Thursday, December 27, 2012

Catatan Akhir Tahun (1)


                                                                                    We become what we repeatedly do – Sean Covey

Merubah kebiasaan memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, apalagi kebiasaan yang sudah melekat selama puluhan tahun. Itulah yang saya rasakan ketika memulai kebiasaan baru merubah pola makan. Sudah 1½ bulan ini saya membiasakan diri menyantap “rerumputan”- istilah saya untuk selada, tomat, mentimun, dan paprika sebagai pengganti makan malam, diperkaya aneka buah seperti apel, kiwi, jeruk, mangga, strawberry, pisang, melon, tergantung ketersediaan. Sebenarnya pola makan tidak berubah secara radikal, karena sarapan pagi masih ditemani dengan 3 gelas jus, dan makan siang juga seperti biasa. Diantara sarapan pagi ke makan siang dan jeda sore hari, saya masih menikmati kue-kue atau makanan lainnya. Tetapi ternyata efeknya cukup besar karena berat badan saya turun 3 kilogram selama 1½ bulan ini. Tentu saja dikombinasikan dengan olahraga rutin seperti jogging dan angkat barbel. Sebenarnya tujuan utama bukanlah menurunkan berat badan, tetapi meningkatkan kebugaran dan stamina karena saya merasa sangat capek setelah mengajar 3 hari berturut-turut. Selain itu saya terkejut ketika hasil medical check up terakhir menunjukkan angka kolesterol saya melebihi normal. Hal ini memotivasi saya untuk berubah. Kalaupun kemudian dampaknya adalah penurunan berat badan, saya tentu sangat bersuka cita karena berarti baju-baju lama yang sudah tidak muat bisa saya pakai lagi.
Jangka waktu 1½ bulan sebenarnya sudah cukup membuat sebuah perilaku menjadi kebiasaan yang melekat, tetapi ternyata itu tidak berlaku ketika saya pulang ke Solo. Entah karena nuansa rumah, liburan natal, ada keluarga, banyak makanan, atau memang kemauan kurang kuat, pola makan saya kembali ke selera asal: makan malam menu lengkap dan ngemil kue-kue tinggi kalori. Kesadaran saya sudah mengingatkan untuk kembali ke menu sehat, tetapi pemikiran “mumpung libur”, meluluhlantakkan semuanya. Sungguh benar kalimat bijak seperti ini: Roh memang penurut, tetapi daging lemah. Dalam hati bertekad kuat, tetapi kenyataannya menyerah kalah. Pola makan sehat yang sudah menjadi kebiasaan baru menguap begitu saja. Tetapi bukankah makan nasi sudah menjadi kebiasaan saya selama berpuluh tahun? Sehingga sangat masuk akal kalau kebiasaan baru akhirnya takluk. Bahkan secara bercanda saya mengatakan bahwa “belum makan kalau belum ketemu nasi”. Mie, roti, kentang, masuk kategori makanan ringan dan bukan pengganti nasi. Padahal selama 1 ½ bulan kemarin lambung saya mulai terbiasa tidak selalu menerima nasi karena sempat beberapa hari tidak makan nasi dan diganti sumber karbohidrat lainnya. Porsi makan juga lebih sedikit karena terasa kenyang. Lalu mengapa bisa terkikis dengan begitu mudah? Saya mencoba mereka-reka hal sederhana ini ke dalam beberapa hal. Yang pertama adalah ingatan tentang masa lalu. Selama lebih dari 35 tahun saya terbiasa makan nasi sebanyak 3 kali, pagi siang dan malam. Bahkan sewaktu kecil karena ayah ibu tidak mampu menyediakan 4 sehat lima sempurna, terkadang menu yang tersedia adalah nasi dicampur dengan garam, parutan kelapa, dan krupuk. Bagi saya waktu itu rasanya sangat “maknyus”, dan sudah cukup membuat saya kekenyangan. Saat ini, suasana rumah yang nyaman, seperti membawa saya ke zaman dulu. Ingatan masa silam seringkali menjebak kita untuk kembali kepada kebiasaan lama. Tentu saja saya tidak bermaksud untuk mati-matian mengatur pola makan sehat secara kaku karena sebenanrya saya sangat fleksibel. Saya hanya ingin menunjukkan bahwa terkadang ingatan masa lalu menjadi “pembenaran” bagi kita untuk tidak melangkah maju. Tahun 2012 hampir berakhir dan sesaat lagi kita memasuki tahun baru. Apapun yang terjadi di tahun ini sudah menjadi masa lalu di tahun depan. Kejadian-kejadian yang tidak membahagiakan, peristiwa menyakitkan, mungkin saja mewarnai tahun ini dan membuat kita menyebutnya sebagai tahun yang keras dan sulit, tetapi sekali lagi ketika melangkah di tahun baru, itu semua sudah menjadi masa lalu yang tidak akan pernah kita izinkan menyerobot masa depan.
Yang kedua adalah lingkungan. Ketika merubah pola makan, saya berada di lingkungan yang memiliki kebiasaan sama yaitu teman-teman kantor yang juga menerapkan hal tersebut. Membawa bekal berupa 1 kotak “rerumputan” bukanlah hal yang aneh karena yang lain melakukannya juga sehingga atmosfernya pun terasa. Salah satu teman kantor bahkan cukup ekstrim karena pernah 1 bulan penuh tidak makan nasi dan diganti dengan sayuran, buah-buahan, serta protein. Lingkungan memiliki pengaruh kuat terhadap kebiasaan yang kita bangun. Hal ini yang tidak saya dapatkan ketika pulang ke Solo. Hembusan anginnya adalah makan segala macam, dan interaksinya begitu kuat karena berada di dalam satu rumah. Hal ini mengakibatkan saya pun terimbas dan berpikir “ah, sekali-kali makan bebas dan tidak terikat waktu”. Sekali lagi saya tidak sedang menjalani pengaturan makan yang ketat, atau merasa sangat bersalah melanggarnya, karena bagi saya ini adalah hal sederhana. Saya hanya sedang berusaha melihat sebuah peristiwa dari perspektif yang lain. Lingkungan mempengaruhi diri kita. Kalimat bijak mengatakan “pergaulan buruk merusak kebiasaan baik”, memang terbukti. Bukan berarti pulang ke rumah adalah lingkungan yang buruk. Saya hanya sedang berusaha menarik benang merahnya, bahwa lingkungan memiliki pengaruh sehingga kita diajar untuk lebih bijak dan cerdas membawa diri.
Yang ketiga adalah setia pada tujuan. Seandainya saya memiliki ingatan masa lalu yang kuat, lingkungan yang tidak mendukung, tetapi kalau saya tetap memegang tujuan saya merubah pola makan, untuk kebugaran stamina dan menurunkan kolesterol, tentu saya akan tetap melangkah di jalur itu dengan konsisten. Ketika saya memberikan sedikit kelonggaran pada diri saya, ternyata berujung pada kelonggaran yang semakin besar. Konsistensi memang membutuhkan usaha dan tekad yang kuat. Ketika mengikuti kebaktian Natal di Solo, saya bertemu banyak teman-teman lama, termasuk para orang tua yang sekarang sudah menjadi kakek nenek dan terlihat renta. Dahulu ketika saya masih  pemuda-remaja, kami mengadakan persekutuan doa keluarga setiap Sabtu sore dan di situ kami dijadwal untuk memberikan renungan singkat semampu kami. Setelah selesai, para orang tua yang akan melengkapi dan memperkaya renungan yang kami bawakan. Persekutuan doa tersebut mendidik kami para pemuda remaja untuk berani mengupas firman Tuhan dan berbicara di depan umum. Tidak ada yang salah, karena nanti akan ditambahkan oleh para tetua yang ada di situ. Yang menakjubkan adalah persekutuan tersebut masih berjalan sampai sekarang, padahal sudah berumur 20 tahun lebih. Pembawa renungan pun masih digilir seperti dulu, dan kali ini giliran pemuda remaja zaman dulu menjadi tua tua-nya. Kesetiaan pada tujuan membawa kita kepada konsistensi.
Sebentar lagi kita akan memasuki tahun baru yang penuh harapan. Memupuk kebiasaan baru yang baik, yang membawa kita pada impian yang ingin kita capai memerlukan niat yang kuat.  Ingatan masa lalu, lingkungan, kesetiaan pada tujuan, adalah poin-poin yang perlu diperhatikan. Mungkin bukan sesuatu yang besar dan baru, tetapi seringkali hal-hal kecil kita lewatkan. Berawal dari hal yang sederhana, pola makan, saya mendapatkan banyak pembelajaran untuk melangkah lebih berani di tahun depan. Selamat meninggalkan tahun 2012, dan memasuki tahun 2013!

Wednesday, December 26, 2012

Dari Film 5 cm




There is only one thing that makes a dream impossible to achieve: the fear of failure
 – Paulo Coelho, The Alchemist

Mendaki tidak pernah mudah tetapi bisa, meraih impian tidak pernah mudah tetapi bisa, kalimat itu terlintas di benak saya setelah selesai menonton film 5 cm. Meskipun tidak memberikan dampak emosi sebesar Laskar Pelangi atau Sang Pemimpi, tetapi ada beberapa hal menarik yang layak untuk diingat. Yang pertama, persahabatan adalah hal berharga yang kita miliki. Kesuksesan diraih karena ada bantuan dan dorongan dari orang-orang sekitar kita. Impian yang digambarkan sebagai puncak Mahameru dalam film ini bisa ditaklukkan karena mereka berjuang dengan dukungan orang lain yang saling melengkapi dan menularkan harapan. Persahabatan juga diartikan sebagai jejaring atau networking, yang saat ini memegang peranan sangat besar untuk kesuksesan seseorang. Saya bekerja di perusahaan yang sekarang juga karena jejaring. Bermula dari menitipkan curiculum vitae (CV) saya ke seorang teman yang memiliki beberapa milis tentang ke-HRD-an sampai kemudian CV saya tersangkut di perusahaan yang sekarang. Mungkin saja CV saya sudah dilihat belasan perusahaan sampai akhirnya menemukan pelabuhan yang cocok. Saat wawancara pun posisi yang ditawarkan tidak seperti yang saya harapkan, tetapi ternyata itu menjadi gerbang ke penawaran lain yang kemudian saya terima, tanpa menggunakan surat lamaran ataupun cara-cara yang standar untuk mendapatkan pekerjaan. Saya percaya banyak orang yang juga sangat terbantu dengan jejaring yang mereka miliki.
Yang kedua adalah persiapan. Mendaki puncak Mahameru bukan hal mudah dan membutuhkan persiapan matang, baik perbekalan, fisik, maupun mental. Peralatan yang dibawa juga harus memadai sehingga membantu proses pendakian. Meraih impian membutuhkan persiapan, baik dalam hal ketrampilan, pengetahuan, dan terutama mental yang akan membawa kita ke sana. Tidak ada orang yang sukses tanpa persiapan. Saya teringat belasan tahun silam ketika ikut mendaki Gunung Merbabu untuk menyembuhkan hati yang patah. Itu adalah pendakian pertama saya. Perbekalan yang harus dibawa saya persiapkan dengan baik bahkan saya berlatih fisik dengan melakukan jogging secara rutin. Sampai sekarang saya masih ingat dengan jelas kata-kata teman saya waktu itu, bahwa kalau capek sebaiknya berhenti tetapi tetap dengan posisi berdiri dan jangan menekuk lutut atau jongkok karena akan membuat badan kita semakin berat ketika memulai pendakian lagi. Saya juga teringat bahwa kami harus mengatur makan dan minum sehingga cukup untuk sampai di puncak lalu turun lagi. Meskipun ketika turun gunung dan air sudah menipis, saya tidak ragu-ragu untuk mengisi botol mineral dengan air sungai dan meminumnya sampai tandas. Tidak terlintas sedikit pun bahwa saya akan sakit perut karena air tidak dimasak dan sebagainya. Hal-hal seperti itu adalah bagian dari persiapan mental, bahwa ketika mendaki gunung segala sesuatu bisa terjadi bahkan ketika yang kita persiapkan tidak cukup, kita harus tetap survive. Meraih impian pun juga harus bisa survive dengan segala kondisi yang ada di tengah perjalanan yang kita lalui.
Keberhasilan pendakian juga disebabkan adanya seorang pemimpin atau pemandu jalan yang sudah pernah mencapai puncak, bahkan berkali-kali,  sehingga sangat paham dengan rintangan dan liku liku perjalanan serta bagaimana mengatasinya. Ini adalah hal ketiga yang perlu dicatat, bahwa untuk meraih impian orang membutuhkan pemandu, pembimbing, atau mentor. Seorang mentor tahu persis apa yang harus dilakukan karena mereka sudah mencapai puncak pendakian. Mentor akan mengarahkan, memberi dorongan, pacuan, yang menuntun kita mengambil arah yang benar. Meskipun demikian, keberhasilan tetap sepenuhnya ada di tangan kita, karena seperti sebuah pendakian gunung, pemandu bisa menuntun kita, tetapi kitalah yang mengerakkan kaki, tangan, dan hati untuk mencapai puncak. Ketika mendaki Merbabu, saya benar-benar memperhatikan kata-kata yang keluar dari pemimpin kelompok, apa yang boleh dan yang tidak boleh, sampai akhirnya saya mencapai puncak. Sebuah pengalaman jiwa yang luar biasa, menaklukkan gunung setinggi 3.145 meter di atas permukaan laut dan menyaksikan matahari terbit secara dekat. Sayang sekali, ketika saya membongkar lemari untuk mencari foto-foto lama tersebut saya tidak menemukannya lagi. Sensasi yang ditimbulkan dari film 5 cm membuat saya kembali mengenang masa-masa belasan tahun silam. Seorang mentor juga menularkan keyakinan, sama seperti pemandu pendakian menularkan keyakinan kepada kelompoknya bahwa mereka akan sampai ke puncak, karena mereka pernah sampai ke sana! Tanpa keyakinan, kita tidak akan pernah mencapai impian.
Yang keempat adalah pengorbanan. Mendaki gunung tidak pernah mudah, tetapi ketika kita sampai ke puncak ada keindahan yang luar biasa. Perjalanan yang terjal, sulit, menguras energi bahkan terkadang air mata, tetapi tetaplah melangkah sampai menuju titik akhir. Seringkali kita harus beristirahat lebih lama karena terlalu capek, tetapi itu tidak akan menghentikan langkah kita. Istirahat adalah saat memulihkan tenaga untuk kemudian berjalan lagi. Semakin ke atas kemiringan semakin terasa, sehingga kita tidak bisa berdiri tegak tetapi setengah merayap untuk bisa terus naik. Ketika berjalan di jalan biasa kita hanya menggunakan kaki, tetapi ketika mendaki kita akan mengunakan semua daya dan alat yang kita miliki, bukan hanya kaki tetapi juga tangan. Ini menunjukkan bahwa mewujudkan mimpi membutuhkan totalitas dari apapun yang kita miliki. Di film 5 cm, menuju puncak ditandai dengan adanya abu vulkanik dan batu-batu yang jatuh dari atas, sehingga pendaki harus waspada. Meraih impian membutuhkan pengorbanan, kerja keras, dan ketegaran hati, seperti yang disampaikan dalam film tersebut, “yang kita butuhkan untuk mencapai puncak adalah kaki yang akan berjalan lebih jauh dari biasanya, tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya, mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya, leher yang akan lebih sering melihat ke atas, lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari baja, dan hati yang akan bekerja lebih keras dari biasanya, serta mulut yang akan selalu berdoa.”
Yang kelima, berkumpul dengan orang-orang yang memiliki goal yang sama. Saat mendaki gunung kita akan bertemu dengan kelompok pendaki gunung yang lain dan seringkali terjadi interaksi di situ. Di film 5 cm digambarkan bagaimana mereka meminta air kepada kelompok pendaki yang lain dan mendapatkan informasi-informasi yang berguna menuju puncak gunung. Secara logika, ketika kita melihat pendaki gunung lain yang juga sedang berjuang mencapai puncak tanpa mengenal lelah, kita juga akan terpacu menuju ke sana karena tertular semangat yang ditunjukkan. Untuk meraih mimpi kita perlu bergabung dengan orang-orang yang memiliki impian yang sama, karena di situlah sumber kita untuk belajar sehingga akan mempercepat proses pencapaian tujuan yang diharapkan. Terjadi proses transfer pengetahuan, ketrampilan, dan energi, sehingga potensi kita bisa keluar secara optimal.
Yang keenam adalah berdoa. Mendaki gunung berarti mematahkan ego akan kebesaran diri kita. Ketika mendaki Gunung Merbabu, saya merasakan betapa saya hanya sebuah titik di alam ini. Pepohonan yang lebat, jalan yang terjal, gunung yang kokoh, kekuatan alam yang dahsyat menyadarkan saya bahwa tidak mungkin saya bisa mencapai puncak dengan kekuatan sendiri. Tanpa perkenan Tuhan, saya tidak akan sampai ke tempat yang saya tuju. Meraih impian hanya bisa dicapai dengan pertolongan Tuhan. Saya memiliki keyakinan, bahwa ketika impian itu ditaruh di hati saya, Tuhan juga sudah menyiapkan tiket untuk ke sana, sisanya adalah kerja keras saya. Setiap impian yang terukir di hati manusia adalah doa yang tiada putus kepada Sang Pencipta.
Persahabatan-jejaring, persiapan, pemandu/mentor, pengorbanan, berkumpul dengan orang-orang yang memiliki impian yang sama dan berdoa, adalah hal-hal yang saya catat dari film 5 cm. Memang tidak bisa dibandingkan dengan Laskar Pelangi atau Sang Pemimpi karena latar belakangnya berbeda. Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi adalah potret nyata perjuangan anak manusia, sedangkan 5 cm adalah fiksi tentang persahabatan. Meskipun demikian banyak hal bisa dipetik dari film tersebut yang membuat saya terpacu untuk mewujudkan mimpi yang dimiliki. Mendaki gunung memang tidak mudah, tetapi bukan berarti tidak bisa. Apapun impian Anda saat ini, selamat menuju ke sana!

Saturday, December 15, 2012

Time flies


Life is like riding a bicycle. To keep your balance you must keep moving
- Albert Enstein

Saya membuka mata di pagi hari dan berucap, selamat datang Desember. Tahun 2012 berjalan sangat cepat, bahkan sebentar lagi Natal tiba. Tahun berganti, waktu berlalu, hari demi hari yang dulu terasa jauh dan lama, sekarang terlewati. Waktu 24 jam sehari bisa berdetak lambat atau cepat, tergantung peristiwa yang dialami. Kebahagiaan dan kegembiraan menjadi alat percepatannya, sedangkan kesedihan dan kepedihan menjadi alat yang menahan waktu untuk tidak beranjak dari kita berpijak. Waktu yang mestinya matematis seringkali menjadi sangat dipengaruhi persepsi sehingga tidak bisa dihitung secara logika. Contoh nyata, ketika kita sangat mencintai pekerjaan dan asyik menikmatinya, jam kantor menjadi tidak berarti karena mendadak sudah larut malam. Atau ketika kita sedang berkumpul dengan orang-orang terkasih, waktu seakan berlari sehingga kebersamaan itu cepat selesai. Tetapi saat mengalami suatu kejadian yang tidak enak atau melakukan pekerjaan yang tidak kita sukai, waktu merambat begitu lambat. Apapun yang terjadi, satu hal yang tidak berubah adalah waktu selalu berjalan maju.

Saya menikmati hari-hari, mengamati keponakan yang sudah besar, bahkan 4 dari 10 keponakan sudah menikah. Serunya lagi saya sudah menyandang gelar 'nenek' karena menimang 2 orang cucu yang merupakan anak-anak mereka. Secara refleks saya bercermin dan menyadari bahwa ternyata saya memang sudah tidak remaja lagi, paling tidak beberapa teman kantor secara bercanda memanggil 'Oma' karena saya pernah memasang gambar profil menggendong cucu. Ingatan saya kembali ke masa dua puluh lima tahun silam ketika saya masih bermain main dengan mereka dan memboncengkannya di jok sepeda motor. Salah seorang keponakan di Solo yang dulu seringkali saya jemput ketika di Taman Kanak Kanak, dan saya bimbing belajar dimalam hari sekarang sudah mahasiswa Teknik Sipil tingkat akhir. Ah, menyenangkan juga mengingat semuanya, tetapi itu semua sudah lewat. Terkadang saya tidak menyadari berharganya waktu sampai saya memahami bahwa hari-hari yang saya tinggalkan menyimpan banyak cerita.

Waktu tidak bisa diputar ulang. Apa yang sudah terjadi hanya bisa diingat, dikenang, disyukuri, atau bahkan diratapi. Tetapi apakah gunanya semua itu, karena kita belajar dari waktu yang terus bergerak maju tanpa ada yang mampu menahan. Kalaupun dalam hidup kita ada banyak kejadian yang tidak sesuai harapan, saatnya terus berjalan tanpa ragu seperti waktu. Waktu adalah contoh tentang konsistensi, setiap detik berdetak, seirama dengan putaran alam. Apa yang dialami, keberhasilan-kegagalan, kebahagiaan-kesedihan adalah dua sisi mata uang yang silih berganti, sama seperti siang dan malam yang mewarnai dunia mengikuti hukum alam. Waktu berlalu, peristiwa berlalu. Jadi semestinya tidak perlu berhenti di suatu masa hanya karena kita terlalu berbahagia sehingga tidak mau melepaskannya, atau terlalu sedih sehingga berkubang di dalamnya. Semua memiliki porsinya sendiri, seperti siang dan malam yang saling melengkapi.

Waktu terus berjalan apapun yang terjadi, demikian juga hidup kita. Peristiwa datang dan pergi, ada yang menjadi kenangan, ada yang menghilang. Orang juga datang dan pergi berulang kali. Saya sedang mencoba menikmati setahun terakhir dengan belajar dari waktu. Mau kemana kita? Roda kehidupan berputar, tidak pernah ada waktu dan tanggal yang sama sepanjang zaman. Pertanyaannya, apakah kita akan melaluinya sia-sia, atau kita akan membuatnya menjadi waktu-waktu indah setiap hari apapun yang terjadi? Jawabannya ada di hati kita masing-masing. Saya lagi belajar dan berharap bisa lulus, menghitung hari demi hari yang saya lewati, mempersiapkan Natal dan Tahun Baru yang tinggal hitungan hari. Pilihan ada di tangan kita. Selamat menjalani hari-hari dengan bijaksana!

Saturday, December 8, 2012

Menembus Batas



                                   The sky is not my limit...I am - T.F. Hodge

Saya mengamati gambar profil teman yang menunjukkan 3 buah anak panah meluncur ke tembok. Satu anak panah berhasil menembusnya sedangkan dua lainnya berhenti tepat di dinding. Statusnya bertuliskan “menembus batas”, sama dengan judul presentasi motivasi yang sedang saya persiapkan untuk acara National Sales Conference akhir tahun ini. Teman tersebut adalah rekan kerja semasa saya menjadi penyiar di sebuah radio di Salatiga. Dua belas tahun sudah berlalu, dan saya kagum dengan pencapaiannya saat ini. Kecintaannya pada radio membuat dia meninggalkan gelar akademisnya di bidang Hukum dan menekuni kepenyiaran. Keputusan yang mungkin dirasa cukup riskan mengingat dia adalah seorang pria yang nantinya menjadi kepala rumah tangga.  Bukankah lebih aman berada di “jalur yang benar”? Tidak bermaksud memandang sebelah mata terhadap dunia radio, tetapi menjadi penyiar di kota kecil tentu memberikan pemasukan yang berbeda dibandingkan penyiar terkenal di Jakarta. Teman saya kemudian memutuskan keluar dari Salatiga, berpindah ke beberapa kota, lalu mendarat di Jakarta dengan posisi yang baik. Saya melihatnya sebagai hasil sebuah proses panjang dari seseorang yang menjalani passion dengan sepenuh hati.

Cerita lain berasal dari Kediri, sesama teman penyiar yang menjadi mentor saya ketika saya pertama kali siaran. Dua belas tahun semenjak kami berpisah, sekarang saya mengenalnya sebagai pemilik usaha di bidang branding dan pelaksanaan event. Bahkan baru-baru ini teman tersebut mengikuti shooting rekaman komedi situasi dengan Indro Warkop di Jakarta yang akan tayang di sebuah stasiun televisi. Hebat! Pencapaian yang berasal dari ketekunan dan kesetiaan pada proses. Saya masih mengingat dengan jelas, masa-masa disaat kami siaran, lucu dan menyenangkan. Alangkah membahagiakan bisa bertemu mereka kembali saat ini dalam posisi yang sudah sangat berbeda.

Menembus batas berarti melakukan terobosan. Saya memaknai batas sebagai garis yang memisahkan bidang, misalnya batas kepulauan, negara, atau daerah. Batas juga bisa diartikan sebagai sebuah kondisi yang tidak bisa ditembus atau dilanggar. Contoh, batas usia mengambil pendidikan dokter spesialis adalah 40 tahun, sehingga di atas usia tersebut tidak akan diterima karena tidak memenuhi syarat. Dalam kehidupan sehari-hari kata batas seringkali dipakai secara abstrak, misalnya “batas kesabaran”. Kata batas dalam konteks ini tidak bisa dilihat secara jasmaniah, tetapi dapat dirasakan. Lalu bagaimana kita menerjemahkan menembus batas sebagai hal yang positif?  Kata “batas” disini merujuk pada sebuah kondisi dimana kita tidak bisa maju lagi sehingga harus berhenti dan menyerah, sebuah titik dimana kita tidak mungkin lagi berjalan. Inilah yang terjadi pada banyak orang dan tentu saja saya sendiri, yang seringkali melihat batas-batas tersebut menjadi “batasan atau keterbatasan” dan member pemakluman kenapa kita tidak bisa. Batasan bisa berupa keterbatasan fisik, materi, lingkungan, pola pikir yang menghambat kita berjalan menuju keberhasilan. Berita bagusnya adalah ada banyak contoh di sekitar kita yang menunjukkan bahwa ada orang-orang dengan keterbatasan fisik tetapi mampu berjalan di atas keterbatasan itu. Contoh nyata adalah Patricia Saerang, wanita kelahiran Manado yang lahir tanpa tangan yang sempurna, tetapi mampu melukis dengan kaki dan menjadi anggota AMFPA (Association of Mouth and Foot Printing Artists atau asosiasi para pelukis cacat yang melukis dengan kaki atau mulut) yang berpusat di Swiss. Patricia mengatakan, bahwa Tuhan tidak memberikan tangan dan kaki yang normal, tetapi menganugerahinya pikiran yang tajam dan kemauan yang kuat untuk bertahan hidup dan menjadi manusia yang produktif (Paulus Winarto, 2009).

Batasan materi mengingatkan saya pada film Laskar Pelangi, cerita sepuluh orang sahabat yang berjuang merubah nasib. Kemiskinan dan keterbatasan fasilitas sekolah tidak menghalangi mereka untuk berprestasi dan menjadi juara. Lingkungan juga sering dijadikan dalih sebagai batasan kita untuk maju. Orang yang dilahirkan dalam lingkungan yang kurang mendukung, merasa tidak memiliki hak untuk berhasil.  Selain ketiga hal tadi, satu batasan lagi yang paling penting adalah keterbatasan pola pikir yang terkungkung oleh pembatas-pembatas yang dibuat sendiri. Keterbatasan ini menjadikan kelimpahan fisik, materi, dan lingkungan menjadi tidak ada artinya karena semua hal yang terjadi akan dilihat sebagai sesuatu yang negatif. Contoh di dalam lingkup pekerjaan kantor, seringkali kita menyalahkan lingkungan dan orang lain sebagai penyebab buruknya kinerja kita. Atasan yang tidak mau mengerti, bawahan yang kurang tanggap, rekan kerja yang seenaknya sendiri, prosedur yang berbelit-belit, menjadi pembenaran kita untuk gagal. Atau seringkali kita dibatasi oleh ketakutan, ketidakpercayaan diri, keengganan mencoba, dan ketidakmauan untuk berubah. Pola pikir tersebut akan mempengaruhi seluruh sendi nafas dan menyeret kita untuk mempercayai bahwa kita tidak mungkin menjadi orang yang berhasil karena memiliki begitu banyak keterbatasan. Seperti seseorang yang berada di balik jeruji penjara dan mendapat kesempatan untuk mengintip dunia luar. Apakah dia hanya melihat jeruji yang melingkupinya, atau dia melihat indahnya langit di luar sana dan termotivasi untuk berubah dan berbuat baik sehingga memiliki kesempatan lebih besar untuk direhabilitasi.

Ketika membuat slide presentasi satu demi satu, saya bertanya kepada diri saya sendiri, apakah saya orang yang berhenti dalam batasan-batasan, atau saya berani bergerak dan berpikir di luar kotak. Seringkali saya takut, tidak percaya diri, minder, dan tidak yakin dengan kemampuan yang saya miliki. Saya selalu membanding-bandingkan diri saya dengan orang lain dan merasa begitu kecil, tak berarti. Pola pikir ini membawa saya pada dinding tembok yang tidak akan pernah runtuh karena saya tidak berani menerobosnya. Yang diperlukan adalah keberanian untuk berjalan menembusnya, berhasil atau gagal itu lain cerita. Seringkali yang terjadi saya merasa tidak bisa dan melangkah mundur, sehingga dinding tembok pun tidak bergeming.

Apa yang harus dilakukan untuk mampu menembus batas seperti yang dilakukan oleh teman saya? Tentu saja mengikis pola pikir yang membatasi dan menggantinya dengan can do attitude. Perilaku yang membangkitkan semangat di dalam diri bahwa “saya bisa”. Jangan sampai belum mulai melangkah sudah merasa tidak mampu. Perilaku ini tentu tidak muncul begitu saja karena berasal dari kemauan untuk berubah, dari yang selalu berpikir “tidak bisa” menjadi  “bisa” , dari yang selalu berpikir “saya kecil” menjadi “saya berharga”, dari yang berpikir “saya tidak percaya diri” menjadi “saya percaya diri”, karena jika kita tidak percaya kepada diri sendiri, bagaimana kita berharap orang lain akan percaya kepada kita.

Menembus batas, adalah saat dimana kita menerobos segala batasan dan keterbatasan, seperti anak panah menerobos tembok dan terus bergerak maju. Kuncinya adalah kemauan berubah, can do attitude, percaya diri, dipadu dengan konsistensi yang tidak pernah berakhir. Mengikuti proses yang harus dijalani dengan tekun, dan memiliki pengharapan bahwa suatu hari nanti proses itu akan memberikan hasil yang menyenangkan. Kegagalan adalah bagian dari sebuah perjalanan. Selamat menembus batas, dan bergerak tanpa henti.

Sunday, November 18, 2012

Matang Pohon


Mangga harum manis “matang pohon” = Rp 23.900, mangga harum manis “super” = Rp 14.500, mangga harum manis “harga special” = Rp 8.900. Beraneka jenis mangga tersedia di sebuah toko buah tempat saya membeli buah dan sayur. Sebenarnya saya lebih suka berbelanja di pasar tradisional, tetapi akhir-akhir ini saya beralih ke toko buah karena mencari sayuran organic. Meskipun begitu, kebutuhan buah sehari-hari yang berkulit seperti pisang, melon, alpukat, jeruk, tetap tersuplai dari pasar, sedangkan buah yang bisa langsung dimakan dengan kulitnya seperti apel, pir, saya beli di toko. Alasannya sederhana, di toko lebih fresh dan ‘terkadang’ lebih murah.


 Pandangan saya berhenti di jajaran mangga karena ada beragam jenis yang ditawarkan. Harum manis, manalagi, gedong gincu, dan indramayu. Saya terdiam sesaat di depan mangga matang pohon dan memegang-megang buahnya. Sangat menarik, dan ingin mencoba kenikmatannya. Bukankah matang pohon identik dengan buah yang manis? Harganya hampir 3 kali lipat dibanding yang biasa, tetapi sangat menggoda. Meskipun demikian, saya agak ragu dengan tampilannya karena banyak yang masih keras, berwarna hijau, dan tidak menunjukkan tanda-tanda kematangan. Intinya tidak seperti mangga harum manis “harga special” yang tampak menguning dan harum. Ada sebersit ketidakpercayaan dan was-was untuk membeli karena takut tidak enak. Sudah mahal, asam, rugi banget!  Walaupun di papan penunjuk tertulis “matang pohon”, yang menjelaskan bahwa mangga tersebut sudah matang, saya tetap memanggil petugas toko untuk memastikan apakah mangga tersebut sudah matang atau belum sekaligus minta dipilihkan yang manis. Dengan tersenyum petugas toko mengatakan bahwa semua mangga yang tersedia tersebut sudah matang dan manis, jadi meskipun penampakannya hijau dan keras, sebenarnya itu sudah matang. Saya cukup diyakinkan dengan penjelasan tersebut dan membeli beberapa buah mangga sebagai pemuas keingintahuan saya.


Buah matang pohon tentu jaminan mutu. Dengan harga sepuluh ribu rupiah 1 biji, saya membayangkan alangkah lezatnya. Bandingkan dengan harga sepiring nasi, sayur, tempe, dan telur mata sapi di warung tegal yang berada di kisaran harga yang sama tetapi sudah mengenyangkan. Cukup menyesakkan, tetapi karena penasaran saya tetap membelinya. Biasanya dengan sepuluh ribu rupiah saya mendapatkan 1 kg mangga, tetapi sekarang 1 biji saja. Lalu apa bedanya? Ketika saya menikmati mangga tersebut, yang ada hanyalah rasa manis, enak, dengan sedikit gas, tanpa sedikitpun rasa asam. Nikmat dan segar. Bahkan kalau diminta untuk membeli lagi saya tidak keberatan karena sangat memuaskan.


Matang pohon jelas berbeda dengan buah yang diperam. Kenapa menjadi mahal, kemungkinan karena proses perawatannya membutuhkan tenaga dan waktu yang lebih lama. Sedangkan buah yang diperam tidak perlu menunggu matang karena akan dikarbit untuk mempercepat proses pematangan. Itulah mengapa, terkadang ada mangga yang berwarna kekuningan, harum, tetapi memiliki rasa yang tidak semanis tampakan luarnya. Itu semua karena buah tersebut “dibuat” matang, dan bukan matang alami. Kalau matang pohon, rasakan bedanya.


Hal sederhana ini membuat saya merenung, bahwa buah pun memiliki perbedaaan antara “matang pohon” dengan “matang dikarbit”. Penampakan luarnya bisa sama, tetapi rasanya berbeda. Seperti manusia yang seringkali ingin mempercepat proses dan mendapatkan hasilnya, tetapi ternyata hukum alam mengatakan bahwa proses harus dilalui sempurna untuk mendapatkan hasil yang sempurna. Alam tidak pernah “jump to result”, setidaknya itu yang bisa dipelajari dari buah-buahan. Proses yang benar akan menciptakan hasil sempurna, kualitas prima, dengan harga maksimal. Tetapi yang terjadi biasanya manusia ingin cepat, hanya melihat hasilnya saja. Seperti ketika saya makan di sbuah rumah makan seafood dan menyaksikan ramainya orang makan di sana. Wah, enak benar jadi pengusaha, kalau hasilnya seperti ini pasti  kaya raya. Penilaian yang sangat superficial karena saya tidak melihat apa yang terjadi sebelumnya, proses yang harus dilalui, jatuh bangun, sampai menjadi seperti sekarang.  Contoh yang lain, melihat seorang rekan yang menjadi pembicara motivasi, dengan harga fantastis hanya untuk berbicara selama 2 jam, seringkali membuat saya cemburu dan berpikir “gitu aja saya juga bisa”, tanpa menyadari proses yang sudah dilalui, bahwa selama lebih dari 10 tahun membangun karir, diawali dengan berpuluh kali ditolak perusahaan-perusahaan ketika menjajakan materinya, sampai tidak dibayar pun mau yang penting punya kesempatan berbicara, itulah yang sudah dilalui untuk menjadi seperti sekarang. Itu semua adalah proses pematangan, sehingga wajar kalau sekarang memetik hasilnya.


 Saya percaya kehidupan kita mengikuti hukum alam. Tidak ada hasil yang “tiba-tiba”, semua melalui proses. Kalau prosesnya dipercepat  alias dikarbit, hasilnya pun kurang manis, kualitas tidak terjamin. Seperti ratusan mangga karbitan yang ada di dalam box, seringkali kita menemukan sebagian diantaranya masih asam meskipun dari luar tampak matang. Karena itu jangan heran harganya jauh lebih murah dibandingkan dengan mangga “matang pohon”.  Kesuksesan, kepemimpinan, kedewasaan karakter, semua melalui proses. Istilah instan cukup menjadi milik kopi, mie, bubur, dan sejenisnya. Bahkan gadget paling canggih pun hanya berfungsi mempermudah hidup kita, bukan menggantikan proses yang harus dilalui. Karena itu jangan pernah berharap naik pangkat kalau kita tidak menjalankan proses pematangan dengan benar. Intinya mengerjakan segala sesuatu di atas standar yang telah ditetapkan, kalau itu sudah dilakukan tinggal menunggu waktu saja. Hukum alam tidak pernah meleset. Contoh lain kalau saat ini Anda seorang pemimpin dan ingin menjadi pemimpin hebat yang disegani, jangan mundur ketika dihadapkan dengan berbagai proses pematangan melalui peristiwa-peristiwa yang harus Anda hadapi dan selesaikan.


Sekali lagi tidak ada “karbitan” yang semanis “matang pohon”. Setiap pencapaian di dalam hidup ini terbentuk melalui proses pematangan hari demi hari. John C Maxwell mengatkan “sukses dibangun setiap hari”, jadi tidak ada yang “tiba-tiba”. Proses ini pasti menyita waktu, tenaga, dan emos, tetapi percayalah ada buah yang manis di akhir nanti. Bahasa bekennya “semua indah pada waktunya”. Waktunya adalah ketika proses sudah dilalui dengan sebaik-baiknya, yang terbaik dari diri kita, sehingga membentuk karakter dan mempersiapkan kita naik ke tangga berikutnya. Jangan pernah mau menjadi “karbitan”, ikuti hukum alam.  Alam sudah menyediakan banyak pembelajaran, dari peristiwa sehari-hari. Selamat menjalani proses dengan suka cita dan menjadi orang yang “matang pohon”.

Monday, November 12, 2012

Nasi Goreng Kereta (dan perubahan)


Nasi goreng kereta! Itu istilah saya untuk sajian nasi goreng yang dijajakan di restorasi kereta api. Saya sangat merindukannya setelah bertahun-tahun absen naik kereta sampai akhirnya saya harus ke Tegal. Sejak membeli tiket di Gambir, hati saya sudah dipenuhi gambaran tentang nasi goreng  dan dengan seru membicarakannya dengan teman-teman kantor. Geli juga menyadari bahwa mereka memiliki kenangan yang sama, terutama teman-teman perantauan dari daerah Semarang-Solo-Jogja. Nasi goreng, telur mata sapi, irisan tomat dan mentimun, serta kerupuk kecil terbungkus plastik sebanyak 2 buah. Menggelikan, karena jumlah kerupuknya pun kami masih ingat!

Gambir am coming! Senang rasanya menjejakkan kaki ke stasiun ini lagi, dan menyadari bahwa Gambir sangat berubah. Bersih, tertata rapi, begitu juga toiletnya, jauh berbeda dengan beberapa tahun yang lalu. Ketika masuk peron, saya disambut dengan petugas yang meminta kartu tanda pengenal untuk dicocokkan dengan tiket yang saya bawa. Stempel “sesuai identitas” akan segera diberikan kalau nama yang tertera di tiket sama dengan kartu pengenal. Sayangnya saya tidak menemukan kejadian seandainya ada tiket yang tidak sesuai dengan kartu pengenal, apakah tidak boleh masuk atau tetap diizinkan. Mungkin hal ini dilakukan oleh kereta api untuk menurunkan insiden “calo” yang sering membeli tiket tanpa mencantumkan nama. Perubahan lain adalah tidak diizinkannya pengantar untuk masuk peron, sehingga hanya sampai di depan saja, dan  membuat peron menjadi lebih longgar, banyak tempat duduk. Setelah masuk ke peron saya kembali dibuat kagum dengan perubahan yang ada, yaitu tersedianya dua buah charger box dengan beberapa panel kontak, sehingga sangat memudahkan pengguna handphone yang baterainya mati. Ada juga fasilitas internet gratis, dengan kecepatan yang sangat baik dan sebuah pesawat telepon yang disediakan untuk percakapan gratis 3 menit dengan syarat nomor yang dihubungi adalah provider sponsor. Iseng-iseng saya mencoba mengetes apakah berfungsi dengan baik, dan ternyata memang bisa digunakan.

Akhirnya kereta yang saya tunggu tiba juga. Ketika masuk gerbong saya kembali dibuat kagum dengan inovasi yang dilakukan kereta api. Di setiap tempat duduk ada 2 buah panel kontak yang terletak di dinding kereta, sehingga penumpang tidak takut kehabisan baterai. Bagi saya ini inovasi yang sangat mengerti konsumen, karena dengan lama waktu perjalanan yang panjang, konsumen direpotkan apabila kehabisan baterai di tengah jalan. Hal ini juga sangat membantu bagi penumpang yang menggunakan laptop atau gadget lainnya tanpa takut kehabisan baterai. Sebenarnya saya sudah menyiapkan power bank untuk cadangan karena mempertimbangkan bahwa perjalanan selama 5 jam akan membuat baterai handphone saya habis, sementara mungkin saja ada hal-hal penting yang harus saya komunikasikan. Adanya panel kontak tersebut membuat saya merasa nyaman dan aman. Sungguh, kereta api sangat mengerti pelanggan.

Saya duduk tenang menikmati perjalanan sambil menunggu makan siang, tetapi alangkah kecewanya ketika petugas restorasi mengatakan bahwa nasi gorengnya sudah habis. Terpaksa saya menunda keinginan tersebut sampai keesokan harinya ketika saya harus kembali ke Jakarta. Bahkan saya berjanji untuk segera ke restorasi begitu masuk gerbong karena tidak mau kehabisan lagi. Hahaha! Setelah memendam keinginan akhirnya rasa penasaran saya terobati keesokan harinya dengan sepiring nasi goreng di depan mata. Ada sedikit perubahan karena tidak ada tomat , tetapi ada penambahan daging ayam. Krupuk kecilnya masih sama. Saya tersenyum geli, update status sebentar, dan mulai menikmati 1 sendok pertama. Mengunyah, dan merasakan kelezatannya sampai titik terakhir. Enak, tetapi saya merasa tidak seenak dulu. Dulu ketika kereta menjadi pilihan, saya sangat menikmati nasi goreng dan menganggap rasanya sungguh enak. Tetapi sekarang terasa biasa saja. Lalu apanya yang berubah?  Nasi gorengnya, saya atau dua-duanya?

Nasi goreng, Gambir, dan kereta api mengingatkan saya bahwa perubahan selalu terjadi, baik pekerjaan, keluarga, teman, atau apapun yang ada di sekitar kita. Seringkali kita resisten terhadap perubahan dan tidak mau mengikutinya. Seperti stastiun Gambir yang telah berubah menjadi lebih cerah, nasi goreng kereta pun bisa berubah.  Dulu saya menganggapnya enak, tetapi mungkin sekarang lidah saya sudah terbiasa merasakan yang lebih enak, sehingga menjadi biasa saja. Seringkali kita begitu stagnan dan menolak perubahan padahal perubahan datang kapan saja. Seorang teman yang baru saja kehilangan anak buahnya karena diberhentikan mau tidak mau harus mengambil alih pekerjaan sampai ada penggantinya. Berat karena menambah pekerjaan, tetapi sebagai seorang pemimpin, itu adalah resiko yang harus ditanggung, dengan tuntutan target yang tidak berubah. Yang bisa dirubah adalah sikap kita, menjalani tanpa meratapi.

Nasi goreng kereta, meskipun sederhana mengingatkan saya akan satu hal, perubahan terus terjadi, bahkan ketika kita mungkin tidak mengharapkannya. Lalu apa yang harus kita lakukan? Resisten, atau menganggap itu sebagai tantangan yang harus dijalani? Pilihannya ada di tangan kita masing-masing. Tidak ada yang salah dengan perubahan, karena mengikuti atau tidak, hidup akan terus berputar.  Seperti ketika saya menikmati nasi goreng kereta, rasa yang saya lukis di otak berbeda dengan kenyataan yang ada, sehingga walau kerinduan terobati tetapi sensasi yang dibawa tidak seperti yang dibayangkan. Meskipun demikian saya tetap puas dan menyadari bahwa itu adalah bagian dari perubahan. Entah nasi gorengnya yang berubah, saya yang berubah, atau dua-duanya, semuanya mungkin dan sah-sah saja. Perubahan adalah sesuatu yang natural dan terjadi setiap hari tanpa henti, tinggal bagaimana kita menjalani  dan berteman dengan perubahan tersebut. Selamat menikmati perubahan, enjoy saja!

Monday, November 5, 2012

Kebanggaan = Efek Samping


Saya bangga bukan main ketika mendengar kabar bahwa Sadu, keponakan saya yang kuliah di Teknik Sipil melaju ke final Lomba Karya Tulis Ilmiah tentang grand design bersama 2 orang temannya. Wah, hebat nian! Mungkin kebanggaan seperti inilah yang dirasakan oleh banyak orang tua terhadap anaknya, sehingga tak jemu-jemu bercerita tentang keberhasilan putra putrinya. Terkadang saya melihat profil picture mereka dihiasi oleh gambar anaknya yang menjadi juara, entah prestasi akademis atau lainnya. Kebanggaan saya juga dipicu karena semasa mahasiswa saya belum pernah ikut lomba semacam itu. Saya bahagia dengan kabar tersebut dan memberikan masukan kepada orang tuanya agar Sadu mencari beasiswa ke luar negeri untuk kelanjutan belajarnya. Saya merasa pendapat saya sangat baik, tetapi jawaban orang tuanya sungguh menarik, yaitu “terserah anaknya”.  Kata “terserah anaknya” terasa sangat provokatif ketika banyak orang tua merasa paling mengerti  yang terbaik untuk anaknya. Seperti kita yang terkadang merasa paling tahu tentang hidup orang lain, dan tidak menyadari bahwa hidup mereka adalah milik mereka, bukan milik kita. Persis seperti orang tua yang sibuk mengkursuskan anaknya dengan beragam aktivitas seperti piano, balet, gitar, dan lain sebagainya, hanya karena dahulu mereka tidak mendapatkan kesempatan untuk kursus seperti itu dan sekarang mendorong anaknya melakukan hal-hal yang tidak bisa mereka lakukan, yang belum tentu sesuai dengan minat dan bakatnya.
Beberapa waktu lalu seorang teman bercerita penuh semangat mengenai anaknya yang ditunjuk untuk mewakili sekolah dalam lomba menggambar dengan menggunakan komputer. Saya merasakan kebanggaannya yang meluap-luap, padahal hanya lewat blackberry messenger. Teman saya bercerita dengan antusias bahwa ternyata bakat seninya menurun pada anak, sedangkan keahlian bermain computer menurun dari suaminya. Saking bahagianya dia mengatakan bahwa sungguh menyenangkan menyadari sang buah hati mewarisi bakat tersebut. Sejurus kemudian profil picturenya berganti-ganti, antara foto anaknya yang sedang menggambar dengan hasil gambarnya. Saya geli mendengar cerita dia, karena beberapa waktu sebelumnya, teman saya mengomel panjang lebar mengenai kelakuan para Ibu di sekolah yang sibuk mengikutkan putra putrinya ke lomba ini dan itu padahal sang anak tampak cuek-cuek saja.

Saya menarik benang merah bahwa sebuah prestasi atau perbuatan baik yang ditorehkan selalu membawa kebanggaan bagi orang-orang terdekat. Meskipun tidak menjadi pelaku, tetapi keberhasilan yang dicapai membawa kebahagiaan tersendiri. Hal ini pula yang saya amati pada acara final I2C (Idea to Customer) Award untuk teman-teman marketing dan BasO (Basic Operation) Competition untuk team sales di kantor tempat saya bekerja. Para finalis yang maju, 7 dari I2C dan 7 dari BasO, terseleksi dari puluhan peserta yang ada. Saya melihat begitu besar antusiasme supporter dalam memberikan semangat kepada finalis yang maju sehingga terbangun atmosfer yang sangat positif bahwa mereka memiliki kebanggaan terhadap rekannya yang bertanding.  Bahkan ketika hasil kompetisi tidak seperti yang diharapkan, para supporter tidak putus-putusnya memberi dukungan. Maju ke final dan menyisihkan puluhan peserta adalah prestasi besar, sehingga sangat pantas untuk dihargai, meskipun belum menjadi pemenang.
Kebanggaan, itulah yang tampak pada kisah yang saya sampaikan. Saya bertanya kepada diri sendiri, apakah saya sudah memberikan kebanggaan kepada orang-orang terdekat selama ini, ataukah justru kekecewaan? Apakah kebanggaan mereka begitu penting artinya, jauh melebihi kebanggaan saya terhadap diri sendiri? Apakah saya “terjebak” dengan usaha memberi kebanggaan sehingga kebanggaan orang lain terhadap saya menjadi satu-satunya tujuan hidup? Saya mencoba merenungkan pertanyaan tersebut karena terusik hasil percakapan dengan seorang teman baru-baru ini. Ketika berbicara mengenai kebanggaan, teman saya mengatakan bahwa dia berkewajiban membuat orang tuanya bangga terhadap dirinya melalui dua hal yaitu jabatan dan uang. Teman saya meyakini bahwa kedua faktor tersebut sangat menentukan, terbukti setiap orang tuanya bercerita tentang keberhasilan anak-anak orang lain selalu diukur dari kedua hal itu. Inilah yang membuat dia masih bertahan dengan pekerjaannya sekarang walau merasa tertekan. Meskipun kurang sependapat, saya mencoba memahami bahwa setiap orang memiliki sudut pandang yang berbeda. Pertanyaannya, apakah kebanggaan orang tua terhadap kita adalah satu-satunya tujuan yang kita kejar dalam hidup ini? Kenapa tidak berpikir sebaliknya bahwa ketika kita menjadi yang terbaik dalam “kehidupan versi kita”, maka kebanggaan itu akan menyusul? Menjalani hidup dengan bertujuan memberikan kepuasan dan kebanggaan orang lain merupakan harga yang terlalu mahal untuk dibayar, karena kita berusaha hidup dengan “ukuran” orang lain.

Saya sampai pada kesimpulan bahwa sebenarnya kebanggaan bukanlah tujuan tetapi efek samping. Seperti Sadu yang masuk final Lomba Karya Tulis Ilmiah, saya percaya tujuan awalnya bukan untuk kebanggaan orang tua, tetapi ekspresi diri untuk berkarya, atau anak teman saya yang pasti sama sekali tidak paham apa itu kebanggaan orang tua selain menggambar dan menggambar, demikian juga para finalis kompetisi I2C dan BasO yang awalnya hanya ingin melakukan yang terbaik di dalam pekerjaannya. Menyadari hal tersebut, saya belajar menghargai diri dengan apa yang saya lakukan sekecil apapun, dan tidak berusaha membuat orang lain bangga dengan apa yang saya lakukan. Kebanggaan terlahir dari sebuah prestasi yang dicapai karena kerja keras dan keinginan memberi yang terbaik. Saya percaya dengan spirit seperti itu, maka kebanggaan orang lain terhadap kita akan muncul dengan sendirinya. Kita tidak disibukkan dengan keinginan membanggakan orang lain karena yang terpenting bukanlah pendapat mereka tentang kita tetapi apa yang kita lakukan di dalam kehidupan kita. Persis seperti kata kakak saya yang mengatakan “terserah anaknya”, karena yang paling tahu tentang potensi, minat dan kemauannya adalah dia sendiri.  Kebanggaan adalah efek samping, bukan tujuan. Karya terbaik, itulah tujuan kita, dan ketika kita mencapainya, kebanggaan orang lain terhadap kita tinggal menunggu waktu saja.


Tuesday, October 30, 2012

Empati


Beberapa waktu lalu saya memberikan pelatihan kepemipinan kepada supervisor dan calon manajer di sebuah perusahaan peternakan ayam. Agar lebih memahami proses bisnis dan tantangan yang dihadapi, maka saya berselancar di internet untuk mendapatkan gambaran dan pemahaman mengenai bisnis ayam dan seluk beluknya. Maklum, selama ini sebagian besar outlet yang saya tangani adalah rumah sakit, sehingga peternakan ayam (poultry) masih terasa asing dan buram. Saya hanya mengenal hasil akhirnya saja, fast food,  pecel ayam, sate, nugget, dan olahan lainnya. Hal lain yang saya ingat tentang ayam adalah colok dubur, karena ketika kecil seringkali diminta ayah mengecek apakah seekor ayam betina sudah siap bertelur atau belum dengan memasukkan jari kelingking saya di duburnya. Sebuah ketrampilan yang sewaktu co-ass menjadi sangat penting  ketika saya harus memeriksa seseorang dengan hemorrhoid (ambeien) atau pembesaran kelenjar prostat. Setidaknya saya sudah berlatih mencolok dubur ayam. Hehehe. Padahal menurut teman yang dokter hewan, tindakan saya tersebut bisa dikategorikan pelecehan atau penganiayaan pada ayam dan dilarang di luar negeri. Wah, saya baru tahu, kalau ternyata ayam pun harus dijaga kebebasan dan kenyamanannya, bahkan ketika mereka dipelihara untuk disembelih.
Fakta yang saya dapatkan dari hasil browsing ternyata mengagetkan, bahwa konsumsi daging ayam dan telur per kapita orang Indonesia sangat rendah.  Saya sendiri sebenarnya sudah sangat bosan dan “neg” makan daging ayam dan telur karena hampir setiap hari menyantapnya tetapi ternyata banyak orang yang tidak bisa menikmatinya. Padahal dibanding daging sapi  dan kambing, ayam relatif lebih murah dan mudah didapat. Meskipun demikian tingkat konsumsi orang Indonesia masih sangat kecil, jauh tertinggal dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia. Rata-rata orang Indonesia mengkonsumsi 1 ekor ayam setiap 4 bulan , sedangkan Malaysia 3 ekor ayam, telur 1 butir per minggu, sedangkan Malaysia 1 butir per hari. Perbedaaan yang sangat jauh, yang artinya bahwa bagi sebagian besar rakyat Indonesia belum mampu menyantap telur dan ayam sebagai asupan protein sehari-hari.
Kondisi ini tentu sangat berbeda dengan kenyataan lain bahwa Indonesia merupakan negara pemakai Blackberry terbesar di Asia Pasifik bahkan dunia. RIM, sebagai produsen Blackberry menjadikan Indonesia sebagai pasar terbesar, bahkan sebuah televise Kanada menyebut Indonesia sebagai “Blackberry Nation”. Hal ini tidak mengherankan, karena hampir semua orang memegang Blackberry, bahkan pertanyaan yang sering terdengar sekarang adalah berapa nomor PIN, bukan nomor handphone. Saya juga mengamati bahwa sebagian besar orang yang saya temui di jalan memegang handphone, apapun mereknya, tidak selalu Blackberry, mungkin karena saat ini banyak handphone buatan China yang harganya sangat terjangkau. Gerai penjual handphone laris manis seperti kacang goreng, penuh sesak, seperti ketika saya mencari baterai handphone di pusat perbelanjaan ITC.  Ramai transaksi.  Pertanyaannya, kenapa untuk urusan pemakaian handphone dan gadget Indonesia bisa terdepan, tetapi urusan gizi makanan kita jauh tertinggal? Padahal protein hewani sangat penting untuk masa pertumbuhan , selain juga membantu proses penyembuhan luka, regenerasi sel, mengatur kerja hormon dan enzim dalam tubuh, serta membentuk jaringan.  Jangan-jangan kita lebih mementingkan “penampakan” luar dibanding makanan yang kita santap. Ataukah alasan yang lebih rasional adalah bahwa apa yang terlihat di jalan-jalan memang tidak mencerminkan keseluruhan masyarakat Indonesia yang ratusan juta jumlahnya.
Kenyataan lain yang “menyesakkan” adalah fakta bahwa selalu terjadi antrian panjang setiap ada launching gadget terbaru, misalnya handphone atau tablet. Buktinya ketika Samsung Galaxy Note launching kemarin, saya termasuk orang yang ikut antri dengan sabar selama 4 jam, hanya untuk mendapatkan sebuah gadget yang pertama kali dimiliki oleh 1250 orang di Indonesia meskipun dibandrol dengan harga yang tidak murah. Tidak ada perasaaan menyesal atau capek lalu keluar dari antrian, karena memang berniat membelinya. Kalau ditanya apa motif saya sampai rela antri sekian jam, saya tidak bisa memberikan jawaban pasti, apakah karena gengsi atau sebab yang lain. Satu hal yang pasti, antrian terus berlanjut sampai malam dan saya yakin target penjualan produsen untuk launching perdana tercapai. Fakta di depan mata, bahwa orang kita sangat sensitif dengan berbagai hal yang berhubungan dengan gadget terbaru.
Antrian membeli galaxy note jelas tidak bisa disamakan dengan antrian penerima bantuan langsung tunai, zakat fitrah, ataupun daging kurban yang sempat saya saksikan di televisi. Orang-orang yang antri membeli gadget tersebut belum tentu tidak memiliki produk yang lain, karena saya sempat melihat beberapa diantaranya bermain-main dengan Ipad sambil berdiri. Bisa jadi mereka reseller atau memang orang-orang yang terobsesi untuk memiliki gadget canggih setiap saat, menentengnya di jalan-jalan atau mall, sebuah gaya hidup yang semakin jamak terlihat. Memang tidak semuanya demikian, seperti seorang teman yang lebih banyak menggunakan tabletnya untuk membaca e-book, mengunduh artikel-artikel bermanfaat atau menulis catatan di ruang tunggu pesawat.

Fenomena pemakaian gadget, antrian launching dan kenyataan bahwa tingkat konsumsi daging ayam dan telur per kapita orang Indonesia sangat rendah jelas sebuah kontradiksi. Ternyata di balik gemerlapnya mall yang selalu ramai, baik hari biasa terlebih akhir pekan, masih banyak orang-orang di luar sana yang menganggap daging ayam dan telur sebagai sebuah kemewahan. Seporsi pecel ayam seharga 11 ribu rupiah dan sepiring nasi berlauk telur seharga 8 ribu rupiah ternyata masih sangat mahal.  Saya tertegun ketika menyadari bahwa masih banyak orang yang tidak bisa menyantapnya, dan lebih tertegun lagi bahwa saya bersedia antri demi sebuah gadget seharga ratusan kali pecel ayam.  Kontras,  dan saya menjalaninya seringkali tanpa empati. Pelatihan di peternakan ayam yang saya lakukan ternyata memberikan wacana lain, pemahaman baru bahwa ternyata saya sangat diberkati dengan apa yang saya miliki. Apakah pembelajaran saja cukup? Semestinya tidak, karena berarti saya harus mengembalikannya menjadi sebuah kontribusi bagi orang lain dengan penuh empati.  Dua hari di peternakan, memberikan pelajaran sepanjang hidup….

Thursday, October 18, 2012

It's about Succes

             Seorang peserta pelatihan medical representative bertanya kepada saya di dalam sesi motivasi, “Apa yang dimaksud dengan sukses? Apakah kalau seseorang sudah sangat kaya, memiliki rumah dan mobil mewah, istri cantik, anak-anak yang sehat dan lucu, berarti dia sudah sukses?” Saya terdiam sejenak sebelum membuka kalimat jawaban, bahwa definisi sukses sangat beragam dan tergantung dari deskripsi kita masing-masing. Pandangan sukses konvensional mendefinisikannya sebagai bentuk pencapaian prestasi pribadi dengan tolok ukur yang berupa  materi, pangkat, dan jabatan. Itulah hal yang paling mudah dan kasat mata. Rene Suhardono dalam bukunya #Ultimate U mengatakan bahwa uang, ketenaran, dan kekuasaan adalah bentuk kesuksesan yang mudah dan menyenangkan. Namun apakah bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan paling mendasar seperti “Siapakah saya? Apa makna keberadaan saya? Apa yang akan terjadi pada saya setelah seluruh waktu berlalu?” Berdasarkan pemahaman itu pula saya belajar memaknai sukses bukan mengenai “apa yang saya miliki”, tetapi “menjadi apa saya”. Bukan “apa yang saya dapatkan, tetapi apa yang bisa saya berikan atau kontribusikan kepada orang lain, karena nantinya orang mengingat saya dari apa yang saya berikan, bukan dari apa yang saya terima.”
            Berbicara mengenai sukses memang tidak akan ada habisnya, karena setiap orang memiliki pandangan sendiri-sendiri. Bahkan kalau ditanya apakah saya sudah sukses, saya akan menjawab ”Ya” dan ”Belum”. Ya, karena saat ini saya merasa sudah berada pada kondisi dimana saya sudah bisa mencukupi apa yang menjadi kebutuhan saya. Belum, karena masih ada hal-hal yang belum tercapai, impian-impian yang ingin saya wujudkan dan semakin mengkristal di dalam diri. Semua alasan yang saya sampaikan adalah tentang pencapaian pribadi. Kalau merujuk kepada makna sukses yang lebih dalam, yaitu kontribusi yang kita berikan untuk sesama, saya merasa masih sangat jauh dari itu karena selama ini hidup saya sebagian besar terpusat pada diri sendiri dan bukan orang lain. Pertanyaan peserta tadi sebenarnya menggugah dan menggoncangkan kesadaran saya bahwa selama ini saya masih berkubang dalam egosentrisme, sibuk dengan urusan sendiri.  

            Stephen R Covey dalam bukunya The 7 Habits of Highly Effective People memotret salah satu kebiasaan orang efektif yaitu “merujuk pada tujuan akhir.” Kita diajak untuk membayangkan seperti apa penilaian orang-orang di sekitar kita terhadap kita setelah kita tiada. Karakter apa yang kita ingin mereka lihat dari dalam diri kita? Apa kontribusi, prestasi yang kita ingin agar mereka ingat? Perbedaan apa yang kita buat di dalam kehidupan orang-orang yang mengenal kita? Merujuk pada tujuan akhir mengajak kita untuk memulai hari ini dengan bayangan, gambaran atau paradigma akhir kehidupan sebagai kerangka acuan atau kriteria yang menjadi dasar untuk menguji segala sesuatu. Kita diajak memulai dengan pengertian yang jelas tentang tujuan kita, yang berarti mengetahui kemana kita akan pergi, dimana posisi kita sekarang, sehingga kita tahu bahwa langkah-langkah yang kita ambil selalu berada pada arah yang benar. Saya mencoba memejamkan mata dan membawa pikiran saya ke sana. Seandainya itu adalah pemakaman saya, apa yang akan disampaikan oleh orang-orang yang berpidato mengenai saya? Keluarga, rekan kerja di kantor, teman-teman gereja, dan kenalan lainnya? Apakah sosok positif ataukah sebaliknya? Hal ini membuat saya gelisah dan merenung bahwa sudah saatnya saya merubah diri dengan pemahaman yang radikal mengenai sukses.
            Sukses tidak bisa dilepaskan dengan tujuan hidup yang akan kita capai. Buku The Purpose Driven Life karangan Rick Warren menegaskan bahwa mengetahui tujuan kemana kita akan pergi merupakan hal yang esensial. Buku ini merupakan salah satu buku yang sangat menarik hati saya sehingga penuh dengan coretan-coretan untuk memudahkan saya mengingat hal-hal penting. Meskipun sudah membacanya enam tahun lalu, ternyata saya perlu untuk selalu membuka ulang, meyakinkan diri saya sendiri dengan apa yang saya jalani. Pertanyaan peserta tadi memicu saya untuk belajar kembali dan merenungkan apa sebenarnya sukses itu. Saya sampai pada pemahaman bahwa sukses memiliki makna yang jauh lebih tinggi daripada kepemilikan segala hal yang ada di dunia. Sukses juga berkaitan dengan tujuan hidup. Saya tidak bisa mendefinisikan sukses “versi saya”, kecuali kalau saya sudah mengenal apa yang menjadi tujuan hidup saya, bukan sekedar mau menjadi apa. Rick Warren secara tegas menyampaikan bahwa kesalahan kita selama ini adalah memulai dengan titik awal yang keliru, yaitu diri sendiri, sehingga pertanyaan yang muncul adalah “ingin menjadi apa saya, apa yang harus kulakukan dengan hidup saya, apa sasaran-sasaran saya, ambisi-ambisi, impian-impian untuk masa depan saya? Kita menjadi terjebak ke dalam egosentrisme dan tidak melihat dalam kerangka lebih besar tentang tujuan penciptaan kita di dunia ini.
Sukses, ternyata sangat customize dengan diri kita masing-masing. Seorang medical representatives yang bekerja keras dan cerdas, memiliki pencapaian sales yang bagus dan pulang membawa bonus setiap bulannya akan menyenangkan hati keluarganya. Perilaku yang baik, bertanggung jawab, mengasihi, menolong, sekecil apapun akan membawa dampak bagi orang lain. Itulah sukses, menjadi yang terbaik dari diri kita, dan menjalani hari-hari yang semakin membawa kita kepada tujuan hidup. Tujuan hidup tidak akan pernah lepas dari proses bertanya kepada Sang Pencipta, untuk apa kita berada di dunia ini. Selamat mengayuh dayung ke sana, dan berlayar menuju kesuksesan Anda...