Monday, November 5, 2012

Kebanggaan = Efek Samping


Saya bangga bukan main ketika mendengar kabar bahwa Sadu, keponakan saya yang kuliah di Teknik Sipil melaju ke final Lomba Karya Tulis Ilmiah tentang grand design bersama 2 orang temannya. Wah, hebat nian! Mungkin kebanggaan seperti inilah yang dirasakan oleh banyak orang tua terhadap anaknya, sehingga tak jemu-jemu bercerita tentang keberhasilan putra putrinya. Terkadang saya melihat profil picture mereka dihiasi oleh gambar anaknya yang menjadi juara, entah prestasi akademis atau lainnya. Kebanggaan saya juga dipicu karena semasa mahasiswa saya belum pernah ikut lomba semacam itu. Saya bahagia dengan kabar tersebut dan memberikan masukan kepada orang tuanya agar Sadu mencari beasiswa ke luar negeri untuk kelanjutan belajarnya. Saya merasa pendapat saya sangat baik, tetapi jawaban orang tuanya sungguh menarik, yaitu “terserah anaknya”.  Kata “terserah anaknya” terasa sangat provokatif ketika banyak orang tua merasa paling mengerti  yang terbaik untuk anaknya. Seperti kita yang terkadang merasa paling tahu tentang hidup orang lain, dan tidak menyadari bahwa hidup mereka adalah milik mereka, bukan milik kita. Persis seperti orang tua yang sibuk mengkursuskan anaknya dengan beragam aktivitas seperti piano, balet, gitar, dan lain sebagainya, hanya karena dahulu mereka tidak mendapatkan kesempatan untuk kursus seperti itu dan sekarang mendorong anaknya melakukan hal-hal yang tidak bisa mereka lakukan, yang belum tentu sesuai dengan minat dan bakatnya.
Beberapa waktu lalu seorang teman bercerita penuh semangat mengenai anaknya yang ditunjuk untuk mewakili sekolah dalam lomba menggambar dengan menggunakan komputer. Saya merasakan kebanggaannya yang meluap-luap, padahal hanya lewat blackberry messenger. Teman saya bercerita dengan antusias bahwa ternyata bakat seninya menurun pada anak, sedangkan keahlian bermain computer menurun dari suaminya. Saking bahagianya dia mengatakan bahwa sungguh menyenangkan menyadari sang buah hati mewarisi bakat tersebut. Sejurus kemudian profil picturenya berganti-ganti, antara foto anaknya yang sedang menggambar dengan hasil gambarnya. Saya geli mendengar cerita dia, karena beberapa waktu sebelumnya, teman saya mengomel panjang lebar mengenai kelakuan para Ibu di sekolah yang sibuk mengikutkan putra putrinya ke lomba ini dan itu padahal sang anak tampak cuek-cuek saja.

Saya menarik benang merah bahwa sebuah prestasi atau perbuatan baik yang ditorehkan selalu membawa kebanggaan bagi orang-orang terdekat. Meskipun tidak menjadi pelaku, tetapi keberhasilan yang dicapai membawa kebahagiaan tersendiri. Hal ini pula yang saya amati pada acara final I2C (Idea to Customer) Award untuk teman-teman marketing dan BasO (Basic Operation) Competition untuk team sales di kantor tempat saya bekerja. Para finalis yang maju, 7 dari I2C dan 7 dari BasO, terseleksi dari puluhan peserta yang ada. Saya melihat begitu besar antusiasme supporter dalam memberikan semangat kepada finalis yang maju sehingga terbangun atmosfer yang sangat positif bahwa mereka memiliki kebanggaan terhadap rekannya yang bertanding.  Bahkan ketika hasil kompetisi tidak seperti yang diharapkan, para supporter tidak putus-putusnya memberi dukungan. Maju ke final dan menyisihkan puluhan peserta adalah prestasi besar, sehingga sangat pantas untuk dihargai, meskipun belum menjadi pemenang.
Kebanggaan, itulah yang tampak pada kisah yang saya sampaikan. Saya bertanya kepada diri sendiri, apakah saya sudah memberikan kebanggaan kepada orang-orang terdekat selama ini, ataukah justru kekecewaan? Apakah kebanggaan mereka begitu penting artinya, jauh melebihi kebanggaan saya terhadap diri sendiri? Apakah saya “terjebak” dengan usaha memberi kebanggaan sehingga kebanggaan orang lain terhadap saya menjadi satu-satunya tujuan hidup? Saya mencoba merenungkan pertanyaan tersebut karena terusik hasil percakapan dengan seorang teman baru-baru ini. Ketika berbicara mengenai kebanggaan, teman saya mengatakan bahwa dia berkewajiban membuat orang tuanya bangga terhadap dirinya melalui dua hal yaitu jabatan dan uang. Teman saya meyakini bahwa kedua faktor tersebut sangat menentukan, terbukti setiap orang tuanya bercerita tentang keberhasilan anak-anak orang lain selalu diukur dari kedua hal itu. Inilah yang membuat dia masih bertahan dengan pekerjaannya sekarang walau merasa tertekan. Meskipun kurang sependapat, saya mencoba memahami bahwa setiap orang memiliki sudut pandang yang berbeda. Pertanyaannya, apakah kebanggaan orang tua terhadap kita adalah satu-satunya tujuan yang kita kejar dalam hidup ini? Kenapa tidak berpikir sebaliknya bahwa ketika kita menjadi yang terbaik dalam “kehidupan versi kita”, maka kebanggaan itu akan menyusul? Menjalani hidup dengan bertujuan memberikan kepuasan dan kebanggaan orang lain merupakan harga yang terlalu mahal untuk dibayar, karena kita berusaha hidup dengan “ukuran” orang lain.

Saya sampai pada kesimpulan bahwa sebenarnya kebanggaan bukanlah tujuan tetapi efek samping. Seperti Sadu yang masuk final Lomba Karya Tulis Ilmiah, saya percaya tujuan awalnya bukan untuk kebanggaan orang tua, tetapi ekspresi diri untuk berkarya, atau anak teman saya yang pasti sama sekali tidak paham apa itu kebanggaan orang tua selain menggambar dan menggambar, demikian juga para finalis kompetisi I2C dan BasO yang awalnya hanya ingin melakukan yang terbaik di dalam pekerjaannya. Menyadari hal tersebut, saya belajar menghargai diri dengan apa yang saya lakukan sekecil apapun, dan tidak berusaha membuat orang lain bangga dengan apa yang saya lakukan. Kebanggaan terlahir dari sebuah prestasi yang dicapai karena kerja keras dan keinginan memberi yang terbaik. Saya percaya dengan spirit seperti itu, maka kebanggaan orang lain terhadap kita akan muncul dengan sendirinya. Kita tidak disibukkan dengan keinginan membanggakan orang lain karena yang terpenting bukanlah pendapat mereka tentang kita tetapi apa yang kita lakukan di dalam kehidupan kita. Persis seperti kata kakak saya yang mengatakan “terserah anaknya”, karena yang paling tahu tentang potensi, minat dan kemauannya adalah dia sendiri.  Kebanggaan adalah efek samping, bukan tujuan. Karya terbaik, itulah tujuan kita, dan ketika kita mencapainya, kebanggaan orang lain terhadap kita tinggal menunggu waktu saja.


No comments:

Post a Comment