Nasi goreng kereta! Itu
istilah saya untuk sajian nasi goreng yang dijajakan di restorasi kereta api.
Saya sangat merindukannya setelah bertahun-tahun absen naik kereta sampai
akhirnya saya harus ke Tegal. Sejak membeli tiket di Gambir, hati saya sudah
dipenuhi gambaran tentang nasi goreng
dan dengan seru membicarakannya dengan teman-teman kantor. Geli juga
menyadari bahwa mereka memiliki kenangan yang sama, terutama teman-teman
perantauan dari daerah Semarang-Solo-Jogja. Nasi goreng, telur mata sapi,
irisan tomat dan mentimun, serta kerupuk kecil terbungkus plastik sebanyak 2
buah. Menggelikan, karena jumlah kerupuknya pun kami masih ingat!
Gambir am coming! Senang rasanya menjejakkan kaki ke stasiun ini lagi, dan menyadari
bahwa Gambir sangat berubah. Bersih, tertata rapi, begitu juga toiletnya, jauh berbeda
dengan beberapa tahun yang lalu. Ketika masuk peron, saya disambut dengan
petugas yang meminta kartu tanda pengenal untuk dicocokkan dengan tiket yang
saya bawa. Stempel “sesuai identitas” akan segera diberikan kalau nama yang
tertera di tiket sama dengan kartu pengenal. Sayangnya saya tidak menemukan kejadian
seandainya ada tiket yang tidak sesuai dengan kartu pengenal, apakah tidak
boleh masuk atau tetap diizinkan. Mungkin hal ini dilakukan oleh kereta api
untuk menurunkan insiden “calo” yang sering membeli tiket tanpa mencantumkan
nama. Perubahan lain adalah tidak diizinkannya pengantar untuk masuk peron,
sehingga hanya sampai di depan saja, dan membuat peron menjadi lebih longgar, banyak
tempat duduk. Setelah masuk ke peron saya kembali dibuat kagum dengan perubahan
yang ada, yaitu tersedianya dua buah charger box dengan beberapa panel kontak,
sehingga sangat memudahkan pengguna handphone yang baterainya mati. Ada juga
fasilitas internet gratis, dengan kecepatan yang sangat baik dan sebuah pesawat
telepon yang disediakan untuk percakapan gratis 3 menit dengan syarat nomor
yang dihubungi adalah provider sponsor. Iseng-iseng saya mencoba mengetes
apakah berfungsi dengan baik, dan ternyata memang bisa digunakan.
Akhirnya kereta yang
saya tunggu tiba juga. Ketika masuk gerbong saya kembali dibuat kagum dengan
inovasi yang dilakukan kereta api. Di setiap tempat duduk ada 2 buah panel
kontak yang terletak di dinding kereta, sehingga penumpang tidak takut
kehabisan baterai. Bagi saya ini inovasi yang sangat mengerti konsumen, karena
dengan lama waktu perjalanan yang panjang, konsumen direpotkan apabila
kehabisan baterai di tengah jalan. Hal ini juga sangat membantu bagi penumpang
yang menggunakan laptop atau gadget lainnya tanpa takut kehabisan baterai. Sebenarnya
saya sudah menyiapkan power bank untuk cadangan karena mempertimbangkan bahwa
perjalanan selama 5 jam akan membuat baterai handphone saya habis, sementara mungkin
saja ada hal-hal penting yang harus saya komunikasikan. Adanya panel kontak
tersebut membuat saya merasa nyaman dan aman. Sungguh, kereta api sangat
mengerti pelanggan.
Saya duduk tenang
menikmati perjalanan sambil menunggu makan siang, tetapi alangkah kecewanya
ketika petugas restorasi mengatakan bahwa nasi gorengnya sudah habis. Terpaksa
saya menunda keinginan tersebut sampai keesokan harinya ketika saya harus
kembali ke Jakarta. Bahkan saya berjanji untuk segera ke restorasi begitu masuk
gerbong karena tidak mau kehabisan lagi. Hahaha! Setelah memendam keinginan
akhirnya rasa penasaran saya terobati keesokan harinya dengan sepiring nasi
goreng di depan mata. Ada sedikit perubahan karena tidak ada tomat , tetapi ada
penambahan daging ayam. Krupuk kecilnya masih sama. Saya tersenyum geli, update
status sebentar, dan mulai menikmati 1 sendok pertama. Mengunyah, dan merasakan
kelezatannya sampai titik terakhir. Enak, tetapi saya merasa tidak seenak dulu.
Dulu ketika kereta menjadi pilihan, saya sangat menikmati nasi goreng dan
menganggap rasanya sungguh enak. Tetapi sekarang terasa biasa saja. Lalu apanya
yang berubah? Nasi gorengnya, saya atau
dua-duanya?
Nasi goreng, Gambir, dan
kereta api mengingatkan saya bahwa perubahan selalu terjadi, baik pekerjaan,
keluarga, teman, atau apapun yang ada di sekitar kita. Seringkali kita resisten
terhadap perubahan dan tidak mau mengikutinya. Seperti stastiun Gambir yang
telah berubah menjadi lebih cerah, nasi goreng kereta pun bisa berubah. Dulu saya menganggapnya enak, tetapi mungkin
sekarang lidah saya sudah terbiasa merasakan yang lebih enak, sehingga menjadi
biasa saja. Seringkali kita begitu stagnan dan menolak perubahan padahal
perubahan datang kapan saja. Seorang teman yang baru saja kehilangan anak buahnya
karena diberhentikan mau tidak mau harus mengambil alih pekerjaan sampai ada
penggantinya. Berat karena menambah pekerjaan, tetapi sebagai seorang pemimpin,
itu adalah resiko yang harus ditanggung, dengan tuntutan target yang tidak
berubah. Yang bisa dirubah adalah sikap kita, menjalani tanpa meratapi.
Nasi goreng kereta,
meskipun sederhana mengingatkan saya akan satu hal, perubahan terus terjadi,
bahkan ketika kita mungkin tidak mengharapkannya. Lalu apa yang harus kita
lakukan? Resisten, atau menganggap
itu sebagai tantangan yang harus dijalani? Pilihannya ada di tangan kita
masing-masing. Tidak ada yang salah dengan perubahan, karena mengikuti atau
tidak, hidup akan terus berputar.
Seperti ketika saya menikmati nasi goreng kereta, rasa yang saya lukis
di otak berbeda dengan kenyataan yang ada, sehingga walau kerinduan terobati
tetapi sensasi yang dibawa tidak seperti yang dibayangkan. Meskipun demikian
saya tetap puas dan menyadari bahwa itu adalah bagian dari perubahan. Entah
nasi gorengnya yang berubah, saya yang berubah, atau dua-duanya, semuanya mungkin
dan sah-sah saja. Perubahan adalah sesuatu yang natural dan terjadi setiap hari
tanpa henti, tinggal bagaimana kita menjalani dan berteman dengan perubahan tersebut. Selamat
menikmati perubahan, enjoy saja!
No comments:
Post a Comment