Wednesday, June 15, 2011

Setia

Setia, satu kata yang menjadi dambaan setiap orang. Saya percaya hampir semua orang merasa bangga dan bahagia kalau disebut sebagai orang yang setia, bahkan rela bersusah payah menjadikan kata itu sebagai sebuah trade mark atau image yang melekat pada dirinya. Siapa sih yang tidak bangga dikenal sebagai “suami yang setia” atau “istri yang setia” atau “seorang yang setia”.  Semua itu karena kata “setia” merujuk pada sebuah sifat yang mulia dan berkonotasi positif. Bayangkan kalau kita dianggap sebagai seorang yang “tidak setia”, tentu kita merasa tidak senang dan berusaha sekuat tenaga menunjukkan kepada orang lain bahwa kita adalah orang yang “setia”.

Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan setia sebagai taat, patuh, tetap dan teguh hati, misalnya dalam pernikahan, persahabatan, pendirian, berpegang pada janji, dan sebagainya. Setia menunjukkan seseorang yang memiliki keteguhan hati untuk terus menjaga dan melakukan apa yang menjadi komitmennya. Jadi kalau kita bicara mengenai suami yang setia, itu menunjukkan seorang suami yang tetap dan teguh hati, terus menjaga cinta dan kasihnya pada sang istri apapun yang terjadi, dan sebaliknya. Saya teringat pada janji pernikahan yang sering saya dengar ketika saya menghadiri pemberkatan nikah di gereja, “tetap setia sampai maut memisahkan kita”. Janji yang membuat saya (sebagai jemaat) merinding melihat kesungguhan hati mereka. Sayangnya dalam perjalanan waktu, ada banyak pasangan yang melupakan janji itu dan berubah tidak setia.

Menyadari makna kata “setia” yang sangat dalam, saya berpikir ulang apakah saya ini termasuk orang yang setia, terlebih ketika seorang teman dengan bercanda mengatakan bahwa saya bukanlah orang setia.  Loh, kok bisa? Pasangan saja tidak ada, bagaimana mungkin?  Itu kalau saya hanya memandang kata “setia” dalam hal hubungan antar manusia seperti persahabatan atau pernikahan, padahal tentu saja artinya jauh lebih luas dari itu. Kalau saat ini saya menujukan kata tersebut bagi diri saya, itu dipicu karena saya ingin disebut sebagai orang yang setia. Pertanyaannya, setia dalam hal apa? Setia pada pasangan? Wah, kalau itu agak susah menjawab, karena sampai saat ini saya masih sendiri, jadi saya tidak bisa membuktikan kepada orang lain bahwa saya adalah orang yang setia. Setia kepada sahabat? Yah, saya bukanlah orang yang memiliki banyak sahabat, meskipun punya banyak teman. Kalau setia kepada sahabat, rasanya saya digolongkan sebagai orang yang kadang setia kadang tidak. Bahkan seorang sahabat dekat pernah mengatakan bahwa saya ini termasuk orang yang mudah lupa, artinya lupa pada teman lama kalau sudah punya teman yang baru. Saat itu saya agak tersinggung dengan ucapannya, tetapi sekarang saya menyadari bahwa dia ada benarnya. Tetapi bukankah itu semua karena saya jarang bertemu dengan teman lama dan lebih sering berinteraksi dengan teman baru?

Baiklah, itu mengenai interaksi dengan orang lain, sekarang bagaimana terhadap diri sendiri? Ternyata saya adalah orang yang tidak setia! Tahun 2011 sudah memasuki bulan Juni, yang berarti sudah 6 bulan berjalan, dan saya menyadari banyak resolusi awal tahun yang tidak berjalan sesuai dengan komitmen pribadi. Yang pertama tentu saja tekad untuk rajin menulis, 1 minggu 1 tulisan, sehingga ketrampilan saya semakin terasah. Kenyataannya? Tidak terpenuhi! Paling banyak saya hanya menghasilkan 2 tulisan, bahkan terkadang hanya 1 tulisan dalam sebulan. Sebenarnya bukan karena saya tidak punya waktu, tetapi saya harus jujur bahwa saya malas melakukannya. Wah, bagaimana saya bisa menjadi seorang penulis yang baik, kalau saya jarang berlatih dan ide-ide yang muncul hanya berhenti sebatas angan-angan? Yang kedua, komitmen membaca buku, 2 buku dalam sebulan. Di awal-awal tahun saya sangat bersemangat membeli buku, apalagi terdorong keinginan untuk menjadi seorang penulis dan trainer handal, yang tentu saja hanya dapat diasah kalau saya memiliki kebiasaan dan kemauan untuk membaca. Tetapi kenyataannya saat ini di meja saya ada tumpukan beberapa buku baru yang “belum sempat” saya baca. Pertanyaan yang sama, apakah benar saya belum sempat, atau karena saya lebih suka melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak terlalu penting? Yang ketiga, komitmen untuk berolahraga 3 kali seminggu, ini juga berantakan. Mungkin saya bisa beralasan bahwa saya sering keluar kota sehingga tidak bisa melakukannya. Tetapi ketika saya sedang di Jakarta pun, komitmen ini tidak berjalan dengan baik. Yang keempat, latihan gitar setiap hari paling tidak 15 menit. Ini juga hilang tertelan waktu. Yang kelima, keenam, ketujuh, saya hanya bisa memandangi daftar komitmen yang pernah saya buat dan dengan berat hati menandai mana saja yang belum saya penuhi. Dan sungguh saya tercekat ketika menyadari hampir semua komitmen yang saya buat belum dapat saya penuhi seperti yang saya harapkan di awal tahun. Padahal dengan berpindah kerja di kantor yang sangat dekat dengan tempat tinggal saya saat ini, seharusnya saya memiliki lebih banyak waktu untuk melakukan hal-hal yang menjadi komitmen saya. Dengan semua bukti yang ada, saya harus mengakui bahwa saya tidak setia dan segera memupus kesombongan saya yang merasa saya sebagai orang yang setia. Kalau hal-hal penting untuk diri sendiri saja tidak setia, bagaimana saya bisa setia kepada orang lain? Ini pertanyaan besar yang hanya bisa saya jawab setelah saya memperbaiki kesetiaan saya terhadap diri sendiri.

Bercermin pada hasil refleksi diri, saya bersyukur masih bisa merenungkan hal ini ketika tahun 2011 baru berjalan setengahnya. Bagaimana kalau saya baru sadar setelah tahun ini berakhir yang berarti satu tahun sudah lewat dan berlalu begitu saja seperti tahun-tahun sebelumnya? Apa yang terjadi kalau saya menyadari ketidaksetiaan saya di akhir tahun yang berati saya sudah menyia-nyiakan hari-hari yang ada? Kalau merujuk pada empat kuadran dari buku 7 Habit-nya Stephen Covey, tampaknya saya sedang sibuk di kuadran 4, untuk hal-hal yang tidak penting dan tidak mendesak, yang sebenarnya tidak perlu saya kerjakan, tetapi justru menyita waktu saya begitu banyak. Ngobrol, chatting, tiduran, gosip, dan segala tetek bengek yang semestinya bisa saya minimalkan, untuk kembali kepada tujuan semula, resolusi 2011. Itu adalah apa yang saya alami. Saya tidak tahu persis kondisi anda saat ini, tetapi saya berharap anda lebih setia dibanding saya dan mampu berpegang teguh pada apa yang menjadi komitmen anda, entah untuk pengembangan diri ataupun hal-hal yang melibatkan orang lain.
Saya sadar, menjadi setia ternyata tidak mudah. Atau sebenarnya mudah, tetapi saya membuatnya menjadi susah? Ah, entahlah, saya tidak enak hati menjawabnya. Yang jelas ternyata menjadi setia itu membutuh kemauan yang sangat kuat, keteguhan hati, dan fokus pada tujuan awal. Pernikahan, persahabatan, seringkali kandas karena ketidaksetiaan. Dan ketika persoalan itu mulai muncul, satu hal yang bisa memagarinya adalah ketika masing-masing kembali pada tujuan mula-mula dan memiliki keteguhan hati untuk memelihara dan menjaga apa yang sudah menjadi komitmen awal. Ketika merenungkan semua ini, saya sedang medengarkan sebuah lagu rohani yang bertutur seperti ini, “Karena Kau setia, dulu sekarang dan selamanya”. Hati saya segera bergejolak, dan berbisik, mampukah saya untuk setia? Ataukah kesetiaan hanya menjadi sebuah kata mulia tanpa dimaknai dalam tindakan? Apakah saya setia untuk menghidupkan apa yang saya ucapkan dan bukan hanya pandai berkata-kata? Saya menyelami hati saya lebih dalam, dan berusaha menjawabnya dengan jujur. Bagaimana dengan anda?

2 comments: