“Saya mau periksa THT Mbak, dokternya siapa?” tanya saya di lobby pendaftaran sebuah rumah sakit. “Saya sudah daftar melalui telepon tadi siang”, saya melanjutkan seraya mengulurkan kartu asuransi kesehatan dari kantor. Mbak tersebut kemudian meminta KTP saya sambil berkata “Saya Suster, Bu”. “Oh, maaf, baik Suster”, jawab saya terbata dan melongo. Suster itu kemudian mencatat berkas dan memberi saya nomor untuk dibawa ke tempat periksa. “Letak ruangan dimana Suster?” tanya saya. “Dari sini belok kiri trus ke kanan Bu. Ibu menunggu saja di depan tempat periksa.” Saya mengucapkan terima kasih lalu melangkah pergi.
Di depan ruang periksa saya termenung mengingat kejadian tadi. Sebenarnya ada alasan mengapa saya memanggilnya “Mbak”. Pertama tentu saja dia pasti jauh lebih muda dari saya. Kedua, karena “Bbak” tadi tidak berpakaian seragam suster melainkan petugas administrasi. Saya rasa aneh juga dia ditempatkan di situ karena biasanya tenaga pendaftaran berasal dari non medis. Saya merenung lebih jauh, apa bedanya “mbak” dan “suster”? Yang pasti beda tulisan. Hehehe… Apakah panggilan “mbak” kurang keren dan berkonotasi “orang biasa” dan bukan seorang suster yang terlatih? Ataukah panggilan suster itu sebuah kebanggaan baginya karena didapat dengan susah payah? Saya mengamati kartu pendaftaran dan KTP saya. Di situ tertulis, pekerjaan: dokter. Saya percaya dia pasti membacanya, tapi tetap memanggil saya “bu”, bukan “dok”. Mungkin saja karena saya berobat, sehingga saya dipanggil “bu”, masak dokter berobat ke dokter, jeruk makan jeruk. Hahaha… Sejujurnya panggilan “bu” atau “dok” tidak penting bagi saya. Justru saya terkadang jengah kalau dipanggil “dok” karena saya tidak praktek. Jangankan praktek, mengurus STP atau surat administrasi izin praktek pun tidak saya lakukan.
Apalah artinya sebuah panggilan. Mungkin panggilan “suster” sangat berharga bagi “mbak-mbak” tadi, dan bukan kapasitas saya untuk menghakiminya. Orang berhak dan sah-sah saja minta dipanggil apapun juga. Sebuah panggilan menumbuhkan harga diri bagi orang yang dipanggil. Seperti mbak-mbak tadi, saya mencoba memahami perasaannya. Siapa tahu dia sedang gundah gulana, karena sebagai suster justru tidak ditempatkan di ruang periksa membantu dokter, atau dia sedang kecewa karena sedang di-grounded? Entahlah, itu asumsi saya. Mungkin dia sedang berusaha membangkitkan kembali konsep dirinya melalui panggilan tersebut, sampai-sampai meralat panggilan orang. Apapun itu, saya tetap menghargai usaha suster tadi , meskipun di satu sisi saya merasa heran karena seakan dia terbelenggu oleh sebuah panggilan.
Kembali ke perrtanyaan apakah arti panggilan? Berbagai jawaban mencoba melintas di kepala saya. Panggilan adalah sebutan kepada seseorang yang menunjukkan jati dirinya. Misalnya kepada atasan kita memanggil “Ibu” meskipun usianya lebih muda, itu merupakan penghargaan yang kita berikan. Atau kita memanggil “Mas” untuk seseorang yang baru kita kenal. Lain waktu kita memanggil “Prof”, untuk orang yang memiliki gelar kehormatan akademis. Yang lebih personal, panggilan sering juga merupakan julukan.Misalnya seorang anak kecil yang memiliki adik bayi lalu dipanggil “kakak” oleh orang tuanya . Panggilan “sayang”, “hun” atau “beib” untuk mereka yang kita sayangi. Terkadang panggilan itu bisa ditolak oleh orang yang kita panggil. Misalnya seorang anak yang gendut lalu kita panggil “Ndut”. Mungkin ada yang suka, tetapi ada juga yang marah dengan panggilan tersebut. Ternyata sebuah panggilan memiliki makna. Mengingat hal itu, saya berusaha tidak berprasangka buruk terhadap mbak-mbak tadi dan menjulukinya “mendewakan gelar”, karena ternyata setiap orang memiliki kebutuhan panggilan yang berbeda-beda dan itu wajar saja.
Meskipun sederhana, peristiwa tadi cukup mengusik saya. Pertanyaannya, apakah sebuah gelar menjadi begitu penting? Bukankah semua itu tidak ada artinya kalau kita tidak berkontribusi sesuai dengan gelar yang dimiliki? Pertanyaan kedua, apakah sebegitu hebat kebutuhan manusia untuk dihargai, sehingga hal yang sederhana pun seakan menjadi sesuatu yang besar? Pertanyaan pertama bisa menimbulkan diskusi yang panjang, tetapi saya menegaskan pendapat saya bahwa yang terpenting adalah kontribusi dan apakah tindakan kita merujuk pada gelar yang kita miliki. Gelar yang melekat tidak harus menjadi panggilan kita. Misalnya seorang Insinyur, atau Akuntan, yang memiliki nama A dan B, tidak dipanggil dengan sebutan “Insinyur A”, atau “Akuntan B”. Sepertinya hanya dunia medis yang mengenal penyebutan tersebut, contoh “dokter C”, “suster D, dan seterusnya. Pertanyaan kedua saya jawab lebih tegas, bahwa setiap manusia membutuhkan penghargaan. Itu tidak bisa ditawar. Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan orang lain, dan mengharapkan dirinya diterima oleh lingkungan. Penghargaan yang diberikan adalah bukti bahwa dia diakui keberadaannya, dan itu berdampak sangat signifikan dengan konsep diri orang tersebut. Bayangkan seorang anak yang tidak pernah mendapat penghargaan dari orang tuanya, dia akan tumbuh sebagai pribadi yang apatis dan susah menghargai orang lain. Hubungan kerja pun membutuhkan penghargaan. Ketika hasil kerja kita tidak diakui, tidak dilihat, kita pasti merasa kecewa dan dismotivasi. Orang akan semakin bersemangat ketika mereka dihargai, karena itu menumbuhkan pandangan positif terhadap dirinya, bahwa dia mampu, berguna, dan bermakna untuk orang lain. Jenis penghargaan bisa beraneka macam, tetapi mulai dari hal-hal yang sederhana. Ketika saya merenungkan itu, ingatan saya kembali kepada suster yang menolak untuk dipanggil mbak. Kebanggaan dan kebahagiaannya ada pada gelar itu. Bagi saya suster tadi sedang tidak berbahagia dengan apa yang dia kerjakan, sehingga dia mencari kebahagiaan lewat sebuah “pengakuan”. Apalagi melihat rekan-rekannya sesama suster yang sibuk membantu dokter dan seakan-akan lebih “berkelas” dibandingkan dirinya, seorang tenaga pendaftaran. Sekali lagi saya menutup mulut saya untuk berkomentar negative tentang dia.
Setiap orang membutuhkan penghargaan apapun modelnya. Sebagai manusia yang hidup bersama dengan orang lain, kita belajar untuk saling menghargai dan mengakui keberadaan orang lain sebagai orang yang penting. Setiap orang diciptakan dengan tujuan yang berbeda-beda tetapi saling melengkapi satu sama lain. Mengingat itu, saya menyadari bahwa tidak ada gunanya menghabiskan banyak waktu berdebat tentang gelar dan penghargaan. Yang paling penting adalah apa kontribusi saya ke orang lain, dan apakah saya sudah menghargai orang lain seperti saya ingin dihargai. Kalaupun orang tersebut ingin dipanggil gelarnya itupun sah-sah saja, tidak perlu diperdebatkan karena tidak signifikan. Justru yang penting adalah, jangan-jangan sebuah penghargaan sederhana yang kita lakukan telah menyelamatkan seseorang dari krisis pengakuan dan kekecewaan terhadap dirinya. Sesuatu yang sederhana, tetapi sangat bermakna. Selamat menghargai orang lain, seperti anda ingin dihargai…..
No comments:
Post a Comment