Wednesday, August 31, 2011

catatan dari Medan (bagian 2)


Lake Toba, I am coming... Itu adalah kalimat terakhir di catatan saya yang pertama. Perjalanan Medan – Parapat, kota di tepi danau Toba, membutuhkan waktu 5 jam dengan menggunakan travel. Sebenarnya perjalanan bisa lebih cepat, tetapi karena beberapa kali berhenti maka waktu tempuh menjadi lebih lama. Ada beberapa pilihan travel dari Medan ke Parapat, seperti Raja Taxi atau Paradep taxi. Untuk perjalanan kemarin, saya menggunakan Paradep karena alasan keberangkatan yang lebih pagi dan biaya yang lebih murah, Rp 65.000 untuk Paradep, dan Rp 70.000 untuk Raja.  Keberangkatan paling pagi untuk Raja Taxi adalah jam 09.00, sedangkan Paradep jam 05.00 pagi sudah ada mobil yang berangkat. Mobil kami berisi 6 orang, 4 orang berhenti di Parapat yaitu saya berdua dengan teman, dan 2 orang turis dari Inggris. Dua orang lainnya turun di Tebing Tinggi dan Pematang Siantar. Sebenarnya kalau mau jalan santai dan bersama teman-teman, saya menyarankan untuk menyewa mobil saja karena jatuhnya per orang kurang lebih sama, tetapi  bisa fleksibel dan kemana-mana. Biaya sewa mobil per hari sebesar Rp 350.000, sudah termasuk sopir, tetapi belum termasuk bensin.
Perjalanan Medan - Parapat melalui beberapa kota, di tengah-tengahnya adalah Pematang Siantar. Kalau berhenti di Siantar dan kebetulan anda penyuka masakan China, silakan berhenti di Jl Surabaya untuk menikmati chinese food yang enak. Selain itu Siantar terkenal dengan selai srikaya di toko SEDAP dan oleh-oleh makanan kecil dari toko ASLI, semacam enting-enting atau namanya teng teng. Tetapi kalau ingin berhenti sebaiknya waktu pulang balik ke Medan setelah anda puas menjelajah danau Toba dan pulau Samosir. Untuk penginapan sebaiknya anda memilih di Pulau Samosir daripada Parapat. Sebenarnya saya sudah memesan penginapan di Parapat, tetapi atas bujukan seorang teman yang memandu kami melalui BB, akhirnya kami menyerah dan memutuskan bermalam di Pulau Samosir padahal belum mendapatkan penginapan. Rencana awal adalah kami menginap di Parapat, lalu keesokan harinya berjalan-jalan ke Samosir, dan sorenya balik ke Parapat untuk kemudian ke Medan. Tetapi ternyata butuh transportasi untuk mengelilingi Samosir, dan setelah bernegosiasi dengan sopir travel, akhirnya kami menyewa mobil tersebut dengan biaya Rp 600.000 untuk 2 hari. Sebenarnya pak sopir yang lebih dulu menawarkan kepada kami, dan setelah mempertimbangkan segalanya, kami memutuskan untuk menyewa mobil saja, karena tidak mungkin berjalan-jalan di Samosir tanpa kendaraan.
Setelah sampai ke Parapat kami harus menunggu dulu untuk bisa menyeberang ke Samosir mengikuti jadwal kapal ferry yang ternyata tidak berangkat setiap jam. Jadwal penyeberangan adalah jam 9, 11, 13.00, dan 14.30 dari Parapat. Karena sampai di Parapat jam setengah 2, maka kami menunggu penyeberangan jam 14.30. Waktu tempuh penyeberangan sekitar 1 jam, dan sepanjang penyeberangan kami disuguhi keindahan danau Toba yang begitu luas, bahkan karena luasnya menurut saya sudah seperti laut. Penyeberangan dengan kapal ferry, kalau kita membawa mobil dikenakan biaya Rp 95.000, sudah termasuk orang-orang di dalamnya. Kami tiba di Pelabuhan Tomok, Samosir dan hal pertama yang kami lakukan adalah wisata budaya, yaitu melihat makam Raja Sidabutar, Sigale-gale – menyerupai muppet show yang bisa bergerak-gerak ketika gendang ditabuh, melihat rumah khas orang Batak, dan museum Batak. Dari pelabuhan ke wisata budaya ini sangat dekat, bisa ditempuh dengan berjalan kaki sekitar 5 – 10 menit. Kalau anda ingin mencari oleh-oleh seperti souvenir, kaos, gantungan kunci, tas, ulos, anda dapat membelinya di sini. Tetapi setelah melihat-lihat barang di kios-kios, saya jadi merasa seperti di Malioboro Jogja. Tampaknya barang kiriman dari sana, yang membuat saya urung membelinya. Hehehe.
Wisata budaya ini membutuhkan waktu sekitar 1,5 jam, dipandu oleh seorang pemandu yang menceritakan mengenai riwayat raja Sidabutar ataupun legenda kisah Sigale-gale. Di makam raja Sidabutar, anda bisa melihat patung-patung orang dari batu yang melambangkan cerita memanggil hujan dari langit. Dikisahkan bahwa Sang Raja Sidabutar adalah seorang yang sakti, sampai-sampai kehebatan sang raja mengundang Raja Aceh untuk berguru padanya. Saat berguru, raja Aceh membawa pula gajah-gajah untuk diserahkan kepada Raja Sidabutar. Kehebatan Raja Sidabutar diantaranya bisa memindahkan benda-benda tanpa memegangnya bahkan bisa memanggil hujan. Sehingga ketika musim kemarau dan rakyat membutuhkan hujan, maka dimulailah upacara dengan mengorbankan kerbau dan dikelilingi oleh penduduk. Setelah upacara selesai diadakan, tidak berapa lama hujan pun turun. Legenda Sigale-gale mengisahkan mengenai seorang anak raja yang pergi berperang tetapi gugur di medan perempuran. Karena takut membuat hati Ibunda bersedih, maka berita kematian tersebut tidak disampaikan kepada sang Ibu yang terus menunggu kedatangan putranya. Kemudian diundanglah seorang pematung yang membuat patung menyerupai sang anak lalu diberi roh agar patung tersebut tampak  hidup. Ibunda raja sangat senang dengan kedatangan anaknya, tetapi karena sang pematung telah berbuat tidak benar dengan menghidupkan patung tersebut maka Tuhan murka dan mencabut nyawa pematung sebagai ganti nyawa anak raja. Untuk melihat tarian Sigale-gale, anda dikenakan biaya Rp 80.000 sekali show. Tetapi kalau hanya berfoto, disediakan kotak sumbangan suka rela. Selain itu anda juga perlu menyiapkan tip untuk pemandu yang berkisar antara Rp 15.000 - Rp 20.000.
Pulau Samosir dibagi menjadi beberapa daerah diantaranya Tomok, Tuk Tuk, Ambarita, dan daerah lainnya. Pelabuhan terletak di daerah Tomok, demikian juga wisata budaya yang saya ceritakan. Di Tomok anda juga dapat melihat rumah khas orang Batak, dan museum Batak yang berisi benda-benda kuno, seperti perhiasan, senjata, tempat tidur, ulos, mata uang rupiah lama, dan lain-lain. Meskipun namanya museum, jangan membayangkannya sebagai sebuah bangunan yang megah, karena hanya berupa rumah adat biasa. Bahkan kami harus menyalakan lampu sendiri untuk bisa melihat-lihat isi rumah. Saat itu bahkan hanya ada dua orang anak kecil yang bermain bulutangkis di luar, dan merekalah yang kami tanya apakah boleh masuk ke dalam atau tidak. Tidak ada penjaga, hanya ada kotak sumbangan suka rela. Sayang sekali, seandainya dikelola secara profesional, pasti akan jauh lebih menarik dan mengundang wisatawan untuk datang.
Selesai dari Tomok, kami beranjak ke Tuk Tuk untuk mencari hotel Carolina. Mengikuti anjuran teman, hotel Carolina adalah “the most recommended hotel” di Samosir untuk bisa menikmati keindahan danau Toba. Di daerah Tuk Tuk banyak penginapan, termasuk guest house, dan sudah hal yang biasa kalau anda melihat turis asing sedang berjalan-jalan atau naik motor, karena memang banyak persewaaan motor di sana. Perjalanan dari Tomok ke Tuk Tuk hanya membutuhkan waktu sekitar 15 - 20 menit, tetapi mungkin karena keasyikan bercerita, sopir yang membawa kami kebablasan sampai ke Ambarita, daerah setelah Tuk Tuk. Tetapi itu tidak menjadi soal, karena justru kami menemukan taman doa Getsemane, dan menikmati pemandangan bukit, gunung, sawah, yang menghijau dan indah. Dari atas kami bisa melihat Danau Toba dan sejauh mata memandang yang terlihat adalah air yang tenang, kapal, dan hotel-hotel di tepi danau toba yang berjejer dengan rapi. Indah sekali!
Hotel Carolina, akhirnya kami sampai juga di hotel yang direkomendasikan teman-teman. Letaknya persis di tepi danau Toba, lokasinya strategis, dan kamarnya selalu terisi penuh. Kami beruntung masih bisa mendapatkan kamar. Menurut petugas di resepsionis, kamar-kamar di hotel tersebut tidak pernah kosong. Selain lokasinya yang bagus, harga kamarnya juga sangat murah. Untuk kamar yang standar, tanpa air hangat hanya dikenakan biaya Rp 90.000/malam. Untuk yang view danau, tarifnya Rp 145.000/malam, dengan air hangat tetapi tanpa kulkas. Sayang sekali kamar tersebut sudah penuh, dan kami mendapatkan kamar yang viewnya taman, dengan kulkas dan air hangat, tarif Rp 180.000/malam. Murah sekali!  Harga kamar belum termasuk sarapan pagi. Paket sarapan pagi sebesar Rp 30.000. Meskipun viewnya taman, tetapi jalan ke tepi danau sangat dekat, hanya membuthkan waktu beberapa detik. Suasana hotel sangat nyaman, teduh, dan kita bisa duduk-duduk di tepi danau menunggu matahari terbenam atau terbit karena disediakan kursi pantai yang cukup banyak. Kalau anda suka berenang, anda juga dapat menghabiskan waktu dengan berenang di tepi danau. Hal indah lainnya dari hotel ini adalah restorannya dengan view ke danau. Saya sampai terkagum-kagum dan ingin duduk berlama-lama menikmati pemandangan danau yang tenang dan biru. Sayang cuaca tidak telalu mendukung dan cenderung mendung, tetapi tidak mengurangi keindahannya. Pilihlah tempat duduk yang dekat tepi danau, dan selamat menikmati suasana yang ada. Kalau harga kamarnya murah, maka harga makanan di restoran terbilang mahal. Terinspirasi seorang teman yang mengatakan enak sekali makan indomie di tepi danau toba, maka kami berdua memesan indomie telur dengan harga Rp 25.000 per mangkok. Waooo...rasanya tidak masuk akal, tetapi itu lunas terbayar oleh keindahan danau Toba. Yang unik, hampir semua pengunjung adalah turis asing, dan hanya sedikit orang lokal, mungkin saja karena bulan puasa.  95% tamu hotel yang saya temui adalah turis asing yang menghabiskan waktu dengan membaca buku di tepi danau, duduk-duduk di cafe, ataupun berenang. Harus diakui, hotel ini menawarkan ketenangan diluar dari fasilitas kamar yang sangat biasa. Tetapi pemandangan dan ketenangan yang ditawarkan mampu memikat hati saya. Oh ya, anda tidak perlu menggunakan AC di sini, karena udara sudah dingin, dan kamar-kamar yang tersedia tidak ada yang menggunakan AC. Menikmati sunrise di tepi danau juga sangat mengasyikkan, meskipun matahari baru terlihat sekitar jam 6 lewat, dan tidak muncul secara penuh. Meskipun demikian cahaya kuning keemasan yang dipancarkan cukup membuat saya terkagum-kagum ketika mengambil gambarnya. Sungguh, danau Toba menawarkan kecantikannya. Sekali lagi sayangnya infrastruktur menuju Samosir dan danau Toba belum dibenahi secara optimal. Seandainya ditata seperti di Bali, bukan tidak mungkin danau Toba akan menjadi andalan pariwisata kita. Sebenarnya kami masih ingin melanjutkan perjalanan untuk naik ke bukit dan melihat danau Toba dari atas, sayang sekali hujan turun sangat deras dan kami harus mengurungkan niat itu. Jam 12 siang kami siap di pelabuhan Tomok untuk kembali ke Parapat, dan melanjutkan perjalanan balik ke Medan. Medan, I am back.....
Masih ada 2 tempat yang ingin saya kunjungi di Medan, yaitu rumah Tjong A Fie dan Gereja Imannuel. Tjong A Fie adalah seorang kaya Cina Medan di masa lalu, sangat berpengaruh, dan memiliki hubungan baik dengan Sultan. Almarhum adalah pendiri Bank Kesawan dan memberikan sumbangsih besar bagi pembangunan Masjid Raya, juga tempat ibadah lainnya seperti gereja.  Rumah Tjong A Fie terletak di Jl Kesawan, dekat restoran Tip Top dan masih terpelihara dengan baik. Tiket masuk Rp 35.000 per orang. Setelah saya melihat bagian dalam dan menikmati keindahan peninggalan masa lalu, saya menyadari bahwa Rp 35.000 menjadi sangat layak, karena anda akan mengikuti tur mengelilingi rumah selama lebih kurang 1 jam dan dijelaskan oleh seorang pemandu. Selain itu kondisi rumah sangat bersih dan terawat, menunjukkan pengelolaan yang baik. Menurut cerita pemandu, perawatan rumah tersebut dikelola sendiri karena tidak ada bantuan dari pemerintah. Keturunan Tjong A Fie masih tinggal juga di kompleks rumah tersebut di tempat terpisah. Anda bisa melihat benda-benda peninggalan Tjong A Fie, sejarahnya, foto-foto yang kaya akan nilai sejarah dan terawat dengan baik. Saya segera teringat kunjungan pertama ke Medan di Istana Maimun yang harga tiketnya murah, Rp 5.000 tetapi sayang, seperti kurang terawat. 
Selesai dari Tjong A Fie, perjalanan dilanjutkan ke Gereja Imannuel yang teletak di jalan Diponegoro, dan dibangun tahun 1926. Sebuah gereja tua, mengingatkan saya pada GPIB Imannuel di dekat Stasiun Gambir. Bedanya gereja ini lebih ramping, tidak seperti di Jakarta yang berbentuk bulat melingkar. Perjalanan ke Medan hampir selesai, ditutup dengan berbelanja oleh-oleh khas Medan yang terkenal yaitu bolu dan bika ambon. Kami segera bersiap untuk kembali ke Jakarta. Medan, a nice city. Toba, a very beautiful lake. Berharap suatu ketika saya bisa datang lagi ke sana, tetapi kapan?





Selamat Lebaran!


Selamat Lebaran! Selamat Hari Idul Fitri 1432 H! Dengan penuh suka cita saya menyampaikan selamat kepada saudara maupun teman-teman yang berlebaran hari ini maupun kemarin. Meskipun tidak merayakannya, tetapi saya merasa terlibat dalam kebahagiaan mereka yang muncul dari rasa syukur setelah melewati perjuangan puasa selama 30 hari.  Secara ritual, Lebaran adalah milik teman-teman Muslim, tetapi secara perayaan sebenarnya Lebaran sudah menjadi milik bersama. Bukan melulu Hari Raya keagamaan, tetapi seakan-akan sudah menjadi budaya! Bayangkan, tidak ada libur terlama selain Lebaran. Tidak ada proses perpindahan masyarakat sementara dari satu kota ke kota lain yang luar biasa padat kecuali Lebaran. Tidak ada juga tuan dan nyonya rumah yang harus bekerja keras mengerjakan pekerjaan rumah tangga karena pembantu pulang kampung untuk berlebaran. Sungguh, Lebaran menjadi momen dimana semua anak bangsa seperti terlibat, berbaur dalam kebahagiaan.
Lebaran identik dengan mudik, ketupat, dan silaturahmi. Karena cuti libur yang lama, Lebaran sering dimanfaatkan oleh para perantau untuk kembali ke kampung halaman, bahkan bagi mereka yang tidak merayakannya. Kepadatan arus lalu lintas, penat di perjalanan, seakan sirna begitu bertemu dengan keluarga di daerah asal. Terus terang, saya bukanlah orang yang suka bercapek-capek melalui jalan darat untuk ikut pulang kampung saat lebaran dan memang tidak tertarik sama sekali. Mungkin karena saya single fighter, jadi tidak berpikir panjang dan lebih memilih menggunakan jasa penerbangan yang cepat dan praktis. Meskipun frase “cepat dan praktis” di sini masih bisa diperdebatkan, karena teman saya dari Batam harus menunggu 9 jam di bandara Jakarta untuk penerbangan lanjutan ke Jogja. Enam jam waktu transit, dan 3 jam delay!  Tetapi untuk keluarga besar, membawa mobil adalah pilihan terbaik karena bisa mengangkut seluruh anggota keluarga berikut oleh-oleh yang begitu banyak yang sudah dipersiapkan. Bahkan secara ekstrim dikatakan, kalau siap mudik berarti siap macet dan bersusah payah. Kalau tidak capek, itu belum sah dikatakan mudik. Seorang teman yang terbiasa naik pesawat dan baru pertama kali ikut mudik ke Semarang dengan naik bus dalam rangka mudik bersama, berkali-kali memasang status penuh penyesalan di blackberry nya. Mulai dari kapok, cukup sekali, pinggang pegal, badan rontok, dan sejenisnya. Tertarik untuk menghibur saya segera mengirim pesan singkat melalui bbm, yang mengatakan kalau itulah seni-nya mudik. Kalau badan tidak remuk dan pegal-pegal, belum sah disebut mudik. Indahnya mudik justru terletak di kemacetannya (mmm kalau ini bisa-bisanya saya saja, hehehe). Bayangkan saja yang indah-indah seperti tempat tujuan, bertemu dengan saudara, kegembiraaan yang merekah, pasti mudik akan menjadi sesuatu yang nikmat.  Lain lagi cerita seorang teman yang mudik ke daerah Sumatra. Dari waktu tempuh yang biasa 12 jam, menjadi 24 jam. Bayangkan, naik 2 kali lipat! Untuk menyeberang selat Sunda saja harus antri masuk kapal selama 5 jam. Belum perjalanannya yang macet, kurang tidur, dan menghabiskan waktu di jalan. Kalau tidak tahan, kondisi fisik bisa drop. Teman saya sampai mengatakan pantatnya sudah rata bahkan tidak ada lagi, karena terlalu lama duduk di mobil. Tetapi itulah seni-nya mudik. Mudik lebaran, adalah sebuah fenomena yang luar biasa, ketika orang rela bersusah payah menempuh perjalanan, bukan hanya dengan mobil tetapi juga motor, demi sebuah tujuan, bertemu keluarga di kampung halaman dan merayakan Lebaran bersama.
Lain mudik, lain ketupat. Ini adalah menu wajib merayakan lebaran. Kalau disurvey, ketupat pasti menduduki peringkat tertinggi dalam daftar masakan yang disediakan oleh Ibu-ibu di rumah. Makanya saya bisa membayangkan ketika Pemerintah mengumumkan bahwa Lebaran mundur satu hari, Ibu-Ibu yang sudah mempersiapkan dan memasak ketupat mungkin ada perasaan kecewa. Sebagai seorang perantau yang belum tentu pulang kampung saat libur lebaran, saya sudah lama tidak merasakan ketupat. Kecuali hari ini ketika bertandang ke rumah teman dan dijamu dengan ketupat, sayur pepaya, sambal goreng hati dan semur daging, yang membuat saya tidak malu-malu untuk menambah makan. Rasa ewuh pakewuh sebagai orang Jawa seakan hilang, karena sedapnya sajian ketupat yang menggugah selera. Maklum, beberapa hari menjelang Lebaran, menu makanan saya sebagian besar adalah fast food dan masakan mall yang terkadang rasanya tidak cocok di lidah maupun di kantong. Hehehe.
Lebaran membawa saya ke ingatan masa kecil.  Meskipun tidak merayakan lebaran, almarhum Ibu dan Nenek selalu memasak setiap hari raya tiba. Dari makanan kecil seperti wajik, jadah, emping, kacang, sampai makanan berat seperti ketupat, sambal goreng, dan teman-temannya. Saya juga heran, tidak merayakan tetapi ikut mempersiapkan. Waktu itu almarhum Ibu menjelaskan bahwa ada banyak tamu yang berkunjung di hari Lebaran, karena itu makanan tetap harus dipersiapkan. Maklum, almarhum Nenek adalah orang yang dituakan di kampung dan semua orang pasti datang ke rumah untuk bersilaturahmi. Hal yang menarik yang terus saya ingat sampai sekarang, tetangga-tetangga yang datang memiliki tradisi “sungkem” kepada Nenek dan Ibu. Jadi bukan hanya datang untuk bersalam-salaman, bermaaf-maafan, tetapi lebih dari itu. Sungkem adalah istilah sujud kepada orang yang lebih tua, memohon maaf atas segala kesalahan dan mohon doa restu. Tanpa mengecilkan arti kebudayaan daerah lain, saya merasakan tradisi Jawa yang sangat kental, dan bahwa orang Jawa hidup dalam rasa hormat yang besar kepada orang yang lebih tua. Saya tidak tahu apakah saat ini tradisi tersebut masih berjalan, karena saya sudah tidak pernah pulang kampung lagi di saat Lebaran.
Menjalin silaturahmi dan bermaaf-maafan juga menjadi ciri khas Lebaran. Bahwa setiap orang membutuhkan orang lain, dan kita hidup dalam sebuah keluarga besar. Saya ingat ketika masih kecil sayapun ikut keliling kampung bersalam-salaman, tanpa tahu makna di balik itu semua. Tentu saja hanya ikut-ikutan teman, apalagi setelah selesai berkeliling kantong saya penuh uang hasil pemberian orang-orang yang lebih tua. Tinggal saya sibuk menghitung berapa banyak uang yang saya dapatkan dan akan saya belikan apa. Hahaha. Biasanya saya akan membeli minuman “mewah” menurut saya saat itu seperti Coca Cola, Sprite, Fanta, atau 7up (Seven Up).
Semua kenangan ini membawa saya ke masa Lebaran sekitar 25 tahun silam. Sampai sekarangpun, ciri khas Lebaran tidak pernah berubah. Mudik, ketupat, silaturahmi. Saling bermaafan, dan mulai lagi dari nol. Seperti sebuah kertas yang kembali putih bersih, dan siap untuk ditulisi di hari-hari berikutnya. Seperti istilah “hidup baru” dalam kepercayaan saya yang menggambarkan pertobatan dan kemauan untuk berubah meninggalkan hal-hal lama yang membelenggu dan berjalan di jalanNya.
Selamat Lebaran teman, semoga Lebaran kali ini memberi makna yang lebih dalam. Bukan sekedar mudik, ketupat, silaturahmi, ataupun baju baru, tetapi hati yang baru, yang membuat kita semakin bersemangat untuk berkarya dan melayani di dunia ini. Perjuangan 30 hari berpuasa adalah bukti bahwa teman-teman memiliki kekuatan luar biasa yang datang dari Sang Pencipta. Selamat bersuka cita, mohon maaf lahir dan batin!

Tuesday, August 30, 2011

catatan dari Medan (bagian 1)


Ini catatan perjalanan saya pertengahan Agustus kemarin yang akhirnya berhasil saya tuliskan, mengatasi kesibukan kantor dan tentu saja, kemalasan diri sendiri. Ternyata benar, hal yang paling sulit adalah memaksa diri untuk mengambil sebuah tindakan nyata, paling tidak itu yang saya rasakan 1 minggu terakhir ini. Sebenarnya begitu balik ke Jakarta saya ingin segera menuliskannya, tetapi program kejar tayang modul training yang harus diselesaikan menjelang lebaran membuat saya berhenti sebentar. Sayangnya setelah itu otak saya terprogram untuk masuk dalam suasana libur panjang lebaran, sehingga semakin susah mengaktifkannya. Perlu perjuangan keras dan niat yang kuat, sampai-sampai saya harus melihat lagi foto-foto di Medan untuk membangkitkan sel-sel memori di otak saya, hehehe. Perjalanan saya kali ini berjudul “Menikmati Indonesia”, terinspirasi oleh tayangan iklan di televisi yang memotret indahnya alam negeri ini. Meskipun begitu bukan berarti saya sengaja berangkat tepat di hari kemerdekaan, 17 Agustus. Itu lebih karena pertimbangan cuti saja yang disetujui di tanggal 18 dan 19 Agustus, sehingga saya memiliki rentang hari libur yang cukup panjang. Bersama seorang teman, saya memulai perjalanan menuju tempat yang belum pernah saya singgahi, yang memacu adrenalin saya untuk segera sampai ke sana.
Medan, akhirnya sampai juga saya di kota ini setelah menempuh perjalanan 2 jam dari Jakarta dengan pesawat. Ini pertama kali saya datang ke Medan, padahal sudah berapa banyak kota besar di Indonesia yang berkali-kali saya kunjungi, tetapi Medan belum tersentuh sama sekali. Sepertinya memang tidak perlu menunggu tugas kantor untuk datang ke kota ini, hehehe. Begitu mendarat di bandara Polonia, saya sedikit kaget dengan kondisi bandara. Sejujurnya saya membayangkan bandara yang besar, megah, karena bagaimanapun juga Medan adalah salah satu kota terbesar di Indonesia. Tetapi bandara yang ada menurut saya sudah tidak layak untuk menjadi bandara ibu kota propinsi, bahkan kalah jauh dari bandara Adi Sumarmo Solo, yang hanya sebuah kotamadya. Bandara Polonia mengingatkan saya pada bandara di Jambi atau Lampung yang tergolong kecil. Tetapi menurut seorang teman yang tinggal di sana, saat ini Medan sedang membangun sebuah bandara baru yang terletak di luar kota, tidak seperti bandara sekarang yang berada di dalam kota. Oh ya, kami beruntung karena kedatangan kami dijemput seorang teman, sehingga tidak terlalu pusing mencari taksi yang katanya jarang menggunakan argo tetapi borongan sehingga harus pintar-pintar memilih. Berbicara mengenai transportasi di Medan, teman saya menjelaskan kalau menggunakan kendaraan umum, entah itu taksi atau bentor (becak motor), kita harus memasang tampang galak sehingga mereka tidak berani mempermainkan, karena kalau terkesan bengong dan takut-takut pasti akan ditembak dengan harga yang tinggi. Saya berpikir, kalau wajah bengong tentu tidak akan saya lakukan, tetapi tampang galak sepertinya sulit untuk saya ikuti, karena sebagai orang Solo asli, saya terlahir dengan wajah yang lembut dan tutur kata halus. Hahaha. Tetapi ternyata saran tersebut tidak terbukti, karena ketika saya pergi ke beberapa tempat dengan menggunakan taksi atau bentor, semua berjalan lancar. Tipsnya kalau naik taksi pilihlah yang menggunakan argo seperti Bluebird atau Express, tetapi kalau terpaksa tidak ada, taksi borongan di Medan bertarif Rp 25.000 sekali jalan. Kalau kebetulan jaraknya jauh masih lumayan, tetapi kalau jaraknya dekat rugi juga. Kalau memesan taksi Bluebird atau Express ke operator, kita tetap akan kena charge Rp 25.000 meskipun argonya tidak sampai segitu, kecuali kalau kita mencari taksi di pinggir jalan. Jadi sebenarnya sama saja  dengan Jakarta. Lalu bagaimana dengan bentor? Pintar-pintar saja menawar. Kalau tidak berhasil mendapatkan harga yang sesuai dengan yang kita inginkan jangan kuatir, karena banyak bentor berlalu lalang. Setidaknya kita sudah mendapatkan harga minimal sebagai patokan untuk menawar bentor yang lain.
Seperti kota tropis lainnya, cuaca Medan juga sangat panas. Tetapi menurut informasi yang kami dapat, meskipun siang hari panas, sore hari biasanya hujan. Dari bandara kami berdua mampir sebentar di rumah teman, lalu melaju ke hotel yang sudah saya pesan sebelumnya yaitu My Dream Hotel di Jalan Surabaya. Selama ini saya selalu menggunakan jasa pemesanan melalui internet sehingga sejujurnya bagaimana lokasi dan suasana hotel saya belum tahu, karena pilihan hotel hanya berdasarkan rekomendasi pengguna di internet dan tentu saja harga. Maklum semi backpacker, sehingga harus pandai-pandai memilih tempat menginap yang bagus dengan harga terjangkau. Tetapi ternyata hotel tersebut melebihi ekspektasi saya terutama lokasinya yang tepat berada di depan Jalan Selat Panjang, sebuah lokasi kuliner yang memang sudah menjadi pilihan untuk didatangi. Suasana hotel nyaman, cozy, tenang, baik di lobby, cafe, maupun kamar. Hotel ini menawarkan konsep minimalis yang mengingatkan saya pada hotel Amaris. Bagi saya dengan harga di kisaran 300 ribuan, hotel ini sangat menarik untuk dipilih sebagai tempat menginap ketika tinggal di Medan, kecuali kalau kita pergi untuk tugas kantor. Pasti memilih yang lebih mentereng, hehehe.
Setelah check in, kami menikmati makan siang bakmi khek di daerah Selat Panjang. Enak dan cukup menggugah selera dengan harga sekitar Rp 25.000/porsi. Setelah menikmati santap siang, tujuan pertama kami adalah Istana Maimun, yang merupakan Istana tempat peninggalan Sultan Deli dan dibangun di tahun 1888. Seperti kraton kalau di Solo atau Jogja. Istana Maimun terletak di Jl Brigjen Katamso Medan. Di dalam kompleks Istana tersebut masih ada bangunan rumah yang didiami oleh keturunan Sultan. Kami menuju ke sana dengan naik bentor, dengan biaya Rp 10.000. Karena belum tahu tempatnya kami tidak menawar lagi, selain itu sebelum berangkat pihak hotel memberi ancar-ancar harga naik bentor ke istana Maimun sekitar Rp 10.000 – 15.000. Jadi bagi kami harga itu sudah batas terendah. Ternyata lokasinya dekat dengan hotel tempat kami menginap. Wah, sayang juga tidak menawar, padahal prinsip pertama ketika menggunakan bentor adalah: tawar. Tetapi sudahlah, hitung-hitung memberikan rejeki kepada penarik bentor tersebut.
Bangunan Istana Maimun dibagi menjadi 3 lokasi, yaitu di bagian tengah, samping kanan, dan samping kiri. Tiket masuknya Rp 5.000 per orang. Murah, meriah. Sayangnya menurut saya kondisi istana tersebut kurang terawat, sehingga sebuah istana yang seharusnya menarik dan menjadi tujuan wisata terasa biasa-biasa saja. Desain istana tersebut khas Melayu Muslim, dengan atap berbentuk kubah menyerupai Masjid. Selain itu bisa dilihat foto-foto keluarga sultan, perabot rumah tangga, kursi kesultanan, desain langit-langit yang unik, dan lampu hias yang indah. Istana Maimun memiliki hubungan dengan Masjid Raya Medan, bahkan kabarnya memiliki lorong bawah tanah yang menghubungkannya dengan Masjid Raya. Ketika saya datang ke sana, ada juga pengunjung lain tetapi tidak terlalu banyak. Sebenarnya bangunan ini adalah peninggalan budaya yang indah dan sangat menjual sebagai objek pariwisata kota Medan. Sayangnya belum terlalu disentuh sehingga kesannya hanya seperti mendatangi sebuah bangunan peninggalan zaman dahulu, bukan sebuah Istana!
Dari Istana Maimun perjalanan dilanjutkan ke jalan Kesawan karena kami ingin merasakan sensasi restoran lama yang katanya terkenal di Medan yaitu Tip Top. Dari istana Maimun ke Tip Top cukup dekat, hanya membutuhkan biaya Rp 6.000 dengan naik bentor. Restoran ini sudah ada sejak zaman Belanda dan terkenal dengan kelezatan es krimnya. Memasuki jalan Kesawan seperti berjalan di Kota Toea jakarta, dengan bangunan-bangunan peninggalan Belanda. Meskipun bulan puasa, restoran tersebut penuh dengan pengunjung yang sebagian besar adalah etnis Tionghoa. Dalam suasana bangunan tempoe doeloe kami menyantap semangkuk es krim, sungguh nikmat! Di dekat restoran Tip Top, terletak rumah orang kaya Cina Medan zaman dahulu kala yaitu Tjong A Fie, sayangnya karena waktu sudah agak sore kami belum sempat mengunjunginya.
Karena sudah sore, kami balik ke hotel, kali ini pilihannya adalah berjalan kaki. Selain ingin menikmati jalan-jalan sore di Medan, ternyata jarak ke hotel tidak terlalu jauh, paling tidak itu dari hasil pengamatan kami.  Dengan demikian kami menghabiskan sore itu dengan berjalan kaki menuju hotel, sambil menikmati pemandangan kota Medan dan terkadang menghentikan langkah untuk mengambil gambar momen-momen indah seperti sinar matahari yang mulai terlihat redup. Sangat menawan!
Malam harinya adalah saat berburu kuliner di Selat Panjang. Pilihan makanan sangat beragam, mulai dari yang haram sampai yang halal. Mie pangsit, bubur ayam, kweetiau goreng, bihun kuah, nasi ayam hainam, babi kecap, bakpao, dan lain-lain. Tetapi kalau mencari makanan yang halal, ada pilihan lain yaitu di Merdeka Walk, yang menyajikan beragam pilihan. Merdeka walk adalah tempat nongkrongnya anak muda Medan, dengan aneka pilihan makanan dan minuman yang lebih “modern” dan “aman” dibandingkan Selat Panjang. Dari Selat Panjang ke Merdeka Walk kami naik bentor Rp 10.000. Merdeka Walk terletak di pusat kota Medan, berdekatan dengan Bank Indonesia, Kantor Pos Medan, dan ditata sebagai sebuah kawasan yang asyik untuk berjalan-jalan dan hang out. Tetapi kalau mau merasakan masakan Medan khas Tionghoa, pilihan tetap jatuh di Selat Panjang.
Setelah Merdeka Walk, perjalanan kami lanjutkan ke Masjid Raya yang menggelar Festival Ramadhan di Jalan Ringroad Medan. Festival ini diadakan setahun sekali pada bulan Ramadhan, mirip sekaten kalau di Jogja atau Solo. Kalau Selat Panjang dekat dengan etnis Tionghoa, sedangkan Merdeka Walk khas sentuhan anak muda Medan, maka Festival Ramadhan lebih ke arah etnis melayu, pesta rakyat dengan berbagai permainan, makanan, busana, dan beragam lainnya. Benar-benar mirip sekaten di alun-alun Solo yang dulu sering saya datangi ketika masih kanak-kanak. Sebenarnya saya tidak bermaksud membeli sesuatu, tetapi lebih pada keinginan untuk mengetahui tempat-tempat wisata Medan yang saya baca sebelum berangkat ke kota ini sekaligus mengambil gambar Masjid Raya yang megah itu. Setelah berkeliling, kami kembali ke hotel dengan tetap menggunakan bentor (kendaraan favorit nih) dan melewati jalan yang juga penuh dengan wisata kuliner yaitu Jalan Semarang. Sayangnya karena sudah malam dan perut kenyang kami tidak berhenti lagi.
 Seharian yang cukup lengkap di kota Medan. Setidaknya banyak hal bisa saya dapatkan, mulai dari Istana Maimun, restoran Tip Top, Jalan Kesawan, Selat panjang, Merdeka Walk, Masjid Raya, dan Festival Ramadahan. Masih ada beberapa tempat yang ingin saya singgahi yaitu rumah Tjong A Fie dan Gereja Immanuel. Tetapi karena malam telah larut, rasanya pencarian saya harus dihentikan dulu, karena besok paginya saya akan memulai perjalanan yang tidak kalah asyiknya, yaitu ke Parapat, Danau Toba.
Menyaksikan beragam keindahan kota Medan dan kenikmatan kulinernya membuat saya menyadari bangsa ini sangat beragam. Dan sungguh, saya berbahagia bisa mengunjungi kota ini, salah satu kota yang menawarkan wisata budaya sekaligus kuliner yang menggoda. Ingatan saya segera terbang ke Jogja dan Solo, dua buah kota yang juga selalu menarik untuk dikunjungi. Bedanya kedua kota tersebut kental dengan suasana Jawa, sedangkan Medan menawarkan sesuatu yang lebih plural, mulai dari budaya Melayu, Batak, sampai Tionghoa. Perjalanan menyusuri Medan harus terhenti sejenak karena esok harinya kami akan berangkat ke Toba. Lake Toba, I am coming......