Selamat datang di kota Solo. Setiap kembali ke kota ini, hal pertama yang ingin saya lakukan adalah berwisata kuliner. Bagi saya, Solo adalah gudangnya makanan enak, yang tidak akan pernah membuat bosan meskipun berkali-kali mendatanginya. Hal lain yang menyenangkan adalah kenangan kota ini yang tidak pernah hilang, karena menyimpan berbagai cerita dari saya lahir, sekolah, kuliah, sampai menjadi penyiar radio. Asyik, unik, dan seru! Kenangan tentang mendiang orang tua juga melengkapi kisah saya, sehingga setiap saat saya merasa begitu rindu untuk pulang.
Salah satu hal menarik yang selalu saya ingat adalah apa yang saya alami ketika masih kecil. Masih terekam dengan jelas ketika almarhum Bapak meminta saya mencabut dua buah gigi yang “gingsul” (bahasa Jawa - gigi tumbuh di belakang gigi yang lain), dengan posisi di gigi depan. Setelah dicabut, maka gigi yang di muka harus dipencet-pencet setiap hari agar masuk ke dalam dan rata (menurut anjuran dokter giginya saat itu). Waktu itu saya tidak mau karena takut sakit saat dicabut, tetapi Bapak membujuk saya dan memberikan hadiah agar saya mau mengikuti permintaan Beliau. Beliau mengatakan bahwa nanti kalau saya sudah besar, saya akan malu karena “gingsul” tersebut. Terdorong oleh hadiah yang diberikan, akhirnya saya mau juga untuk cabut gigi. Sekarang saya menyadari, seandainya saat itu gigi saya tidak dicabut, tentu saya akan sedikit mengalami masalah kepercayaan diri karena giginya agak “maju ke depan”. Untungnya saya menurut, sehingga saya menjadi seperti sekarang yang enak dipandang (hahaha). Saya belajar, ternyata almarhum Bapak adalah orang yang melihat jauh ke depan, dan memprediksikan apa yang akan saya alami kalau saya besar nanti. Meminjam istilah manajemen, beliau adalah seorang yang visioner. Selain itu, cara yang Beliau lakukan untuk membujuk saya bersedia menuruti apa yang Beliau inginkan dengan memberikan hadiah, adalah faktor pendorong motivasi. Sama saja seperti orang marketing yang terpacu mencapai target karena ada insentif di belakangnya. Saya yakin, almarhum Bapak tidak pernah belajar manajemen atau psikologi, tetapi Beliau telah menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari.
Hal yang menarik lagi adalah beliau begitu perhatian terhadap pendidikan anak-anaknya. Kakak perempuan saya yang tertua pernah bercerita, ketika tetangga-tetangga hanya menyekolahkan anak putrinya sampai tingkat sekolah dasar lalu bekerja di pabrik, beliau tetap meneyekolahkan kakak perempuan tertua saya sampai perguruan tinggi setingkat D3. Almarhum Bapak berpendapat, pendidikan adalah yang utama. Meskipun saking ekstrimnya, terkadang apa yang Beliau lakukan kurang “pas” juga. Contohnya ketika kita sakit dan berharap tidak masuk sekolah, maka Bapak tetap akan meminta kita masuk dengan alasan takut ketinggalan pelajaran. Jadi pagi hari kami akan diantar berobat ke dokter oleh almarhum Ibu, lalu selesai berobat kami diantar lagi ke sekolah untuk belajar. Waduh! Kalau yang ini jujur, saya tidak cocok (hahaha!). Sekarang saya mencoba memahami apa yang Beliau lakukan saat itu, mungkin dengan pikirannya yang sederhana, Beliau tidak begitu memahami bahwa orang sakit pun butuh istirahat. Anehnya, setelah masuk sekolah lagi penyakit kami tidak bertambah parah justru menjadi sembuh. Nah, kalau ini saya tidak tahu harus menyebutnya sebagai apa, entah sugesti atau faktor psikologis yang lain.
Hal menarik lainnya adalah mengneai buku dan majalah. Almarhum Bapak selalu menginginkan anaknya memiliki buku pelajaran yang paling lengkap dan majalah terbaru. Apapun akan beliau berikan untuk membeli buku. Bagi beliau, buku dan majalah sangat penting, karena itu adalah alat yang dibutuhkan seseorang untuk maju. Beliau juga rajin membaca dan seorang pecinta buku. Jadi kalau dibandingkan dengan teman-teman sekolah saya waktu itu, saya selalu memiliki buku paling lengkap. Jeleknya untuk urusan baju dan penampilan, beliau tidak terlalu memperhatikan, sehingga saya ingat bahwa dalam setahun saya hanya mendapat jatah baju baru dua kali, saat naik kelas dan Natal (untung saja ini tidak terbawa sampai sekarang yah. Hahaha)
Selalu memandang jauh ke depan, itu yang dilakukan oleh mendiang Bapak meskipun pendidikan beliau hanya tamatan SMA. Beliau memikirkan anak-anaknya tidak hanya 1 tahun ke depan, tetapi sampai anak-anaknya besar nanti. Saya memandangnya sebagai seseorang yang visioner. Ketika saya sedang melengkapi materi modul kepemimpinan dan mencari contoh-contohnya dari pemimpin besar di bidang pemerintahan maupun bisnis saat ini, ternyata almarhum Bapak sudah memberikan banyak contoh dari hal-hal sederhana yang saya alami ketika masih kecil.
Hari ini, ketika saya di Solo dan teringat kembali apa yang saya alami semasa kecil, ternyata hal-hal visioner itu sudah diberikan kepada saya oleh almarhum Bapak melalui hal-hal sederhana. Kata visioner, yang seakan-akan tinggi dan susah, menjadi sangat nyata ketika saya kembali mengingat dan memaknainya. Sungguh saya bersyukur bahwa saya dicerahkan oleh kenangan tersebut, dan berharap hal ini akan memperkaya modul Leadership saya selanjutnya yang akan dipersiapkan untuk level yang lebih tinggi. Saya belajar untuk merajut ulang apa yang menjadi visi saya selama ini di dunia. Hmm....jadi teringat buku favorit saya dulu, Purpose Driven Life yang sudah tertumpuk di rak dan berdebu...... Saatnya untuk dibaca lagi?
No comments:
Post a Comment