Friday, December 24, 2010

solo, the spirit of Java - episode belajar

Ini kisah tentang seseorang yang sedang belajar mengenal kota kelahirannya setelah puluhan tahun lewat.  Ini kisah tentang saya, yang merasa harus menebus dosa karena tidak memiliki pengenalan cukup mengenai kota asalnya. Yah, liburan kali ini di Solo akan saya gunakan untuk menyusuri dan mengenal wisata yang ada. Aneh rasanya kalau saya sampai tidak tahu dan tidak bisa bercerita mengenai kota ini, padahal saya fasih bicara mengenai Singapore atau Bangkok yang baru saja saya kunjungi. Saya ingat sebelum berangkat ke kedua kota tersebut, saya sampai harus membeli buku, browsing internet, mempelajari makanan, transportasi dan semua hal menarik yang harus saya kunjungi ketika tiba di sana dan tak ketinggalan pula barang-barang apa yang harus saya beli yang berarti akan berdampak pada isi kantong saya. Tetapi ketika bicara mengenai Solo, saya justru tidak bisa bercerita banyak. Kunjungan ke kedua tempat tersebut menginspirasi saya untuk lebih dulu memahami dan mengenal keindahan kota asal yang ada di depan mata. Rasa iri karena wisata yang maju di kedua negara tersebut membuat saya ingin membuktikan bahwa Solo juga memiliki potensi wisata yang unik dan bisa dijual. Syaratnya tentu saja saya harus mengenal dengan baik terlebih dulu. Saya tidak tahu apakah saya satu-satunya orang Solo yang tidak mengenal kotanya, atau sebenarnya masih banyak yang lain seperti umumnya fenomena gunung es. Kalau bicara mengenai museum, keraton, mungkin masih ada ingatan sedikit-sedikit meskipun saya sudah hampir lupa, karena rasanya sudah lama sekali sejak terakhir saya ke sana. Keinginan untuk mengenal Solo dengan lebih baik justru muncul setelah saya mengenal tempat lain. Mungkin benar juga kata pepatah, rumput tetangga lebih hijau, tapi saat ini saya ingin membuktikan bahwa rumput saya sendiri ternyata bukan hanya hijau tapi berkilau-kilau! Jadi tujuan liburan kali ini adalah tempat-tempat yang menjadi icon kota Solo seperti keraton, museum Radyapustaka, pasar Ngarsopuro yang merupakan pusat benda-benda antik, dan tentu saja batik! Selain tempat budaya, Solo terkenal dengan wisata kulinernya. Saya teringat dengan seorang teman beberapa waktu lalu yang katanya sangat mencintai Solo karena banyak makanan enak, bahkan katanya kalau urusan kuliner Solo jagonya. Saya hanya tersenyum mengiyakan, padahal saat itu sambil berpikir tempat-tempat mana saja yang sudah saya singgahi. Malu kan, kalau orang di luar Solo justru lebih mengenal kota ini dibanding saya. Istilahnya “haram hukumnya”, hahaha. Tetapi lagi-lagi saya tidak terlalu paham kuliner mana yang enak dan terkenal. Justru saya harus membaca buku dulu untuk mengenalnya baru meluncur ke sana. Wah, aneh benar pikir saja, tetapi tidak apa-apa daripada tidak sama sekali.  Saya tidak bisa menyalahkan hal ini karena masa-masa di Solo saya habiskan dengan belajar dan belajar. Kalaupun ada kegiatan di luar rumah itu lebih ke arah organisasi atau kegiatan gereja yang tidak mengeksplorasi makanan. Semua itu ditambah dengan keterbatasan dana yang ada yang mengharuskan saya untuk makan di rumah. Istilahnya kenyang dulu baru pergi jalan-jalan, jadi tidak ada yang namanya jajan di luar. Kalaupun mau pergi kemana-mana, perut harus diisi dulu, maklum, dana yang ada lebih dialokasikan untuk membayar sekolah atau membeli buku. Akibatanya saya memang lebih mengenal masakan ibu di rumah daripada berburu kuliner yang katanya terkenal itu.  Saya tidak tahu, apakah tahun-tahun 80-90-an kuliner di Solo sudah booming, tapi sepertinya semua berawal dari banyaknya orang Solo yang pergi ke Jakarta atau kota besar lainnya. Sebenarnya sama saja seperti orang daerah lain yang kembali ke daerahnya dan ingin memuaskan diri dengan masakan khas yang ada. Jadi intinya saya tahu makanan khas Solo, tetapi tidak untuk wisata kulinernya karena kebutuhan gizi saya sudah terpenuhi oleh masakan rumahan seperti sayur asem, oseng-oseng, sayur lodeh, sayur gori, pecel, sambel tumpang, dan lain-lain yang selalu ada dan tersedia. Paling banter saya bisa bercerita banyak mengenai HIK atau Hidangan Istimewa Kampung atau terkenal dengan sebutan “wedangan” yang menunya murah meriah dan hore, mulai dari “sego bandeng” terkenal dengan julukan “sego kucing”, “sego oseng-oseng”, ditambah lauknya yang seru seperti usus, tahu bacem, tempe bacem, telur puyuh, ataupun minumnya yang beragam seperti jahe, serbat, dan lain-lain.  Di Jogja HIK terkenal dengan sebutan “angkringan”. Saya justru mengenal tempat-tempat makan terkenal di kota Solo setelah bekerja di luar kota dan banyak ditanya oleh orang lain sehingga mau tidak mau saya harus belajar mengenainya melalui buku dan sekarang saatnya mempraktekkan! Hahaha, aneh rasanya, tetapi tidak apa-apa karena memang mampunya dan sadarnya baru sekarang. Maksud saya mampu beli, karena dulu waktu kecil atau pas kuliah sepertinya tidak mungkin. Sadar, karena baru sekarang terinspirasi, sedangkan dulu saya cuek saja dan tidak peduli. Jadilah liburan ini saya sengaja menghabiskan waktu untuk mencicipi kuliner di Solo yang terkenal itu, tujuannya hanya satu agar bisa bercerita banyak mengenai kota ini dan benar-benar jadi orang Solo yang bisa diandalkan, bukan kaosnya saja yang bertuliskan “Solo the spirit of Java”, tapi tidak ada “spiritnya” di dalam diri saya. Mungkin terkesan tendensius, tapi saya memang sengaja melakukannya. Kota lain dikenal dengan baik, tetapi kota sendiri justru terpinggirkan. Kalau orang Sunda bilangnya “pamali”, hehehe.  Mengenal kota Solo dengan atmosfer yang tenang dan langgamnya yang pelan, jauh berbeda bila dibandingkan dengan hiruk pikuk Jakarta. Solo hampir sama dengan Jogja yang juga kalem, bedanya Jogja sudah mampu menjadikan kotanya sebagai salah satu tujuan wisata di Indonesia. Memutar ulang kenangan tentang Solo dan menyusuri lagi potensi wisata yang ada tampaknya bakal menjadi acara menarik di liburan saya kali ini. Jadi jangan heran kalau hari-hari ini status update saya banyak mengenai makanan, bukan berarti saya sangat rakus, tetapi lebih karena saya ingin mengajak anda berimajinasi mengenai keunikan Solo dan kelezatan kulinernya, lalu muncul keinginan untuk datang ke kota ini suatu hari nanti. Ya, suatu hari nanti, ketika anda bingung memutuskan berlibur kamana, saya berharap tulisan saya nantinya akan menjadi inspirasi bagi anda untuk menghabiskan waktu menikmati indahnya Solo. Seperti saya saat ini yang sudah mulai menikmati segarnya mie toprak Yu Nani di Kartopuran, lanjut dengan es dawet Pasar Gede. Itu baru awalnya, karena masih ada Timlo Bu Sastro, Gudeg Ceker depan Margoyudan, Nasi liwet Wongso Lemu di Keprabon, dan lagi dan lagi..... 

No comments:

Post a Comment