Seorang teman menelepon saya semalam. “Rum, piroksikam bisa untuk ibu menyusui nggak?” tanyanya. “Sebaiknya jangan, karena sisa-sisa obat bisa keluar melalui air susu. Emangnya kenapa?” jawab saya. Teman saya melanjutkan, “Adik iparku, tangannya linu, ototnya pegal-pegal. Kemarin aku juga seperti itu, lalu minum piroksikam dan nyerinya langsung hilang. Tapi karena adikku menyusui, aku nggak berani ngasih dia obat yang sama.” “Oh, kalau seperti itu kasih cream penghilang pegal-pegal otot saja. Sayang bayinya lah...piroksikam kan anti inflamasi, anti radang, jadi digunakan untuk rematik dan sakit-sakit di tulang. Adik kamu rematik?” tanya saya. “Enggak sih, sepertinya kecapekan karena kemarin pembantunya belum pulang. Jadi dia mesti ngerjain macam-macam. Waktu itu tanganku juga pegal-pegal karena pembantu pulang.” Jawabnya. “O...itu sih sindroma pembantu. Obatnya gampang, pijet trus tidur, enak kan. Gak perlu minum obat” saran saya sambil tertawa. “Ye.....trus adikku dikasih apa dong?” tanya teman saya lagi. “Ya sudah, kasih semacam counterpain saja lah. Tinggal dioles, selesai...”
Obrolan tadi membuat saya tersenyum. Pembantu, julukan satu ini ternyata sarat makna. Hari-hari biasa mungkin rasa ketergantungan kita padanya tidak terlalu besar dan tidak terasa. Tetapi begitu lebaran tiba dan mereka mudik, baru terasa betapa kita sangat membutuhkan mereka. Kata “pembantu” memang diidentikkan dengan pembantu rumah tangga atau bedinda, istilah “londo”-nya. Kata ini merujuk pada seseorang yang membantu pekerjaan rumah tangga pada sebuah keluarga seperti mencuci, menyeterika, memasak, bersih-bersih rumah, dan lain sebagainya. Intinya melayani yang punya rumah dan membantu membereskan seluruh rumah sehingga tertata bersih dan sedap dipandang. Meskipun sering terjadi ada pembantu yang akhirnya memiliki side job dan “naik pangkat” menjadi teman sang tuan. Wah, kalau masalah ini sih tuannya saja yang kelewatan, seperti anggota DPRD di Jombang sana. Bicara mengenai pembantu mudik, ternyata pengaruhnya cukup terasa bagi anggota keluarga meskipun pengaruh itu belum diketahui apakah sampai pada taraf “berdampak sistemik.” Tetapi kalau dirunut, ternyata ada juga dampak sistemiknya, yaitu hunian hotel dan penginapan. Ketika libur lebaran kemarin saya dengan beberapa teman pergi ke Bogor yang akan berlanjut ke Lido Sukabumi keesokan harinya. Saat itu kami memang berencana bermalam di Bogor. Dengan pertimbangan ada banyak penginapan dan hotel di kota itu yang masih berada dalam jangkauan kantong anak kos, maka kami santai saja berjalan-jalan sampai malam. Baru setelah jam 10 kami mencari-cari penginapan dan ternyata susah sekali! Hampir semua hotel dan penginapan di jalan-jalan yang kami kenal sudah penuh. Padahal saya sudah membawa daftar hotel dan penginapan dan kami telepon satu persatu. Ada sih yang masih kosong 1 atau 2 kamar, tetapi harganya kelewat mahal untuk ukuran “nebeng” tidur semalam. Maklum, kami tetaplah anak kos yang penuh perhitungan dan nggak mau rugi! Hehehe. Mungkin ini semua karena banyak keluarga yang ditinggal pembantu pulang kampung dan memilih tinggal di hotel agar hidup lebih mudah. Tidak perlu mencuci, makan tinggal makan, dan segala kemudahan lainnya. Tentu saja kasus ini hanya untuk golongan tertentu yang memang tidak terlalu menghitung berapa duit yang dikeluarkan. Nah, ternyata manusia yang disebut pembantu, yang kadang kita remehkan dan pandang sebelah mata, memiliki peranan sangat vital dalam kehidupan kita. Apalagi di kota besar, ketika suami istri dua-duanya sibuk bekerja, peran pembantu tak diragukan lagi. Meskipun begitu saya belum pernah tahu ada pembantu yang mampu melakukan tawar menawar dengan tuan dan nyonya rumah untuk meningkatkan pendapatannya. Istilahnya karena sang pembantu menyadari dia sangat penting dan memiliki nilai tambah atau bahasa manajemennya “added value” maka dia bisa mengatur berapa rupiah yang akan masuk ke tabungannya karena si empunya rumah pasrah dan tergantung padanya. Memang selain pembantu biasa yang sudah kita bahas, ada jenis pembantu lain yang sangat diperebutkan posisinya. Tentu saja embel-embel di belakang kata pembantu bukanlah “rumah tangga”, tetapi kata yang lain seperti “dekan”, atau “rektor”. Jadilah pembantu dekan, atau pembantu rektor. Jelas sekali kata pembantu di sini memiliki makna yang sangat berbeda bagaikan bumi dengan langit. Nah, lebih hebat lagi kalau embel-embel itu kita ganti dengan kata “presiden”. Contoh , pembantu “presiden”. Wah, kalau itu sangat prestisius dan semua orang akan berebut mendapatkannya. Apalagi orang-orang di partai politik yang berkoalisi dengan partai pemenang pemilu, pasti akan berusaha keras untuk menjadi pembantu jenis ini, karena dianggap memiliki kasta yang berbeda meskipun memiliki kata depan yang sama. Padahal sebenarnya apa sih jabatan itu kalau tidak bisa memberikan manfaat bagi orang lain? Kalau hanya digunakan sebagai alat untuk menguntungkan diri sendiri dan segelintir keluarganya, maka pembantu jenis ini justru memiliki derajat yang lebih hina dari pembantu dengan embel-embel rumah tangga yang mengerjakan tugasnya dengan sungguh-sungguh. Ada lagi jenis pembantu yang menggunakan istilah asisten. Padahal kata asisten berasal dari kata assistant, yang berarti pembantu. Assistant berasal dari kata assist yang artinya membantu. Tetapi coba rasakan istilah ini, asisten dosen. Pasti terasa keren. Atau pekerjaan yang dulu saya lakoni ketika pertama kali datang ke Jakarta. Judulnya adalah Asisten Training Manager. Wah, top tenan! Padahal artinya pembantu manajer pelatihan. Coba memakai istilah terakhir, pasti tidak ada rasa bangga menulisnya di kartu nama. Catatan ini memang sekedar membawa kita kepada pemahaman bahwa “pembantu” adalah sosok yang penting dalam kehidupan kita. Dengan menyadari pentingnya peranan mereka kita bisa lebih berempati atas kerja keras dan dedikasi yang diberikan. Lebih jauh lagi, sebenarnya kita pun adalah pembantu dalam konteks melayani. Suami membantu istri, istri membantu suami. Anak membantu orang tua dan sebaliknya. Kakak membantu adik, adik membantu kakak. Atasan membantu bawahan, bawahan membantu atasan. Jadi kita adalah pembantu-pembantu yang betugas melayani orang lain agar kehidupan berjalan lancar. Meskipun kita akan bilang, “oke lah, saya pembantu, tapi embel-embel di belakangnya jangan rumah tanggga ya.” Tentu saja saya tidak bilang begitu, karena saya sangat yakin kita semua adalah orang-orang berpendidikan yang mendapat berkat Tuhan untuk bisa bekerja di kantoran dan punya beragam jabatan. Kalau direnungkan, siapa sih yang mau jadi pembantu dengan tempelan kata “rumah tangga”? Rasanya tidak ada. Tetapi coba bayangkan seandainya semua menjadi pengusaha, direktur, manajer dan berbagai jabatan keren lainnya, lalu siapa yang akan bertugas membersihkan dan membereskan rumah? Ternyata dalam hal ini hukum alam tetap berlaku, hukum keseimbangan yang menjadikan alam ini terus berputar dan memberikan nafas kehidupan bagi siapa saja. Ada panas, ada hujan. Ada siang, ada malam. Ada kaya, ada miskin. Ada juragan, ada karyawan. Itulah hukum alam. Hal ini mengajarkan kita bahwa apapun posisi yang kita emban saat ini, semua itu haruslah memiliki arti dan manfaat bagi sesama. Kalau jadi pengusaha, jadilah pengusaha yang memberikan manfaat. Kalau jadi karyawan, jadilah karyawan yang memberikan manfaat. Kalau jadi tukang sapu, jadilah tukang sapu yang memberikan manfaat. Semua itu bisa terjadi kalau pekerjaan yang Tuhan berikan kita lakukan dengan sungguh-sungguh dan penuh ketulusan. Tiba-tiba saya punya ide untuk melaunching Hari Pembantu Nasional. Kapan ya? Kayaknya lebih tepat pada saat masih tercium bau hari raya karena di saat-saat seperti itulah para tuan, nyonya rumah, dan anggota keluarga menyadari pentingnya pembantu, sehingga akan menimbulkan rasa kasih yang lebih dalam, dan saling menghargai sebagai manusia. Selain itu juga menyadarkan diri kita bahwa kita pun sebenarnya dilahirkan untuk membantu dan melayani, menjadi seorang pembantu. Tapi masak sih ada Hari Pembantu Nasional? Ah, ada-ada saja.....
21.09.2010
21.09.2010
No comments:
Post a Comment