Monday, November 12, 2012

Nasi Goreng Kereta (dan perubahan)


Nasi goreng kereta! Itu istilah saya untuk sajian nasi goreng yang dijajakan di restorasi kereta api. Saya sangat merindukannya setelah bertahun-tahun absen naik kereta sampai akhirnya saya harus ke Tegal. Sejak membeli tiket di Gambir, hati saya sudah dipenuhi gambaran tentang nasi goreng  dan dengan seru membicarakannya dengan teman-teman kantor. Geli juga menyadari bahwa mereka memiliki kenangan yang sama, terutama teman-teman perantauan dari daerah Semarang-Solo-Jogja. Nasi goreng, telur mata sapi, irisan tomat dan mentimun, serta kerupuk kecil terbungkus plastik sebanyak 2 buah. Menggelikan, karena jumlah kerupuknya pun kami masih ingat!

Gambir am coming! Senang rasanya menjejakkan kaki ke stasiun ini lagi, dan menyadari bahwa Gambir sangat berubah. Bersih, tertata rapi, begitu juga toiletnya, jauh berbeda dengan beberapa tahun yang lalu. Ketika masuk peron, saya disambut dengan petugas yang meminta kartu tanda pengenal untuk dicocokkan dengan tiket yang saya bawa. Stempel “sesuai identitas” akan segera diberikan kalau nama yang tertera di tiket sama dengan kartu pengenal. Sayangnya saya tidak menemukan kejadian seandainya ada tiket yang tidak sesuai dengan kartu pengenal, apakah tidak boleh masuk atau tetap diizinkan. Mungkin hal ini dilakukan oleh kereta api untuk menurunkan insiden “calo” yang sering membeli tiket tanpa mencantumkan nama. Perubahan lain adalah tidak diizinkannya pengantar untuk masuk peron, sehingga hanya sampai di depan saja, dan  membuat peron menjadi lebih longgar, banyak tempat duduk. Setelah masuk ke peron saya kembali dibuat kagum dengan perubahan yang ada, yaitu tersedianya dua buah charger box dengan beberapa panel kontak, sehingga sangat memudahkan pengguna handphone yang baterainya mati. Ada juga fasilitas internet gratis, dengan kecepatan yang sangat baik dan sebuah pesawat telepon yang disediakan untuk percakapan gratis 3 menit dengan syarat nomor yang dihubungi adalah provider sponsor. Iseng-iseng saya mencoba mengetes apakah berfungsi dengan baik, dan ternyata memang bisa digunakan.

Akhirnya kereta yang saya tunggu tiba juga. Ketika masuk gerbong saya kembali dibuat kagum dengan inovasi yang dilakukan kereta api. Di setiap tempat duduk ada 2 buah panel kontak yang terletak di dinding kereta, sehingga penumpang tidak takut kehabisan baterai. Bagi saya ini inovasi yang sangat mengerti konsumen, karena dengan lama waktu perjalanan yang panjang, konsumen direpotkan apabila kehabisan baterai di tengah jalan. Hal ini juga sangat membantu bagi penumpang yang menggunakan laptop atau gadget lainnya tanpa takut kehabisan baterai. Sebenarnya saya sudah menyiapkan power bank untuk cadangan karena mempertimbangkan bahwa perjalanan selama 5 jam akan membuat baterai handphone saya habis, sementara mungkin saja ada hal-hal penting yang harus saya komunikasikan. Adanya panel kontak tersebut membuat saya merasa nyaman dan aman. Sungguh, kereta api sangat mengerti pelanggan.

Saya duduk tenang menikmati perjalanan sambil menunggu makan siang, tetapi alangkah kecewanya ketika petugas restorasi mengatakan bahwa nasi gorengnya sudah habis. Terpaksa saya menunda keinginan tersebut sampai keesokan harinya ketika saya harus kembali ke Jakarta. Bahkan saya berjanji untuk segera ke restorasi begitu masuk gerbong karena tidak mau kehabisan lagi. Hahaha! Setelah memendam keinginan akhirnya rasa penasaran saya terobati keesokan harinya dengan sepiring nasi goreng di depan mata. Ada sedikit perubahan karena tidak ada tomat , tetapi ada penambahan daging ayam. Krupuk kecilnya masih sama. Saya tersenyum geli, update status sebentar, dan mulai menikmati 1 sendok pertama. Mengunyah, dan merasakan kelezatannya sampai titik terakhir. Enak, tetapi saya merasa tidak seenak dulu. Dulu ketika kereta menjadi pilihan, saya sangat menikmati nasi goreng dan menganggap rasanya sungguh enak. Tetapi sekarang terasa biasa saja. Lalu apanya yang berubah?  Nasi gorengnya, saya atau dua-duanya?

Nasi goreng, Gambir, dan kereta api mengingatkan saya bahwa perubahan selalu terjadi, baik pekerjaan, keluarga, teman, atau apapun yang ada di sekitar kita. Seringkali kita resisten terhadap perubahan dan tidak mau mengikutinya. Seperti stastiun Gambir yang telah berubah menjadi lebih cerah, nasi goreng kereta pun bisa berubah.  Dulu saya menganggapnya enak, tetapi mungkin sekarang lidah saya sudah terbiasa merasakan yang lebih enak, sehingga menjadi biasa saja. Seringkali kita begitu stagnan dan menolak perubahan padahal perubahan datang kapan saja. Seorang teman yang baru saja kehilangan anak buahnya karena diberhentikan mau tidak mau harus mengambil alih pekerjaan sampai ada penggantinya. Berat karena menambah pekerjaan, tetapi sebagai seorang pemimpin, itu adalah resiko yang harus ditanggung, dengan tuntutan target yang tidak berubah. Yang bisa dirubah adalah sikap kita, menjalani tanpa meratapi.

Nasi goreng kereta, meskipun sederhana mengingatkan saya akan satu hal, perubahan terus terjadi, bahkan ketika kita mungkin tidak mengharapkannya. Lalu apa yang harus kita lakukan? Resisten, atau menganggap itu sebagai tantangan yang harus dijalani? Pilihannya ada di tangan kita masing-masing. Tidak ada yang salah dengan perubahan, karena mengikuti atau tidak, hidup akan terus berputar.  Seperti ketika saya menikmati nasi goreng kereta, rasa yang saya lukis di otak berbeda dengan kenyataan yang ada, sehingga walau kerinduan terobati tetapi sensasi yang dibawa tidak seperti yang dibayangkan. Meskipun demikian saya tetap puas dan menyadari bahwa itu adalah bagian dari perubahan. Entah nasi gorengnya yang berubah, saya yang berubah, atau dua-duanya, semuanya mungkin dan sah-sah saja. Perubahan adalah sesuatu yang natural dan terjadi setiap hari tanpa henti, tinggal bagaimana kita menjalani  dan berteman dengan perubahan tersebut. Selamat menikmati perubahan, enjoy saja!

No comments:

Post a Comment