Saturday, March 31, 2012

Visi-Lesson from Father


Selamat datang di kota Solo. Setiap kembali ke kota ini, hal pertama yang ingin saya lakukan adalah berwisata kuliner. Bagi saya, Solo adalah gudangnya makanan enak, yang tidak akan pernah membuat bosan meskipun berkali-kali mendatanginya. Hal lain yang menyenangkan adalah kenangan kota ini yang tidak pernah hilang, karena menyimpan berbagai cerita dari saya lahir, sekolah, kuliah, sampai menjadi penyiar radio. Asyik, unik, dan seru!  Kenangan tentang mendiang orang tua juga melengkapi kisah saya, sehingga setiap saat saya merasa begitu rindu untuk pulang.

Salah satu hal menarik yang selalu saya ingat adalah apa yang saya alami ketika masih kecil. Masih terekam dengan jelas ketika almarhum Bapak meminta saya mencabut dua buah gigi yang “gingsul” (bahasa Jawa - gigi tumbuh di belakang gigi yang lain), dengan posisi di gigi depan. Setelah dicabut, maka gigi yang di muka harus dipencet-pencet setiap hari agar masuk ke dalam dan rata (menurut anjuran dokter giginya saat itu). Waktu itu saya tidak mau karena takut sakit saat dicabut, tetapi Bapak membujuk saya dan memberikan hadiah agar saya mau mengikuti permintaan Beliau. Beliau mengatakan bahwa nanti kalau saya sudah besar, saya akan malu karena “gingsul” tersebut. Terdorong oleh hadiah yang diberikan, akhirnya saya mau juga untuk cabut gigi. Sekarang saya menyadari, seandainya saat itu gigi saya tidak dicabut, tentu saya akan  sedikit mengalami masalah kepercayaan diri  karena giginya agak “maju ke depan”. Untungnya saya menurut, sehingga saya menjadi seperti sekarang yang enak dipandang (hahaha).  Saya belajar, ternyata almarhum Bapak adalah orang yang melihat jauh ke depan, dan memprediksikan apa yang akan saya alami kalau saya besar nanti. Meminjam istilah manajemen, beliau adalah seorang yang visioner. Selain itu, cara yang Beliau lakukan untuk membujuk saya bersedia menuruti apa yang Beliau inginkan dengan memberikan hadiah, adalah faktor pendorong motivasi. Sama saja seperti orang marketing yang terpacu mencapai target karena ada insentif di belakangnya. Saya yakin, almarhum Bapak tidak pernah belajar manajemen atau psikologi, tetapi Beliau telah menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari.

Hal yang menarik lagi adalah beliau begitu perhatian terhadap pendidikan anak-anaknya. Kakak perempuan saya yang tertua pernah bercerita, ketika tetangga-tetangga hanya menyekolahkan anak putrinya sampai tingkat sekolah dasar lalu bekerja di pabrik, beliau tetap meneyekolahkan kakak perempuan tertua saya sampai perguruan tinggi setingkat D3. Almarhum Bapak berpendapat, pendidikan adalah yang utama. Meskipun saking ekstrimnya, terkadang apa yang Beliau lakukan kurang “pas” juga. Contohnya ketika kita sakit dan berharap tidak masuk sekolah, maka Bapak tetap akan meminta kita masuk dengan alasan takut ketinggalan pelajaran. Jadi pagi hari kami akan diantar berobat ke dokter oleh almarhum Ibu, lalu selesai berobat kami diantar lagi ke sekolah untuk belajar. Waduh! Kalau yang ini jujur, saya tidak cocok (hahaha!).  Sekarang saya mencoba memahami apa yang Beliau lakukan saat itu, mungkin dengan pikirannya yang sederhana, Beliau tidak begitu memahami bahwa orang sakit pun butuh istirahat. Anehnya, setelah masuk sekolah lagi penyakit kami tidak bertambah parah justru menjadi sembuh. Nah, kalau ini saya tidak tahu harus menyebutnya sebagai apa, entah sugesti atau faktor psikologis yang lain.

Hal menarik lainnya adalah mengneai buku dan majalah. Almarhum Bapak selalu menginginkan anaknya memiliki buku pelajaran yang paling lengkap dan majalah terbaru. Apapun akan beliau berikan untuk membeli buku. Bagi beliau, buku dan majalah sangat penting, karena itu adalah alat yang dibutuhkan seseorang untuk maju. Beliau juga rajin membaca dan seorang pecinta buku. Jadi kalau dibandingkan dengan teman-teman sekolah saya waktu itu, saya selalu memiliki buku paling lengkap. Jeleknya untuk urusan baju dan penampilan, beliau tidak terlalu memperhatikan, sehingga saya ingat bahwa dalam setahun saya hanya mendapat jatah baju baru dua kali,  saat naik kelas dan Natal (untung saja ini tidak terbawa sampai sekarang yah. Hahaha)

Selalu memandang jauh ke depan, itu yang dilakukan oleh mendiang Bapak meskipun pendidikan beliau hanya tamatan SMA. Beliau memikirkan anak-anaknya tidak hanya 1 tahun ke depan, tetapi sampai anak-anaknya besar nanti. Saya memandangnya sebagai seseorang yang visioner. Ketika saya sedang melengkapi materi modul kepemimpinan dan mencari contoh-contohnya dari pemimpin besar di bidang pemerintahan maupun bisnis saat ini, ternyata almarhum Bapak sudah memberikan banyak contoh dari hal-hal sederhana yang saya alami ketika masih kecil.

 Beberapa hari yang lalu saya berdiskusi dengan teman kantor untuk menyelesaikan modul Leadership yang akan diberikan kepada teman-teman sales force yang sedang dipersiapkan menjadi supervisor. Diharapkan modul itu bisa memperlengkapi mereka sebagai seorang pemimpin ketika mereka mulai diberi kepercayaan untuk memegang team. Istilahnya, mereka adalah orang-orang terpilih sebagai hasil saringan dari ratusan sales force yang memenuhi syarat mendaftar. Selama 1 minggu penuh, mereka akan dikarantina dan diberikan pembelajaran sebagai calon-calon pemimpin, baik indoor maupun outdoor. Karena modul tersebut diberikan untuk level sales force yang paling bawah, maka saya lebih menekankan kepada hal-hal dasar mengenai kepemimpinan. Ketika diskusi sampai kepada kata visi, sesuatu yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, kami sepakat untuk tidak memasukkannya dulu di dalam modul tersebut, karena menganggapnya terlalu jauh dan mengawang-awang untuk level mereka.

Hari ini, ketika saya di Solo dan teringat kembali apa yang saya alami semasa kecil, ternyata hal-hal visioner itu sudah diberikan kepada saya oleh almarhum Bapak melalui hal-hal sederhana. Kata visioner, yang seakan-akan tinggi dan susah, menjadi sangat nyata ketika saya kembali mengingat dan memaknainya. Sungguh saya bersyukur bahwa saya dicerahkan oleh kenangan tersebut, dan berharap hal ini akan memperkaya modul Leadership saya selanjutnya yang akan dipersiapkan untuk level yang lebih tinggi. Saya belajar untuk merajut ulang apa yang menjadi visi saya selama ini di dunia. Hmm....jadi teringat buku favorit saya dulu, Purpose Driven Life yang sudah tertumpuk di rak dan berdebu...... Saatnya untuk dibaca lagi?

           

Life is like a Chapter of a Story Book

 Life is like a chapter of a story book. Seperti sebuah bab dalam buku yang melengkapi keseluruhan cerita. Bab itu bisa berupa kisah lucu yang menyenangkan, kebahagiaan, persahabatan, kerja keras, jatuh bangun, ataupun kesedihan. Meskipun terkadang sebuah bab hanya dibaca sekilas karena seakan-akan tidak terlalu penting, tetapi ada sesuatu yang tidak lengkap kalau kita melewatkannya. Alur cerita yang dibangun memaksa kita membacanya secara berurutan yang akan menuntun kita pada akhir cerita.

Life is like a chapter of a story book. Sebuah kontradiksi. Terkadang bab yang berisi kebahagiaan ingin kita baca berulang-ulang, sedangkan bab kesedihan ingin sekali kita hilangkan. Atau seringkali kita justru berhenti di bab tersebut dan tidak ingin melangkah lagi karena merasa cerita  tidak menarik dan sudah berakhir. Bab kesuksesan dan ketenaran ingin kita perpanjang, bab kerja keras dan perjuangan ingin kita tinggalkan. Sayangnya kalau itu kita lakukan, kita tidak akan mendapatkan dinamika dan alur cerita yang lengkap.

            Seperti sebuah bab dalam buku cerita, demikian saya memaknai hidup yang saya jalani. Semua bab yang sudah ditulis oleh Pengarangnya harus saya baca untuk menuju akhir cerita. Ada bab yang meningggalkan kesan indah, tetapi ada bab yang membuat saya susah payah. Seringkali berharap bab yang tidak menyenangkan itu tidak ada, tetapi saya tidak bisa menghilangkannya karena membuat jalinan cerita menjadi lebih berwarna.  Bab yang berisi kebahagiaan hanya bisa saya syukuri ketika saya sudah menjalani bab kesedihan. Tanpa merasakan luka dan duka, saya tidak akan bisa merasakan bahagia. Bab kesuksesan baru saya rasakan ketika saya melewati kerja keras dan perjuangan. Keseluruhan bab telah diciptakan sedemikian rupa, sehingga ketika saya selesai membaca buku itu saya akan mendapatkan kisah yang luar biasa dan memunculkan kekaguman kepada Sang Pengarang.

            Seorang teman membagikan quote yang menarik, Life is like a song, no need to rewind nor fast forward, just click “play” and enjoy its every beat and lyric (bu sherly, thanks yah).  Seperti halnya sebuah lagu yang cukup dinikmati iramanya. Setiap ketukan akan membawa kita pada keindahannya, tidak perlu mengulang atau mempercepat. Seperti membeli sebuah album dan memutar lagu-lagu di dalamnya. Persoalannya, ketika saya menyukai sebuah lagu, saya akan terus menerus mendengarnya dan tidak peduli pada lagu selanjutnya. Sebaliknya kalau saya tidak menyukai salah satu lagu, saya segera meloncatinya. Bukankah itu sah-sah saja? Ya, tetapi saya tidak akan bisa memahami album tersebut secara keseluruhan. Parahnya kalau album yang saya beli berupa kaset, maka pitanya akan ruwet karena terlalu sering di-rewind atau di fast-forward.  Tentu saya tidak mau pita hidup saya menjadi ruwet, begitu juga dengan anda. Jadi yang bisa saya lakukan adalah mendengarkan semuanya. Ada lagu-lagu yang mungkin tidak saya suka, tetapi ada lagu yang sangat saya gemari. Just clik play, dan nikmati setiap irama serta lirik yang mengalun.

            Bab dalam sebuah buku cerita, lagu dalam sebuah album, mengajar saya untuk memahami keseluruhan cerita yang sudah ditulis atau direkam. Ada bagian-bagian dimana kita merasakan kebahagiaan, kesuksesan, tetapi ada bagian dimana kita menemui kepahitan dan kesedihan.  Apapun itu, semua bagian yang sudah dirangkaikan dan diciptakan harus dilewati. Just enjoy the road of your life, demikian sebuah tulisan yang sempat saya baca.  Ya, apapun itu, nikmati saja. Karena bab atau lagu tersebut hanyalah secuil dari buku atau album yang sudah ditulis untuk kita.

            Seperti sebuah bab, kebahagiaan dan kesedihan akan memperkaya jalinan kisah yang tertulis. Anthony De Mello dalam bukunya The Way to Love menyatakan bahwa “kebahagiaan tidak bisa digambarkan dengan kata-kata. Bisakah anda menggambarkan terang pada orang-orang yang telah duduk dalam kegelapan seumur hidup mereka? Pahami kegelapan, dan kegelapan itu akan lenyap.” Saya berusaha keras mencernanya meskipun tidak mudah, karena sangat filosofis, dan seakan tidak menjejak bumi untuk orang-orang seperti saya.

            Life is like a chapter in a story book. Satu bab saja. Masih ada bab-bab lain yang akan dirangkai. Mengapa harus berhenti di satu bab dan enggan melangkah di bab lainnya hanya karena bab yang saat ini kita jalani bukanlah bab yang menyenangkan? Kenapa tidak berusaha melanjutkannya karena kita yakin bahwa bab-bab lainnya masih ada yang berujung pada kebahagiaan? Saya mengagumi Adele, penyanyi Inggris yang memenangkan 6 penghargaan piala Grammy 2012 dan album ”21” miliknya, yang menceritakan kisah kehancuran hatinya karena ditinggalkan pria yang dicintai,  menjadi album terlaris abad ini dengan mencapai 13 juta keping di seluruh dunia. Dari patah hati menjadi Grammy. Adele menuangkan bab kepahitan dan penderitaan di dalam hidupnya menjadi sebuah karya yang hebat. Mengubah masalah dan penderitaan menjadi sumber tenaga baru untuk membuat kehidupan menjadi lebih baik, itu menurut Jansen Sinamo dalam bukunya ’Mengubah Pasir menjadi Mutiara”. Perjuangan seekor kerang yang merasakan kesakitan pada tubuh lunaknya karena ada pasir yang masuk ke dalam cangkang. Untuk mengurangi rasa sakit, kerang tersebut mengeluarkan lendir yang kemudian membungkus pasir dan bertahun-tahun kemudian merubahnya menjadi mutiara cantik yang sangat mahal.

Hanya sebuah bab dalam buku cerita, demikian bagian hidup yang harus saya jalani. Senang atau susah, sukses atau gagal. Yang perlu saya lakukan hanyalah membaca bab tersebut sampai akhir cerita, bukan berhenti dan tidak mau melangkah lagi. Mengikuti alur dan irama yang ada dengan keyakinan bahwa itu semua ada ujungnya. Selamat menikmati setiap bab dalam buku cerita anda!