Friday, December 3, 2010

learning from the street

Menikmati dan merasakan beberapa moda transportasi di Jakarta ternyata mengasyikkan juga. Mulai dari mikrolet, busway, bajaj, ojek, sampai taksi.  Tapi kalau metromini sepertinya saya tidak tertarik sebagai pengguna. Gak tahu kenapa, mungkin kesannya seram saja, atau karena sudah terbentuk image bahwa metromini  jalannya ugal-ugalan, jadi tidak terbersit satu keinginanpun untuk memanfaatkan jasanya. Pengalaman beberapa hari ini bermula karena mobil yang biasa saya pakai sebagai kaki harus diistirahatkan dulu. Maklum, benturan dengan taksi yang cukup keras di bemper kanan memaksa saya untuk membawanya ke bengkel. Untungnya itu mobil kantor, sehingga saya tidak perlu kuatir. Karena sangat nanggung kalau hanya memperbaiki sedikit bodi mobil, maka mulailah saya mencari-cari bagian mana yang peyok dan harus diperbaiki. Maka muncullah sederet keluhan seperti goresan di sana sini, baik di bodi mobil maupun di tempat-tempat lainnya. Alhasil setelah bagian GA kantor melihat dan memeriksa pengajuan asuransi saya, maka dia memastikan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan semuanya adalah 12 hari kerja. Waks, 12 hari? Alamak, lama sekali. “Emang gak bisa lebih cepat Pak?” tanya saya. “Ini hampir perbaikan total Mbak. Sepuluh hari mungkin..” jawabnya. “Waduh, lama sekali. Bisa dipercepat Pak? Tolong dong...” “Mmmm...iya deh, saya usahakan lebih cepat.” Jawaban Pak GA tadi sungguh menentramkan hati saya.  Maka mulailah saya menjadikan diri saya sebagai pecinta moda tranportasi Jakarta, meskipun agak semu karena sedikit terpaksa. Bagaimanapun juga saya harus mengakui bahwa punya kendaraan sendiri tetap lebih enak. Hehehe.. ya iyalah, kalau itu sih sebuah perbandingan yang sangat tidak beradab! Hahaha. Tetapi setelah melewati beberapa hari dan melakukan seleksi terhadap beberapa alat tranportsi yang saya pakai, saya menempatkan ojek sebagai peringkat pertama dalam hal kecepatan dan penghematan waktu. Waktu tempuh dari kos ke kantor yang biasanya 1 jam dengan menggunakan mobil, menjadi hanya setengahnya. Tapi ya begitulah, ojek akan berlenggak lenggok kanan kiri, mepet mobil kanan kiri, yang sering membuat saya agak deg-degan meskipun ternyata asyik juga. Apalagi kalau spion ojek membentur spion mobil dan kita tetap cuek melenggang. Wah, serasa jadi jagoan. Selama ini saya sering jengkel kalau melawan motor-motor di jalan. Maklum, menurut saya mereka sering tidak tahu diri dan tetap memaksa mencari jalan meskipun di ruang sempit. Belum lagi kalau spion mereka mengenai spion mobil cukup keras, pasti saya segera membunyikan klakson. Yang terjadi selama ini si pengendara motor hanya mengangkat tangannya dan terus melaju, sementara saya pasrah dalam kejengkelan. Ternyata apa yang dilakukan oleh motor-motor itu sekarang saya alami dan ternyata sungguh nikmat! Hehe..rasanya tidak fair, tetapi pada kenyataannya kita selalu menempatkan kepentingan sendiri di atas kepentingan orang lain.  Setelah mengalami kenikmatan ojek selama beberapa hari ini, saya jadi lebih memahami kebutuhan para pengendara motor. Mungkin setelah ini saya akan lebih fleksibel memberikan jalan ke mereka, asal tidak sangat keterlaluan. Suatu ketika saya diantar ke rumah oleh seorang pengendara ojek yang sudah tua. Woah, selain pengendaranya tua, motornya pun ikutan tua. Saya tidak membayangkan bahwa di sepanjang perjalanan akan muncul suara “krek...krek...” dari motor tersebut. “Wah, apa ini Pak? Belum dilipat sempurna kali standard-nya..” kata saya. “Nggak Bu, itu rantai motor. Sudah agak lepas, tapi gak apa-apa. Aman kok.” jawabnya. Waduh, rantai motornya kayak gitu, gimana bisa tenang di tengah ramainya jalanan Jakarta sepulang kerja. Tapi karena Pak tua tersebut tetap santai, saya ikut-ikutan menikmatinya. Dan terjadilah sepanjang perjalanan kita mengobrol dengan akrab. “Rumahnya mana Pak?” tanya saya. “Lebak Bulus.” “Hah? Lebak Bulus? Bapak masih kerja kantoran? Trus sore baru ngojek atau bagaimana?” “Nggak Bu, saya nggak kerja. Ya ngojek ini saja.” Wah, jauh sekali pak dari Lebak Bulus sampai Kuningan” “Yah..tidak apa-apa Bu, habis mau bagaimana lagi.” Beberapa saat berlalu, dan sampailah saya dengan selamat di rumah dalam waktu yang relatif singkat. “Makasih pak, ini uangnya” kata saya sambil mengulurkan sepuluh ribuan dan beberapa lembar ribuan. Reaksi pak tua tadi sungguh tidak saya sangka, “Alhamdulilah....terima kasih banyak Bu. Alhamdulilah..” Wah, saya langsung terhenyak. Betapa bapak tua ini sangat bersyukur dengan rejeki yang dia dapat meskipun mungkin tidak seberapa. Ah, sungguh ungkapan syukur yang sangat tulus... 
Hal seperti ini kembali saya alami ketika saya menggunakan jasa bajaj pada hari Minggu kemarin. Rencananya  sih naik taksi, karena saya membawa beberapa barang yang cukup banyak seperti tas dan laptop. Tetapi ketika keluar kos dan berjalan untuk mencari taksi, seorang pengendara bajaj berambut gondrong berteriak.”Mbak...bajaj..Yuk, mari..”  Mungkin karena gaya marketingnya yang proaktif, maka rencana saya naik taksi batal dan saya mendekat ke bajaj itu. “Bukit Duri berapa mas?” “Biasanya berapa?” “Lima belas ribu.” “Boleh, silakan naik.” “Wah, santai juga nih mas bajaj.” pikir saya. Dan ketika saya akan naik bajajnya, sesuatu yang unik segera saya lihat. Di ruang dalam bagian belakang, tampak beberapa sound system dihubungkan dengan radio kecil. Yang lebih seru ada sebuah gitar yang diikat di dalam bajaj, mepet di dindingnya. Jangan pernah membayangkan itu gitar bermerek yang harganya bisa jutaan. Gitar biasa, tipis, tapi bisa dipakai untuk menyanyi. Saya jadi geli sendiri dengan kondisi bajaj yang full music. Kalau biasanya naik bajaj identik dengan keramaian jalan yang memekakkan telinga, kali ini di sepanjang jalan saya dihibur oleh musik yang tak pernah berhenti. Jangan dikira lagunya adalah lagu dangdut, karena lagu pilihannya adalah lagu pop anak muda sekarang. Hahaha...keren habis deh bajajnya. Tampak sekali kalau tukang bajaj tersebut sangat menikmati pekerjaannya. Yang menarik, saya mengamati bahwa dia seorang yang helpfull dan tidak berusaha menang sendiri. Buktinya ketika melewati pasar dan ada mobil yang sibuk putar balik sehingga sedikit mengganggu kelancaran lalu lintas,  dia menghentikan bajajnya dengan tenang dan ikut berteriak-teriak memberi aba-aba. Sungguh pemandangan yang mengasyikkan. Lain cerita ketika sore harinya saya membutuhkan lagi jasa bajaj dan bertemu dengan tukang bajaj yang lain. Karena jalanan macet dan mungkin tukang bajaj tersebut mengerem mendadak, maka terjadilah sedikit kecelakaan kecil ketika bajaj yang saya tumpangi menabrak motor di depannya. Alih-alih minta maaf, tukang bajaj tadi justru mengomel dan membentak si pengendara motor.  Untungnya pengendara motor tersebut cukup sabar. Ketika melihat bagian belakang motornya tidak ada kerusakan, tanpa banyak bicara dia langsung pergi. Gantian saya yang mengomel dalam hati. “Wah, nggak asyik nih tukang bajajnya. Payah, dia yang salah kok malah marah-marah.” Begitu juga ketika saya minta diantar sedikit lebih ke depan karena saya harus masuk terminal, tukang bajaj tadi langsung nyerocos, “Wah..nggak bisa masuk ke sana Mbak. Nyari penyakit,  nggak boleh masuk ke situ.” Padahal saya lihat beberapa bajaj bersliweran di sana dan tidak ada tanda dilarang masuk. Tapi ya sudahlah, saya langsung turun dan membayar jasanya. Selesai.
Beberapa kejadian yang saya alami di jalanan, memberi banyak pelajaran mengenai kerja. Sebenarnya saya lebih suka menyebut kerja dengan istilah “karya”. Bekerja adalah “berkarya”, yaitu melakukan sesuatu yang memberikan manfaat bagi orang lain. Seperti yang saya alami dengan pak ojek tua dan mas bajaj gondrong. Sikap mereka terhadap pekerjaan, merefleksikan ketulusan dan keinginan mereka untuk melakukan yang terbaik bagi orang lain dengan karya yang mereka lakukan. Dan itu terbukti betapa saya sangat menikmati perjalanan dengan mereka. Tetapi tidak dengan bajaj yang terakhir. Kerja yang dijiwai sebagai karya akan menempatkan orang sebagi subjek yang harus dihargai. Kerja dimaknai sebagai alat untuk menyenangkan orang lain. Dalam tingkatan ini, hasil kerja berupa uang bukan menjadi satu-satunya tujuan, meskipun uang akan mengalir kalau kita bekerja, dan ketika uang mengalir ke diri kita sebagai hasil kerja yang kita lakukan, kita akan menikmatinya sebagai sebuah berkat dan rejeki dari Sang Pencipta, kita akan mengamini dan mengimani itu sebagai ungkapan kasih Sang Khalik kepada kita.  Maka muncullah ungkapan terima kasih tulus seperti yang dilakukan oleh Pak ojek tua. Ketika saya menuliskan pengalaman ini, saya berharap diri saya akan semakin tercerahkan, begitu juga dengan siapa pun yang membaca catatan ini akan terberkati. Tidak terasa sudah 8 hari saya menimba ilmu di jalanan. Tetapi hari ini, ketika GA kantor memberitahu saya bahwa mobil sudah selesai diperbaiki, wah ternyata hati saya begitu gembira. Bagaimanapun juga saya menyadari tetap lebih enak membawa kendaraan sendiri daripada naik kendaraan umum ( hehehe, hipotesis yang tidak perlu diuji),  meskipun itu berarti saya harus mengucapkan selamat tinggal kepada tranportasi jalanan yang telah memberi saya banyak pelajaran....


13.10.2010

No comments:

Post a Comment