Thursday, December 27, 2012

Catatan Akhir Tahun (1)


                                                                                    We become what we repeatedly do – Sean Covey

Merubah kebiasaan memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, apalagi kebiasaan yang sudah melekat selama puluhan tahun. Itulah yang saya rasakan ketika memulai kebiasaan baru merubah pola makan. Sudah 1½ bulan ini saya membiasakan diri menyantap “rerumputan”- istilah saya untuk selada, tomat, mentimun, dan paprika sebagai pengganti makan malam, diperkaya aneka buah seperti apel, kiwi, jeruk, mangga, strawberry, pisang, melon, tergantung ketersediaan. Sebenarnya pola makan tidak berubah secara radikal, karena sarapan pagi masih ditemani dengan 3 gelas jus, dan makan siang juga seperti biasa. Diantara sarapan pagi ke makan siang dan jeda sore hari, saya masih menikmati kue-kue atau makanan lainnya. Tetapi ternyata efeknya cukup besar karena berat badan saya turun 3 kilogram selama 1½ bulan ini. Tentu saja dikombinasikan dengan olahraga rutin seperti jogging dan angkat barbel. Sebenarnya tujuan utama bukanlah menurunkan berat badan, tetapi meningkatkan kebugaran dan stamina karena saya merasa sangat capek setelah mengajar 3 hari berturut-turut. Selain itu saya terkejut ketika hasil medical check up terakhir menunjukkan angka kolesterol saya melebihi normal. Hal ini memotivasi saya untuk berubah. Kalaupun kemudian dampaknya adalah penurunan berat badan, saya tentu sangat bersuka cita karena berarti baju-baju lama yang sudah tidak muat bisa saya pakai lagi.
Jangka waktu 1½ bulan sebenarnya sudah cukup membuat sebuah perilaku menjadi kebiasaan yang melekat, tetapi ternyata itu tidak berlaku ketika saya pulang ke Solo. Entah karena nuansa rumah, liburan natal, ada keluarga, banyak makanan, atau memang kemauan kurang kuat, pola makan saya kembali ke selera asal: makan malam menu lengkap dan ngemil kue-kue tinggi kalori. Kesadaran saya sudah mengingatkan untuk kembali ke menu sehat, tetapi pemikiran “mumpung libur”, meluluhlantakkan semuanya. Sungguh benar kalimat bijak seperti ini: Roh memang penurut, tetapi daging lemah. Dalam hati bertekad kuat, tetapi kenyataannya menyerah kalah. Pola makan sehat yang sudah menjadi kebiasaan baru menguap begitu saja. Tetapi bukankah makan nasi sudah menjadi kebiasaan saya selama berpuluh tahun? Sehingga sangat masuk akal kalau kebiasaan baru akhirnya takluk. Bahkan secara bercanda saya mengatakan bahwa “belum makan kalau belum ketemu nasi”. Mie, roti, kentang, masuk kategori makanan ringan dan bukan pengganti nasi. Padahal selama 1 ½ bulan kemarin lambung saya mulai terbiasa tidak selalu menerima nasi karena sempat beberapa hari tidak makan nasi dan diganti sumber karbohidrat lainnya. Porsi makan juga lebih sedikit karena terasa kenyang. Lalu mengapa bisa terkikis dengan begitu mudah? Saya mencoba mereka-reka hal sederhana ini ke dalam beberapa hal. Yang pertama adalah ingatan tentang masa lalu. Selama lebih dari 35 tahun saya terbiasa makan nasi sebanyak 3 kali, pagi siang dan malam. Bahkan sewaktu kecil karena ayah ibu tidak mampu menyediakan 4 sehat lima sempurna, terkadang menu yang tersedia adalah nasi dicampur dengan garam, parutan kelapa, dan krupuk. Bagi saya waktu itu rasanya sangat “maknyus”, dan sudah cukup membuat saya kekenyangan. Saat ini, suasana rumah yang nyaman, seperti membawa saya ke zaman dulu. Ingatan masa silam seringkali menjebak kita untuk kembali kepada kebiasaan lama. Tentu saja saya tidak bermaksud untuk mati-matian mengatur pola makan sehat secara kaku karena sebenanrya saya sangat fleksibel. Saya hanya ingin menunjukkan bahwa terkadang ingatan masa lalu menjadi “pembenaran” bagi kita untuk tidak melangkah maju. Tahun 2012 hampir berakhir dan sesaat lagi kita memasuki tahun baru. Apapun yang terjadi di tahun ini sudah menjadi masa lalu di tahun depan. Kejadian-kejadian yang tidak membahagiakan, peristiwa menyakitkan, mungkin saja mewarnai tahun ini dan membuat kita menyebutnya sebagai tahun yang keras dan sulit, tetapi sekali lagi ketika melangkah di tahun baru, itu semua sudah menjadi masa lalu yang tidak akan pernah kita izinkan menyerobot masa depan.
Yang kedua adalah lingkungan. Ketika merubah pola makan, saya berada di lingkungan yang memiliki kebiasaan sama yaitu teman-teman kantor yang juga menerapkan hal tersebut. Membawa bekal berupa 1 kotak “rerumputan” bukanlah hal yang aneh karena yang lain melakukannya juga sehingga atmosfernya pun terasa. Salah satu teman kantor bahkan cukup ekstrim karena pernah 1 bulan penuh tidak makan nasi dan diganti dengan sayuran, buah-buahan, serta protein. Lingkungan memiliki pengaruh kuat terhadap kebiasaan yang kita bangun. Hal ini yang tidak saya dapatkan ketika pulang ke Solo. Hembusan anginnya adalah makan segala macam, dan interaksinya begitu kuat karena berada di dalam satu rumah. Hal ini mengakibatkan saya pun terimbas dan berpikir “ah, sekali-kali makan bebas dan tidak terikat waktu”. Sekali lagi saya tidak sedang menjalani pengaturan makan yang ketat, atau merasa sangat bersalah melanggarnya, karena bagi saya ini adalah hal sederhana. Saya hanya sedang berusaha melihat sebuah peristiwa dari perspektif yang lain. Lingkungan mempengaruhi diri kita. Kalimat bijak mengatakan “pergaulan buruk merusak kebiasaan baik”, memang terbukti. Bukan berarti pulang ke rumah adalah lingkungan yang buruk. Saya hanya sedang berusaha menarik benang merahnya, bahwa lingkungan memiliki pengaruh sehingga kita diajar untuk lebih bijak dan cerdas membawa diri.
Yang ketiga adalah setia pada tujuan. Seandainya saya memiliki ingatan masa lalu yang kuat, lingkungan yang tidak mendukung, tetapi kalau saya tetap memegang tujuan saya merubah pola makan, untuk kebugaran stamina dan menurunkan kolesterol, tentu saya akan tetap melangkah di jalur itu dengan konsisten. Ketika saya memberikan sedikit kelonggaran pada diri saya, ternyata berujung pada kelonggaran yang semakin besar. Konsistensi memang membutuhkan usaha dan tekad yang kuat. Ketika mengikuti kebaktian Natal di Solo, saya bertemu banyak teman-teman lama, termasuk para orang tua yang sekarang sudah menjadi kakek nenek dan terlihat renta. Dahulu ketika saya masih  pemuda-remaja, kami mengadakan persekutuan doa keluarga setiap Sabtu sore dan di situ kami dijadwal untuk memberikan renungan singkat semampu kami. Setelah selesai, para orang tua yang akan melengkapi dan memperkaya renungan yang kami bawakan. Persekutuan doa tersebut mendidik kami para pemuda remaja untuk berani mengupas firman Tuhan dan berbicara di depan umum. Tidak ada yang salah, karena nanti akan ditambahkan oleh para tetua yang ada di situ. Yang menakjubkan adalah persekutuan tersebut masih berjalan sampai sekarang, padahal sudah berumur 20 tahun lebih. Pembawa renungan pun masih digilir seperti dulu, dan kali ini giliran pemuda remaja zaman dulu menjadi tua tua-nya. Kesetiaan pada tujuan membawa kita kepada konsistensi.
Sebentar lagi kita akan memasuki tahun baru yang penuh harapan. Memupuk kebiasaan baru yang baik, yang membawa kita pada impian yang ingin kita capai memerlukan niat yang kuat.  Ingatan masa lalu, lingkungan, kesetiaan pada tujuan, adalah poin-poin yang perlu diperhatikan. Mungkin bukan sesuatu yang besar dan baru, tetapi seringkali hal-hal kecil kita lewatkan. Berawal dari hal yang sederhana, pola makan, saya mendapatkan banyak pembelajaran untuk melangkah lebih berani di tahun depan. Selamat meninggalkan tahun 2012, dan memasuki tahun 2013!

No comments:

Post a Comment