Saya teringat ketika pertama kali naik pesawat, sekitar Juni 2003. Dengan penuh semangat dan suka cita saya sms beberapa teman yang intinya berbagi kebahagiaan dan bersyukur saya bisa naik pesawat! Kalau saya bayangkan sekarang, pasti saat itu teman-teman sangat geli dan berpikir betapa “ndeso”-nya saya. Tapi saya tidak peduli, karena yang terlintas adalah betapa bersyukurnya saya! Maklum, saat itu naik pesawat adalah kemewahan luar biasa yang saya nikmati, setelah kemewahan tertinggi yang saya rasakan selama ini adalah kereta api argo lawu atau dwipangga yang membawa saya pulang pergi Jakarta -Solo. It seems like a dream comes true! Norak sih, tapi bukannya saya memang norak? Haha! Sungguh menyenangkan menunggu saat itu tiba, meskipun harus deg-degan menjalankan seluruh proses check in sebelum benar-benar masuk pesawat. Dan begitulah, ritual pergi ke luar kota menjadi bagian hidup saya sehari-hari. Praktis hampir seluruh kota besar di Indonesia sampai Papua sudah pernah saya datangi, kecuali Medan (tapi sebentar lagi saya terbang ke sana, jadi lunas sudah!). Asyiknya semua gratis. Saya cukup membayar dengan bekerja keras membantu cabang mencapai target penjualan setelah sampai di kota tujuan (wah, ternyata bayarnya mahal sekali! Hehehe). Maklum orang sales, meskipun sekarang saya lebih banyak di kantor karena dipindahkan ke product management. Hampir tujuh tahun saya bekerja di Jakarta, dan Tuhan sudah memberikan banyak kesempatan untuk melihat indahnya Indonesia. Thanks God! Tetapi sekarang semuanya terasa biasa. Tidak ada lagi sensasi dashyat yang saya rasakan seperti ketika pertama kali naik pesawat. Semuanya sudah menjadi rutinitas yang menurut saya memang sudah seharusnya seperti itu. Hal yang terkadang membuat saya berhenti mengucap syukur untuk setiap kesempatan travelling yang diberikan. Padahal mungkin tidak semua orang mendapat kesempatan seperti saya. Tetapi begitulah, ketika sesuatu sudah sangat biasa, maka kita kadang sulit untuk melihatnya sebagai suatu berkat. Coba seandainya sampai saat ini saya belum pernah naik pesawat, maka kesempatan naik pesawat akan menjadi satu anugerah luar biasa dalam hidup saya. Begitu simpelnya kita melihat berkat, hanya yang besar dan menakjubkan, tapi melupakan hal-hal kecil dan rutin yang terjadi pada hidup kita! Saya berandai-andai Tuhan capek lalu istirahat sebentar dari mengatur alam semesta ini. Tiba-tiba Dia bilang, “Capek nih, istirahat sebentar ya. 5 menit saja. Matahari, bulan, bintang, dan yang lain-lain biar jalan sesukanya dulu deh.” Waduh, tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi! Mungkin lebih dashyat dari film 2012 yang ternyata tidak sebagus yang saya bayangkan J.
Sabtu pagi kemarin saya terlibat percakapan cukup berat dengan seorang teman. Tiba-tiba dia duduk di dekat saya dan membuka percakapan dengan kalimat, “Rum, aku sudah confirm.” “Maksudmu?” “Confirm kalau aku kerja hanya sampai bulan ini saja. Kontrakku sudah habis dan tidak diperpanjang.” Saya terdiam sesaat, “Kamu sudah tanya ke atasan? Katanya masih ada kesempatan pindah ke bagian lain.” “Saat ini belum ada. Ya sudah, tidak apa-apa, memang bukan rejekinya. Rejeki sudah ada yang ngatur,” kata dia. Lalu dia melanjutkan,”Tidak ada yang terjadi tanpa seizin Allah kan Rum.” “Yak, betul, tidak ada yang kebetulan,” jawab saya. Teman saya membalas, “Ya, maksudku..kalau Allah mengizinkan aku tetap di situ, apapun yang terjadi pasti aku akan tetap di situ. Tetapi kalau tidak, sekeras apapun aku berusaha, hasilnya adalah tidak. Aku hanya teringat dulu ketika pertama kali mencari kerja, sampai akhirnya diterima di kantor yang sekarang. Tidak terasa aku sudah 2 tahun di situ, dan selalu perpanjangan kontrak setiap 6 bulan. Padahal dulu awalnya hanya akan dikontrak 1 tahun. Jadi kalau sekarang akhirnya kontrak tidak diperpanjang, aku rasa semua-nya kehendak Allah.” Kami terdiam sesaat sebelum saya bicara, “Yup, ada hal-hal lain yang sedang dipersiapkan untukmu. Mungkin memang bukan di situ, tetapi saat ini kita belum tahu.” “Betul, Rum. Sedih sekali ketika pertama kali mengetahui kalau aku tidak diperpanjang. Sampai susah makan dan jatuh sakit. Stress. Tapi setelah aku renungkan, sedih terus tidak berguna karena tidak memberikan solusi apa-apa. Jadi aku berusaha menerima keadaan dan tetap terus berjalan. Berusaha ikhlas, anggap saja kita kehilangan sesuatu. Kalau terus dipikirkan justru makin stress. Jadinya, ya sudahlah..aku serahkan kepada Allah.” Saya menjawab pelan,“Setuju. Kita sering tidak menyadari bahwa kita jauh lebih beruntung daripada orang-orang yang mungkin saja tidak bisa menikmati apa yang kita nikmati sekarang.” “Ya” katanya. “Anggap ini ujian. Untuk bisa naik tingkat kita harus mengikuti ujian, dan kalau lulus, kita akan berada di tempat yang lebih tinggi.” Jadi sekarang bagaimana?” tanya saya. “Melanjutkan hidup dan lulus ujian”, jawabnya sambil tersenyum.
Saya tersenyum mendengarnya, melanjutkan hidup dan lulus ujian. Life is beautiful, sebuah film yang pernah populer beberapa tahun lalu mengajarkan saya bahwa keindahan hidup adalah pilihan, sama seperti yang diajarkan teman saya pagi ini. Memandang hidup dari perspektif yang berbeda bisa memberikan hasil yang berbeda. Seperti pengalaman naik pesawat pertama untuk orang “ndeso” seperti saya yang menimbulkan sensasi ucapan syukur yang dahsyat. Terus terang saya rindu mengalami hal-hal seperti itu lagi, bukan dengan menuntut sesuatu yang lebih tinggi tetapi dengan merubah perspektif saya terhadap kehidupan dan apa yang saya alami sehari-hari. Saya sering menganggap bahwa apa yang saya terima selama ini adalah buah dari kerja keras saya, sehingga memang sudah seharusnya ada imbal balik seperti itu. Hal ini menyebabkan saya tidak bisa mengucap syukur, karena semua berpusat kepada saya, memikirkan saya, hidup adalah saya. Saya lupa ada kekuatan besar yang bisa merubahnya dalam sekejap. Kalau Dia yang memiliki hidup, tidak mengizinkan hal-hal itu terjadi dalam hidup saya, maka sayapun tidak akan pernah merasakannya. Sebegitu keras saya berusaha, semuanya akan sia-sia kalau Dia tidak mengaruniakannya, seperti kata Pemazmur “Jikalau bukan Tuhan yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya. Jikalau bukan Tuhan yang mengawal kota, sia-sialah pengawal berjaga-jaga. Sia-sialah kamu bangun pagi-pagi dan duduk-duduk sampai jauh malam dan makan roti yang diperoleh dengan susah payah, sebab Ia memberikannya kepada orang yang dicintainya pada waktu tidur....”
Semua kerja keras saya akan sia-sia belaka kalau Dia tidak mengaruniakan hasilnya pada saya. Jadi dalam posisi seperti ini bagaimana saya tidak mengucap syukur? Alangkah menyedihkannya! Masih beranikah saya melakukannya setelah semua hal baik yang dianugerahkan pada saya? Saatnya melihat hidup dari perspektif yang berbeda..., sekarang, dan bukan besok...saatnya menyadari bahwa Dia sudah memberikan semuanya yang kita butuhkan bahkan sebelum kita memintanya. Jadi kurang apa lagi? dan next…mau dibawa kemana hidup kita? Quo vadis (mau kemana)?
09.09.2010
No comments:
Post a Comment