Sekitar 3 jam yang lalu saya baru saja menyelesaikan “tugas” ujian kenaikan tingkat kursus gitar. Bukan yang menguji, tetapi diuji. Meskipun “cuma” ujian gitar, tetapi ternyata perasaan lega bahwa ujian telah selesai hanya beda tipis dengan perasaan lega dinyatakan lulus ujian tesis. Wah, sepertinya keterlaluan membandingkan ujian tesis dengan ujian gitar, tetapi begitulah adanya. Stres-nya pun hampir sama. Persiapan-nya pun membutuhkan waktu lebih dari seminggu sejak dinyatakan memenuhi syarat mengikuti ujian, mulai dari berlatih kelenturan jari, membaca not balok sederhana atau yang saya sebut kecambah, sampai menghafalkan chord lagu yang akan dipakai untuk ujian. Tetapi ternyata persiapan tersebut tidak menghilangkan stres saya yang terus bertambah ketika jam ujian semakin dekat dan mengetahui bahwa saya akan diuji oleh 2 orang, satu guru saya dan satunya adalah guru lain. Persis ujian tesis yang sudah saya lewati di awal tahun ini, pembimbing adalah penguji pertama, dan dosen lain disebut penguji kedua. Begitu ujian selesai, saya segera mengirim sms singkat ke kakak dan keponakan yang isinya sama “woaaa...lega, barusan ujian kenaikan tingkat gitar. Ternyata setiap ujian itu membuat stres, entah itu ujian tesis atau “cuma” ujian gitar. Wkwkw” Tidak berapa lama balasan sms dari kakak saya masuk “hahaha..kalau tidak mau stres jangan ujian. Tetapi kalau tidak ujian lama-lama jadi stres”. Segera saya balas “ kalau tidak ujian tambah stres soalnya gak naik-naik tingkat. Mau tidak mau memang harus ujian”. Keponakan saya membalas dengan isi yang lebih seru “lha kalo ujian hidup bukan hanya deg-degan, tetapi sampai ngewel. Hahaha.” Ngewel adalah bahasa Jawa yang berarti gemetaran sampai keringat dingin keluar. Jujur, saya suka bahasa Jawa yang kaya dengan istilah dan sering sangat pas menggambarkan sesuatu keadaan yang susah dicari padanannya di bahasa Indonesia.
Mungkin anda berpikir bahwa saya sedang mengikuti ujian kenaikan tingkat akhir atau advance, padahal ini baru ujian kenaikan tingkat level 1 ke level 2. Saya jamin anda pasti sangat kecewa mendengarnya dan segera berhenti membaca catatan ini. Tetapi begitulah adanya. Kursus gitar adalah salah satu impian saya sejak kecil yang baru tercapai sekarang. Sebenarnya bukan kursus gitarnya, tetapi jago bermain gitar adalah impian saya sejak kanak-kanak. Membayangkan bermain gitar, punya band, manggung (istilah Jawa untuk pentas), adalah hal-hal menyenangkan yang saya tulis di buku diary masa kecil yang kemudian lenyap ditelan waktu. Saya belajar gitar secara otodidak dari kecil, tetapi saya bukanlah seseorang yang begitu talented dan menjadi ahli hanya dengan belajar sendiri. Jadilah saya pemain gitar kelas kampung yang pokoknya bisa mainin lagu, jrang jreng jrang jreng, asal nada dasarnya C atau D. Di luar kedua nada dasar itu saya tidak mau mengiringi. Itupun terbatas pada “genjrengan” bukan melodi. Semua impian itu hilang dan saya sempat bertahun-tahun tidak bermain gitar, sampai saya berada di usia sekarang dan ada dorongan kuat untuk melakukan sesuatu yang ingin saya lakukan dari kecil. Jadilah saya mendaftarkan diri kursus dengan niat bulat meskipun mungkin saya menjadi murid tertua yang pernah ada di tempat kursus tersebut. Ada juga orang-orang seusia saya yang datang, tetapi tentu saja karena mereka mengantar anak-anaknya, tetapi show must go on sampai saatnya saya ikut ujian!
Menurut kamu besar bahasa indonesia, ujian didefinisikan sebagai hasil menguji, pemeriksaan, cobaan, sesuatu yang dipakai untuk menguji mutu sesuatu misal kepandaian, kemampuan, hasil belajar, dan sebagainya. Berarti kalau hari ini saya ujian gitar, saya sedang diuji kemampuannya dalam memainkan gitar di level yang saya ikuti. Semua pelajaran yang diberikan guru saat saya kursus akan diujikan dan dinilai apakah saya mampu menyerap pelajaran yang diberikan dengan hasil lulus atau tidak lulus. Saya tersenyum ketika teringat sms keponakan tadi “ apalagi ujian hidup, bukan hanya de-degan, tetapi sampai ngewel.” Yup, ternyata kehidupan kita penuh dengan ujian, baik formal maupun informal. Ujian di bangku sekolah mungkin sudah lama kita lewati, tetapi ujian-ujian di kehidupan selalu ada setiap hari. Lalu apakah kita lulus atau tidak lulus dengan ujian-ujian yang ada? Dalam perjalanan sepulang ujian saya mendengarkan Jansen Sinamo di Smart FM. Salah satu kalimat yang dia sampaikan sangat menyentuh hati, kira-kira seperti ini, “Saya menyukai membaca buku biografi. Salah satu buku yang sangat bagus adalah Nyanyi Sunyi Seorang Bisu karya Pramudya Ananta Tour yang menceritakan kisah pembuangannya di Pulau Buru. Saya membaca buku ini dan menangis. Orang yang sangat hebat, tegar, tahan, tabah menghadapi ujian. Membaca buku ini menyadarkan saya, betapa selama ini saya ini begitu cengeng”. Saya merinding mendengarnya dan tiba-tiba memutuskan ini adalah buku yang harus saya baca dalam waktu dekat! Ya, betapa saya begitu cengeng. Kalimat yang juga tepat menggambarkan diri saya. Tidak tahan banting, tidak tabah, dan mudah putus asa. Padahal tidak ada sesuatu yang diraih dengan mudah, semua butuh perjuangan. Kita dididik, diajar, dan dilatih untuk bisa melewati ujian tersebut hanya sering kita tidak percaya diri dan jatuh mental. Sebenarnya kemampuan kita cukup, tetapi mental kita tidak cukup. Ini yang membedakan juara dengan bukan juara, dan saya harus mengakui bahwa saya harus belajar banyak untuk memiliki mental seorang pemenang. Latihan saya cukup dan kalau berlatih sendiri jari jemari saya cukup lentur memainkan alat musik ini, tetapi ketika di depan penguji tangan saya bisa gemetar dan mendadak melakukan beberapa kesalahan (tetapi tentu saya berharap saya lulus,hehehe). Ya, itu semua adalah masalah mental. Pikiran saya beranjak ke ajang pencarian bakat Indoenesian Idol yang selesai beberapa wakt lalu. Di luar dari polling sms, saya harus mengakui bahwa anak-anak muda itu memiliki mental yang kuat. Sangat tidak mudah bernyanyi di depan para musisi hebat dan menerima kritikan yang sering terasa pedas didengar. Hanya mereka yang memiliki mental kuat yang akan bertahan dan menjadi juara. Yang menjadi pertanyaan, bagaimana dengan ujian hidup yang sering membuat kita gemetar ketakutan? Semestinya kunci kemenangan adalah sama, yaitu mental. Apakah kita memiliki mental cukup untuk menjadi pemenang atas kehidupan kita? Atau kita menjadi sangat cengeng dan terus meratap dengan kehidupan ini? Sebuah lagu yang tadi saya mainkan di depan penguji sepertinya cukup mengena, “Lingkupi...dengan sayapMu..Naungiku dengan kuasaMu.. disaat badai bergelora, ku akan tegar bersamaMu.. Bapa Kau Raja atas smesta..Ku tenang sbab Kau Allahku...”
No comments:
Post a Comment