Thursday, August 30, 2012

This too will pass...


This too will pass, ini pun akan berlalu. Beberapa kali saya melihat kalimat itu sebagai status update-nya teman-teman,  sehingga saya tergerak menuliskannya. Seperti sebuah episode drama, hidup juga memiliki episode-nya sendiri. Ada bagian yang penuh tawa, ada yang berurai air mata. Ada saatnya kita bertemu orang-orang yang tinggal lama di hati kita, tetapi ada yang sekedar lewat dan hilang begitu saja. Ada peristiwa yang akan selalu kita kenang, tetapi ada yang pergi tanpa kesan.

Saya teringat masa-masa co-ass kedokteran belasan tahun yang lalu. Meskipun tampak keren karena menggunakan jas putih bertuliskan “dokter muda” – memang saat itu usia kami masih muda, hehe - rasanya hari-hari yang harus dilalui seperti roller coaster yang naik turun. Terkadang ringan dan menyenangkan, tetapi terkadang berat, apalagi kalau masuk stase empat bagian besar yaitu Penyakit Dalam, Anak, Kebidanan Kandungan, dan Bedah. Tugas jaga malam adalah saat-saat mendebarkan, terlebih kalau ada pasien gawat dan mendapatkan dokter konsulen yang “galak”.  Jadi siap-siap saja untuk melek semalaman, menjaga pasien dan membuat laporan, karena besok paginya harus sudah siap untuk presentasi di laporan pagi. Selesai laporan? Belajar lagi sampai sore hari, baru pulang ke rumah. Herannya waktu itu saya tidak terasa capek.  Bandingkan dengan kondisi sekarang yang mengajar 3 hari saja sudah harus mencari tukang pijat. Maklum, faktor “u”, hahaha.

Meskipun kelihatannya berat, tetapi ternyata saya dan teman-teman mampu melaluinya. Hal lain yang masih membekas di ingatan adalah ketika kami mengikuti visite dokter ke pasien-pasien kelas 3 yang adalah pasien kami. Sebagai informasi, kami menjalankan co-ass di rumah sakit negeri, dimana kami bertanggung jawab menangani pasien-pasien kelas 3, baik pemeriksaan, pengobatan, sampai evaluasi penyakitnya.  Dalam hal ini setiap tindakan kami harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dokter konsulen. Setiap pagi, kami akan memeriksa pasien tersebut, membuatkan analisa dan mengajukan usulan terapi atau pemeriksaan lanjutan yang kami tulis di status pasien. Saat dokter konsulen visite, mereka akan memeriksa ulang pasien tersebut dan menilai hasil analisis yang kami berikan. Kalau benar akan disetujui, tetapi kalau salah akan dicoret dan diganti. Ketika hasil analisis salah, dan dokter konsulennya “killer” siap-siap saja untuk dimarahi habis-habisan dengan kata-kata keras di depan pasien sampai keringat dingin bercucuran. Terkadang kami merasa sangat bodoh dan tidak punya harga diri lagi. Rasanya ingin berlari dan bersembunyi. Saya tidak tahu, apakah itu metode pembelajaran yang efektif untuk melatih dokter-dokter muda seperti kami, dan menyadarkan bahwa tanggung jawab kami sangat besar karena berhubungan dengan nyawa manusia sehingga kami harus belajar tekun agar memiliki kapasitas keilmuan yang memadai. Memang ada juga dokter konsulen “baik hati” yang lebih banyak memberikan nasihat dan pelajaran sambil kami berjalan dari satu pasien ke pasien lainnya. Tetapi satu hal yang saya ingat, di tengah kekecewaan dan keraguan setelah dimarahi  habis-habisan, saya bersyukur bahwa terkadang para pasien itu begitu baik, dan memaklumi keterbatasan kami. Mereka menghibur dan mengatakan “tidak apa-apa mbak-mas dokter, namanya juga belajar.”  Ah, kalimat itu bagaikan air di padang gurun, menyiram tanah gersang dan membuat semangat kami tumbuh kembali untuk menyelesaikan bagian ini.

Meskipun sadar bahwa ternyata tidak menyukai kedokteran, saya tetap bertahan karena “gengsi”.  Saya hanya mengatakan pada diri sendiri bahwa “saya bisa”. Ini yang kontradiktif, saya tidak suka, tetapi nilai saya selalu tinggi. Sampai saat akhir, ketika saya sudah menyelesaikan semua bagian klinis dan tinggal membuat  skripsi, saya merasa ogah-ogahan. Bagi saya, membuat skripsi tidak terlalu penting, apalagi kebijakan untuk angkatan sebelumnya adalah tidak perlu membuat skripsi. Kewajiban membuat skripsi baru diberlakukan untuk angkatan kami dan seterusnya Pendidikan klinis selama 2,5 tahun sudah cukup berat dari total pendidikan dokter yang saat itu berkisar 6.5-7 tahun. Untunglah di saat saya sangat malas, seorang teman memberi nasihat yang masih saya ingat sampai sekarang: “Kamu boleh tidak suka menjadi dokter, tetapi saat ini kamu harus menyelesaikan skripsimu. Sekarang atau nanti sama saja. Selesaikan sekarang, lulus sebagai dokter, dan terserah kamu akan menjadi apa.” Nasihat yang kalau saya ingat sekarang sungguh hebat di usia kami yang 24 tahun waktu itu. Saya percaya teman saya pasti sudah lupa dengan apa yang dia katakan, tetapi saya masih mengingatnya dengan jelas sampai sekarang. Saya bangkit, menyelesaikan skripsi, dan menjadi bagian dari segelintir orang yang lulus pertama di angkatan kami. Yes, this too will pass….

Setiap bagian dalam kehidupan memiliki ceritanya sendiri. Ada cerita yang utuh dan berakhir sempurna, tetapi ada yang robek dan tercerai berai. Ketika menuliskan ini, saya pun sedang menoleh melihat setiap episode dalam kehidupan saya. Ada yang membahagiakan, tetapi ada yang terkoyakkan. Ada yang mengendap dalam dan mengisi relung hati, ada yang hilang dan tidak mau mengingatnya lagi. Tetapi satu hal yang pasti, setiap episode akan berakhir dan kita masuk ke bagian selanjutnya. Kebahagiaan, kesedihan, adalah gizi yang semestinya membawa kita untuk lebih sempurna memainkan peran yang kita miliki di episode berikutnya. Mendapatkan, kehilangan, itupun akan berlalu. Kata-kata bijak mengatakan, segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya. Belajar untuk tidak menggenggam terlalu erat atau memikirkan terlalu dalam, karena sebenarnya itu semua memiliki masanya sendiri. Tidak cengeng dan mengasihani diri sendiri, karena ternyata kita semua pernah melewati episode yang berat dan mampu melaluinya. Selamat berjuang kawan. Tetaplah teguh, dan berjalan dengan penuh pengharapan.  This too will pass, ini pun akan berlalu….

( Thanks to dr Ratna Chandrasari for ur advice.  This was fifteen years… J)