Wednesday, September 12, 2012

Menjadi seperti kanak-kanak...



Bebas, lepas. Itu yang saya amati dari tingkah polah anak-anak di acara Kalbe Junior Science Fair 2012. Tanpa kenal  lelah mereka mengikuti satu pertunjukan demi pertunjukan yang digelar di panggung utama, bahkan seringkali ikut terlibat dalam permainan. Ketika musik diputar dan  penari beraksi di panggung, ada sebagian anak yang mengikuti gerakannya atau bergerak dengan cara mereka sendiri tanpa rasa canggung. Ekspresif! Dunia yang lugas, jujur, tak bertopeng, belum terkontaminasi perasaan galau yang sering menghinggapi remaja-remaja masa kini atau bahkan mereka  yang mengaku sudah dewasa seperti saya. Intinya, mereka terlihat sangat menikmati hidup, tidak ada beban ataupun ketakutan untuk gagal. Dunianya adalah bermain, meskipun tidak semua anak seberuntung mereka. Ada anak-anak kecil seusianya yang terpaksa merasakan kerasnya perjuangan hidup di jalanan, atau membantu orang tuanya mencari nafkah karena tidak ada pilihan lain.


Hal menarik yang saya pelajari dari perilaku anak-anak itu adalah kebebasan dan keberanian menyatakan diri tanpa rasa takut. Mereka berteriak dengan penuh semangat dan berlomba-lomba maju ke depan ketika diminta oleh pemandu acara. Sangat kontras dibandingkan para peserta training yang biasanya malu-malu kalau saya minta maju ke depan, entah untuk berdoa atau melakukan suatu kegiatan tertentu. Mungkin karena enggan, takut salah, atau sungkan dianggap sebagai orang sok yang bersedia maju ke depan tanpa diminta. Sepertinya orang-orang dewasa memiliki terlalu banyak pertimbangan, sampai urusan sederhana pun mereka tidak berani mengambil resiko.  Dunia orang dewasa yang terkadang penuh dengan keterbatasan, banyak rambu-rambu atau bahkan terpenjara dari dalam diri sendiri karena takut gagal atau dicemooh. Inilah yang tidak saya temukan di dalam diri anak-anak itu dengan kebebasan jiwa yang mereka miliki. Saya membayangkan seandainya kelas training  seperti itu, alangkah serunya. Tidak perlu banyak coklat atau gimmick untuk merangsang peserta berpendapat, karena tanpa disuruh pun mereka sudah berebutan mengajukan diri.

Dunia anak-anak adalah bermain. Seringkali kita mendengar lelucon “masa kecil kurang bahagia” untuk orang-orang dewasa yang bermain-main dengan heboh. Lucu juga bahwa sebagian diri kita sebenarnya menginginkan kegembiraan dan kebahagiaan masa kanak-kanak. Makanya tidak heran ketika di kelas training kita memberikan beberapa games untuk ice breaking, peserta begitu antusias mengikuti. Bahkan seringkali mereka berteriak-teriak dengan penuh semangat dan tertawa lepas. Model training yang dikemas dengan santai, relax, membuat peserta lebih nyaman dan menikmati proses pembelajaran dengan baik.

Keberanian menggebu-gebu yang dimiliki seorang anak ternyata mempunyai sisi lain yang kontradiktif  yaitu susah diatur. Contoh yang sederhana adalah mengenai antrian. Ketika saya antri di toilet, dan tinggal berdiri persis di depan pintu toilet, tiga orang anak kecil tiba-tiba menyelonong berdiri di depan saya. Saya mendengar Ibunya sibuk berteriak dan mengingatkan untuk antri, tetapi mereka tetap cuek. Saya diam saja melihat mereka, tetapi sebenarnya merasa sedikit terganggu dengan keributan yang ditimbulkan. Di dalam hati saya memang tidak berniat mengalah, yang pertama untuk mendidik mereka, yang kedua karena sudah tidak tahan untuk buang air kecil.  Begitu orang yang berada di dalam toilet keluar, saya menegur anak-anak itu dengan halus untuk minggir dan tampak mereka melongo. Masih terbayang wajah-wajah polos yang tertegun melihat saya ketika mereka bergeser ke belakang. Rasanya geli dan ingin tertawa melihatnya, tetapi biarlah itu menjadi pembelajaran bagi mereka.


Meskipun memiliki dua sisi yang bertolak belakang, dunia anak-anak tetap menarik sebagai bahan pembelajaran. Saya sangat senang menyaksikan mereka berebut maju ke depan tanpa takut salah. Seringkali sebagai orang-orang yang sudah “dewasa”, saya justru dibelenggu oleh ketakutan akan kegagalan yang muncul dari pagar-pagar pembatas yang saya buat.  Tidak percaya diri, minder, takut mengambil resiko, seringkali justru menghambat langkah saya karena terlalu banyak pertimbangan dan perasaan negatif yang berkembang di dalam perjalanan hidup. Saya kehilangan jiwa anak-anak yang bebas, lepas apa adanya. Dunia yang dimiliki bukanlah dunia  yang relax dan menyenangkan tetapi dunia yang penuh dengan tuntutan dan ketidakpuasan. Bukankah persepsi dan cara kita menjalani hidup akan menentukan sejauh mana kita menikmatinya? Kalau kita memiliki kebebasan jiwa seperti anak-anak itu, tentu kita akan lebih bergairah dan berjalan dengan penuh keberanian, karena melangkah tanpa beban.

Mengamati anak-anak bermain memberikan kesegaran di dalam hati saya, bahwa sebenarnya saya pun pernah seperti mereka. Saya mengingat masa-masa kecil saat bermain dengan gembira seperti memanjat pohon, congklak, gobak sodor, ataupun layang-layang. Masa yang sudah sangat lama, 30 tahun yang lalu. Jadi kalau saat ini saya melihat anak-anak itu bermain riuh rendah, sebenarnya itulah potret saya puluhan tahun silam. Bebas, lepas tanpa beban, dengan penuh keberanian. Spirit yang kemudian memudar karena terkontaminasi dari berbagai pengalaman negatif yang dialami.  Tidak ada salahnya belajar lagi dari anak-anak itu. Saya tidak tahu bagaimana pengalaman anda ketika masih anak-anak, tetapi mungkin tidak jauh berbeda. Jiwa yang merdeka, berani, dan terus mencoba hal-hal baru tanpa kenal lelah dengan hati gembira dan semangat yang menggebu-gebu. Masa yang indah untuk dikenang dan terkadang rindu kembali ke sana. Selamat mengingat kembali masa kanak-kanak anda, mungkin ada hal berharga yang bisa Anda dapatkan, seperti apa yang saya rasakan. Selamat menikmati dunia yang sedang Anda jalani saat ini, dan cobalah melihatnya dari kaca mata seorang anak. Saya sedang berusaha melakukannya, bagaimana dengan Anda?


Saturday, September 8, 2012

Don't judge the book by its cover



Don’t judge the book by its cover, jangan menilai buku dari sampulnya.  Saya setuju peribahasa itu, tetapi bagaimanapun juga cover itu memang perlu! Bayangkan sebuah buku tanpa cover, tentu tidak menarik. Kesannya buku tua, lusuh, dan pantasnya ada di toko loak. Kalau kita memiliki buku favorit dengan kondisi cover yang rusak, pasti kita berusaha datang ke tempat foto copy atau penjilidan agar diperbaiki atau diberi cover baru sehingga lebih awet dan terlindung.  Cover bukanlah isi , tetapi dibuat sedemikian rupa sehingga menarik mata orang. Sebuah cover yang “eye catching” akan membuat orang yang ada di toko buku berhenti sebentar melihat isinya. Kalau ternyata biasa saja, setidaknya sudah dilihat. Idealnya sebuah buku memiliki cover yang menarik begitu pula isinya. Cover yang tidak “eye catching” biasanya kurang “beruntung” nasibnya karena kurang dilirik. Baru setelah buku itu menjadi best seller, orang berbondong-bondong membelinya. Jadi bagi saya, cover itu penting, tetapi bukan yang terutama.


Meskipun sadar bahwa yang terpenting adalah isi, kadang saya terjebak oleh cover, apalagi ketika berinteraksi dengan orang. Penampilan fisik yang menawan, pakaian rapi dan parlente, menjadi pertimbangan pertama ketika menilai seseorang. Kesannya lebih “berpendidikan”, apalagi kalau sikapnya tampak anggun berwibawa. Jujur saja, saya lebih merasa nyaman berhubungan dengan mereka dibanding dengan orang yang acak-acakan. Dalam pemikiran saya, merawat diri sendiri saja tidak bisa, apalagi mengurusi hal-hal lain. Memang tidak selalu mereka yang tampil rapi memiliki isi yang rapi di kepalanya, dan sebaliknya. Meskipun demikian, saya mengakui bahwa persepsi pertama saya terhadap seseorang banyak dipengaruhi oleh “covernya”.  Kejadian terbaru adalah ketika saya melakukan pelatihan untuk cabang Karawang di sebuah rumah makan yang dihadiri seluruh team, baik sales, satpam, admin, maupun office boy.  Seperti biasa, saya selalu datang 1 jam sebelum acara dimulai untuk menyiapkan segala sesuatu, memastikan semua perlengkapan berjalan dengan baik, baru menyapa peserta yang mulai berdatangan. Pelatihan diadakan 2 hari, hari pertama hanya untuk sales force, sedangkan hari kedua untuk semua karena materinya terkait nilai-nilai perusahaan. Di hari kedua, lima belas menit sebelum acara dimulai, saya merasa  masih ada yang kurang karena pintu kedatangan baru dibuka 1 pintu, padahal saya sudah minta semua pintu dibuka seperti hari pertama. Saya mencoba membuka sendiri tetapi gerendelnya cukup tinggi dan tidak terjangkau. Sambil celingukan mencari petugas banquet diantara peserta yang sudah ramai di luar, mata saya bertemu dengan seorang yang penampilannya “petugas” banget, wajah “lugu” dan tidak saya kenal. Tanpa banyak pertimbangan, saya langsung memanggil orang tadi dan memintanya membuka pintu. Alangkah kagetnya ketika pelatihan dimulai, orang yang saya suruh tadi duduk paling depan, masih tetap lugu tetapi dengan mata berbinar-binar. Menyadari kesalahan yang saya lakukan, saya langsung menceritakan apa yang baru saja terjadi di depan kelas, yang memancing gelak tawa semua peserta, termasuk orang tadi yang ternyata memang office boy kantor. Segera terlintas di benak saya bahwa sebenarnya saya tidak salah “menilai cover” karena ternyata memang office boy, seperti persepsi saya bahwa dia adalah “petugas/pelayan” rumah makan.


Kejadian berikutnya cukup mengejutkan saya ketika di dalam proses pembelajaran, office boy tersebut –namanya Arif, masih muda, 23 tahun-, memiliki keberanian tinggi untuk mengemukakan pendapat, dengan suara lantang tanpa takut salah dan content jawaban yang nyambung dengan pertanyaan saya. Dalam beberapa kelas yang saya jalankan, dimana office boy, driver, satpam juga ikut, biasanya mereka malu-malu dalam berpendapat karena takut salah. Sangat berbeda dengan Arif yang bahkan berani maju ke depan mewakili kelompok untuk presentasi sehingga mengundang tepuk tangan meriah peserta lain. Saya juga mengamati bahwa Arif menyimak pelajaran dengan baik, mencatat, memberikan perhatian penuh, tidak seperti beberapa peserta yang terkadang sibuk dengan handphone-nya sehingga harus saya tegur secara halus melalui pertanyaan yang saya lontarkan kepada mereka.

Hal yang menarik adalah ketika berbicara mengenai nilai diri, Arif bercerita bahwa dia datang ke Karawang untuk mencari kerja tanpa bekal uang dari orang tuanya, karena hanya doa yang bisa mereka berikan. Sekarang dia sangat bersyukur karena sudah bekerja dan bisa membahagiakan orang tuanya. Cerita disampaikkan dengan polos, apa adanya, mengalir lancar, membuat ruang pelatihan menjadi hening sesaat, dan diakhiri dengan tepukan kekaguman. Bagi saya, Arif bukan seorang office boy biasa. Ada antusiasme yang terpancar. Mungkin kesempatan untuk mengikuti pelatihan seperti ini langka baginya, sehingga dia begitu bersemangat dari awal sampai akhir. Saya sangat beruntung bisa bertemu dengannya dan belajar dari dia.  Lebih menarik lagi karena kadang-kadang dia juga merangkap sebagai sopir ketika dibutuhkan cabang. Wah, komplit juga ketrampilannya.

Saya pulang dari Karawang dengan membawa oleh-oleh yang bisa saya tulis, thanks buat Arif untuk inspirasinya. Don’t judge the book by its cover, ternyata itu benar. Saya belajar untuk tidak langsung menghakimi orang dari persepsi pertama saya terhadap dia, apalagi melihat penampilannya. Cover perlu, tetapi bukan yang terutama. Jadi jangan terlalu sibuk dengan cover tanpa memperbaiki isinya. Meskipun demikian jangan pula tanpa cover yang baik, karena nanti tidak dilirik. Jadi bagaimana dong? Idealnya sih dua-duanya, hehehe…. Bagaimana menurut Anda?



Tuesday, September 4, 2012

Gelar dan Penghargaan




“Saya mau periksa THT Mbak, dokternya siapa?” tanya saya di lobby pendaftaran sebuah rumah sakit. “Saya sudah daftar melalui telepon tadi siang”, saya melanjutkan seraya mengulurkan kartu asuransi kesehatan dari kantor. Mbak tersebut kemudian meminta KTP saya sambil berkata “Saya Suster, Bu”. “Oh, maaf, baik Suster”, jawab saya terbata dan melongo. Suster itu kemudian mencatat berkas dan memberi  saya nomor untuk dibawa ke tempat periksa. “Letak ruangan dimana Suster?” tanya saya. “Dari sini belok kiri trus ke kanan Bu. Ibu menunggu saja di depan tempat periksa.” Saya mengucapkan terima kasih lalu melangkah pergi.

Di depan ruang periksa saya termenung mengingat kejadian tadi. Sebenarnya ada alasan mengapa saya memanggilnya “Mbak”. Pertama tentu saja dia pasti jauh lebih muda dari saya. Kedua, karena “Bbak” tadi tidak berpakaian seragam suster melainkan petugas administrasi. Saya rasa aneh juga dia ditempatkan di situ karena biasanya tenaga pendaftaran berasal dari  non medis. Saya merenung lebih jauh, apa bedanya “mbak” dan “suster”? Yang pasti beda tulisan. Hehehe… Apakah panggilan “mbak” kurang keren dan berkonotasi  “orang biasa” dan bukan seorang suster yang terlatih?  Ataukah panggilan suster itu sebuah kebanggaan baginya karena didapat dengan susah payah? Saya mengamati kartu pendaftaran dan KTP saya. Di situ tertulis, pekerjaan:  dokter.  Saya percaya dia pasti membacanya, tapi  tetap memanggil saya “bu”, bukan “dok”. Mungkin saja karena saya berobat, sehingga saya dipanggil “bu”, masak dokter berobat ke dokter, jeruk makan jeruk. Hahaha… Sejujurnya panggilan “bu” atau “dok” tidak penting bagi saya. Justru saya terkadang jengah kalau dipanggil “dok” karena saya tidak praktek. Jangankan praktek, mengurus STP atau surat administrasi izin praktek pun tidak saya lakukan.

Apalah artinya sebuah panggilan. Mungkin panggilan “suster” sangat berharga bagi “mbak-mbak” tadi, dan bukan kapasitas saya untuk menghakiminya. Orang berhak dan sah-sah saja minta dipanggil apapun juga. Sebuah panggilan menumbuhkan harga diri bagi orang yang dipanggil. Seperti mbak-mbak tadi, saya mencoba memahami perasaannya. Siapa tahu dia sedang gundah gulana, karena sebagai suster justru tidak ditempatkan di ruang periksa membantu dokter,  atau dia sedang kecewa karena sedang di-grounded? Entahlah, itu asumsi saya. Mungkin dia sedang berusaha membangkitkan kembali konsep dirinya melalui panggilan tersebut, sampai-sampai meralat panggilan orang. Apapun itu, saya tetap menghargai usaha suster tadi , meskipun di satu sisi saya merasa heran karena seakan dia terbelenggu oleh sebuah panggilan.

Kembali ke perrtanyaan apakah arti panggilan? Berbagai jawaban mencoba melintas di kepala saya. Panggilan adalah sebutan kepada seseorang yang menunjukkan jati dirinya. Misalnya kepada atasan kita memanggil “Ibu” meskipun usianya lebih muda, itu merupakan penghargaan yang kita berikan. Atau kita memanggil “Mas” untuk seseorang yang  baru kita kenal. Lain waktu kita memanggil “Prof”, untuk orang yang memiliki gelar kehormatan akademis. Yang lebih personal, panggilan sering juga merupakan julukan.Misalnya seorang anak kecil yang memiliki adik bayi lalu dipanggil “kakak” oleh orang tuanya . Panggilan “sayang”, “hun” atau “beib” untuk mereka yang kita sayangi. Terkadang panggilan itu bisa ditolak oleh orang yang kita panggil. Misalnya seorang anak yang gendut lalu kita panggil “Ndut”. Mungkin ada yang suka, tetapi ada juga yang marah dengan panggilan tersebut. Ternyata sebuah panggilan memiliki makna. Mengingat hal itu, saya berusaha tidak berprasangka buruk terhadap mbak-mbak tadi dan menjulukinya “mendewakan gelar”, karena ternyata setiap orang memiliki kebutuhan panggilan yang berbeda-beda dan itu wajar saja.

Meskipun sederhana, peristiwa tadi cukup mengusik saya. Pertanyaannya, apakah sebuah gelar menjadi begitu penting? Bukankah semua itu tidak ada artinya kalau kita tidak berkontribusi sesuai dengan gelar yang dimiliki? Pertanyaan kedua, apakah sebegitu hebat kebutuhan manusia untuk dihargai, sehingga hal yang sederhana pun seakan menjadi sesuatu yang besar? Pertanyaan pertama bisa menimbulkan diskusi yang panjang, tetapi saya menegaskan pendapat saya bahwa yang terpenting adalah kontribusi dan apakah tindakan kita merujuk pada gelar yang kita miliki. Gelar yang melekat tidak harus menjadi panggilan kita. Misalnya seorang Insinyur, atau Akuntan, yang memiliki nama A dan B, tidak dipanggil dengan sebutan “Insinyur  A”, atau “Akuntan B”. Sepertinya hanya dunia medis yang mengenal penyebutan tersebut, contoh “dokter C”, “suster D, dan seterusnya. Pertanyaan kedua saya jawab lebih tegas, bahwa setiap manusia membutuhkan penghargaan. Itu tidak bisa ditawar. Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan orang lain, dan mengharapkan dirinya diterima oleh lingkungan. Penghargaan yang diberikan adalah bukti bahwa dia diakui keberadaannya, dan itu berdampak sangat signifikan dengan konsep diri orang tersebut. Bayangkan seorang anak yang tidak pernah mendapat penghargaan dari orang tuanya, dia akan tumbuh sebagai pribadi yang apatis dan susah menghargai orang lain. Hubungan kerja pun membutuhkan penghargaan. Ketika hasil kerja kita tidak diakui, tidak dilihat, kita pasti merasa kecewa dan dismotivasi. Orang akan semakin bersemangat ketika mereka dihargai, karena itu menumbuhkan pandangan positif terhadap dirinya, bahwa dia mampu, berguna, dan bermakna untuk orang lain. Jenis penghargaan bisa beraneka macam, tetapi mulai dari hal-hal yang sederhana. Ketika saya merenungkan itu, ingatan saya kembali kepada suster yang menolak untuk dipanggil mbak. Kebanggaan dan kebahagiaannya ada pada gelar itu. Bagi saya suster tadi sedang tidak berbahagia dengan apa yang dia kerjakan, sehingga dia mencari kebahagiaan lewat sebuah “pengakuan”. Apalagi melihat rekan-rekannya sesama suster yang sibuk membantu dokter dan seakan-akan lebih “berkelas” dibandingkan dirinya, seorang tenaga pendaftaran.  Sekali lagi saya menutup mulut saya untuk berkomentar negative tentang dia.

Setiap orang membutuhkan penghargaan apapun modelnya. Sebagai manusia yang hidup bersama dengan orang lain, kita belajar untuk saling menghargai dan mengakui keberadaan orang lain sebagai orang yang penting. Setiap orang diciptakan dengan tujuan yang berbeda-beda tetapi saling melengkapi satu sama lain. Mengingat itu, saya menyadari bahwa tidak ada gunanya menghabiskan banyak waktu berdebat tentang gelar dan penghargaan. Yang paling penting adalah apa kontribusi saya ke orang lain, dan apakah saya sudah menghargai orang lain seperti saya ingin dihargai. Kalaupun orang tersebut ingin dipanggil gelarnya itupun sah-sah saja, tidak perlu diperdebatkan karena tidak signifikan. Justru yang penting adalah, jangan-jangan sebuah penghargaan sederhana yang kita lakukan telah menyelamatkan seseorang dari krisis pengakuan dan kekecewaan terhadap dirinya. Sesuatu yang sederhana, tetapi sangat bermakna. Selamat menghargai orang lain, seperti anda ingin dihargai…..

this too will pass.. (part 2)



Bercerita pengalaman semasa co ass ternyata tidak ada habisnya, bagaikan memutar ulang kaset dan menikmati alunan musiknya.  Kaset? Jadul banget sih? Hahaha… Tidak apa-apa lah, sekali-kali kembali ke masa lalu, ketika kaset adalah asset berharga bagi para pecinta musik. Saking fenomenalnya, kaset dan pensil menjadi 2 properti yang saling melengkapi. Lucu juga mengingat masa-masa ketika memanfaatkan pensil untuk dimasukkan ke lubang kaset dan memutarnya, merapikan pita yang terurai keluar. Wah, primitif banget! Mungkin kalau ditanyakan ke anak-anak muda masa kini apa fungsi penting pensil, mereka  tidak akan berpikir ke arah situ. Maklum, sekarang zaman iphone, yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan pensil. Ini juga menegaskan bahwa benda mati pun akan berlalu, this too will pass….(kecuali mobil saya yang saya biarkan orisinal, bisanya memutar kaset dan bukan CD)

Komentar adik kelas kedokteran di tulisan sebelumnya ternyata menerbitkan ide baru di kepala saya, bahwa episode kehidupan kita selalu menarik untuk ditulis. Entah itu kisah lucu, menghibur, menyentuh, atau menguatkan. Pernyataan yang indah adalah ketika dia mengingat kejadian “menyakitkan” bersama dokter konsulennya “bukan cuma dimarahi di depan pasien, ditendang kakinya di depan pasien pun pernah. Kalau diingat-ingat, dulu berurai air mata, tetapi sekarang menjadi lucu dan menyenangkan..” . Bayangkan kalimat ini “dulu berurai air mata, tetapi sekarang menjadi lucu dan menyenangkan”. (Syenny, pinjam kalimatmu yah. Thanks J).  Luar biasa, ternyata setiap bagian hidup kita merupakan tahapan pelajaran yang indah, meskipun seringkali kita baru menyadari setelah melewati episode itu. Seperti seorang pekerja yang berpeluh menabur benih, menyiangi, bermandi keringat dan air mata, tetapi kemudian bersorak sorai ketika panen tiba.

Terinspirasi untuk mendapatkan cerita yang lebih banyak, saya mencoba menghubungi beberapa teman kuliah dan menggali kenangan mereka tentang masa-masa co ass yang sudah lama ditinggalkan. Mungkin bagus juga kalau kisah-kisah itu dikumpulkan dan dibukukan, menjadi kenangan menarik yang bisa dibagikan ke orang lain. Sayangnya karena sudah belasan tahun, proses recalling memori menjadi lambat. Salah satu kejadian yang tidak saya lupakan adalah ketika stase di bagian bedah, salah satu bagian besar yang menurut saya ”rada aneh”, karena co ass cewek diharuskan menggunakan rok, bukan celana panjang. Wah, saya tidak bisa membayangkan ribetnya. Alhasil saya bermain kucing-kucingan karena tetap nekat menggunakan “kulot”. (nama jadul dari model bawahan yang menyerupai rok, padahal sebenarnya celana. Panjangnya sedikit di bawah lutut). Pernah saya bersembunyi karena kepergok tidak memakai rok. Wah, seru banget! Itu sudah terjadi lima belasan tahun  yang lalu tetapi tergambar begitu jelas di benak saya saat ini.

Bukti lain “keunikan” bagian bedah saat itu adalah ketika kami menghadap kepala bagian, seorang dokter yang sangat senior dengan cara yang tidak biasa. Selesai menghadap dan keluar ruangan, kami tidak boleh membalikkan badan, tetapi harus berjalan mundur dengan tangan “ngapurancang” (istilah Jawa untuk menggambarkan jari-jari tangan dalam posisi berdoa dan diletakkan di depan perut bagian bawah). Peristiwa ini masih saya ingat dan membuat saya tertawa geli. Bayangkan, teman-teman di luar ruangan dengan berbisik-bisik  memberikan komando agar kami dapat berjalan mundur tanpa menabrak apapun di belakang. Hahaha… kalau dipikir-pikir, aneh juga kejadian-kejadian tersebut. Lucu dan menghibur. Apalagi setelah keluar dari ruangan beliau, kami terbirit-birit menjauh karena sudah tidak tahan menahan ketawa, sementara di depan beliau kami semua adalah anak-anak manis yang sangat sopan dengan muka sedikit menunduk.

Begitu banyak kenangan semasa co-ass yang menyenangkan dan menegangkan tetapi semua sudah berlalu. Ketika mengingatnya, saya seperti membawa pikiran saya kembali ke zaman dulu melewati lorong waktu, masa-masa yang penuh dengan semangat membara meskipun bentakan dan ujian datang silih berganti.  Tanpa merasa lelah kami bahu membahu menyelesaikan kuliah dan mendapatkan gelar dokter. Semangat itulah yang sekarang sedang saya bangkitkan . Usia boleh merambat, waktu boleh berlalu, kejadian-kejadian boleh lewat, tetapi spiritnya tidak boleh pudar.  Kenangan semasa co-ass mengajarkan banyak hal,. Bukan mengenai tampilan fisik, tetapi mengenai spirit seorang pejuang. Jiwa co-ass yang antusias untuk belajar, tahan banting, pantang menyerah, dan jatuh bangun mengejar impian. Ada air mata dengan makna yang berbeda. Yang pertama adalah air mata kedukaan, kekecewaan ketika gagal, yang kedua adalah air mata kebahagiaan. Sampai akhirnya ketika kami sudah sampai ke titik akhir perjalanan episode, kami baru memahami maknanya dan tersenyum ceria. Dan sekarang, saya berada di titik lain perjalanan hidup dengan kisah yang sangat berbeda. Apapun yang sedang terjadi saat ini, pahit ataupun manis, jiwa co ass saya berbisik, bahwa this too will pass….ini pun akan berlalu…..