Friday, December 3, 2010

lesson from my father

Belajar mengenai keteguhan hati seperti membuka  kembali buku kehidupan saya dan tertuju pada sosok seorang ayah yang tidak pernah berhenti berjuang.  Teringat kembali semua cerita bersama beliau yang penuh dengan berbagai kisah inspiratif.  Almarhum ayah adalah lulusan SMA. Menurut cerita yang saya dengar, beliau juga mantan seorang prajurit angkatan laut yang berhenti dan masuk menjadi pegawai negeri rendahan di dinas kebersihan kota. Saya pernah melihat kartu anggota tentaranya yang sempat ditunjukkan kepada saya dengan sisa-sisa kebanggaan di wajahnya. Ah, tapi itu semua adalah masa lalu. Ayah yang saya kenal adalah ayah yang orang sipil, sederhana, dan pekerja keras. Meskipun lulusan SMA, tetapi ayah memilki pandangan yang jauh ke depan atau meminjam istilah manajemen, visi. Kamus besar bahasa Indonesia mengartikan visi sebagai kemampuan untuk melihat pada inti persoalan, pandangan, wawasan, penglihatan, pengamatan. Kita sering sekali mendengar kata visi dalam hubungannya dengan kepemimpinan atau organisasi. Pemimpin yang besar harus memiliki visi kemana organisasi yang dipimpinnya akan dibawa.  Richard Hughes dan Katherine Coralleri dalam buku Becoming A Strategic Leader menempatkan visi sebagai salah satu dari lima poin berpikir strategis yang melekat pada kemimpinan strategis selain kemampuan menilai organisasi (scanning), kemampuan melihat sesuatu dengan cara yang berbeda (reframing), menciptakan pemahaman dari situasi tertentu (making common sense) dan sistem berpikir (system thinking).  Robert Knowling pada tulisannya mengenai Leading with Vision, Strategy, and Values di buku Leading for Innovation menyatakan bahwa visi yang jelas dari seorang pemimpin merupakan  salah satu syarat organisasi untuk mencapai kesuksesan. Nah, meskipun almarhum ayah tidak pernah belajar manajemen, tetapi ternyata beliau memiliki cara berpikir yang strategis, tentu saja dalam konteks kehidupan berkeluarga yang sangat sederhana. Salah satu pemikiran beliau adalah anak perempuan tetap harus bersekolah tinggi, meskipun saat itu, kata “tinggi” bagi anak perempuan tentu sangat relatif.  Ini terjadi pada kakak saya yang tertua. Saat itu di tahun 70-an adalah saat dimana banyak anak perempuan berhenti sekolah setelah SD, SMP, atau paling banter SMA, lalu bekerja di pabrik. Begitu juga pemikiran almarhum Ibu dan Nenek, yang melihat betapa enaknya kalau sudah bekerja. Dengan kesederhanaan berpikir, mereka melihat bahwa  bekerja di pabrik sangat menyenangkan, memilki banyak uang, dan dapat membeli apapun yang diinginkan, seperti yang mereka lihat dari tetangga-tetangga sekitar.  Oh ya, almarhum Ibu adalah lukusan SD, sedangkan nenek tidak bersekolah. Berbekal konsep seperti itu, maka setelah kakak saya lulus SMA, mereka menyarankan agar kakak bekerja saja dan tidak melanjutkan kuliah.  Tetapi tidak bagi ayah. Beliau melarang kakak bekerja dan mengharuskan kakak untuk meneruskan kuliah, yang akhirnya membawa kakak menjadi sarjana fisika dan menjadi guru sampai sekarang.  Seringkali ketika keluarga kami berkumpul, kami tertawa-tawa mendengar cerita ini, apalagi kalau kakak saya yang tertua menceritakan betapa asyiknya saat itu kalau bekerja di pabrik karena selalu punya uang dan bisa berbelanja macam-macam. Ya, menyenangkan saat itu, tetapi mungkin tidak untuk saat ini. Semua itu adalah buah dari pemikiran almarhum ayah yang visioner.  Beda sekali dengan gaya “aji mumpung” para anggota dewan yang terhormat, dengan segala macam studi banding dan pemikiran sesaat “mumpung berkuasa.” Pemikiran ayah yang lain adalah keputusan beliau yang lebih memilih membeli buku bacaan daripada hal-hal konsumtif seperti baju, sepatu, dan lain-lain. Hal ini mungkin dipandang ekstrem, tetapi melihat kondisi keuangan ayah dan ibu saat itu mungkin mereka memang dihadapkan pada kondisi yang harus memilih. Kalau bisa memilih keduanya tentu bagus, tapi karena tidak mungkin, maka ayah lebih memilih mengalokasikan uang untuk membeli buku. Dan begitulah berdasarkan pilihan itu saya harus puas memakai baju baru setahun sekali pas Natal, karena di luar itu tidak ada baju baru, kecuali baju seragam sekolah. Sangat menyedihkan (hahaha). Tetapi ketika saya renungkan kembali saat ini, saya mengakui bahwa pilihan ayah sangat tepat.  Saya belajar mencintai buku dari beliau. Saya ingat sekali ketika saya masih SD, seminggu sekali beliau akan pergi ke toko buku di pusat kota, dan pulang dengan berbagai masam bacaan. Ayah akan membeli koran Buana Minggu untuk beliau baca dan kami kebagian berbagai majalah seperti Kawanku, Bobo, Kuncung, dan lain-lain. Alangkah senangnya saat-saat seperti itu. Menanti ayah pulang dengan sepeda kumbang, atau lebih tepatnya menanti oleh-oleh sang ayah. Hehehe. Maka mulailah saya akrab dengan nama-nama Deni Manusia Ikan, Bobo, Rongrong, Bona, Juwita, Si Sirik, dan lain-lain yang saya baca seminggu sekali dengan teratur. Begitu juga dengan buku-buku pelajaran. Ayah mengharuskan kami membeli buku, bukan meminjam. Beliau selalu berusaha menyediakan uang untuk menyediakan buku-buku pelajaran bagi kami, meskipun beliau adalah pegawai negeri rendahan. Bisa dibilang kami memiliki buku yang komplet. Ah, betapa beruntungnya, dan saya sangat bersyukur mengenang masa-masa itu. Sungguh, satu pelajaran yang sangat berharga. Selain membaca ayah sangat gemar mendengarkan siaran berita. Salah satu siaran radio favorit beliau adalah siaran berita BBC London bahasa Indonesia yang selalu mengudara jam 8 malam. Wow, keren kan! Hehehe...dan ternyata sampai sekarang siaran tersebut masih ada di jam yang sama, bedanya saya mendengarkan dalam versi bahasa aslinya di tengah kemacetan Jakarta.  Saya ingat, beliau selalu mendengarkan siaran tersebut sambil menyantap makan malam dan tidak pernah terlewatkan setiap hari! Hal unik lain dari beliau adalah kekerasan hatinya kalau beliau sedang sakit. Tentu saja yang saya maksud bukan keras hati, tetapi kekuatan hati. Beliau tidak suka sakit dan selalu berjuang keras melawan sakitnya. Memang bukan sakit yang sampai harus dirawat di rumah sakit, paling hanya panas tinggi atau masuk angin biasa. Tetapi beliau tidak pernah mau kalah dengan rasa sakit itu sehingga selalu memaksa diri untuk makan. Padahal kita tahu persis, alangkah tidak enaknya semua rasa makanan kalau kita sedang sakit. Tetapi itu tidak berlaku bagi beliau!  Pokoknya walaupun sakit tetap harus makan meskipun tidak doyan, itu prinsipnya. Saya yakin dengan keteguhan hati seperti itu, beliau pasti menjadi favorit para dokter karena mudah diarahkan kalau sakit dan tentu saja tidak rewel seperti saya. Hehehe. Hal lain yang saya pelajari adalah kedisiplinan. Belajar adalah keharusan bagi saya. Bayangkan, setiap sore sehabis makan, ayah pasti sudah membunyikan “kelinting” tanda bahwa saya harus mulai belajar, dan beliau duduk di samping saya membaca koran. Oh ya, kelinting tersebut bukan berasal dari bunyi lonceng, tetapi manual dari mulut beliau yang dengan khas berkata, “klinting..klinting... ayo sinau...klinting...klinting...” Kalau sudah begitu tidak ada tempat bagi pelarian diri. Biasanya saya belajar sampai jam 8 malam, dan setelah selesai belajar, saya berhak atas 1 potong biskuit Khong Guan. Wow...mewah sekali. Saya mulai dilepas untuk belajar sendiri setelah kelas 1 SMP. Tetapi sungguh, didikan belajar ala tentara tersebut masih membekas dan sangat mempengaruhi proses belajar saya selanjutnya sampai saya kuliah. Menurut saya itulah kemenangan saya dibanding teman-teman lain yang lebih cerdas, karena saya sangat sadar bahwa otak saya adalah rata-rata. Kalau tidak mengejar ketinggalan dengan belajar lebih banyak saya akan berada di belakang.  Ayah selalu berpesan, “pisau yang tumpul kalau diasah lama-lama akan tajam juga.” Kedisiplinan yang ditanamkan ayah terus mengakar sampai sekarang dan harus saya akui bahwa saya terbentuk oleh ketekunan yang ditanamkan ayah sejak kecil.  Kenangan akan ayah juga diwarnai dengan hal-hal mengharukan. Salah satunya adalah ketika saya lulus SD dan mencari SMP. Karena belum berani naik sepeda sendiri, jadilah saya dibonceng ayah mencari sekolah dengan bersepeda kumbang. Dari satu SMP ke SMP yang lain. Saya ingat bagaimana saya sibuk mencari ayah yang tersembunyi di antara mobil-mobil yang berjejer. Melihat beliau mengangkat sepedanya keluar dari antara mobil-mobil yang diparkir merupakan kenangan indah bagi saya. Saya merasakan betapa besar tanggung jawab beliau sebagai ayah di tengah segala keterbatasan dan kekurangan yang ada. Saya tidak tahu apakah saat ini anda juga merasakan hal yang sama dengan ayah anda, tetapi saya hanya ingin berbagi cerita mengenai seorang ayah yang sederhana dengan impian yang sama sekali tidak sederhana. Ketekunan, keteguhan hati, kedisiplinan mengantarkan beliau mencapai impian tersebut. Saya tahu bahwa ketika beliau berpulang kepada Bapa di Surga, hasil dari impian itu masih berupa puzzle yang belum kelihatan. Tetapi sekarang, saya percaya bahwa impian itu semakin nyata. Keteguhan hati yang dipadu dengan kesetiaan iman sampai akhir membawa kami anak-anaknya sampai di tempat dimana kami ada sekarang. Teladan yang diberikan berbicara jauh lebih dahsyat daripada retorika. Dan sungguh saya ingin melanjutkan teladan itu......

27.10.2010

No comments:

Post a Comment