Friday, December 3, 2010

catatan dari Gambir

Semalam saya mengantar kakak ke stasiun Gambir untuk pulang ke Solo setelah 2 hari di Jakarta karena tugas kantor. Seperti biasa Gambir selalu ramai dan tidak pernah kosong dari penumpang. Harus diakui bahwa kereta merupakan moda transportasi yang praktis dan disukai rakyat dengan harga tiket yang terjangkau. Dulu saya berpikir bahwa kereta akan penuh hanya menjelang weekend, misal hari Jumat atau libur panjang, karena banyak orang berbondong-bondong pulang ke kampung halaman. Tidak bisa dipungkiri bahwa Jakarta dipenuhi oleh pendatang seperti saya yang mencari penghidupan di kota ini, dan akan pulang ke kota asal kalau liburan datang,  meskipun saya termasuk sangat jarang pulang, paling setahun sekali kalau Natal dan Tahun Baru.  Tapi sekarang saya harus merubah total pemikiran tersebut karena ternyata di pertengahan minggu pun penumpang selalu berjubel di stasiun ini. Alunan musik Tompi, “Menghujam Jantung” yang ditampilkan di layar lebar memenuhi  peron stasiun, memaksa saya untuk bersenandung mengikuti iramanya. Hal menarik yang ingin saya bagikan melalui catatan ini adalah pelajaran mengenai kejujuran dan ketulusan yang saya dapatkan secara tidak sengaja. Pelajaran pertama berawal ketika kami berjalan memasuki peron dan seperti biasa ada petugas penjaga pintu yang sudah menunggu. Di depan kami ada dua orang wanita, kalau saya taksir seperti ibu dan anak perempuannya yang sudah remaja dengan barang bawaan yang lumayan banyak. Setelah berbincang sejenak dengan petugas penjaga pintu, mereka mengeluarkan uang sepuluh ribuan dan mengulurkannya kepada petugas. Saya tidak tahu persis apa yang dikatakan oleh petugas tersebut, tetapi saya melihat bahwa kemudian Ibu tadi mengeluarkan tiket keretanya. Mas petugas lalu mempersilakan Ibu dan anaknya masuk, serta mengembalikan uang sepuluh ribuan yang tadi sudah diterima. Melihat pemandangan tersebut, spontan kakak berbisik ke saya dalam bahasa Jawa “wah, mas-e jujur”. “Hooh, duite dibalekke.” balasku, yang artinya “iya, uangnya dikembalikan.”  Setelah membayar peron, kami melalui mas-mas tersebut yang terlihat enjoy dengan pekerjaannya dan sedikit bergoyang menikmati lagu yang diputar. Saya tertawa. “Jujur ki angel saiki,” kata kakakku melanjutkan. “Ning yen jujur berkate akeh lo.. Berkat kan ora mung duit, ning sehat, bahagia, kan berkat juga.” (jujur tuh susah sekarang. Tapi kalau jujur berkatnya banyak loh. Berkat kan bukan cuma uang, tetapi kesehatan, kebahagian, itu juga berkat). Yup, saya setuju dengan yang dibicarakan kakak mengenai jujur. Jujur menjadi komponen penting yang susah sekali dicari saat ini, dan selalu menjadi syarat utama dari para pemberi kerja. Saya mengamati kalau ada lowongan yang ditempel untuk mencari karyawan/karyawati, salah satu yang disyaratkan adalah “jujur”, seperti juga saya ketika harus mencari karyawan untuk menjaga gerobak juice. Aneh juga kalau jujur seakan menjadi barang langka saat ini. Padahal semestinya manusia memang sudah seharusnya jujur, tanpa perlu diperintah lagi. Tapi itulah kenyataannya, jujur menjadi salah satu “added value” yang susah dicari saat ini. Nggak perlu yang besar, hal-hal kecil saja sering membuat kita tidak jujur.  Sekarang coba perhatikan berita yang berkembang  saat ini mengenai “pria mirip Gayus” yang tertangkap kamera saat menonton tenis di Bali. Bagaimana mungkin polisi dan Gayus bisa memberikan keterangan yang berbeda-beda. Pasti salah satu berbohong. Tapi siapa? Wah, jangan tanya ke saya, karena saya bukanlah ahlinya apalagi dalam hal tebak-menebak seperti ini. Secara iseng saya coba membandingkan mas-mas petugas tadi dengan Gayus. Dari segi materi pasti kita akan menjawab dengan tegas kalau Gayus ribuan persen lebih kaya dari mas petugas. Tanpa bermaksud meremehkan, apa sih yang dimiliki mas petugas tadi dibandingkan Gayus? Saya yakin, uang 5 juta bagi mas petugas tadi adalah jumlah yang sangat besar. Tapi bagi Gayus 5 juta mungkin serasa 5 ribu rupiah. Bedanya uang Gayus berasal dari kebaikannya “menolong” orang-orang yang tidak ingin membayar pajak terlalu besar kepada negara, sewajarnya sajalah, nah kalau kemudian ada yang  “nyiprat” ke sang penolong, Gayus, itu sudah hukumnya tolong menolong, win-win solution, harus sama-sama enak. Nah dari segi kebendaan mas tadi jelas sangat miskin dibandingkan Gayus, mekipun dari segi spiritual gantian Gayus yang sangat miskin. Miskin karakter, miskin kebajikan, dan miskin moral. Alangkah menyedihkannya kalau manusia hidup dalam kemiskinan seperti itu, karena berarti mereka tidak menyadari untuk apa mereka ada di dunia ini. Saya menyakini setiap manusia diciptakan untuk suatu tujuan tertentu. Kalau dalam perjalanannya mereka menyimpang ke kanan atau  ke kiri, melakukan hal yang jahat, tetapi masih juga diberi kehidupan oleh Pencipta, itu berarti masih diberi kesempatan untuk berbalik dari jalannya yang salah. Miskin karakter, miskin kebajikan, dan miskin moral, jauh lebih susah ditanggulangi, tidak semudah memberikan bantuan tunai langsung. Dalam catatan sebelumnya saya pernah menyinggung bahwa bangsa ini adalah bangsa yang religius, tetapi sayang sekali tingkat korupsinya sangat tinggi. Religiusitas dimaknai sebagai sebuah ritual keagamaan, bukan penjiwaan aplikatif dalam hidup sehari-hari. Artinya kalau kita sudah selesai melakukan ritual keagamaan berarti sudah sah beribadah. Kalau hari Minggu ke gereja, berarti sudah sah, tidak peduli apa yang akan dilakukan dari Senin-Sabtu. Itulah yang menciptakan kemiskinan ala Gayus yang hanya bisa disembuhkan dengan ibadah yang dijiwai dalam tindakan sehari-hari. Apa yang dilakukan mas petugas tadi bagi saya adalah ibadah yang dia lakukan dalam tindakan nyata dan berguna untuk orang lain.  Pelajaran kedua yang saya dapatkan berasal dari cerita kakak yang saya dengarkan sambil menunggu kereta mengenai kisah seorang ibu tua yang mengumpulkan uang bertahun-tahun untuk membeli sebuah organ bagi gerejanya. Cerita ini sungguh menyentak saya, meminjam istilah Tompi “menghujam jantung”. Ibu tadi adalah warga gereja di Solo dimana saya juga beribadah. Saya tidak tahu persis apa yang melatarbelakangi tindakan beliau karena kakak juga tidak tahu secara detail. Tapi yang jelas, ibu tadi menabung bertahun-tahun, mengumpulkan uang untuk membeli  sebuah organ. Menurut cerita, uang yang berhasil dikumpulkan sebanyak 13 juta rupiah. Tidak ada kabar yang jelas berapa lama beliau menabung, tetapi semangat dan kerinduannya untuk mempersembahkan yang terbaik bagi Tuhannya, itu yang sungguh “menghujam jantungku”. Saya adalah warga gereja tersebut dari mulai gereja itu berdiri, mungkin sekitar 15 tahun yang lalu sampai sekarang organ gereja tersebut sepertinya belum pernah diganti. Saya terhenyak. Tanpa banyak bicara, menabung sedikit demi sedikit.  Kalau saya hitung-hitung, andai beliau menabung 100 ribu per bulan, maka butuh waktu hampir 10 tahun untuk mencapai 13 juta! Memberikan 13 juta adalah jumlah yang besar untuk seorang Ibu yang sudah tidak bekerja. Bisa saja setelah uang terkumpul, dia berpikir menggunakan uangnya untuk keperluan lain. Kalau saya mungkin bisa untuk menambah DP rumah atau wisata ke China. Hehehe. Sekali lagi saya tidak tahu apa yang melatarbelakangi tindakan sang Ibu, tetapi apa yang beliau lakukan merupakan cerita iman  yang mengajarkan saya bahwa dari yang sedikit itu bisa menjadi sangat berharga kalau diberikan dengan tulus dan segenap hati. Itu hanyalah cerita kecil dari sebuah gereja di kota Solo, tempat iman saya bertumbuh dari anak-anak sampai selesai kuliah. Saya berpikir seandainya ada banyak orang, termasuk saya, seperti Ibu tadi dalam konteks yang berbeda, bukan hanya di dalam gereja, pasti kemiskinan ala Gayus tidak akan ada. Atau kalau saya dianggap terlalu ekstrim dengan mengatakan tidak ada, maka saya memperhalusnya dengan mengatakan “sangat kecil kemungkinannya”.  Mas petugas, Ibu tua di gereja, melakukan bagian mereka masing-masing dengan kejujuran dan ketulusannya yang menginspirasi saya untuk meneladani sikap mereka. Bagaimana dengan anda?

12.11.2010

No comments:

Post a Comment