Thursday, June 30, 2011

terima kasih

           Hari ini saya menerima beberapa ucapan terima kasih. Yang pertama ketika saya selesai memberikan sharing motivasi di pertemuan leader Qvida, sebuah kelompok yang dibentuk oleh perusahaan tempat saya bekerja sekarang, yang sebagian besar beranggotakan para lanjut usia di atas 55 tahun. Tujuan sharing lebih menekankan pada kondisi psikologis lansia yang sering merasa tidak berguna, minder, kesepian, bahkan menjadi beban bagi anak-anaknya, dan membuka cakrawala mereka bahwa di sekitar kita ternyata banyak orang lanjut usia yang masih terus produktif berkarya dan menjadi berkat bagi sesamanya. Salah satu video yang saya putar di sharing tersebut mengisahkan seorang pria California berumur 103 tahun yang masih terus aktif bersepeda dengan menggunakan sepeda roda 3, dan tampak bugar di usianya yang sudah sangat tua. Apa yang dia lakukan menginspirasi anak muda di kotanya untuk mengikuti jejaknya, menjalankan pola hidup sehat, bahkan keinginan bersepeda dengannya. Dengan bercanda pria tersebut mengatakan bahwa dia adalah orang paling tua yang menggunakan sepeda roda 3, karena sepeda jenis ini semestinya diperuntukkan bagi anak-anak. Dia menjelaskan bahwa itu semua dilakukan karena alasan keamanan. Selesai acara seorang nenek, berusia 70 tahunan, mendekati saya, mengucapkan terima kasih untuk apa yang telah saya berikan. Nenek tadi bercerita bahwa beberapa hari yang lalu, suaminya, yang pensiunan teknisi pesawat terbang, membongkar sepeda miliknya dan berencana menjadikannya sepeda roda 3, tetapi dia  marah-marah kepada suaminya dan mengatakan bahwa hal itu tidak perlu dilakukan karena akan membikin malu saja. Akhirnya sang suami mengalah dan tidak melanjutkan proyek tersebut. Nenek tadi dengan tersenyum mengatakan pada saya bahwa dia ingin segera pulang, minta maaf kepada suaminya, dan membangkitkan kembali semangat sang suami untuk meneruskan pembuatan sepeda roda 3 karena terinspirasi dengan video yang saya putar. Saya tertawa dan sangat senang mendengarnya, apalagi ketika melihat sang nenek bercerita dengan penuh antusias. Ah, sungguh melegakan hati!
               Yang kedua, masih dalam situasi yang sama, seorang  ibu yang lebih muda dari nenek tadi, juga mengucapkan terima kasih untuk sharing yang saya berikan. Beliau mengatakan dengan tulus bahwa kalau trainernya seperti saya, waktu pasti akan terasa singkat, dan 2 jam pun serasa tidak cukup. Saya tersenyum dan mengucapkan terima kasih kepadanya, tetapi di dalam hati saya merasa bahwa kepala saya pasti sudah bertambah diameternya saking senangnya. Beliau merasa terinspirasi dengan sharing tersebut, yang membuatnya termotivasi untuk terus berkarya meskipun sudah tua.
               Sepulang dari acara, saya termenung dan merasa sungguh bersyukur bahwa apa yang saya berikan cukup berharga bagi peserta. Memberikan sharing motivasi tidak mudah, apalagi kalau kita sendiri dalam kondisi yuang tidak termotivasi. Apa yang kita ucapkan menjadi kering, karena kita tidak menghidupi kata-kata tersebut dengan perbuatan yang kita lakukan. Bagi saya sharing motivasi bukanlah sekedar kata-kata keras pembangkit semangat dengan teriakan-teriakan menggelegar yang memacu adrenalin, tetapi lebih ke arah bagaimana kita mampu menyentuh hati para peserta dan menginspirasi mereka dengan apa yang kita berikan. Sebenarnya tidak butuh seorang motivator hebat untuk menjadi seperti itu, karena motivasi sejati berasal dari hati kita, dan bagaimana perilaku kita mampu menginspirasi orang lain untuk melakukan hal yang sama. Dalam hal ini, saya harus mengakui bahwa saya masih tertinggal jauh dan harus banyak belajar, karena seringkali tidak ada kesesuaian antara kata dan perbuatan, sesuatu yang merupakan modal dasar bagi kita untuk menginspirasi orang lain. Tetapi pelajaran terpenting yang saya dapat hari ini adalah ucapan terima kasih yang tulus dari peserta sharing sungguh merupakan motivasi yang tiada tara bagi saya. Saya harus mengakui bahwa terkadang saya tidak percaya diri dengan kemampuan yang saya miliki. Mungkin orang tidak percaya kalau saya berkata seperti itu, karena dari luar saya tampak penuh percaya diri, padahal sebenarnya keraguan itu selalu membayangi. Saya tersadarkan bahwa saya bisa dan mampu menjadi seorang trainer yang hebat kalau saya mau belajar lebih keras dan berlatih lebih banyak lagi. Ucapan terima kasih yang sederhana, yang keluar dari hati yang merasa terberkati, ternyata memberikan efek yang luar biasa, dan menyemangati saya untuk terus kreatif berkarya menyusun modul-modul pelatihan yang baru. Rasa bahagia yang mereka dapatkan ketika mendapatkan materi sharing berbalik kepada saya dan menimbulkan perasaan syukur bahwa apa yang saya berikan membawa arti bagi orang lain.
           Ucapan terima kasih ketiga saya dapatkan ketika saya menikmati makan malam di sebuah warung soto di pasar tradisional. Ketika sedang makan, masuklah seorang anak perempuan sekitar umur 20 tahunan dengan seragam cleaning service duduk dan memesan menu yang sama. Entah kenapa, begitu melihat dia masuk hati saya langsung tersentuh. Saya seperti terpanggil untuk melakukan sesuatu. Membayangkan kami makan menu yang sama, sementara gaji dia pasti di bawah saya, semangkok soto yang berharga 9000 rupiah itu tentu sangat berarti baginya, sedangkan bagi saya mungkin hampir tidak terasa. Selesai makan, saya membayar semuanya, termasuk pesanan anak tersebut, dan berjalan santai menuju pasar karena mencari ATM.  Tidak saya sangka ketika saya keluar dari pasar, anak tersebut mendadak muncul menghampiri saya  mengucapkan terima kasih berkali-kali sampai membungkuk. Saya tertegun, tersenyum, dan mengucapkan sama-sama, lalu melanjutkan langkah kaki dengan hati berkecamuk. Sembilan ribu rupiah yang bagi saya sangat kecil, pasti luar biasa besar bagi anak itu. Saya membayangkan bahwa dia sangat berbahagia bisa menyimpan uang untuk dipakai keesokan harinya, yang bagi saya mungkin uang senilai itu sangat kecil artinya. Saya benar-benar terdiam dan merasakan betapa hal-hal yang sering saya anggap sepele ternyata bisa sangat berarti bagi orang lain.
   Ucapan terima kasih dari anak tadi, membuat saya sungguh bersyukur untuk semua yang sudah saya terima selama ini. Saya tersentuh oleh ucapan terima kasihnya yang tulus, dan sinar cerah di wajahnya yang seakan mengucapkan bahwa apa yang saya lakukan sangat berarti baginya. Dan sungguh, itu menampar hati saya untuk belajar berterima kasih atas apa yang sudah saya terima selama ini, karena perasaan selalu kurang dan merasa hidup ini tidak sempurna bagi saya. 
 Ketidakmampuan berterima kasih membuat saya merasa seakan-akan tidak berkembang dan berjalan di tempat, karena hanya melihat hal-hal yang tidak saya miliki, bukan apa yang sudah saya miliki dan apa yang bisa saya bagikan. Ketika saya merenungkan ucapan terima kasih yang saya terima hari ini, saya diingatkan untuk belajar berterima kasih kepada Pencipta atas apa yang telah saya terima. Apa yang saya lakukan selama ini hanya berpusat pada diri saya, pada apa yang bisa saya dapatkan lebih dan lebih lagi, bukan apa yang bisa saya berikan ke orang lain dengan apa yang saya miliki. Dan ketika saya hanya melihat diri saya, hal-hal mengecewakan yang saya terima, kejadian-kejadian yang tidak sesuai dengan apa yang saya harapkan, saya segera tidak puas dan marah dengan keadaan yang ada. Peserta training, cleaning service, mungkin mengucapkan terima kasih itu secara spontan karena mereka merasa mendapatkan sesuatu dari saya, tetapi mereka tidak menyadari bahwa terima kasih sederhana yang mereka sampaikan, memiliki efek pantul yang sangat besar dan membuat saya sangat terberkati.
             Saat mengalami peristiwa ini, saya tidak tahan untuk tidak segera menuliskannya karena saya ingin sekali berbagi dengan anda. Bukan mengenai hal yang muluk-muluk, tetapi mengenai ucapan terima kasih sederhana yang ternyata mampu menyentuh hati seseorang untuk menjadi lebih baik. Saya belajar mengucapkan terima kasih kepada orang lain atas apa yang telah mereka lakukan bagi saya, tetapi terlebih atas apa yang telah Tuhan berikan bagi saya yang sungguh tidak bisa saya hitung betapa banyaknya. Saya sudah mengalaminya, bagaimana dengan anda?

Wednesday, June 15, 2011

Setia

Setia, satu kata yang menjadi dambaan setiap orang. Saya percaya hampir semua orang merasa bangga dan bahagia kalau disebut sebagai orang yang setia, bahkan rela bersusah payah menjadikan kata itu sebagai sebuah trade mark atau image yang melekat pada dirinya. Siapa sih yang tidak bangga dikenal sebagai “suami yang setia” atau “istri yang setia” atau “seorang yang setia”.  Semua itu karena kata “setia” merujuk pada sebuah sifat yang mulia dan berkonotasi positif. Bayangkan kalau kita dianggap sebagai seorang yang “tidak setia”, tentu kita merasa tidak senang dan berusaha sekuat tenaga menunjukkan kepada orang lain bahwa kita adalah orang yang “setia”.

Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan setia sebagai taat, patuh, tetap dan teguh hati, misalnya dalam pernikahan, persahabatan, pendirian, berpegang pada janji, dan sebagainya. Setia menunjukkan seseorang yang memiliki keteguhan hati untuk terus menjaga dan melakukan apa yang menjadi komitmennya. Jadi kalau kita bicara mengenai suami yang setia, itu menunjukkan seorang suami yang tetap dan teguh hati, terus menjaga cinta dan kasihnya pada sang istri apapun yang terjadi, dan sebaliknya. Saya teringat pada janji pernikahan yang sering saya dengar ketika saya menghadiri pemberkatan nikah di gereja, “tetap setia sampai maut memisahkan kita”. Janji yang membuat saya (sebagai jemaat) merinding melihat kesungguhan hati mereka. Sayangnya dalam perjalanan waktu, ada banyak pasangan yang melupakan janji itu dan berubah tidak setia.

Menyadari makna kata “setia” yang sangat dalam, saya berpikir ulang apakah saya ini termasuk orang yang setia, terlebih ketika seorang teman dengan bercanda mengatakan bahwa saya bukanlah orang setia.  Loh, kok bisa? Pasangan saja tidak ada, bagaimana mungkin?  Itu kalau saya hanya memandang kata “setia” dalam hal hubungan antar manusia seperti persahabatan atau pernikahan, padahal tentu saja artinya jauh lebih luas dari itu. Kalau saat ini saya menujukan kata tersebut bagi diri saya, itu dipicu karena saya ingin disebut sebagai orang yang setia. Pertanyaannya, setia dalam hal apa? Setia pada pasangan? Wah, kalau itu agak susah menjawab, karena sampai saat ini saya masih sendiri, jadi saya tidak bisa membuktikan kepada orang lain bahwa saya adalah orang yang setia. Setia kepada sahabat? Yah, saya bukanlah orang yang memiliki banyak sahabat, meskipun punya banyak teman. Kalau setia kepada sahabat, rasanya saya digolongkan sebagai orang yang kadang setia kadang tidak. Bahkan seorang sahabat dekat pernah mengatakan bahwa saya ini termasuk orang yang mudah lupa, artinya lupa pada teman lama kalau sudah punya teman yang baru. Saat itu saya agak tersinggung dengan ucapannya, tetapi sekarang saya menyadari bahwa dia ada benarnya. Tetapi bukankah itu semua karena saya jarang bertemu dengan teman lama dan lebih sering berinteraksi dengan teman baru?

Baiklah, itu mengenai interaksi dengan orang lain, sekarang bagaimana terhadap diri sendiri? Ternyata saya adalah orang yang tidak setia! Tahun 2011 sudah memasuki bulan Juni, yang berarti sudah 6 bulan berjalan, dan saya menyadari banyak resolusi awal tahun yang tidak berjalan sesuai dengan komitmen pribadi. Yang pertama tentu saja tekad untuk rajin menulis, 1 minggu 1 tulisan, sehingga ketrampilan saya semakin terasah. Kenyataannya? Tidak terpenuhi! Paling banyak saya hanya menghasilkan 2 tulisan, bahkan terkadang hanya 1 tulisan dalam sebulan. Sebenarnya bukan karena saya tidak punya waktu, tetapi saya harus jujur bahwa saya malas melakukannya. Wah, bagaimana saya bisa menjadi seorang penulis yang baik, kalau saya jarang berlatih dan ide-ide yang muncul hanya berhenti sebatas angan-angan? Yang kedua, komitmen membaca buku, 2 buku dalam sebulan. Di awal-awal tahun saya sangat bersemangat membeli buku, apalagi terdorong keinginan untuk menjadi seorang penulis dan trainer handal, yang tentu saja hanya dapat diasah kalau saya memiliki kebiasaan dan kemauan untuk membaca. Tetapi kenyataannya saat ini di meja saya ada tumpukan beberapa buku baru yang “belum sempat” saya baca. Pertanyaan yang sama, apakah benar saya belum sempat, atau karena saya lebih suka melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak terlalu penting? Yang ketiga, komitmen untuk berolahraga 3 kali seminggu, ini juga berantakan. Mungkin saya bisa beralasan bahwa saya sering keluar kota sehingga tidak bisa melakukannya. Tetapi ketika saya sedang di Jakarta pun, komitmen ini tidak berjalan dengan baik. Yang keempat, latihan gitar setiap hari paling tidak 15 menit. Ini juga hilang tertelan waktu. Yang kelima, keenam, ketujuh, saya hanya bisa memandangi daftar komitmen yang pernah saya buat dan dengan berat hati menandai mana saja yang belum saya penuhi. Dan sungguh saya tercekat ketika menyadari hampir semua komitmen yang saya buat belum dapat saya penuhi seperti yang saya harapkan di awal tahun. Padahal dengan berpindah kerja di kantor yang sangat dekat dengan tempat tinggal saya saat ini, seharusnya saya memiliki lebih banyak waktu untuk melakukan hal-hal yang menjadi komitmen saya. Dengan semua bukti yang ada, saya harus mengakui bahwa saya tidak setia dan segera memupus kesombongan saya yang merasa saya sebagai orang yang setia. Kalau hal-hal penting untuk diri sendiri saja tidak setia, bagaimana saya bisa setia kepada orang lain? Ini pertanyaan besar yang hanya bisa saya jawab setelah saya memperbaiki kesetiaan saya terhadap diri sendiri.

Bercermin pada hasil refleksi diri, saya bersyukur masih bisa merenungkan hal ini ketika tahun 2011 baru berjalan setengahnya. Bagaimana kalau saya baru sadar setelah tahun ini berakhir yang berarti satu tahun sudah lewat dan berlalu begitu saja seperti tahun-tahun sebelumnya? Apa yang terjadi kalau saya menyadari ketidaksetiaan saya di akhir tahun yang berati saya sudah menyia-nyiakan hari-hari yang ada? Kalau merujuk pada empat kuadran dari buku 7 Habit-nya Stephen Covey, tampaknya saya sedang sibuk di kuadran 4, untuk hal-hal yang tidak penting dan tidak mendesak, yang sebenarnya tidak perlu saya kerjakan, tetapi justru menyita waktu saya begitu banyak. Ngobrol, chatting, tiduran, gosip, dan segala tetek bengek yang semestinya bisa saya minimalkan, untuk kembali kepada tujuan semula, resolusi 2011. Itu adalah apa yang saya alami. Saya tidak tahu persis kondisi anda saat ini, tetapi saya berharap anda lebih setia dibanding saya dan mampu berpegang teguh pada apa yang menjadi komitmen anda, entah untuk pengembangan diri ataupun hal-hal yang melibatkan orang lain.
Saya sadar, menjadi setia ternyata tidak mudah. Atau sebenarnya mudah, tetapi saya membuatnya menjadi susah? Ah, entahlah, saya tidak enak hati menjawabnya. Yang jelas ternyata menjadi setia itu membutuh kemauan yang sangat kuat, keteguhan hati, dan fokus pada tujuan awal. Pernikahan, persahabatan, seringkali kandas karena ketidaksetiaan. Dan ketika persoalan itu mulai muncul, satu hal yang bisa memagarinya adalah ketika masing-masing kembali pada tujuan mula-mula dan memiliki keteguhan hati untuk memelihara dan menjaga apa yang sudah menjadi komitmen awal. Ketika merenungkan semua ini, saya sedang medengarkan sebuah lagu rohani yang bertutur seperti ini, “Karena Kau setia, dulu sekarang dan selamanya”. Hati saya segera bergejolak, dan berbisik, mampukah saya untuk setia? Ataukah kesetiaan hanya menjadi sebuah kata mulia tanpa dimaknai dalam tindakan? Apakah saya setia untuk menghidupkan apa yang saya ucapkan dan bukan hanya pandai berkata-kata? Saya menyelami hati saya lebih dalam, dan berusaha menjawabnya dengan jujur. Bagaimana dengan anda?