok sibuk memoles pariwisatanya. Meskipun Bangkok masih kalah dibanding Singapore untuk urusan pengelolaan pariwisata, tetapi Bangkok jelas unggul dalam hal potensi wisata dan budaya. Sayangnya saya belum sempat menjelajah ke tempat-tempat lain di Thailand seperti Pattaya, Phuket, Ciang Mai yang katanya juga indah. Dalam hati saya menyadari bahwa Indonesia tidak kalah indah dengan keragaman budaya yang tidak ada tandingannya. Kalau Jakarta bagi saya sudah terlalu sesak. Ketika pulang di bandara Suvarnabhuni, saya kaget dengan banyaknya orang asing di sana sampai-sampai antrian di imigrasi untuk foreigner tidak tanggung-tanggung lamanya. Sedikit jengkel karena petugas imigrasi tidak ditambah padahal beberapa meja yang ada antriannya sudah sangat panjang. Mengunjungi tempat-tempat tersebut membuat saya menyadari bahwa potensi Indonesia tidak kalah hebat. Andaikan saja dikelola dengan maksimal, Indonesia pasti jadi surga wisata dunia. Mulai dari budaya, adat, gedung bersejarah, museum, pantai, gunung, semuanya ada, tersebar di seluruh provinsi. Mungkin karena terpencar-pencar sehingga pengelolaannya lebih susah tergantung masing-masing pemerintah daerah. Kalau ingat Grand Palace, saya ingat Keraton Solo dan Jogja, Wat Pho, Wat Arun, saya ingat Borobudur, Prambanan. Pasar tradisional, saya ingat Beringharjo, Malioboro, Pasar Klewer. Itu baru Jawa Tengah saja, belum provinsi yang lain, padahal ada 33 provinsi di Indonesia. Wow, sebuah potensi yang luar biasa! Indonesia bukan hanya Bali atau Jogjakarta, masih banyak daerah lain yang menyimpan pesona alam dan budaya. Melihat negara lain membuat saya semakin mencintai bangsa ini meskipun juga "kecewa" dengan pengelolaannya. Kita bisa belajar dari negara lain untuk mengemas wisata menjadi sebuah industri yang kaya devisa. Seperti Bangkok, yang sebenarnya juga belum sehebat Singapore dalam mengelola pariwisata tetapi masih lebih baik dari kita. Kota tersebut memiliki perpaduan budaya dan modernisasi yang indah dan memunculkan keinginan turis untuk datang dan datang lagi. Bangkok, the simply beautiful…..
No comments:
Post a Comment