Friday, December 3, 2010

spiritualitas = ritual keagamaan?

Sebuah bajaj berhenti beberapa langkah di dekat saya duduk menunggu pesanan mie goreng. Dua orang ibu berjilbab turun dari bajaj dengan hati-hati dan terlibat percakapan dengan tukang bajaj. Beberapa saat kemudian, ibu yang lebih tua,lebih tepat disebut nenek, dengan usianya yang sekitar 70 tahunan, berjalan pelan menuju penjual mie. “Pak, bisa tukar uang?” ucapnya  mengulurkan uang seratus ribu. “Nggak ada Bu”. “Kalau begitu boleh saya pinjam 5 ribu? Ini yang seratus ribu dibawa dulu”. “Wah, nggak ada juga”. Saya melihat adegan itu dan spontan tangan saya bergerak melihat beberapa lembar ribuan di dompet saya. “Ini ada Bu, pakai saja”. “Wah,. Terima kasih Nak, ini pegang uang saya”. “Oh nggak Bu, terima kasih. Ibu pakai saja. “  “Terima kasih Nak, terima kasih. Semoga Allah yang membalas.” ucap Ibu itu. “Terima kasih Bu”. Saya tertegun dan menatap nenek itu berjalan pelan ke arah bajaj yang kemudian berlalu. Kedua nenek itu berjalan memasuki rumah. Tetapi mendadak sang nenek berhenti lagi dan menatap ke arah saya. “Nak, terima kasih. Gusti Allah yang membalas.” “Spontan saya berdiri dari tempat duduk dan membungkuk pelan ke arahnya. “Sama-sama Bu, nggih, matur nuwun”.  Nenek itu masih bicara. “Logatnya dari Jawa” “Iya Bu, saya dari Solo.” “Saya juga dari Solo, Gajahan.” Jawabnya menyebut nama kampung di Solo. “Saya Manahan Bu”. “Oh ya, deket. Saya masuk dulu. Terima kasih Nak...” “Nggih Bu...”
Saya merenungkan ucapan nenek tadi dan menyadari betapa religiusnya bangsa ini. Ah, bangsa yang luar biasa religius, berTuhan. Tapi di sini, di bangsa ini, korupsi merajalela.  Beberapa hari lalu buku Koruptor itu Kafir diangkat sebagai bahan talk show di Metro TV. Penyiar acara tersebut bertanya kepada narasumber, “Kenapa judulnya seperti itu Pak? Apakah tidak takut menyinggung perasaan agama lain?”  Spontan saya yang melihat acara itu menyahut, “Pertanyaan bodoh. How could be a host in a big TV station ask like that?  Seems uneducated!” Untungnya saya cukup senang dengan jawaban sang narasumber, kalau gak salah dari NU, “Loh, kafir itu bukan tentang agama lain. Kafir adalah ketika kebenaran diingkari.”
Hari ini beberapa koruptor mendapat remisi dan grasi dari presiden karena sudah mennjalani 2/3 masa tahanan dan bersedia membayar denda yang diberikan. Saya benci koruptor, dan sangat kecewa dengan mereka. Bangsa yang religius ini ternyata memiliki angka yang sangat tinggi dalam hal korupsi. Bagaimana bisa?  Saya membaca di detik.com kalau sore tadi Presiden SBY berbuka puasa di rumah besannya yang baru saja dibebaskan, dengan menantu, anak, dan keluarga sang besan. Seseorang memberikan  komentarnya terhadap berita itu,“Ih, presiden tidak tahu malu. Berbuka bersama koruptor. Apa jadinya bangsa ini?” Sekali lagi saya benci koruptor. Tetapi mengenai presiden yang berbuka puasa bersama besannya yang baru saja dibebaskan entah kenapa saya tidak merasa terganggu. Menurut saya bagaimanapun mereka adalah keluarga, sama seperti seandainya itu terjadi pada keluarga kita.
Bangsa yang religius, tetapi banyak koruptor. Bangsa yang religius, tetapi kadang berpikir bodoh terhadap pemeluk agama lain. Bangsa yang religius, tetapi kadang berpikir picik. Mungkin karena religius dipahami sebagai ritual keagamaan, sebuah kewajiban yang harus dijalankan sehingga ketika sudah selesai melakukannya maka dianggap sudah beribadah. Padahal ibadah tentu saja memiliki makna lebih dalam dari sekedar ritual keagamaan. Ibadah adalah nafas kehidupan yang seharusnya menjiwai setiap gerak, perilaku, dan tutur kata orang-orang yang mengaku menyembah Tuhan. Pemaknaan yang dalam tersebut akan membangun sebuah lingkungan dan hubungan antar manusia yang damai dan saling menghormati, bukannya memunculkan perbedaaan yang semakin tajam dan merusak orang lain karena merasa diri paling benar. Siapakah kita sehingga berani menghakimi sesama kita? Pengenalan Sang Khalik yang berdasarkan logika manusia, bukan dari hati, akan memunculkan rasa takut, bukan rasa cinta yang mendalam sehingga menciptakan hubungan yang kering karena penyembahan dianggap sebagai suatu kewajiban dan bukan kerinduan. Mendadak saya teringat ucapan tulus sang nenek, “Terima kasih Nak, Gusti Allah yang membalas’” “Amien” sahut saya dalam hati. Ah, seandainya semua orang setulus itu, alangkah damainya.....


20.08.2010

No comments:

Post a Comment