Tuesday, August 30, 2011

catatan dari Medan (bagian 1)


Ini catatan perjalanan saya pertengahan Agustus kemarin yang akhirnya berhasil saya tuliskan, mengatasi kesibukan kantor dan tentu saja, kemalasan diri sendiri. Ternyata benar, hal yang paling sulit adalah memaksa diri untuk mengambil sebuah tindakan nyata, paling tidak itu yang saya rasakan 1 minggu terakhir ini. Sebenarnya begitu balik ke Jakarta saya ingin segera menuliskannya, tetapi program kejar tayang modul training yang harus diselesaikan menjelang lebaran membuat saya berhenti sebentar. Sayangnya setelah itu otak saya terprogram untuk masuk dalam suasana libur panjang lebaran, sehingga semakin susah mengaktifkannya. Perlu perjuangan keras dan niat yang kuat, sampai-sampai saya harus melihat lagi foto-foto di Medan untuk membangkitkan sel-sel memori di otak saya, hehehe. Perjalanan saya kali ini berjudul “Menikmati Indonesia”, terinspirasi oleh tayangan iklan di televisi yang memotret indahnya alam negeri ini. Meskipun begitu bukan berarti saya sengaja berangkat tepat di hari kemerdekaan, 17 Agustus. Itu lebih karena pertimbangan cuti saja yang disetujui di tanggal 18 dan 19 Agustus, sehingga saya memiliki rentang hari libur yang cukup panjang. Bersama seorang teman, saya memulai perjalanan menuju tempat yang belum pernah saya singgahi, yang memacu adrenalin saya untuk segera sampai ke sana.
Medan, akhirnya sampai juga saya di kota ini setelah menempuh perjalanan 2 jam dari Jakarta dengan pesawat. Ini pertama kali saya datang ke Medan, padahal sudah berapa banyak kota besar di Indonesia yang berkali-kali saya kunjungi, tetapi Medan belum tersentuh sama sekali. Sepertinya memang tidak perlu menunggu tugas kantor untuk datang ke kota ini, hehehe. Begitu mendarat di bandara Polonia, saya sedikit kaget dengan kondisi bandara. Sejujurnya saya membayangkan bandara yang besar, megah, karena bagaimanapun juga Medan adalah salah satu kota terbesar di Indonesia. Tetapi bandara yang ada menurut saya sudah tidak layak untuk menjadi bandara ibu kota propinsi, bahkan kalah jauh dari bandara Adi Sumarmo Solo, yang hanya sebuah kotamadya. Bandara Polonia mengingatkan saya pada bandara di Jambi atau Lampung yang tergolong kecil. Tetapi menurut seorang teman yang tinggal di sana, saat ini Medan sedang membangun sebuah bandara baru yang terletak di luar kota, tidak seperti bandara sekarang yang berada di dalam kota. Oh ya, kami beruntung karena kedatangan kami dijemput seorang teman, sehingga tidak terlalu pusing mencari taksi yang katanya jarang menggunakan argo tetapi borongan sehingga harus pintar-pintar memilih. Berbicara mengenai transportasi di Medan, teman saya menjelaskan kalau menggunakan kendaraan umum, entah itu taksi atau bentor (becak motor), kita harus memasang tampang galak sehingga mereka tidak berani mempermainkan, karena kalau terkesan bengong dan takut-takut pasti akan ditembak dengan harga yang tinggi. Saya berpikir, kalau wajah bengong tentu tidak akan saya lakukan, tetapi tampang galak sepertinya sulit untuk saya ikuti, karena sebagai orang Solo asli, saya terlahir dengan wajah yang lembut dan tutur kata halus. Hahaha. Tetapi ternyata saran tersebut tidak terbukti, karena ketika saya pergi ke beberapa tempat dengan menggunakan taksi atau bentor, semua berjalan lancar. Tipsnya kalau naik taksi pilihlah yang menggunakan argo seperti Bluebird atau Express, tetapi kalau terpaksa tidak ada, taksi borongan di Medan bertarif Rp 25.000 sekali jalan. Kalau kebetulan jaraknya jauh masih lumayan, tetapi kalau jaraknya dekat rugi juga. Kalau memesan taksi Bluebird atau Express ke operator, kita tetap akan kena charge Rp 25.000 meskipun argonya tidak sampai segitu, kecuali kalau kita mencari taksi di pinggir jalan. Jadi sebenarnya sama saja  dengan Jakarta. Lalu bagaimana dengan bentor? Pintar-pintar saja menawar. Kalau tidak berhasil mendapatkan harga yang sesuai dengan yang kita inginkan jangan kuatir, karena banyak bentor berlalu lalang. Setidaknya kita sudah mendapatkan harga minimal sebagai patokan untuk menawar bentor yang lain.
Seperti kota tropis lainnya, cuaca Medan juga sangat panas. Tetapi menurut informasi yang kami dapat, meskipun siang hari panas, sore hari biasanya hujan. Dari bandara kami berdua mampir sebentar di rumah teman, lalu melaju ke hotel yang sudah saya pesan sebelumnya yaitu My Dream Hotel di Jalan Surabaya. Selama ini saya selalu menggunakan jasa pemesanan melalui internet sehingga sejujurnya bagaimana lokasi dan suasana hotel saya belum tahu, karena pilihan hotel hanya berdasarkan rekomendasi pengguna di internet dan tentu saja harga. Maklum semi backpacker, sehingga harus pandai-pandai memilih tempat menginap yang bagus dengan harga terjangkau. Tetapi ternyata hotel tersebut melebihi ekspektasi saya terutama lokasinya yang tepat berada di depan Jalan Selat Panjang, sebuah lokasi kuliner yang memang sudah menjadi pilihan untuk didatangi. Suasana hotel nyaman, cozy, tenang, baik di lobby, cafe, maupun kamar. Hotel ini menawarkan konsep minimalis yang mengingatkan saya pada hotel Amaris. Bagi saya dengan harga di kisaran 300 ribuan, hotel ini sangat menarik untuk dipilih sebagai tempat menginap ketika tinggal di Medan, kecuali kalau kita pergi untuk tugas kantor. Pasti memilih yang lebih mentereng, hehehe.
Setelah check in, kami menikmati makan siang bakmi khek di daerah Selat Panjang. Enak dan cukup menggugah selera dengan harga sekitar Rp 25.000/porsi. Setelah menikmati santap siang, tujuan pertama kami adalah Istana Maimun, yang merupakan Istana tempat peninggalan Sultan Deli dan dibangun di tahun 1888. Seperti kraton kalau di Solo atau Jogja. Istana Maimun terletak di Jl Brigjen Katamso Medan. Di dalam kompleks Istana tersebut masih ada bangunan rumah yang didiami oleh keturunan Sultan. Kami menuju ke sana dengan naik bentor, dengan biaya Rp 10.000. Karena belum tahu tempatnya kami tidak menawar lagi, selain itu sebelum berangkat pihak hotel memberi ancar-ancar harga naik bentor ke istana Maimun sekitar Rp 10.000 – 15.000. Jadi bagi kami harga itu sudah batas terendah. Ternyata lokasinya dekat dengan hotel tempat kami menginap. Wah, sayang juga tidak menawar, padahal prinsip pertama ketika menggunakan bentor adalah: tawar. Tetapi sudahlah, hitung-hitung memberikan rejeki kepada penarik bentor tersebut.
Bangunan Istana Maimun dibagi menjadi 3 lokasi, yaitu di bagian tengah, samping kanan, dan samping kiri. Tiket masuknya Rp 5.000 per orang. Murah, meriah. Sayangnya menurut saya kondisi istana tersebut kurang terawat, sehingga sebuah istana yang seharusnya menarik dan menjadi tujuan wisata terasa biasa-biasa saja. Desain istana tersebut khas Melayu Muslim, dengan atap berbentuk kubah menyerupai Masjid. Selain itu bisa dilihat foto-foto keluarga sultan, perabot rumah tangga, kursi kesultanan, desain langit-langit yang unik, dan lampu hias yang indah. Istana Maimun memiliki hubungan dengan Masjid Raya Medan, bahkan kabarnya memiliki lorong bawah tanah yang menghubungkannya dengan Masjid Raya. Ketika saya datang ke sana, ada juga pengunjung lain tetapi tidak terlalu banyak. Sebenarnya bangunan ini adalah peninggalan budaya yang indah dan sangat menjual sebagai objek pariwisata kota Medan. Sayangnya belum terlalu disentuh sehingga kesannya hanya seperti mendatangi sebuah bangunan peninggalan zaman dahulu, bukan sebuah Istana!
Dari Istana Maimun perjalanan dilanjutkan ke jalan Kesawan karena kami ingin merasakan sensasi restoran lama yang katanya terkenal di Medan yaitu Tip Top. Dari istana Maimun ke Tip Top cukup dekat, hanya membutuhkan biaya Rp 6.000 dengan naik bentor. Restoran ini sudah ada sejak zaman Belanda dan terkenal dengan kelezatan es krimnya. Memasuki jalan Kesawan seperti berjalan di Kota Toea jakarta, dengan bangunan-bangunan peninggalan Belanda. Meskipun bulan puasa, restoran tersebut penuh dengan pengunjung yang sebagian besar adalah etnis Tionghoa. Dalam suasana bangunan tempoe doeloe kami menyantap semangkuk es krim, sungguh nikmat! Di dekat restoran Tip Top, terletak rumah orang kaya Cina Medan zaman dahulu kala yaitu Tjong A Fie, sayangnya karena waktu sudah agak sore kami belum sempat mengunjunginya.
Karena sudah sore, kami balik ke hotel, kali ini pilihannya adalah berjalan kaki. Selain ingin menikmati jalan-jalan sore di Medan, ternyata jarak ke hotel tidak terlalu jauh, paling tidak itu dari hasil pengamatan kami.  Dengan demikian kami menghabiskan sore itu dengan berjalan kaki menuju hotel, sambil menikmati pemandangan kota Medan dan terkadang menghentikan langkah untuk mengambil gambar momen-momen indah seperti sinar matahari yang mulai terlihat redup. Sangat menawan!
Malam harinya adalah saat berburu kuliner di Selat Panjang. Pilihan makanan sangat beragam, mulai dari yang haram sampai yang halal. Mie pangsit, bubur ayam, kweetiau goreng, bihun kuah, nasi ayam hainam, babi kecap, bakpao, dan lain-lain. Tetapi kalau mencari makanan yang halal, ada pilihan lain yaitu di Merdeka Walk, yang menyajikan beragam pilihan. Merdeka walk adalah tempat nongkrongnya anak muda Medan, dengan aneka pilihan makanan dan minuman yang lebih “modern” dan “aman” dibandingkan Selat Panjang. Dari Selat Panjang ke Merdeka Walk kami naik bentor Rp 10.000. Merdeka Walk terletak di pusat kota Medan, berdekatan dengan Bank Indonesia, Kantor Pos Medan, dan ditata sebagai sebuah kawasan yang asyik untuk berjalan-jalan dan hang out. Tetapi kalau mau merasakan masakan Medan khas Tionghoa, pilihan tetap jatuh di Selat Panjang.
Setelah Merdeka Walk, perjalanan kami lanjutkan ke Masjid Raya yang menggelar Festival Ramadhan di Jalan Ringroad Medan. Festival ini diadakan setahun sekali pada bulan Ramadhan, mirip sekaten kalau di Jogja atau Solo. Kalau Selat Panjang dekat dengan etnis Tionghoa, sedangkan Merdeka Walk khas sentuhan anak muda Medan, maka Festival Ramadhan lebih ke arah etnis melayu, pesta rakyat dengan berbagai permainan, makanan, busana, dan beragam lainnya. Benar-benar mirip sekaten di alun-alun Solo yang dulu sering saya datangi ketika masih kanak-kanak. Sebenarnya saya tidak bermaksud membeli sesuatu, tetapi lebih pada keinginan untuk mengetahui tempat-tempat wisata Medan yang saya baca sebelum berangkat ke kota ini sekaligus mengambil gambar Masjid Raya yang megah itu. Setelah berkeliling, kami kembali ke hotel dengan tetap menggunakan bentor (kendaraan favorit nih) dan melewati jalan yang juga penuh dengan wisata kuliner yaitu Jalan Semarang. Sayangnya karena sudah malam dan perut kenyang kami tidak berhenti lagi.
 Seharian yang cukup lengkap di kota Medan. Setidaknya banyak hal bisa saya dapatkan, mulai dari Istana Maimun, restoran Tip Top, Jalan Kesawan, Selat panjang, Merdeka Walk, Masjid Raya, dan Festival Ramadahan. Masih ada beberapa tempat yang ingin saya singgahi yaitu rumah Tjong A Fie dan Gereja Immanuel. Tetapi karena malam telah larut, rasanya pencarian saya harus dihentikan dulu, karena besok paginya saya akan memulai perjalanan yang tidak kalah asyiknya, yaitu ke Parapat, Danau Toba.
Menyaksikan beragam keindahan kota Medan dan kenikmatan kulinernya membuat saya menyadari bangsa ini sangat beragam. Dan sungguh, saya berbahagia bisa mengunjungi kota ini, salah satu kota yang menawarkan wisata budaya sekaligus kuliner yang menggoda. Ingatan saya segera terbang ke Jogja dan Solo, dua buah kota yang juga selalu menarik untuk dikunjungi. Bedanya kedua kota tersebut kental dengan suasana Jawa, sedangkan Medan menawarkan sesuatu yang lebih plural, mulai dari budaya Melayu, Batak, sampai Tionghoa. Perjalanan menyusuri Medan harus terhenti sejenak karena esok harinya kami akan berangkat ke Toba. Lake Toba, I am coming......


















No comments:

Post a Comment