Don’t judge the book by its cover, jangan menilai buku dari sampulnya. Saya setuju peribahasa itu, tetapi bagaimanapun juga cover itu memang perlu! Bayangkan sebuah buku tanpa cover, tentu tidak menarik. Kesannya buku tua, lusuh, dan pantasnya ada di toko loak. Kalau kita memiliki buku favorit dengan kondisi cover yang rusak, pasti kita berusaha datang ke tempat foto copy atau penjilidan agar diperbaiki atau diberi cover baru sehingga lebih awet dan terlindung. Cover bukanlah isi , tetapi dibuat sedemikian rupa sehingga menarik mata orang. Sebuah cover yang “eye catching” akan membuat orang yang ada di toko buku berhenti sebentar melihat isinya. Kalau ternyata biasa saja, setidaknya sudah dilihat. Idealnya sebuah buku memiliki cover yang menarik begitu pula isinya. Cover yang tidak “eye catching” biasanya kurang “beruntung” nasibnya karena kurang dilirik. Baru setelah buku itu menjadi best seller, orang berbondong-bondong membelinya. Jadi bagi saya, cover itu penting, tetapi bukan yang terutama.
Meskipun sadar bahwa yang terpenting adalah isi, kadang saya terjebak oleh cover, apalagi ketika berinteraksi dengan orang. Penampilan fisik yang menawan, pakaian rapi dan parlente, menjadi pertimbangan pertama ketika menilai seseorang. Kesannya lebih “berpendidikan”, apalagi kalau sikapnya tampak anggun berwibawa. Jujur saja, saya lebih merasa nyaman berhubungan dengan mereka dibanding dengan orang yang acak-acakan. Dalam pemikiran saya, merawat diri sendiri saja tidak bisa, apalagi mengurusi hal-hal lain. Memang tidak selalu mereka yang tampil rapi memiliki isi yang rapi di kepalanya, dan sebaliknya. Meskipun demikian, saya mengakui bahwa persepsi pertama saya terhadap seseorang banyak dipengaruhi oleh “covernya”. Kejadian terbaru adalah ketika saya melakukan pelatihan untuk cabang Karawang di sebuah rumah makan yang dihadiri seluruh team, baik sales, satpam, admin, maupun office boy. Seperti biasa, saya selalu datang 1 jam sebelum acara dimulai untuk menyiapkan segala sesuatu, memastikan semua perlengkapan berjalan dengan baik, baru menyapa peserta yang mulai berdatangan. Pelatihan diadakan 2 hari, hari pertama hanya untuk sales force, sedangkan hari kedua untuk semua karena materinya terkait nilai-nilai perusahaan. Di hari kedua, lima belas menit sebelum acara dimulai, saya merasa masih ada yang kurang karena pintu kedatangan baru dibuka 1 pintu, padahal saya sudah minta semua pintu dibuka seperti hari pertama. Saya mencoba membuka sendiri tetapi gerendelnya cukup tinggi dan tidak terjangkau. Sambil celingukan mencari petugas banquet diantara peserta yang sudah ramai di luar, mata saya bertemu dengan seorang yang penampilannya “petugas” banget, wajah “lugu” dan tidak saya kenal. Tanpa banyak pertimbangan, saya langsung memanggil orang tadi dan memintanya membuka pintu. Alangkah kagetnya ketika pelatihan dimulai, orang yang saya suruh tadi duduk paling depan, masih tetap lugu tetapi dengan mata berbinar-binar. Menyadari kesalahan yang saya lakukan, saya langsung menceritakan apa yang baru saja terjadi di depan kelas, yang memancing gelak tawa semua peserta, termasuk orang tadi yang ternyata memang office boy kantor. Segera terlintas di benak saya bahwa sebenarnya saya tidak salah “menilai cover” karena ternyata memang office boy, seperti persepsi saya bahwa dia adalah “petugas/pelayan” rumah makan.
Hal yang menarik adalah ketika berbicara mengenai nilai diri, Arif bercerita bahwa dia datang ke Karawang untuk mencari kerja tanpa bekal uang dari orang tuanya, karena hanya doa yang bisa mereka berikan. Sekarang dia sangat bersyukur karena sudah bekerja dan bisa membahagiakan orang tuanya. Cerita disampaikkan dengan polos, apa adanya, mengalir lancar, membuat ruang pelatihan menjadi hening sesaat, dan diakhiri dengan tepukan kekaguman. Bagi saya, Arif bukan seorang office boy biasa. Ada antusiasme yang terpancar. Mungkin kesempatan untuk mengikuti pelatihan seperti ini langka baginya, sehingga dia begitu bersemangat dari awal sampai akhir. Saya sangat beruntung bisa bertemu dengannya dan belajar dari dia. Lebih menarik lagi karena kadang-kadang dia juga merangkap sebagai sopir ketika dibutuhkan cabang. Wah, komplit juga ketrampilannya.
Saya pulang dari Karawang dengan membawa oleh-oleh yang bisa saya tulis, thanks buat Arif untuk inspirasinya. Don’t judge the book by its cover, ternyata itu benar. Saya belajar untuk tidak langsung menghakimi orang dari persepsi pertama saya terhadap dia, apalagi melihat penampilannya. Cover perlu, tetapi bukan yang terutama. Jadi jangan terlalu sibuk dengan cover tanpa memperbaiki isinya. Meskipun demikian jangan pula tanpa cover yang baik, karena nanti tidak dilirik. Jadi bagaimana dong? Idealnya sih dua-duanya, hehehe…. Bagaimana menurut Anda?
No comments:
Post a Comment