Tuesday, December 14, 2010

pemain pengganti

Ini cerita tentang pemain pengganti.  Sebenarnya saya ingin menuliskannya setelah pertandingan Indonesia - Thailand selesai digelar di kejuaraan sepak bola ASEAN AFF 2010, tetapi karena berbagai kesibukan menjadi terbengkalai.  Meskipun begitu dorongan untuk menuliskannya tetap besar sehingga saya memutuskan untuk menuliskannya juga dengan harapan tidak terlalu basi untuk dibaca. Saya yakin setiap pemain sepak bola pasti berhasrat menjadi pemain inti dan bukan pemain pengganti atau cadangan. Namanya saja pengganti, berarti hanya bermain untuk menggantikan pemain inti kalau pemain inti berhalangan. Cadangan, berarti dicadangkan, untuk jaga-jaga, atau sering kita mengolok-oloknya dengan istilah  “ban serep”, artinya ban cadangan, hanya dipakai kalau ban inti-nya gembos atau bocor, tetapi kalau ban inti-nya baik-baik saja, ya harus puas sebagai pajangan. Dalam permainan sepakbola pemain pengganti pasti diperlukan sehingga mereka pun harus selalu siap fisik dan mental meskipun jauh di lubuk hati terdalam ada keinginan terpilih sebagai pemain inti.  Selama ini penggantian pemain bisa dilakukan apabila pemain inti cedera, tampil kurang bagus, atau memang ada perubahan strategi dari pelatih, misalnya dari strategi bertahan menjadi menyerang, maka team membutuhkan lebih banyak pemain penyerang daripada bertahan. Pertandingan Indonesia melawan Thailand di penyisihan grup seminggu yang lalu sebenarnya tidak berpengaruh lagi bagi Indonesia karena sudah pasti maju ke semifinal sehingga hasil imbang ataupun kalah tidak menjadi soal, tetapi tentu saja team Indonesia berhasrat menang dan mengalahkan Thailand setelah sekian lama selalu kalah. Impian itu akhirnya terwujud dengan susah payah.  Kemenangan Indonesia atas Thailand dengan skor  2-1  semuanya dicetak melalui titik penalti. Bambang Pamungkas (Bepe) yang masuk sebagai pemain pengganti sukses mengeksekusi kesempatan tersebut. Saya bukanlah penggemar Bepe, tetapi setahu saya Bepe adalah kapten kesebelasan Indonesia selama bertahun-tahun meskipun sekarang posisi itu diberikan ke pemain lain oleh pelatih, dan dia hanya menjadi pemain cadangan. Masuknya pemain naturalisasi membuat persaingan posisi penyerang menjadi sengit dan Bepe bukan lagi menjadi pilihan utama. Praktis ban kapten yang selalu melingkar di lengannya tercabut. Saya rasa ini bukanlah hal yang mudah baginya, tetapi justru hal inilah yang menarik hati saya. Sebelum pertandingan dimulai saya sempat mengirim sms ke keponakan yang sama-sama suka bola, “Indonesia Thailand loh..ayo nonton. Eh, Bambang Pamungkas sekarang cadangan, tidak jadi kapten lagi. Kasihan ya... “  Keponakan saya membalas singkat, “Yoi...”.   “Kasihan”, itu komentar saya. Dari seorang kapten menjadi pemain cadangan tentu tidak mudah apalagi publik seakan melupakan dia yang sudah membela Indonesia selama 11 tahun dan memalingkan muka ke wajah-wajah baru team nasional seperti Irfan Bachdim atau Christian Gonzales yang belum ada seumur jagung membela team nasional. Ya, inilah publik Indonesia. Tetapi  pada pertandingan Indonesia - Thailand kemarin saya melihat hal yang luar biasa, keteguhan mental seorang Bepe. Mungkin ada yang mencela dengan mengatakan gol penalti adalah keberuntungan, tetapi  menurut saya justru tendangan penalti memberikan tekanan mental yang sangat berat buat penendang. Saya ingat di Final Piala Dunia 1994 ketika Roberto Baggio secara tragis gagal menuntaskan tendangan penalti sehingga Italia kalah 3-2 melawan Brasil.  Bayangkan, ini event Piala Dunia dan pemain sekelas Roberto Baggio bisa gagal!  Jadi ketika malam itu Bepe dipercaya mengambil tendangan penalti saya sadar bahwa itu tidak mudah. Tidak semua pemain berani dan berjiwa besar mengambil penalti, karena untuk penalti berlaku hukum yang tidak terbantahkan, “kalau berhasil dan gol itu memang sudah seharusnya, tetapi kalau gagal maka akan dicela sepanjang masa”, apalagi Bepe yang sedang dalam titik terendah dalam karirnya di team nasional. Bagi saya tendangan penalti sangat dramatis dan sering saya tinggal karena tidak tahan merasakan atmosfernya. Maka ketika tendangan penalti pertama sukses dan Indonesia menyamakan kedudukan saya sangat lega, demikian pula dengan penalti yang kedua. Kamera televisi menyorot sebuah spanduk yang bertuliskan “Bepe still a Legend”. Saya tidak sedang membahas panjang lebar mengenai penalti karena saya justru ingin menggali sesuatu yang menarik yaitu sosok pemain pengganti dalam diri Bepe. Tidak mudah menjadi pemain biasa setelah selama ini dipercaya menjadi kapten kesebelasan nasional. Tetapi Bepe dengan rendah hati mengatakan bahwa dia tidak mengharapkan menjadi pemain inti seterusnya karena itu adalah hak pelatih, yang dia lakukan adalah bagaimana bermain sebaik-baiknya kalau diturunkan. Bagi saya ini mengagumkan dan justru menunjukkan kepemimpinannya. Keberanian dia mengambil panalti juga merupakan pertahunan nama besar, karena kalau gagal bisa dipastikan akan dicela dan dicaci maki, apalagi saat ini orang-orang sedang meragukan kemampuannya.  Saya meilhat Bepe bermain secara profesional, sebaik-baiknya, tidak peduli apapun posisinya sekarang. Kalaupun tidak lagi menjadi kapten, itu bukan hal yang penting, karena yang terutama baginya adalah kepentingan team dan bermain sebaik-baiknya. Karena penasaran saya mencari di internet mengenai sosok Bambang Pamungkas dan menemukan official websitenya yang penuh dengan tulisan-tulisan dia yang luar biasa. Seorang yang berprestasi dan rendah hati yang bisa anda pelajari di www.bambangpamungkas20.com. Saya rasa tidak semua pemain bola bisa bersikap seperti itu apalagi saat membela kesebelasan nasional yang sarat dengan  kebanggaan diri. Saya teringat di Piala Dunia 2010 Afrika Selatan kemarin ketika Jerman dipimpin oleh kapten baru Philip Lahm karena Sang Kapten Michael Ballack cedera. Dipimpin Lahm, Jerman tampil impresif meskipun gagal melaju ke final. Sayangnya seusai Piala Dunia, kedua pemain terlibat perang dingin mengenai siapa yang berhak menjadi kapten Der Panzer. Philip Lahm merasa berhasil dan berkeinginan terus menjadi kapten sedangkan Ballack merasa dialah yang berhak.  Bukankah ban kapten adalah wewenang pelatih dan sejatinya seorang pemain harus siap diposisikan sebagai apa saja?  Jadi saya melihat ada perbedaan yang sangat besar di sini.  Bagi Lahm dan Ballack posisi kapten adalah sangat penting, sampai menyulut perseteruan, padahal keduanya sama-sama hebat dan merupakan pemain inti. Bayangkan dengan Bepe yang terdegradasi dari kapten menjadi pemain cadangan, tetapi semangat untuk memberikan yang terbaik tidak pernah pudar. Berbicara mengenai pemain pengganti tidak fair rasanya kalau saya tidak menulis mengenai Arif Hartono, pemain pengganti  lain yang tidak kalah bersinar di kesebelasan nasional dan bermain sebagai gelandang. Sama seperti Bepe, sejauh ini Arif  belum pernah dipercaya penuh sebagai pemain inti, tetapi setiap kali dimasukkan pelatih dia selalu memberikan warna bagi permainan team dan menciptakan gol. Penalti yang didapat ketika melawan Thiland juga berasal dari hasil jerih payahnya. Saya melihat bahwa bagi Bepe dan Arif, posisi sebagai pemain inti bukanlah segalanya, tetapi yang terpenting adalah bagaimana bermain sebaik-baiknya ketika dipercaya pelatih masuk lapangan meskipun hanya sebagai pemain pengganti. Berkat kontribusinya media menjuluki mereka sebagai “supersub”, pemain pengganti yang super. Hasil yang mereka tunjukkan selama inipun ternyata belum cukup membuat mereka dipercaya sebagai pemain inti, tetapi sekali lagi sepertinya mereka tidak terlalu peduli. Yang terpenting adalah bagaimana bermain sebaik-baiknya setiap kali dipercaya. Ini yang saya kagumi dari kedua pemain tersebut, dan mengajarkan saya kerendahan hati. Sering sekali saya terjebak dengan posisi, sehingga ketika saya merasa tidak mendapat posisi yang layak (menurut saya), saya tidak mau memberikan yang terbaik, tetapi memberikan yang sedang-sedang saja sesuai posisi padahal saya tahu persis bahwa saya mampu memberikan lebih. Manusia adalah makhluk yang (sadar atau tidak sadar, diakui atau tidak diakui)  haus dengan kekuasaan. Jabatan, posisi adalah nomor satu, sampai-sampai orang mempertaruhkan segalanya untuk merebut jabatan tertentu dan menghalalkan segala cara untuk bertarung dengan sesama. Yang dicari adalah kekuasaan karena kekuasaan memberikan banyak hal, dan begitu terlempar dari kekuasaan maka sekaan-akan tidak memilki kekuatan lagi, tidak mampu berkontribusi lagi, dan serasa hilang segalanya. Kalau sudah seperti itu maka orang akan berusaha mencari kekuasaan baru. Maka jangan heran kalau orang yang berada di pusat kekuasaan tidak akan pernah mau turun. Kenapa? Karena berkuasa itu enak!  Terus terang kalau saya amati (tapi tidak tahu ini  benar atau salah - mudah-mudahan salah) menjadi pejabat di Indonesia itu enak. Prestasi jelek, dihantam sana-sani tetap saja melenggang kangkung.  Jadi ketua persatuan olahraga ini itu, prestasinya tenggelam, tetap saja tidak mau mundur.  Kenapa? Karena berkuasa itu enak! Saya rasa mestinya mereka belajar dari Bepe dan Arif, tidak peduli apapun posisinya yang penting adalah penampilan terbaik, itu namanya profesionalisme. Memberikan yang terbaik dari kemampuannya dengan atau tanpa jabatan. Karena jabatan hanyalah sementara tetapi profesionalisme dan nama baik berumur panjang. Bukankah katanya jabatan itu amanah, sehingga harus diemban dengan penuh tanggung jawab dan “tahu diri”? Kerendahhatian akan memunculkan respek dan penghormatan tetapi haus kekuasaan hanya akan membawa kepada kehancuran. Kerendahan hati membebaskan diri dari perasaan kehilangan jabatan dan kekuasaan. Saya belajar dari dua orang pemain pengganti yang “super”, yang pasti menyimpan keinginan menjadi pemain inti, tetapi bukan itu yang dikejar karena yang terpenting adalah aktualisasi diri, memberikan terbaik dari yang dimiliki, dan biarlah orang lain yang menyadari seberapa besar jati diri yang kita miliki. Bukan dari jabatan tetapi dari karakter yang muncul melalui kerendahan hati ala pemain pengganti!

No comments:

Post a Comment