Wednesday, August 31, 2011

Selamat Lebaran!


Selamat Lebaran! Selamat Hari Idul Fitri 1432 H! Dengan penuh suka cita saya menyampaikan selamat kepada saudara maupun teman-teman yang berlebaran hari ini maupun kemarin. Meskipun tidak merayakannya, tetapi saya merasa terlibat dalam kebahagiaan mereka yang muncul dari rasa syukur setelah melewati perjuangan puasa selama 30 hari.  Secara ritual, Lebaran adalah milik teman-teman Muslim, tetapi secara perayaan sebenarnya Lebaran sudah menjadi milik bersama. Bukan melulu Hari Raya keagamaan, tetapi seakan-akan sudah menjadi budaya! Bayangkan, tidak ada libur terlama selain Lebaran. Tidak ada proses perpindahan masyarakat sementara dari satu kota ke kota lain yang luar biasa padat kecuali Lebaran. Tidak ada juga tuan dan nyonya rumah yang harus bekerja keras mengerjakan pekerjaan rumah tangga karena pembantu pulang kampung untuk berlebaran. Sungguh, Lebaran menjadi momen dimana semua anak bangsa seperti terlibat, berbaur dalam kebahagiaan.
Lebaran identik dengan mudik, ketupat, dan silaturahmi. Karena cuti libur yang lama, Lebaran sering dimanfaatkan oleh para perantau untuk kembali ke kampung halaman, bahkan bagi mereka yang tidak merayakannya. Kepadatan arus lalu lintas, penat di perjalanan, seakan sirna begitu bertemu dengan keluarga di daerah asal. Terus terang, saya bukanlah orang yang suka bercapek-capek melalui jalan darat untuk ikut pulang kampung saat lebaran dan memang tidak tertarik sama sekali. Mungkin karena saya single fighter, jadi tidak berpikir panjang dan lebih memilih menggunakan jasa penerbangan yang cepat dan praktis. Meskipun frase “cepat dan praktis” di sini masih bisa diperdebatkan, karena teman saya dari Batam harus menunggu 9 jam di bandara Jakarta untuk penerbangan lanjutan ke Jogja. Enam jam waktu transit, dan 3 jam delay!  Tetapi untuk keluarga besar, membawa mobil adalah pilihan terbaik karena bisa mengangkut seluruh anggota keluarga berikut oleh-oleh yang begitu banyak yang sudah dipersiapkan. Bahkan secara ekstrim dikatakan, kalau siap mudik berarti siap macet dan bersusah payah. Kalau tidak capek, itu belum sah dikatakan mudik. Seorang teman yang terbiasa naik pesawat dan baru pertama kali ikut mudik ke Semarang dengan naik bus dalam rangka mudik bersama, berkali-kali memasang status penuh penyesalan di blackberry nya. Mulai dari kapok, cukup sekali, pinggang pegal, badan rontok, dan sejenisnya. Tertarik untuk menghibur saya segera mengirim pesan singkat melalui bbm, yang mengatakan kalau itulah seni-nya mudik. Kalau badan tidak remuk dan pegal-pegal, belum sah disebut mudik. Indahnya mudik justru terletak di kemacetannya (mmm kalau ini bisa-bisanya saya saja, hehehe). Bayangkan saja yang indah-indah seperti tempat tujuan, bertemu dengan saudara, kegembiraaan yang merekah, pasti mudik akan menjadi sesuatu yang nikmat.  Lain lagi cerita seorang teman yang mudik ke daerah Sumatra. Dari waktu tempuh yang biasa 12 jam, menjadi 24 jam. Bayangkan, naik 2 kali lipat! Untuk menyeberang selat Sunda saja harus antri masuk kapal selama 5 jam. Belum perjalanannya yang macet, kurang tidur, dan menghabiskan waktu di jalan. Kalau tidak tahan, kondisi fisik bisa drop. Teman saya sampai mengatakan pantatnya sudah rata bahkan tidak ada lagi, karena terlalu lama duduk di mobil. Tetapi itulah seni-nya mudik. Mudik lebaran, adalah sebuah fenomena yang luar biasa, ketika orang rela bersusah payah menempuh perjalanan, bukan hanya dengan mobil tetapi juga motor, demi sebuah tujuan, bertemu keluarga di kampung halaman dan merayakan Lebaran bersama.
Lain mudik, lain ketupat. Ini adalah menu wajib merayakan lebaran. Kalau disurvey, ketupat pasti menduduki peringkat tertinggi dalam daftar masakan yang disediakan oleh Ibu-ibu di rumah. Makanya saya bisa membayangkan ketika Pemerintah mengumumkan bahwa Lebaran mundur satu hari, Ibu-Ibu yang sudah mempersiapkan dan memasak ketupat mungkin ada perasaan kecewa. Sebagai seorang perantau yang belum tentu pulang kampung saat libur lebaran, saya sudah lama tidak merasakan ketupat. Kecuali hari ini ketika bertandang ke rumah teman dan dijamu dengan ketupat, sayur pepaya, sambal goreng hati dan semur daging, yang membuat saya tidak malu-malu untuk menambah makan. Rasa ewuh pakewuh sebagai orang Jawa seakan hilang, karena sedapnya sajian ketupat yang menggugah selera. Maklum, beberapa hari menjelang Lebaran, menu makanan saya sebagian besar adalah fast food dan masakan mall yang terkadang rasanya tidak cocok di lidah maupun di kantong. Hehehe.
Lebaran membawa saya ke ingatan masa kecil.  Meskipun tidak merayakan lebaran, almarhum Ibu dan Nenek selalu memasak setiap hari raya tiba. Dari makanan kecil seperti wajik, jadah, emping, kacang, sampai makanan berat seperti ketupat, sambal goreng, dan teman-temannya. Saya juga heran, tidak merayakan tetapi ikut mempersiapkan. Waktu itu almarhum Ibu menjelaskan bahwa ada banyak tamu yang berkunjung di hari Lebaran, karena itu makanan tetap harus dipersiapkan. Maklum, almarhum Nenek adalah orang yang dituakan di kampung dan semua orang pasti datang ke rumah untuk bersilaturahmi. Hal yang menarik yang terus saya ingat sampai sekarang, tetangga-tetangga yang datang memiliki tradisi “sungkem” kepada Nenek dan Ibu. Jadi bukan hanya datang untuk bersalam-salaman, bermaaf-maafan, tetapi lebih dari itu. Sungkem adalah istilah sujud kepada orang yang lebih tua, memohon maaf atas segala kesalahan dan mohon doa restu. Tanpa mengecilkan arti kebudayaan daerah lain, saya merasakan tradisi Jawa yang sangat kental, dan bahwa orang Jawa hidup dalam rasa hormat yang besar kepada orang yang lebih tua. Saya tidak tahu apakah saat ini tradisi tersebut masih berjalan, karena saya sudah tidak pernah pulang kampung lagi di saat Lebaran.
Menjalin silaturahmi dan bermaaf-maafan juga menjadi ciri khas Lebaran. Bahwa setiap orang membutuhkan orang lain, dan kita hidup dalam sebuah keluarga besar. Saya ingat ketika masih kecil sayapun ikut keliling kampung bersalam-salaman, tanpa tahu makna di balik itu semua. Tentu saja hanya ikut-ikutan teman, apalagi setelah selesai berkeliling kantong saya penuh uang hasil pemberian orang-orang yang lebih tua. Tinggal saya sibuk menghitung berapa banyak uang yang saya dapatkan dan akan saya belikan apa. Hahaha. Biasanya saya akan membeli minuman “mewah” menurut saya saat itu seperti Coca Cola, Sprite, Fanta, atau 7up (Seven Up).
Semua kenangan ini membawa saya ke masa Lebaran sekitar 25 tahun silam. Sampai sekarangpun, ciri khas Lebaran tidak pernah berubah. Mudik, ketupat, silaturahmi. Saling bermaafan, dan mulai lagi dari nol. Seperti sebuah kertas yang kembali putih bersih, dan siap untuk ditulisi di hari-hari berikutnya. Seperti istilah “hidup baru” dalam kepercayaan saya yang menggambarkan pertobatan dan kemauan untuk berubah meninggalkan hal-hal lama yang membelenggu dan berjalan di jalanNya.
Selamat Lebaran teman, semoga Lebaran kali ini memberi makna yang lebih dalam. Bukan sekedar mudik, ketupat, silaturahmi, ataupun baju baru, tetapi hati yang baru, yang membuat kita semakin bersemangat untuk berkarya dan melayani di dunia ini. Perjuangan 30 hari berpuasa adalah bukti bahwa teman-teman memiliki kekuatan luar biasa yang datang dari Sang Pencipta. Selamat bersuka cita, mohon maaf lahir dan batin!

No comments:

Post a Comment